Path-42 : Time Travel
Tuk.
Flo menengadahkan kepalanya, menatap langit biru dengan sorot hampa. Sebutir salju turun dari langit, hancur lebur begitu saja tatkala menghantam pucuk kepalanya.
Salju berwarna putih suci, begitu rapuh, dapat dengan mudah terkontaminasi keruh. Begitu pula dengan hati manusia.
Pada awalnya, tak ada hati manusia yang hitam, semuanya pasti putih. Namun karena rasa sakit yang menghancurkan, maka hati mereka dengan mudah ternodai dengan hal-hal kotor.
Hanya segelintir dari mereka yang tetap bertahan, meski tersakiti, tetap menjaga kebaikkan yang tersisa.
Gadis bersurai hitam lurus itu masih menatap langit, tak memiliki niat untuk melangkah pergi barang sedikit. Di pelukkan gadis itu, terdapat beragam material sihir yang baru saja ia cari.
Flo, selama beberapa hari terakhir mati-matian melakukan eksperimen di laboratorium sekolah, berharap dapat menemukan ramuan untuk menetralisir racun Lizzy dan Sena.
Flo tidak tahan, melihat teman-temannya yang lain sedih. Flo tidak suka melihat Sena dan Lizzy terbaring tak berdaya di atas ranjang seperti tiada nyawa. Kenapa harus Sena dan Lizzy yang merasakannya? Kenapa tidak dia saja??
Memikirkannya saja membuat Flo hampir gila.
"Sini, biar kubantu."
Flo mengarahkan pandangannya kepada sosok lelaki bersurai perak di hadapannya. Lelaki itu memindah tangankan sebagian barang yang Flo bawa. "Tidak usah," ucap Flo lirih, nyaris menyerupai bisikkan. "Aku bisa sendiri."
"Jangan bersikap seolah keberadaanku di sini tidak berguna." Val mendengus, tetap mengambil alih barang-barang yang Flo bawa. "Kamu mau ke Laboratorium, 'kan? Kebetulan aku juga mau ke sana. Ayo kita lanjutkan eksperimen kita yang kemarin."
Flo hanya terdiam, tidak menyahut.
Val mulai melangkah. Namun ketika ia tak merasakan Flo mengekorinya, lelaki itu kembali menghentikan langkahnya, menoleh.
"Kenapa? Ayo kita ke Laboratorium--"
"Val," sela Flo, membuat Val sontak mengatupkan mulutnya. "Aku ... mulai berpikir untuk menyerah."
Val terlonjak. "Apa yang kamu katakan? Kamu menyerah?"
Flo menunduk, menatap kedua pasang kakinya yang memijak rumput taman sekolah. "Aku ... bukannya tidak kasihan kepada Sena dan Lizzy. Tapi, aku putus asa. Kita sudah mencoba ratusan kali, akan tetapi tidak ada satu pun ramuan yang bisa menyelamatkan mereka." Setetes air mata yang tak lagi bisa ia bendung mulai meluncur dengan mulus di pipinya. "Kupikir ... semua usaha kita selama ini sia-sia."
"Flo," Val menatap intens. "Hapuskan kata 'menyerah' dalam kamusmu. Meskipun sulit, meskipun menyakitkan, jangan pernah menyerah. Kau takkan bisa meraih apapun setelah menyerah. Teruslah mencoba."
Flo mengangkat kepalanya, menatap Val, tidak percaya bahwa laki-laki itu berkata sedemikian rupa.
"Flo, aku yakin kita bisa. Entah kapan, entah bagaimana caranya. Kita pasti bisa."
Mendengar hal itu, senyum mengembang di bibir merah gadis itu. Flo menyeka air mata di pipinya. "Maaf karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Kau benar, Val. Kita tidak bisa meraih apapun jika menyerah."
Val tersenyum. "Nah, kalau kau tersenyum, 'kan semakin manis."
Flo meninju pelan lengan Val, tersenyum miring. "Di saat seperti ini, kamu masih saja bercanda."
"Agar suasana tidak tegang saja," jawab Val. "Nah, ayo kita Laboratorium. Aku masih penasaran dengan eksperimen kita yang kemarin."
"Oke," Flo mengangguk. Baru saja mereka hendak melangkah pergi, suara notifikasi dari pocket milik Flo menghentikan langkah mereka. Flo mengerutkan keningnya. Siapa pula yang mengiriminya pesan? Karena penasaran, maka Flo mengaktifkan pocket-nya, memeriksa pesan masuk. Sesaat setelah membaca pesan tersebut, mata Flo melebar. "V-Val!" panggil Flo tergagap.
Val mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa?"
"K-Kena ...," Flo menatap Val dengan tatapan berbinar. "Kena ... katanya dia menemukan cara untuk menyembuhkan Sena dan Lizzy!"
***
Hening melanda ruangan berukuran dua puluh kali dua puluh meter itu. Meja panjang dengan banyak kursi di sekelilingnya tampak terisi penuh dengan para anggota dewan. Entah kapan terakhir kali mereka duduk bersama seperti ini, aku sudah lupa. Meski, kini ada satu kursi yang kosong di sana, di seberangku. Tempat yang seharusnya diisi oleh Sena.
Romeo mengaitkan jemarinya di atas meja, berdeham pelan. Lelaki itu mengarahkan tatapannya kepadaku. "Jadi, Kena, bisa jelaskan perihal yang kamu sampaikan lewat pesan tadi?"
Aku mengangguk. "Aku menemukan cara untuk menyelamatkan Sena dan Lizzy."
"K-Kena, apa kamu serius?" Flo menatapku dengan pandangan berbinar. "Bagaimana kamu tahu? Maksudku, dari mana kamu bisa mengetahui bahwa kamu bisa--mungkin saja--menyelamatkan Sena dan Lizzy?"
Aku merapatkan bibir, tersenyum tipis. "Ibu ... yang memberi tahuku."
"I-Ibumu ...?!" Romeo menatap tak percaya. "Apa maksudmu, Kena? Bukankah beliau sudah ...."
"Ibu menitipkan sebuah surat kepada Bibi Yunasha untuk diberikan kepadaku saat acara pemahkotaanku waktu itu. Bodohnya aku, melupakan surat tersebut dan baru ingat sekarang," jelasku.
"Bibi Annatasha menitipkan surat kepada Ibuku?" Kali ini, Yura yang mengerjap tidak percaya. "Ibu tidak pernah menceritakan ini sebelumnya."
"Yang terpenting," Hanz menyela, "Kita setidaknya menemukan titik terang untuk kesembuhan Sena dan Lizzy."
Ryan mengangguk menyetujui. Wajah Ryan saat ini terlihat lebih berwarna dibandingkan tadi siang saat aku melihatnya di ruang kesehatan. "Hanz benar. Nah, Kena. Tolong katakan kepada kami bagaimana cara kita menyalamatkan Sena dan ... Lizzy." Meski sesaat, aku sempat melihat raut wajah Ryan sedikit mengeras begitu menyebutkan nama Lizzy.
Aku mengeluarkan surat dari dalam pocket-ku, meletakkannya di atas meja. Kubiarkan mereka membaca surat tersebut. "Kita harus menemui seseorang yang bernama Lita. Dia tinggal di desa Heavenicia, Kerajaan Tenggara."
Mendengar embel-embel "kerajaan tenggara" disebut, seluruh pasang mata kini terarah kepada Val.
Val, selaku pangeran kerajaan utara, berdeham pelan. "Iya, aku tahu letak desa Heavenicia. Tolong jangan menatapku seperti itu. Menyeramkan, tahu!"
"Yah, karena aku tidak tahu dimana letak desa Heavenicia, maka aku tidak bisa menggunakan kekuatan teleportasiku," ucap Yura sembari mengangkat kedua bahunya.
"Tidak perlu cemas soal alat transportasi," ujar Romeo. "Kita bisa meminjam kereta kuda pegasus milik sekolah. Miss Wanda pasti mengizinkan."
"Baiklah, sekarang kita tunggu apa lagi?" Aku beranjak berdiri dari kursi, diikuti oleh yang lain. "Ayo kita segera ke sana!"
***
Menaiki kereta kuda terbang yang terbuka di musim dingin bukanlah ide yang bagus, begitulah menurutku.
Udara dingin seakan menusuk kulit. Aku mati-matian merapatkan mantel tebal ke tubuhku, berharap bisa menghangatkan diri, meski mantel yang kupakai tidak memberikan banyak pengaruh.
Aku menoleh, baru saja hendak meminta Sena untuk menghangatkanku. Namun detik berikutnya, aku segera mengatupkan mulut, teringat fakta bahwa Sena tidak berada di sini.
Aku lupa.
Padahal biasanya jika di saat seperti ini, Sena selalu ada untukku, menghangatkanku lewat telapak tangannya. Kenyataan yang menyakitkan itu seakan menamparku.
Andai Sena ada di sini sekarang.
Meski Sena tak ada di sini, namun aku yakin, setelah aku mendapatkan penawar racunnya, aku akan segera menyadarkan Sena dan Lizzy. Aku bersumpah atas nama kerajaan utara, aku pasti menyelamatkan mereka.
Setelah bertahan mati-matian melawan udara dingin kereta kuda, akhirnya pegasus mendaratkan dirinya. Sayap angsa di punggung kuda putih bertanduk itu terlipat begitu dua pasang kakinya memijak tanah. Kami semua segera turun dari kereta kuda.
Pemandangan pedesaan yang diselimuti salju tipis adalah hal pertama yang menyapa penglihatan. Rasanya menyenangkan dapat melihat pemandangan seperti ini, jika mengingat aku selama ini tumbuh di lingkungan perkotaan.
"Kena, dimana alamatnya?" tanya Yura sembari menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Aku segera mengeluarkan secarik kertas dari saku mantel. "Alamatnya A2 nomor 8. Setidaknya, ini yang tertulis di bagian belakang surat."
"Ah, sepertinya aku tahu. Kalau tidak salah, alamat itu ada di dekat rumah seorang healer yang cukup terkenal di Kerajaan ini," ujar Val.
Flo menoleh. "Kamu tahu, Val?"
Val mengangguk. "Dulu healer itu pernah menjabat menjadi tabib istana. Tapi sekarang dia sudah pensiun."
"Tunjukkan jalannya, Val!" sahut Romeo, lebih mirip sebuah perintah.
"Ck, iya-iya! Ini aku juga ingin menunjukkan jalannya."
Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Val selaku pemimpin rombongan berjalan di paling depan--karena memang hanya dia yang tahu letak alamatnya.
Di sisi kanan dan kiri pedesaan ini masih tampak asri. Ada sawah berundak serta sungai yang mengalir dengan deras. Berbagai jenis hewan dilepas bebas, membuat suasana sekitar semakin indah.
Banyak tumbuhan yang tumbuh di sini, bahkan ada beberapa yang tidak aku kenali. Flo menatap takjub, sesekali dia berbisik girang padaku tentang banyaknya tanaman langka di sini.
Selang beberapa waktu, kami tiba di depan sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Alamat yang tertera di papan samping pintu membuat kami yakin memang itu rumah yang kami tuju.
Yura menyikut lenganku, melirik. "Kena, kamu yang ketuk pintunya."
Aku menegup air liurku dengan susah payah, kemudian mengangguk. Aku berjalan mendekati pintu, sedangkan teman-temanku yang lain menunggu. Setelah membulatkan tekad, aku menarik napas panjang, kemudian mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Tok. Tok. Tok.
Krieet.
Di luar dugaan, pintu tersebut terbuka. Kupikir, pintunya terbuka sendiri, namun nyatanya, ada seorang gadis kecil berambut pirang yang membukakan pintu. Gadis itu menatapku dengan matanya yang besar bagaikan boneka. Wajahnya yang polos terlihat begitu menggemaskan.
Aku tersenyum. "Halo," sapaku mencoba terlihat ramah.
Gadis kecil itu menatapku untuk beberapa saat, kemudian berlari masuk ke dalam. "Mama, Mama! Ada kakak cantik yang datang!!"
"Ah, imut sekali," celetuk Yura gemas. "Aku jadi ingin punya adik perempuan!"
"Silakan bermimpi," cibir Val, dan langsung dibalas pelototan galak dari Yura.
Selang beberapa saat, seorang wanita berambut pirang yang terkepang rapi datang, menyambut kami dari balik pintu. "Wah, selamat datang! Ada apa gerangan kalian datang kemari?" Wanita itu mengarahkan tatapannya kepadaku, tersenyum lembut. "Kamu pasti Putri Kena, ya? Kamu tetap terlihat sama seperti saat terakhir kali aku melihatmu."
Keningku terlipat. Kutatap wanita di hadapanku itu. Wajahnya terlihat asing, aku yakin belum pernah bertemu dengannya. Tapi, mengapa dia bisa mengenaliku? Dan lagi, dia bersikap seolah-olah dia akrab denganku.
Siapa dia?
"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku sopan.
Wanita itu tersenyum. "Kamu mungkin tidak tahu, ah, lebih tepatnya belum tahu. Aku Lita, senang bertemu denganmu, Putri."
"Ah, Lita si pemilik kekuatan breaker?!" celetuk Val, kemudian segera dipukul oleh Flo karena ketidaksopanan lelaki itu.
Flo melotot. "Val! Bersikap lebih sopan sedikit, dong! Kamu bangsawan bukan sih? Aku jadi curiga kalau kamu pangeran jadi-jadian!"
"Ah, ada pangeran Val rupanya." Wanita bernama Lita itu membungkuk pelan, hotmat. "Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu."
Val menggaruk kepala bagian belakangnya, mengangguk canggung. "Ah, iya. Terima kasih."
"Aku benar-benar curiga kalau Val itu pangeran jadi-jadian."
"FLO!!"
Aku memutar bola mataku, jengah. Dimana Val dan Flo bertemu, maka di sanalah perang dunia terjadi. Mereka itu tidak bisa sedikit akur, ya?
Baiklah, mari abaikan dulu tentang Flo dan Val, kembali fokus kepada tujuan utama.
"Silakan masuk," Lita mempersilakan.
Kami semua memasuki rumah kayu tersebut. Meski dari luar tampak sederhana, namun di luar dugaan dari dalam rumah ini sangat luas. Kami berdelapan--minus Lita--duduk bersimpuh di atas karpet berbulu lembut, sedangkan Lita pergi ke dapur untuk mengambilkan minuman.
"Bagaimana caranya kamu bisa mengenaliku?" tanyaku begitu Lita ikut duduk di hadapanku. "Kamu juga terlihat sudah pernah bertemu denganku. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Lita tersenyum hangat. "Mana mungkin aku melupakan seseorang yang telah memberikanku semangat untuk hidup."
Bukan hanya aku, namun teman-temanku yang lain juga tampak terkejut mendengar jawaban yang diberikan Lita. "Apa maksudmu?"
"Dulu saat aku masih kecil, kamu datang ke rumahku. Aku yang sakit-sakitan dan divonis tak akan memiliki umur yang panjang hanya bisa menatapku dari balik syal rajut tebal. Namun, kamu memberikanku motivasi, kamu menyemangatiku agar aku tidak menyerah." Senyuman tak luntur dari bibir wanita itu. Kerutan halus terlihat di wajahnya. Sorot matanya seketika berubah sendu. "Terima kasih, Kena. Kamu memang gadis yang baik."
Aku termenung untuk beberapa saat. Aku pernah bertemu dengan Lita ketika dia masih kecil? Jangankan bertemu dengannya, aku lahir ke dunia ini pun belum.
Aku tersentak pelan, menyadari sesuatu. Jika aku belum lahir dan Lita mengaku pernah bertemu denganku saat dia masih kecil dulu, bukankah berarti ...
"Nona Lita, apakah kamu memiliki buku yang berisi resep ramuan yang bisa menetralisir racun apapun?" tanyaku langsung ke inti pembicaraan.
Lita mengangguk. "Iya, itu buku peninggalan Ibuku dulu."
"Benarkah?" Api semangat mulai berkobar di dalam diriku. "Kalau begitu, apa kamu mengenal seseorang yang bernama Lisa?"
"Lisa itu ibuku."
Senyum mengembang dengan sempurna di bibirku. "Apa kamu bisa mempertemukanku dengannya? Aku memiliki urusan penting dengannya."
"Maaf, Kena. Aku bukannya tidak ingin mempertemukanmu dengannya," Lita menatapku dengan sorot yang sama sekali tak bisa kuartikan. "Namun ... Ibuku sudah lama meninggal dunia."
Aku terlonjak, senyum memudar tanpa bekas dari bibir. "K-Kalau begitu ...."
"Tenang, aku tahu apa yang kamu butuhkan." Lita tersenyum. Wanita itu melirik kepada sosok gadis kecil yang bersembunyi di balik punggungnya. "Lia, ayo berikan bukunya."
Gadis kecil bernama Lia itu tampak malu-malu. Dengan wajah merona, dia menyerahkan sebuah buku tua bersampul kulit yang sudah berdebu kepadaku. "Ini, Kakak."
Aku menerima buku tersebut, menatap sampul yang bertuliskan "book of breaker". Kupikir rencana ini akan berjalan mulus. Namun ketika aku mencoba untuk membuka buku ini, bukunya tidak mau terbuka. Seakan ada lem perekat yang membuat buku ini tak bisa dibuka. Aku menatap Lita, menuntut penjelasan.
"Buku itu hanya bisa dibuka dengan permata penghancur," jelas Lita setelah melihat ekspresi wajahku.
"Dimana letak permata itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Lita jujur. "Dua puluh lima tahun yang lalu, kamu datang ke masaku untuk mengambil permata tersebut. Sekarang, aku tak memilikinya lagi."
"L-Lalu, kita harus bagaimana?" Flo memasang raut wajah khawatir. "Apa mustahil bagi kita untuk membuka buku itu tanpa permata? Bagaimana cara kita kembali ke masa lalu?"
Yura mengarahkan tatapannya kepadaku, dengan sorot penuh arti. "Kena ...."
"Aku bisa melakukannya," kataku sungguh-sungguh. "Aku ... bisa datang ke masa lalu."
"Apa?!"
Ya, ini bukan pertama kalinya aku kembali ke masa lalu, 'kan? Aku pernah kembali ke masa lalu, meskipun hanya beberapa detik saja. Saat momen di perpustakaan, aku kembali ke masa lalu.
Namun, aku teringat akan perkataan William. Bahwa aku tidak boleh kembali ke masa lalu, aku hanya boleh mendatangi masa lalu.
Karena sekali aku kembali ke masa lalu, maka semua yang ada di masa sekarang akan menghilang dari sejarah.
"Kena ...," Yura menggenggam erat telapak tanganku, begitu hangat, mengingatkanku kepada seseorang.
Aku tersenyum. "Aku akan segera kembali dan membawa permata penghancur. Dengan begitu, kita bisa menyelamatkan Sena dan Lizzy."
"Kamu benar-benar akan mendatangi masa lalu?"
Aku mengangguk mantap. "Iya!"
"Kalau begitu, semoga beruntung." Romeo menepuk pundakku. "Kami akan menunggumu di sini."
Aku mengangguk. Kutatap satu-satu teman-temanku, tersenyum lebar. Tekadku sudah bulat. Aku akan mendatangi masa lalu dan mengambil permata penghancur demi membuka buku ini.
Kutolehkan kepalaku, menatap Lita yang juga tersenyum. "Aku ... berangkat dulu."
Lita mengangguk. "Semoga beruntung."
Aku memejamkan mataku, memusatkan konsentrasi. Dapat kurasakan kini kekuatan berpusat di seluruh tubuhku.
Setelah yakin seratus persen, aku berseru dengan lantang, "Kumohon, time keeper. Datangkan aku ke masa lalu!"
Selang beberapa saat, dapat kurasakan tubuhku meringan, seakan melayang dari permukaan tanah. Aku masih memejamkan mata, tak berani untuk membuka barang sedikit.
Setelah beberapa saat ditemani oleh kegelapan, ada cahaya terang yang bersinar di balik kelopak mataku yang tertutup.
Kurasakan tubuhku terjatuh menghantam kerasnya tanah. Mau tak mau, aku membuka mata dan mendapati tubuhku terbaring di atas rerumputan. Aku mengaduh, mengelus lengan kiriku yang menyapu lantai terlebih dahulu.
Kuarahkan tatapanku ke sekitar, sebuah pemandangan asing yang di saat bersamaan juga tampak familiar.
Aku tertegun begitu menyadari sesuatu.
Aku ... telah tiba di masa lalu.
***TBC***
Mwuehehehehehehe, lama ga apdet :v
Sowry, Vara lagi UAS soalnya. Heheh.
Kayaknya BP ngaret sampe chap 50 deh. Padahal dah wanti-wanti pengen tamati di chapter 45 TvT
Ah, btw buat kemarin yang menang tebak-tebakan, yang minta Extra chapter buat anak Kena Sena, Vara buatin abis tamat yah! (Maap lupa usernamenya :v)
Btw emang kalian yakin Kena Sena bakal Vara nikahin?😞😴🐤
Kan bisa aja Vara kasih sad end🐤
//dikroyokin.
Mwuehehehhhehehee.
Ah udah ah, chap besok Kena dkk mau muncul buat ngerusuh di Magic Cafe🐣
Minggu ini, biarkan Vara rebahan dengan tenang setelah UAS, mwuehe.
Adios!
Big Luv, Vara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro