2.1
•
•
•
Sebelum baca jangan lupa taburan bintang dan komennya, ya.
•
•
Selamat membaca kalian
•
•
"MBAK RUKMA!"
Panggilan antusia Embun, salah satu dari dua petugas kasir coffee shop, memecah keheningan setelah pintu geser yang menjadi penghubung rumah dan coffee shop tertutup. Perempuan berumur 23 itu berjalan cepat sambil menggendong Tita dan duduk di depan Rukma, yang tengah sibuk menyelesaikan laporan keuangan akhir bulan sebelum dilaporkan kepada Alfa esok hari.
"Mbak Rukma," panggil Embun sekali lagi, lalu disusul kata Bunda dari Tita.
Mau tidak mau Rukma meninggalkan iPad dan memandang Embun serta Tita.
"Kok ada cowok di rumah, Mbak?" tanya Embun. "Tadi pas aku mau nengok Tita di kamar Mbak, ternyata Tita ada di depan kamar sama cowok itu. Tita berdiri, terus si cowok jongkok sambil ngelus-ngelus rambut Tita. Cowoknya tinggi, mukanya kayak yang biasa mondar-mandir di web series gitu; kebule-bulean. Mbak Rukma?" Embun memajukan badan dengan gerakan dilebih-lebihkan, diikuti kekehan Tita karena perempuan itu memaksa Tita maju dengan gerakan serupa.
Rukma memutar bola mata dan mematikan iPad. "Dia baru dua jam di rumah." Rukma tidak tahu kenapa dia mengambil jeda di kalimatnya, lalu lanjut, "Teman Pak Alfa, rekan kerja Bu Ghina dari Jakarta. Arsitek yang ditugasin renovasi rumah sebelah. Karena ini juga rumah Pak Alfa dan Bu Ghina, dia tinggal di sini demi menghemat waktu. Sebentar aja. Satu minggu, paling lama dua minggu."
Rasa penasaran yang memenuhi mata Embun seketika hilang, digantikan lirikan jail dan jenaka—genit? Bahkan, Embun membentuk kalimat; wow.
Spontan, Rukma menendang satu kaki Embun—tidak keras, tetapi cukup memberi peringatan kepada perempuan muda ini untuk menghilangkan pikiran-pikiran tidak pantas.
Astaga, kenapa dia merasa tua begini? Seperti Ibu yang terganggu anak perawannya mulai berkhayal sesuatu tentang ranjang dan lelaki menggoda.
"Dia kerja, Mbun."
"Aku tahu. Memang aku mikir dia mau apa di rumah ini?" Embun meniup tengkuk Tita, sampai bocah itu kembali mengeluarkan suara tawa yang menggemaskan. "Aku cuma kaget aja, setelah dua tahun aku kerja di sini—baru hari ini aku lihat Mbak Rukma mengizinkan cowok seganteng itu masuk rumah terus kelihatan akrab lagi sama Tita."
Rukma bersiap menolak pendapat Steven akrab dengan Tita. Gila. Mana mungkin, Steven baru datang dan sudah ditinggal Tita tidur, tidak ada perkenalan resmi. Namun, Embun tiba-tiba mengubah posisi duduk memunggungi Rukma dan menatap Embun.
"Tita. Tita. Kamu tadi ngobrol apa sama Om ganteng?" tanya Embun, yang entah kenapa memakai suara anak kecil. "Dari cara kamu ketawa sama Om itu, aku tebak; kamu suka dia, ya?"
"Embun."
"Serius, Mbak." Embun menatap Rukma lagi, membiarkan Tita memainkan ujung kepangan yang tersampir di depan dada. "Tita nggak pernah ketawa manja sama Caraka, Lesmana, Sigit. Padahal, Tita hampir tiap hari ketemu mereka." Embun menggoda Tita dengan ciuman gemas di pipi, hingga kejengkelan Tita bercampur tawa geli. "Dasar kamu, tahu aja Om itu jauh lebih ganteng dari tiga Mas-Mas yang biasa berdiri di belakan mesin pembuat kopi. Kira-kira mama kamu ikutan suka sama Si Om nggak, ya?"
Rukma berdeham. "Embun."
Embun terkekeh. "Astaga, Mbak Rukma. Mukanya jangan tegang gitu. Maksud aku, suka sebagai teman serumah selama dua minggu. Iya, kan, Tita?"
Rukma kembali memutar bola mata saat Embun berdiri dan membimbing Tita melambai riang ke arahnya, lalu mengajak Tita bermain di taman depan—memanfaatkan waktu sebelum ada tamu yang datang sekaligus memberi kesempatan Rukma menyelesaikan tugasnya.
Alih-alih melanjutkan memeriksa angka-angka, imajinasi Rukma tiba-tiba berkelana menuju lorong berbahaya yang melibatkan senyum manja Tita dan si penghuni sementara, yang berhasil dipaksa berhenti dan kembali ke tepian kenyataan yang aman. Kemudian, kembali terseret kepada kalimat; Maksud aku, suka sebagai teman serumah selama dua minggu.
Rukma tiba-tiba dipaksa memikirkan, bagaimana dia bisa menjalani kehidupan satu atap sama laki-laki asing selama dua minggu? Memikirkan saja membuat Rukma sesak napas. Tidak terbayang bakal secangung apa dia di rumah nanti. Belum lagi situasinya selama tiga tahun ini; dia tidak mengizinkan kehadiran satu lelaki pun di rumah. Tiga barista yang bekerja saja belum sekalipun melewati perbatasan. Entah kenapa Rukma merasa tidak aman setiap kali ada laki-laki memasuki area privasinya dan Tita, apalagi Steven—orang asing.
Rukma mengembuskan napas lambat. Bagaimana dia menghadapi rasa tidak aman ini? Mau menolak permintaan Ghina pun tidak bakal bisa. Gila. Ini rumah Ghina, yang dibelikan Alfa.
Rukma memperhatikan Sigit yang sibuk membereskan biji kopi, lalu dia kembali mencoba fokus pada angka-angka. Namun, belum ada lima menit, Rukma menyerah. Dia meninggalkan angka, Sigit, memasuki area pribadinya.
Rukma nyaris menjerit menemukan Steven sedang duduk di meja makan dan ditemani pop mi yang belum matang. Niat ingin menyiapkan makan Tita meluruh, dia berbalik dan bersiap ke kamar saja. Namun, baru dua langkah—Rukma memutuskan tidak bisa menunda memberi makan Tita.
Saat dia memasuki area dapur sekaligus ruang makan, matanya bertemu dengan mata Steven. Steven melemparkan senyum kecil, dan sialanya, pipi Rukma mendadak terasa panas.
Demi Tuhan, dia kenapa seperti perempuan yang mengalami puber?
Dengan terburu-buru, Rukma berbalik dan menyibukkan diri dengan memanaskan sop ayam dan sosis, sambil menyiapkan sedikit nasi di mangkuk makan Tita bergambar barbie—pilihan Ghina. Entah kenapa sahabatnya itu terobsesi membelikan apa pun bertemakan barbie kepada Tita; boneka yang harganya bikin Rukma mau mengumpat dan tidak rela benda-benda tak bergerak tergeletak di kotak mainan Tita—memaksnya menyimpan selusin barbie di kemari baju, rumah barbie yang lagi membuatnya menangis saat Tita dengan sengaja menghancurkan tangga dan bagian kamar mandi, baju barbie yang heboh sekali sampai Tita saja ogah menggunakannya lalu teronggok di lemari baju Tita.
Setelah berhasil menyiapkan nasi dan sop di tempat berbeda, Rukma tidak bisa menghentikan kegiatan dapurnya. Tanpa diminta, atau niat tertentu, Rukma membuatkan segelas teh hangat lalu diletakkan di depan Pop Mi Steven.
"Gulanya ada di situ." Rukma menunjuk toples kaca putih polos di samping tempat sendok dan garpu. "Gulanya sachetan."
"Thank you," kata Steven.
Untuk sepersekian detik, mereka saling tatap. Dan entah ini hanya perasaannya saja, atau Steven memang benar-benar memperhatikan senyum balasannya. Tepatnya, pada bibirnya.
Astaga, otak sialannya memikirkan imajinasi buruk lagi!
Rukma berhenti tersenyum dan mengulurkan tangan untuk mengambil sendok barbie Tita. Siapa sangka, di saat bersamaan Steven pun mengulurkan ke titik yang sama. Buku-buku tangannya menabrak tepian jemari Steven.
Setuhan singkat itu, mengakibatkan panas bukan hanya datang ke pipinya, tetapi seluruh badan Rukma.
Sepertinya, dia terjebak efek setelah tiga tahun selibat. Tidak berkenalan atau coba menjalin hubungan dengan manusia pemilik terong. Menyebalkan!
Teriak kasih sudah membaca 💜
Untuk mengikuti informasi naskah2, spoiler atau apa pun, kalian bisa follow ig : Flaradeviana
Ata
Coretanflara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro