Path-36 : Exanted Island
Tok! Tok! Tok!
Keningku terlipat, kutatap pintu kayu berwarna cokelat dengan nomor kamar yang begitu kuhafal. Aku kembali mengangkat tangan, mengetuk lagi pintu itu entah untuk yang kesekian kalinya.
Hening, tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa pintu itu akan terbuka. Kulirik arloji yang melingkari pergelangan tanganku, kakiku sudah terhentak-hentak gelisah. Kenapa Lizzy masih belum keluar dari kamarnya? Padahal, sebentar lagi para murid senior akan segera berangkat ke pulau!
"Lizzy! Hei, buka pintunya!" aku mulai memanggil, mencoba mengabaikan beberapa orang yang bersungut-sungut karena merasa tidurnya terganggu olehku di pagi buta seperti ini. "Lizzy! Lizzy, kau di dalam? Aku masuk, ya!"
Aku memutar kenop pintu, lalu menghela napas pelan. Seperti dugaanku, pintu kamar Lizzy tidak terkunci. Aku melangkah memasuki kamar yang tidak kalah berantakan sejak terakhir kali aku datang ke sini. Pandanganku terkunci pada sosok Lizzy yang masih bergelung di dalam selimut, sedangkan dia sama sekali belum berkemas.
"Astaga!" Aku berjalan dengan langkah terhentak-hentak. Kutarik selimut dari tubuh Lizzy dengan sedikit kasar. "Lizzy! Apa-apaan ini?! Ayo cepat, bersiap!!"
"Hngh," Lizzy melirik malas. "Kembalikan selimutku," dia mengulurkan tangannya, mencoba merebut kembali selimutnya.
Aku menjauhkan selimut itu dari jangkauan Lizzy, melemparnya ke sembarang arah. "Lizzy! Cepat bangun dan berkemas!"
"Ck, memangnya kenapa?"
"Hari ini ujian kelulusan!"
"Lalu?"
Dapat kurasakan emosiku mulai memuncak. Aku mengatur pernapasanku, berusaha agar tetap bersikap tenang. Kutarik tangannya, membuat tubuhnya beranjak duduk. "Ayo, berkemas! Aku akan memaksamu sampai kau bangun!"
"Ugh, baiklah, baiklah!" Lizzy menepis tanganku, bersungut-sungut sebal. "Menyebalkan," gumamnya.
Aku menahan napas, hanya bisa merapatkan bibir. Biasanya, Lizzy lah yang membangunkanku. Namun saat ini situasinya terbalik. Justru aku yang marah-marah dan membangunkan Lizzy, sedangkan Lizzy terlihat sebal.
Aku membuka lemari Lizzy, menatap tumpukan baju yang masih kusut dan tidak terlipat rapi. Benar-benar bukan seperti Lizzy yang perfeksionis. "Kau mandi saja, biar aku yang berkemas," titahku.
"Baiklah, terserahmu saja."
Lizzy memasuki kamar mandi, suara air mulai terdengar. Aku menggertakkan rahang, kugenggam kuat-kuat gagang lemari kayu milik Lizzy. Aku berusaha mati-matian menahan air mataku agar tidak pecah. Kenapa ... persahabatan kami jadi seperti ini? Kenapa Lizzy berubah hanya karena ditolak Ryan?
Apakah cinta memang semengerikan itu?
Kalau cinta memang menakutkan, aku jadi takut untuk jatuh cinta.
Jangan pernah jatuh cinta. Karena sesuatu yang jatuh, pasti akan hancur.
Cinta memang mengerikan.
***
Aku duduk di atas tempat duduk kereta terbang. Di sekitarku telah dipenuhi para murid kelas senior yang lainnya. Sekolah telah menyewa satu unit kereta terbang khusus untuk para murid kelas Senior. Saat ini, kami sedang dalam perjalanan menuju pulau yang bernama Exanted Island.
Entah apa yang menunggu kami di sana, aku tidak tahu. Sekolah merahasiakan ujian apa saja yang akan kami lalui. Perjalanan juga memakan waktu yang cukup lama. Ini sudah siang, dan kami masih dalam perjalanan. Bahkan Yura yang duduk di sampingku sudah terlelap, bersender ke bahuku.
Aku menoleh, menatap sosok Lizzy yang duduk sedikit jauh dari tempatku dan Yura. Gadis itu duduk menyendiri, hanya menopang dagu dan menatap ke luar jendela.
Lizzy berubah pesat.
Ini semua karena Ryan! Ryan jahat! Dia harus meminta maaf kepada Lizzy!
Aku kesal. Jika aku bertemu dengan Ryan, aku akan bersumpah akan menghajarnya!
Lihat saja nanti. Jangan harap laki-laki menyebalkan itu dapat selamat dariku.
***
"Hei," Ryan menoleh, menatap Hize yang menyodorkan sekaleng jus kepadanya. Ryan menerimanya dengan senang hati. Mereka berdua duduk bersama di kereta terbang, lebih tepatnya di gerbong kedua. Ryan meneguk jusnya, begitu pula dengan Hanz. "Hm ... kulihat hubunganmu dengan Lizzy memburuk, ya?"
Ryan hampir saja tersedak saat mendengarnya. Dia cepat-cepat mengusap mulutnya yang terdapat sisa-sisa jus, lantas melotot sebal. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Memangnya kenapa?" Hanz balas bertanya. "Tidak baik bermusuhan lebih dari tiga hari. Lagipula, seharusnya kau bersikap lebih baik pada Lizzy."
"H-Hah? Bagaimana kau tahu?!"
"Alice cerita padaku, katanya kau menolak Lizzy."
"... dan dari mana Alice tahu?"
"Tentu saja dari Kena atau Yura. Siapa lagi?"
"Ugh," Ryan mengacak pelan rambut cokelat terangnya. "Aku tidak bermaksud jahat, tapi dia memang mengganggu. Padahal, aku sudah bilang untuk tidak menyatakan cinta padaku lewat media apapun."
Hanz terdiam, dia menatap teman semasa kecilnya itu lamat-lamat. "Apa kau yakin bahwa yang Lizzy berikan itu surat cinta?"
"Tentu saja!"
"Kau sudah membacanya?"
Ryan terdiam sesaat, lalu menunduk. "B-belum."
"Lalu, suratnya kau apakan? Dibuang?"
"Aku simpan di dalam pocket-ku. Aku berencana mengembalikan surat ini padanya," Ryan mengaktifkan pocket-nya, lalu mengeluarkan gumpalan kertas yang sudah sangat remuk. "Aku tidak menyobeknya, aku meremas-remasnya saja."
Hanz menatap datar. "Kau--ah sudahlah. Cepat baca saja."
"Eh? Kenapa?"
"Aku yakin Lizzy tidak bermaksud menyatakan perasaannya padamu lewat surat," Hanz memberi penjelasan, "cobalah baca, dan pahami maksudnya."
Meski heran, Ryan tetap menurut. Perkataan Hanz seakan menghipnotisnya, dia mulai membuka surat pemberian Lizzy, kemudian matanya menelusuri huruf demi huruf yang tergores di atas kertas tersebut. Tangan Ryan sedikit bergetar, dia mulai tampak resah. "I-Ini ..."
"Apa?"
Ryan menunduk, seakan rasa penyesalan menggerogoti dadanya. "Ini ... bukan surat cinta. Surat ini berisi kata-kata mutiara dari Ibu Lizzy."
"Hm, pantas saja Lizzy terlihat begitu sesak," Hanz bersidekap tangan. Dia melempar kaleng jusnya yang sudah kosong ke udara, lantas kaleng tersebut meluap menjadi debu. "Kau sudah keterlaluan, Ryan."
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Tentu saja meminta maaf. Meskipun dia tidak akan memaafkanmu, setidaknya kau telah menunjukkan bahwa kau sangat merasa bersalah atas apa yang kau lakukan," tutur Hanz sembari menepuk pelan bahu Ryan. "Kau harus membuka hati, Ryan. Kau tidak boleh terus menoleh ke belakang."
"Kau sendiri?" Ryan kini menatap lurus tepat di manik biru Hanz. "Kau juga terus menoleh ke belakang. Kau masih tak mempercayai perempuan, meski sekarang kau cukup membuka diri. Bukankah begitu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu kau sadar bahwa Alice menyimpan perasaan padamu." Suara bising di sekitar sedikit menyamarkan pertanyaan Ryan, meski Hanz masih dapat mendengarnya dengan jelas. Namun meskipun berada di tengah keramaian, suasana di sekitar mereka terasa hening. "Kau tidak mau membalsnya?"
Setelah diam beberapa saat, Hanz akhirnya berkata, "Itu urusan nanti," dia mencoba meyakinkan. "Aku akan berusaha semampuku, saat ini kau dulu yang menatap ke depan."
"Kau selalu begitu, mengedepankan kepentingan orang lain dibandingkan kepentinganmu sendiri," sahut Ryan yang lebih mirip sebuah protesan. "Tidak apa-apa sekali bersikap egois. Kau harus bahagia, barang sejenak."
"Aku akan berusaha."
"Cih, kau terlalu kaku," Ryan menjeda, "seperti Sena."
"Ah ...," ini adalah topik yang paling mereka hindari. Dua bulan tanpa kehadiran seorang sahabat tentu mengubah segalanya. Semua terasa kurang, seakan kepingan puzzle yang tidak lengkap bagiannya. "Sena akan sembuh, aku yakin."
"Ya, aku juga yakin."
"Kalau begitu, jangan berpikiran negatif." Hanz menoleh, menatap ke luar jendela. "Ah, sudah sampai!"
Ryan refleks ikut menoleh. Dia menatap hamparan lembah hijau yang terdapat di sebuah pulau. Ada bangunan yang cukup besar di tengah-tengah sana, sedangkan sekeliling bangunan tersebut dipenuhi hutan yang begitu lebat. Kereta mendarat dengan mulus di atas tanah. Suara lonceng berbunyi begitu nyaring. Pintu kereta terbuka secara otomatis. Suara Rosseline mulai terdengar memenuhi langit-langit kereta, memberikan intruksi kepada murid senior untuk segera baris di luar kereta. Ryan meraih kopernya dari bagasi kecil yang ada di langit-langit kereta, begitu pula dengan Hanz.
Ada sekitar tiga ratus murid senior. Mereka semua berkumpul di lapangan lembah rumput yang begitu luas dan asri. Di sana, dijelaskan jadwal-jadwal mereka, serta pembagian kamar. Satu kamar berisikan tiga sampai lima orang. Hanz dan Ryan mendapat nomor kamar yang sama, entah kebetulan atau Romeo--yang bertugas membagi nomor kamar--memang sengaja melakukannya.
Petang telah tiba. Para murid telah dibagi tugas. Ryan mendapat tugas mencari kayu bakar, sedangkan Hanz mendapat tugas bagian konsumsi. Lelaki bersurai cokelat terang itu berjalan sendirian di tengah-tenfah keramaian. Dia berusaha mencari Val yang entah kenapa susah sekali ditemukan. Tadi saat di kereta, Val mengirimi pesan bahwa dia duduk di gerbong kelima, berbeda dengan Ryan yang duduk di gerbong kedua.
"Ah," Ryan merasa sedikit lega begitu menemukan wajah yang familiar di matanya. Lelaki itu berlari kecil, menghampiri gadis bersurai biru yang merupakan teman masa kecilnya. "Kena! Ah, ternyata ada Yura juga. Apakah kalian melihat--AW!"
Tanpa memberikan kesempatan Ryan menyelesaikan perkataannya, Kena sudah lebih dulu melayangkan tinju ke lengan kiri Ryan.
Ryan melotot, menatap tak suka. "Hei! Apa masalahmu?"
"Banyak!" Kena balas melotot. "Kau sudah melukai Lizzy!"
"H-Hei, ada apa?" Yura yang masih diselimuti rasa kantuk tampak linglung. Gadis itu mengusap matanya, berusaha mengusir jauh rasa kantuknya, lantas mulai fokus menyimak. "Ada apa, Kena?"
"Ryan sudah melukai Lizzy!" Kena kembali melayangkan pukulan. Kali ini di lengan kanan Ryan. "Aku kesal padanya, Yura! Dia pantas menerimanya!"
Ryan merapatkan bibir, tak tahu harus menjawab apa. Ah, tidak. Lebih tepatnya dia tidak berhak menjawab. Semua yang dikatakan Kena benar. "Maaf," Ryan menunduk.
"Kenapa minta maaf kepada Kena?" Yura bersidekap tangan, menaikkan dagu. "Minta maaflah pada Lizzy. Dia pantas mendapat permohonan maaf darimu."
"Aku memang sudah berencana, kok," Ryan menggaruk tengkuknya. "Omong-omong, kalian melihat Val?"
"Di sana," Kena menjawab ketus, dia menunjuk arah menggunakan ibu jarinya. Jelas gadis itu masih merasa kesal. "Sudah ya, aku dan Yura harus berberes di kamar. Ayo, Yura," Kena menarik paksa tangan Yura menjauh dari Ryan.
"Ah, iya Kena! Sebentar!" Yura meraih kopernya, lalu mengikuti Kena memasuki ke dalam keramaian murid senior.
Sekali lagi, Ryan hanya bisa merasa bersalah. Seharusnya saat itu dia tidak bersikap semena-mena.
Ini ... memang salahnya.
***TBC***
Ah, maaf. Vara berniat update hari rabu, tapi ternyata banyak sekali halangannya :'v
Salah satunya adalah tugas. Ukh, Vara benci tugas.
Dan karena tugas, chapter ini jadi lebih pendek dari yang lainnya :(
Harusnya di chapter ini, ada konflik. Tapi, malah nggak karena waktu Vara terbatas banget buat ngetik hiks.
Yasudahlah, yang terpenting next chap konflik BENAR-BENAR akan muncul wkwkk.
Ah, Vara berharap kalian terkejut. Tapi kalo yang udah sadar kejanggalan di chap awal, mungkin kalian ga akan terkejut. Tapi khusus buat yang peka doang WKWK.
Karena vara tau, kalian semua gapeka :p
Eh, enggak semua sih. Vara baca ada komen komen yang MENGARAH KE KONFLIK UTAMA wkwkwkwkk. Hayo hayooo, auto cek-cekin komen wkwk.
Udah ya, Vara mau ngetik spin-off SOM dulu, tentang masa lalu Alice dan Hanz.
Adios~
Big Luv, Vara.
🐣🐤🐥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro