Shirayuki to Kitsune
*A/N: Teruntuk Juri yang tercinta, tema bulan ini cukup mematikan. Ini perta—eh, kedua kalinya saya nulis mitologi. Tapi, baru sekarang ngangkat mitologi Asia yang bagi saya ... sulit, Bestie. Jadi, mohon maaf jika cerpen kali ini bikin kalian sakit mata. Selamat membaca.
~o0o~
Kala kereta shinkansen melewati terowongan, Shirayuki melirik sekilas ke arah kaca jendela yang memantulkan bayangannya. Mata perempuan itu terlihat memiliki kantung mata tebal akibat tidak cukup tidur semalam, ditambah lagi bekas jerawat yang masih bisa terlihat walau ia sudah memoles bedak. Setelah shinkansen tak lagi melewati terowongan, tangan Shirayuki mengambil tasnya dan membuka kotak makan berisi sushi inari.
"Inari," gumam Shirayuki sambil mengembuskan napas pelan.
Makanan itu mengingatkan dia akan sesuatu, alasannya harus segera pergi ke Tokyo kemudian mengambil barang-barangnya untuk meninggalkan Jepang. Bukan tanpa alasan, Shirayuki hanya ingin hidup tenang selama yang ia bisa. Perempuan itu kira, meninggalkan tanah Jepang akan memberikannya kesempatan untuk tidak diganggu oleh makhluk-makhluk yang seharusnya tidak ia lihat.
"Yuki, kau percaya yokai?" tanya seseorang yang suaranya terdengar imut seperti anak kecil.
Tanpa mengalihkan pandangan dari sushi inari, Shirayuki mengangguk. "Aku pernah sekali melihatnya waktu kecil. Mereka ingin memakanku."
"Kalau kau percaya yokai, kenapa kau tidak percaya Kami itu ada?"
Shirayuki mengernyit, dia memang bukan seorang yang agamis, tetapi setidaknya ia tahu Kami itu ada. Sejak kecil, neneknya selalu membawa dia mengunjungi Kuil Fushimi Inari yang ada di kota kelahirannya. Namun, semenjak diajak merantau karena sang ayah harus bekerja di Amerika, Shirayuki tak lagi menginjak kuil tersebut. Setidaknya hingga ia kembali ke Jepang sekitar lima tahun silam.
"Kami itu ada, lho," ucap suara lain yang terdengar melengking.
Dari sini, perempuan itu sadar sesuatu dan segera menoleh ke kursi sampingnya. Sontak saja mata Shirayuki membesar dengan air muka yang berubah secepat kilat. Seharusnya, kursi di samping itu kosong, tetapi kini terlihat ada dua rubah putih dengan corak berbeda dari kebanyakan rubah yang pernah ia temui tengah duduk di sana.
"Ka-kalian!" pekik Shirayuki. "Kalian mengikutiku sampai sini? Berhenti mengikutiku!"
Karena panik, Shirayuki lekas berdiri, mengambil tasnya dan berjalan menyusuri gerbong untuk mencari kamar mandi. Dengan langkah terburu-buru, ia menoleh ke belakang untuk memastikan rubah-rubah tersebut tak mengikutinya. Kemudian, cepat-cepat memasuki toilet di kereta dan mengunci pintu.
Suara embusan napas keras terdengar di sana, perempuan itu lantas duduk di atas kloset yang tertutup sembari memperhatikan kotak bekal dengan sushi inari di dalamnya. Lalu, setelah mendengkus keras, diputuskannya untuk memasukkan kembali kotak bekal ke dalam tas sebelum dirinya berdiri untuk cuci tangan.
"Rasanya aku ingin kembali ke waktu sebelum bertemu mereka dan melarikan diri ke Amerika," gumam Shirayuki seraya memperhatikan jemarinya. "Rasanya aku seperti di anime."
"Kau tahu rubah itu pembawa pesan, kan?"
Suara yang sama kembali mengejutkan Shirayuki, dengan cepat ia langsung membalikkan badan untuk mencari rubah yang berbicara. Akan tetapi, tidak ada sosok apa pun di sana hingga membuat dirinya mengira tengah berhalusinasi. Lagi pula, suara itu juga sudah tidak ada lagi setelahnya.
Shirayuki kembali duduk di atas kloset sembari memikirkan haruskah ia kembali ke kursinya atau tetap di toilet sampai kereta berhenti di Tokyo. Namun, perempuan itu juga merasa tidak enak jika berlama-lama di toilet, penumpang lain mungkin ingin menggunakannya. Jadi, setelah menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian, Shirayuki menggendong tasnya sebelum membuka pintu.
Dengan perasaan gugup, perempuan itu menarik kenop dan betapa terkejutnya ia bahwa bukan bagian dalam gerbong kereta yang ditangkap matanya. Melainkan, tanah berumput hijau nan subur dengan pohon yang berbaris seolah memberikan Shirayuki jalan menuju suatu tempat di kejauhan. Kala, matanya mencoba menangkap dengan jelas sebuah benda yang di mana barisan pepohonan berakhir, ia menyadari jika di sana ada torii.
Karena mengira dirinya tengah berhalusinasi, Shirayuki kembali masuk ke toilet dan menutup pintunya lagi. Ia mengerjap beberapa kali sebelum melirik dinding di belakang kloset, berharap menemukan celah yang bisa meyakini dia jika posisinya saat ini masih di shinkansen yang melaju menuju Tokyo. Namun, ia tak menemukan apa pun dan kembali menghadap pintu.
Sekali lagi ia membuka pintu toilet, tetapi yang muncul di hadapannya masih sama. Deretan pohon dengan torii di ujung. Kerutan di dahi Shirayuki makin terlihat, terutama acap kali perempuan itu membuka tutup pintu toilet, berharap hanya ilusi semata. Namun, mau seberapa banyak ia menutup dan membuka pintu toilet, yang ada di luar sana hanyalah pohon-pohon berbaris dengan torii.
"Bagus, mungkin nanti ada anime yang membuat cerita fantasi seorang gadis terlempar ke isekai bukan karena ditabrak truk-kun atau keluar dari minimarket, tapi karena salah masuk toilet di shinkansen," gerutu Shirayuki seraya mengangkat sebelah kaki dan menginjak rerumputan hijau yang tampak baru saja diguyur hujan. "Sekarang, mari kita lihat apa yang ada di balik torii itu."
Sembari terus mengoceh, kaki Shirayuki melangkah cepat. Bukan karena ia terlalu antusias terjebak di isekai, tetapi karena tiba-tiba saja di otaknya terputar cuplikan film horor bertahan hidup. Perempuan itu ingat jika di film tersebut, seorang gadis terjebak di dunia asing dan berujung dikejar monster pemakan manusia. Meskipun, dalam hatinya Shirayuki hanya berharap ia dapat bertemu ikemen seperti di game-game otome yang tokoh utamanya terjebak di dunia asing.
Namun, makin ia berjalan menjauhi pintu toilet, bukannya makin dekat dengan torii yang tadi dilihatnya. Justru, Shirayuki merasa jika torii itu makin menjauh, seolah-olah tak ingin dikunjungi. Kakinya jadi pegal, dan perempuan itu memutuskan untuk mendekati salah satu pohon. Disandarkannya punggung dia seraya mendongak melihat betapa rimbunnya dedaunan pohon tersebut. Suhu di tempat itu juga tidak sepanas di tempat asalnya, malah rasanya seperti suhu musim semi. Padahal, Jepang saat ini tengah musim panas.
Tak sengaja, netra Shirayuki menangkap sebuah patung dengan rubah yang membawa permata di mulutnya. Sontak saja ia teringat jika patung serupa pernah ia lihat di Kuil Fushimi Inari. Dengan kening mengerut dan langkah pelan, Shirayuki menjauhi patung itu.
"Kitsune sialan!" umpat Shirayuki seraya berjalan menuju letak torii berdiri.
Akan tetapi, setiap lima meter sekali, rupanya patung rubah dengan barang-barang berbeda selalu muncul. Akhirnya, Shirayuki jadi risih sendiri. Maka, ia memutuskan untuk berlari seakan-akan mengejar torii yang terus menjauh. Dalam hatinya, perempuan itu berharap gerbang torii tidak lagi menjauh dan ia bisa pulang.
Namun, dalam sekejapan mata, torii jauh di depan sana mendadak lenyap dari pandangan. Shirayuki jadi tercengang sehingga kakinya mendadak berhenti dan ia tersungkur. Perempuan itu memejamkan mata seraya mengucap berbagai umpatan dengan berbagai bahasa yang ia tahu. Sungguh, Shirayuki merasa dipermainkan oleh ilusinya sendiri.
"Pernah dengar kalau ada manusia terpilih yang bisa membantu untuk menyalurkan berkat kesuburan?" tanya suara imut khas anak-anak yang dikenal betul oleh Shirayuki.
Perempuan itu berguling sehingga posisinya saat ini menjadi telentang. Tanpa mau repot-repot mencari sumber suara rubah itu, Shirayuki mengembuskan napas lelah. "Aku pernah lihat di anime atau game."
Seekor rubah inari muncul dan mensejajarkan kepalanya dengan milik perempuan itu, kemudian mengangguk. "Yang diceritakan itu tidak sepenuhnya bohong, kok. Dan kau adalah salah satu dari manusia terpilih itu."
"Uso. Memangnya aku se-spesial itukah?" tanya Shirayuki dengan wajah datar.
"Aku tidak bohong, coba lihat jejakmu. Bunga-bunga kecil tumbuh, dan pohon di mana kau bersandar juga langsung berbuah." Rubah inari itu menunjuk bekas jejak kaki Shirayuki di rumput hijau. Kala perempuan itu bangkit untuk melihatnya, ia cukup terkejut karena yang diucapkan si rubah tidak bohong. "Sebagai pembawa pesan, aku ingin menyampaikan jika tugasmu adalah memberikan berkat kesuburan untuk banyak orang. Nah, kau sudah bisa memulai tugasmu setelah memasuki gerbang torii di ujung sana."
Shirayuki tertawa, lagi-lagi merasa dirinya tengah dibodohi ilusi. "Seingatku, gerbang torii itu tidak ada di sana."
"Ada, kok. Coba lihat."
Begitu Shirayuki menoleh, ia terkejut kala melihat gerbang torii merah yang mengilap menjulang di belakangnya. Anehnya, tidak seperti sebelumnya di mana torii tampak terlihat jauh, kali ini gerbang itu hanya berjarak sepuluh meter dari posisinya.
"Lho, tadi tidak ada!" pekik Shirayuki sebelum berdiri dan berjalan menghampiri gerbang torii. Rubah inari yang tadi berbicara dengannya juga mengekori. "Ini bisa membawaku pulang?"
Rubah inari mengangguk. "Bisa, tapi jangan lupa tugasmu, ya. Sampai bertemu lagi. Jangan khawatir, aku pasti membantumu."
Selepas mengatakan itu, rubah tersebut berlari ke arah deretan pohon dan menghilang di sana, meninggalkan Shirayuki yang mengerutkan dahi bingung. Selama beberapa saat memandangi gerbang torii, ia pun memutuskan untuk menapaki anak tangga di sana. Tiba-tiba, daun-daun dari deretan pepohonan berguguran dan menghalangi tubuh Shirayuki selama beberapa detik sebelum perempuan itu memejamkan mata.
Begitu suara angin dan gesekan dedaunan tak lagi tertangkap indera pendengarannya, Shirayuki membuka matanya yang terasa berat. Hal pertama yang dilihatnya bukanlah atap gerbong atau kursi-kursi di shinkansen, melainkan sebuah langit-langit ruangan. Bingung karena ia berada di beda tempat dan sempat curiga jika rubah tadi mengirimnya kembali ke Kyoto, perempuan itu menggerakkan kepala ke samping. Di sana, ia melihat seorang wanita sedang menunduk.
Mata Shirayuki melebar tatkala menyadari ruangan tersebut. Namun, ia tak membuka suara karena sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan bagaimana ia bisa berakhir di ruangan serta perabotnya yang serba putih. Bahkan, saat wanita yang tadi di sampingnya mendongak pun, Shirayuki tetap tidak menyadarinya.
"Syukurlah kau bangun, Yuki," ujar wanita tersebut yang langsung mengalihkan atensi si perempuan di atas brankar. "Aku khawatir sewaktu kau tiba-tiba berlari ke luar stasiun karena katanya dikejar sekumpulan rubah dan mendadak menjatuhkan diri di sungai. Aku sempat mengira kalau ... ada sesuatu yang salah denganmu."
"Okaasan. Ta-tadi kau bilang aku menjatuhkan diri di sungai? Tapi seharusnya aku sudah ada di Tokyo dan—"
Wanita itu mengangguk sebelum menyelanya dengan cepat. "Aku sudah telepon ayahmu soal ini, dan ia sudah me-reschedule penerbanganmu. Yuki, dengar. Tidak ada rubah yang mengejarmu, kau bahkan belum menaiki shinkansen, dan tahu-tahu berlari sambil teriak rubah-rubah inari mengejarmu. Lalu, tadi kau bilang gerbang torii? Tak ada gerbang torii sebelum kau menjatuhkan diri di sungai."
Kemudian wanita itu memalingkan wajah seraya bergumam pelan, "Ya Tuhan, aku tidak sanggup lagi melihat anakku terkena skizoprenia."
~o0o~
A/N lagi: ini saya nulis apaan ya? :>
Mohon maaf jika di dalam cerita ini ada yang tidak tepat sesuai kenyataannya. Silakan dikoreksi jika ada yang tidak tepat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro