Path-32 : The Feeling That Over Flow
A/N : Judulnya apa banget sih wkwkwkwkkk😂😂
***
"Nah, sudah." Lexy merekatkan perban putih di lenganku. "Lukamu kali ini tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan luka-lukamu sebelumnya."
"Terima kasih," aku tersenyum, kemudian menatap sekitar ruang kesehatan dalam diam.
Setelah pertarungan tadi, aku segera pergi ke ruanh kesehatan untuk mengobati luka-lukaku. Sebenarnya, aku bisa saja meminta anggota kesehatan yang berada di lokasi pertandingan untuk mengobatiku seperti halnya Sena. Tapi, aku memiliki alasan lain ke sini.
Menyadari kejanggalan pada diriku, Lexy bertanya, "Kenapa?"
Setelah berdebat dengan pikiranku untik beberapa saat, akhirnya aku menanyakan hal yang selama ini kupendam, "Um ... apa kau melihat Clyde?"
"Clyde?" ulang Lexy. Entah mengapa, raut wajahnya mengeras. "Ada urusan apa dengannya?"
"Uh, tidak ada, sih," aku mengelus leher belakangku. Suasana berubah mencekam seketika. "Aku hanya penasaran saja. Sudah lama aku tidak melihat Clyde, dan kupikir aku bisa menemuinya saat ini. Ah, aku juga ingin menanyakan kepada Clyde cara membuka ini," aku mengangkat tangan kiriku, menunjuk gelang kain pemberian Clyde. "Aku tidak tahu cara membuka ini."
Entah hanya perasaanku saja, tiba-tiba raut wajah Lexy berubah, sama sekali tidak dapat kuartikan. Hening membadai sekitar, membuat atmosfer menjadi kelam seketika. Kutatap manik jingga Lexy, namun lelaki itu seakan menghindari tatapanku.
Dia tidak mau menatapku.
Kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak beres?
"Lex--" baru saja aku hendak memanggil nama Lexy, jika saja pintu ruangan tidak terbuka secara tiba-tiba, memotong ucapanku. Aku maupun Lexy menoleh serempak. Di ambang pintu, terlihat sosok Clyde berdiri di sana. Tangan kirinya diperban hingga ke bahu, membuatku bertanya-tanya apakah dia baik-baik saja?
"Clyde!" Lexy beranjak berdiri, menghampiri gadis bersurai merah menyala itu. "Kau ..! Sedang apa kau di sini?"
"Lexy, ikut aku sebentar. Kita perlu bicara," Clyde menarik tangan Lexy, hendak pergi menjauh. Sebelum hal itu terjadi, aku segera melesat dan menahan mereka.
"Tunggu!" Aku menarik tangan Lexy sebelum Clyde berhasil membawanya pergi. "Clyde, a-aku juga perlu bicara denganmu."
Clyde menatapku nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya begitu hampa. "Apakah tidak bisa nanti saja? Aku sibuk."
"Kau--" suaraku tercekat. Clyde benar-benar berubah. Tidak ada lagi sosok Clyde yang hangat dan ramah. Gadis yang berdiri di hadapanku saat ini adalah seseorang yang dingin dan nyaris tak kukenali. "Clyde, kau berada di dalam daftar tersangka!" sahutku akhirnya, melepas semua hal yang kutampung sendirian. "Aku ... aku mencoba untuk selalu berpikir positif. Aku tahu kamu tidak bersalah. Tapi, kenapa kamu selalu menghilang? Seakan, kamu sedang menghindari sesuatu," aku menggepalkan telapak tanganku erat-erat. "Aku ... aku sudah berusaha, tapi kenapa kau ..."
"Kena," Clyde menatap tepat di manikku, kami bertemu netra untuk beberapa saat. "Kau ... mempercayaiku, 'kan?" dia mengulum senyum yang begitu lembut, hingga tanpa sadar emosiku mereda.
"Aku ...," aku menunduk, menatap sepasang sepatuku yang memijak lantai. "Iya, aku percaya."
"Nah, bagus," Clyde mengangguk pelan, kemudian menarik tangan Lexy. "Sekarang, aku harus pergi. Jika saatnya telah tiba, aku akan menjelaskan kepadamu semuanya."
Aku mendongak, "semuanya?"
"Iya, aku janji."
"Baiklah," aku melepaskan genggaman tanganku, mundur beberapa langkah. "Aku akan menunggu."
"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa."
Kuperhatikan punggung Clyde dan Lexy yang berlalu meninggalkanku, hingga sosok mereka tak terlihat lagi ketika berbelok di pertigaan lorong. Aku menghela napas panjang, kemudian berjalan ke arah yang berlawanan dengan mereka--menuju ruang dewan.
Baru saja aku melangkah beberapa kali, seseorang sudah memanggil namaku.
"Kena!"
Aku menoleh, menatap sosok Hide berlari kecil mendekatiku. Manik heterokromnya senada dengan manik burung hantu yang sedang bertengger di bahu lelaki itu.
Aku mengangkat sebelah alisku. "Hide? Dan ... Ciel," burung hantu peliharaan Hide yang bernama Ciel itu mengepak, mendekatiku. Aku menyodorkan lengan, membiarkan burung hantu itu bertengger di lenganku. Aku tersenyum kecil. "Hai Ciel, bagaimana kabarmu?"
Ciel hanya berkoak sebagai balasan. "Dia bilang, baik," Hide yang menjawab. "Oh, iya Kena. Sena menunggumu di Taman belakang sekolah. Katanya, ada yang perlu dia bicarakan denganmu."
Wajahku refleks datar. "Pasti dia ingin menagih janjinya padaku. Yah ... aku kalah taruhan, sih. Baiklah, aku akan ke sana segera." Aku mengusap pucuk kepala Ciel. "Ini, bagaimana cara meminta Ciel untuk pergi dari lenganku?" tanyaku bingung.
Hide tertawa, kemudian bersiul. Ciel mengepakkan sayapnya, beralih kembali ke lengan Hide. "Ya sudah, sana. Jangan buat Sena menunggu."
"Baiklah, baiklah." Aku memutar arah, berjalan menuju Taman belakang sekolah. "Sampai nanti, Hide."
Hide melambaikan tangannya. "Sampai nanti, dan ... SEMOGA BERUNTUNG!"
Keningku terlipat. Apa maksudnya semoga beruntung? Dia sedang mengejekku, ya?
Menghiraukan perkataan aneh Hide, aku melanjutkan perjalanan menuju Taman belakang Sekolah.
***
"Kau sudah menunggu lama?"
"Tidak," jawab Sena seadanya.
Kutatap sosok lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung rambut, kemudian tersenyum mengejek. "Aku tahu kamu sudah menunggu lama, kok! Tidak perlu bohong," ucapku sembari menepuk-nepuk bahu lelaki itu.
Sena mendelik, menghindari tepukan bahu dariku. "Kalau begitu, tidak usah bertanya," katanya datar.
"Haha, aku hanya bercanda," aku tertawa pelan. "Yasudah, mau bicara apa? Kamu mau memakai perjanjian kita? Tenang saja, aku tidak lupa, kok. Perjanjian kita, siapapun yang menang dalam pertarungan, maka bisa meminta satu permintaan kepada yang kalah. Nah, aku kalah. Sekarang, kamu mau minta apa?" tanyaku yang berubah menjadi cerewet seketika.
"Iya," Sena mengelus tengkuknya. Tatapannya berubah ragu. Tersirat sesuatu yang tak bisa kuartikan di sana. "Aku ingin memakai perjanjian kita."
"Apa?" aku menatap penasaran. "Kamu mau meminta apa dariku?"
"Aku hanya ingin kau mendengarkanku," jawab Sena.
Mataku berkedip beberapa kali. "Hanya itu?"
"Iya."
"Kupikir, kamu akan meminta macam-macam," aku tertawa lega. Syukurlah Sena tidak memintaku melakukan sesuatu yang aneh. Eh, tapi tidak mungkin 'kan Sena memintaku begitu?
Dia itu orang yang tidak tega.
Aku tertawa jahat dalam hati.
"Kena," panggil Sena pelan.
"Ya?" Aku sontak berdiri tegap. Entah kenapa jantungku jadi berderu begitu cepat, padahal Sena hanya memanggilku. Aku memasang telinga, bersiap mendengarkan apapun yang ke luar dari mulut Sena sesuai permintaannya.
"Aku ...," Sena membuang muka. "Sebenarnya ... aku ..."
"Ya??" Aku mencoba mendengarkan dengan seksama. "Kamu kenapa?"
"Aku ...," dia menggigit bibir bagian bawahnya. Sena menarik napas panjang, kemudian menatap tepat di manikku, membuat kami saling bertumbuk netra. "Aku menyukaimu."
"He?" Aku memiringkan kecil kepalaku. "Iya, aku juga menyukaimu, kok. Lalu kenapa?" tanyaku heran. Aku 'kan sering bilang, kalau aku menyukai semua orang. Jika aku tidak suka, mana mungkin aku mau berteman dengannya, 'kan?
"Bukan. Bukan suka yang seperti itu," Sena mencoba menjelaskan. Wajahnya sudah memerah semerah tomat. Raut wajahnya yang biasa datar sedikit berubah--gugup. "Aku ingin kita lebih dari teman."
Sebelah alisku terangkat. "Sahabat?"
"Lebih dari sahabat."
Aku terdiam sesaat, "Ah, kamu mau menjadi kakak laki-lakiku?"
Sena menatapku jera. "Bukan. Maksudku lebih dari kakak laki-laki."
Aku berpikir keras, selang beberapa saat, aku menjentikkan tanganku. "Oh, aku tahu. Kamu ingin menjadi Ayahku? Eh, tapi kenapa kamu ingin menjadi Ayahku? Kita 'kan seumuran."
Dapat kulihat Sena menepuk keningnya, terlihat putus asa. "Aku tidak menyangka akan sesulit ini."
Aku menatap Sena sedikit gemas. "Tidak bisakah langsung ke intinya saja?"
"Itu sudah intinya," Sena menghela napas pendek.
Ha? Sudah ke intinya? Tapi kenapa aku tidak mengerti apa maksudnya?
Apa aku kurang belajar?
Sekali lagi, Sena menghela napas. Dia menatapku lekat-lekat, kemudian membuka mulutnya, "Aku--"
"Sena! Ternyata kau di sana!" panggilan seseorang memotong perkataan Sena. Ryan datang, menghampiri dengan lambaian tinggi. "Pertandingan final sebentar lagi dimulai. Kau harus bersiap."
Heh! Kenapa pula Ryan harus memotong perkataan Sena di saat-saat seperti ini?
"Sekarang?" Sena menatap tak senang.
"Iya, sekarang." Ryan mengarahkan pandangannya kepadaku, sepertinya dia baru saja menyadari kehadiranku. Yah, tidak perlu terkejut. Hawa keberadaanku memang lemah. "Ah, Kena. Kebetulan sekali."
"Ya?"
"Aku mau bicara sebentar denganmu. Bisa?"
Kenapa hari ini semua orang ingin membicarakan sesuatu secara pribadi, sih? Ada apa dengan hari ini?
Walaupun berpikir demikian, aku tetap mengiyakan. "Iya, bisa."
"Tenang saja, Sena. Aku tidak tertarik kepada Kena." Ryan menepuk bahu Sena, terkekeh.
Sena hanya memutar bola matanya sebagai balasan. Lelaki itu menatapku sesaat, kemudian berkata, "Kita lanjut nanti, ya."
Aku mengangguk. "Iya."
Setelah saling melambaikan tangan, Sena berlalu, menuju Gedung olahraga untuk pertandingan final. Sejujurnya, aku hendak menonton. Namun, apa daya Ryan mencegahku. Katanya dia hendak membicarakan sesuatu.
"Ada apa?"
"Itu ...," Ryan mengelus tengkuknya. "Lizzy ... bagaimana dengannya?"
"Hari ini, mood-nya tampak buruk," aku memicingkan mata, menatap curiga. "Kau bukan penyebabnya, 'kan?"
"Seperti yang kau pikirkan saja," jawab Ryan sekenanya. "Tolong sampaikan permohonan maafku padanya, oke?"
Aku terdiam. Sedikit, amarah berguncang di dalam tubuhku. Sebelum Ryan berbalik untuk pergi, aku segera menahannya. "Hei! Sampaikan maafmu sendiri. Jangan libatkan aku!" kataku kesal. "Kalau kamu memang membuat suasana hati Lizzy memburuk, seharusnya kamu yang minta maaf!" setelah menyerukan hal itu, aku pergi dengan langkah terhentak-hentak.
Apa-apaan dia? Aku mengerti Ryan belum bisa menerima kepergian Beth, tapi setidaknya, dia tidak harus sampai membuat suasana hati Lizzy memburuk, 'kan?
Menyebalkan!
Langkahku terhenti. Aku menatap sekitar sedikit bingung. Tanpa sadar, aku melangkah ke sembarang arah, dan berakhir di Asrama.
Ah, benar juga. Mungkin Lizzy ada di kamarnya. Aku akan menemui Lizzy dan menghiburnya.
Aku tidak suka jika melihat Lizzy yang biasanya ceria berubah kelam seperti ini.
Semalam, Alice mengirimiku pesan. Katanya, dia ada urusan di ruang terapi, jadi mungkin tidak akan pulang dulu ke kamar Lizzy untuk sementara waktu. Jadi, hari ini Lizzy sendirian di kamarnya.
Tiba-tiba saja, perasaanku berubah tidak enak.
Sepertinya aku memang harus menemuinya.
Aku berjalan cepat memasuki gedung Asrama, menaiki tangga, hingga aku tiba tepat di depan pintu kamar Lizzy. Napasku sedikit tersenggal karena aku langsung melangkahi dua anak tangga sekaligus guna mempercepat diri.
Kuangkat tanganku, hendak mengetuk pintu kamar Lizzy. Namun aku segera mengurungkan niatku begitu melihat pintu yang telah sedikit terbuka, dan mendengar suara isakkan dari dalam sana. Aku menegup air liur dengan susah payah. Lizzy ... baik-baik saja, 'kan?
Tak ingin membuang waktu, aku segera mendorong pintu, membukanya secara sempurna. Hal pertama yang menyapaku adalah sebuah pemandangan memilukan. Bagaimana tidak, sosok Lizzy terduduk di lantai kamar, sedangkan kamarnya sangat berantakan seperti kapal pecah. Tanpa berpikir dua kali, aku melesat masuk, berlutut di hadapan Lizzy dengan jantung yang berdegup cepat.
"L-Lizzy?" tanyaku cemas. Suaraku sedikit bergetar. "K-Kamu baik-baik saja?"
Lizzy memeluk lututnya, wajahnya tersembunyi di antara ruang yang ia ciptakan. Kondisinya buruk sekali. Rambutnya kusut, dan seragam yang dikenakannya berantakan. Dia membisu, tanpa mempedulikan kehadiranku.
"Lizzy," panggilku lembut. "Ayolah, jangan seperti ini."
Ryan ... dia harus meminta maaf! Tega sekali dia membuat Lizzy seperti ini!
"Kau tidak mengerti," Lizzy bersuara, parau dan serak. "Aku sakit hati, Kena."
"Karena Ryan menolakmu?"
"Bukan," Lizzy menggeleng. "Karena dia merobek suratku yang berharga."
Aku terdiam, menunggu Lizzy melanjutkan.
"Ryan berjanji, jika aku memenangkam pertarungan, dia bersedia membaca suratku. Namun, alih-alih membaca, dia justru meremasnya. Padahal, itu adalah surat yang berharga untukku. Aku hanya ingin dia membacanya. Hanya itu!" Tangis Lizzy pecah, membuat hatiku tersayat setiap isakkannya.
"Lizzy ...," aku menggigit lidahku, tak tahu harus berkata apa. Aku memang bukanlah penghibur yang baik, namun aku ingin sekali mengatakan sesuatu kepada Lizzy. "Sabar ... ya?" Hanya itu yang dapat kukatakan. Aku merasa telah menjadi sahabat terburuk di dunia. Padahal, Lizzy selalu menghiburku di kala aku sedih. Tapi aku tidak bisa menghiburnya. Andaikan Yura ada di sini. Dia pasti bisa menghibur Lizzy dengan baik.
"Aku sudah sabar, Kena." Lizzy mendongak, menatapku dalam. Matanya bengkak, hidungnya memerah. Sudah berapa lama dia menangis? "Aku selalu sabar. Tapi kali ini dia keterlaluan! Aku tidak pernah memintanya untuk menerimaku, aku hanya memintanya untuk membaca suratku!"
"Lizzy, aku ..."
"Aku tidak pernah dianggap ada di dunia ini olehnya. Semua perhatianku selama ini berujung sia-sia!" Lizzy menangis sesenggukan. Dia menggenggam erat bahuku, membuatku sedikit tersentak. "Ini menyakitkan. Menunggu sesuatu yang tidak pasti membuatku tersiksa. Maka dari itu, jangan lakukan hal yang sama!"
Aku terdiam, menatap tidak mengerti.
"Rasanya sungguh menyakitkan, Kena. Aku tidak mau teman-temanku merasakan hal yang sama. Jadi, tolong sadarlah!"
"Aku tidak mengerti ..."
"Sena mencintaimu, mengapa kamu tidak menyadarinya?"
Aku terhenyak, menatap tak percaya. "C-Cinta?"
"Selama ini Sena menunggumu. Aku yakin, Sena sudah mengungkapkannya, 'kan? Maka, apa lagi yang kau tunggu? Menolaknya? Sungguh, rasanya sangat menyakitkan, Kena."
"Aku ... tidak tahu," aku menunduk. "Aku benar-benar tidak tahu."
Jadi ... perasaan yang selama kuraskan terhadap Sena itu cinta? Bagaimana mungkin selama ini aku tidak menyadarinya?
"Kena, bisa tolong keluar? Aku butuh waktu untuk menyendiri. Hatiku sudah terluka terlalu dalam." Lizzy kembali memeluk lututnya, membuang muka. "Kumohon?"
"B-Baiklah," aku beranjak berdiri, kemudian melangkah ke luar kamar Lizzy. "Tolong jaga dirimu, ya," pesanku, sebelum akhirnya benar-benar pergi dari kamar Lizzy.
Aku menutup pintu kamar Lizzy, kemudian bersender di sana. Aku jatuh terduduk, menatap langit-langit lorong asrama dengan tatapan kosong.
Sena ... mencintaiku?
Jadi tadi itu ... pernyataan cinta?
Dapat kurasakan wajahku terbakar. Perasaanku berbunga-bunga, namun di saat yang bersamaan, aku merasakan sakit. Tak bisa kubayangkan semenderita apa Sena telah menunggu lama, lama sekali. Sejak kapan dia setia menungguku sadar?
Aku menangis dalam diam. Sena benar-benar sosok lelaki yang baik. Apa aku pantas mendapatkannya?
Namun jika aku menolaknya, aku hanya akan membuat penantiannya selama ini sia-sia.
Aku beranjak berdiri, menyeka air mata, kemudian memantapkan diri.
Mungkin aku memang butuh waktu untuk menjawab, namun aku akan menemuinya sekarang.
Aku tidak akan membuat penantian Sena selama ini berujung sia-sia.
Aku tidak mau membuatnya terluka.
Sena saat ini masih bertanding, 'kan? Atau sudah selesai? Entahlah, yang terpenting sekarang, aku akan menemui Sena.
Aku akan mencarinya, hingga kemanapun akan kujawab pernyataannya.
Baru saja aku hendak melangkah menuju gedung olahraga, pocket-ku berdering, menandakan pesan masuk. Keningku berkerut, belum genap aku menyadarinya, sesuatu seperti menghantamku, membuatku kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh terduduk.
Aku berseru marah begitu tahu bahwa Xia-xia lah yang menabrakku. "Xia! Tolong jangan berlari di lorong!"
"Kena!" Xia-xia mengguncang-guncangkan kerah bajuku, membuatku kesal dan menepisnya kasar. "Aduh, sakit!" keluhnya.
Aku melotot. "Makanya jangan bersikap menyebalkan!"
"Tapi, Kena! Ini darurat!" Xia-xia terlihat panik.
"Ah, sudahlah." Aku memutar bola mata, beranjak berdiri. "Oh iya, aku harus membaca pesan yang tadi dulu."
"Kena, saat final ada murid yang celaka!"
Perkataan Xia-xia menarik perhatianku. "Eh? Bagaimana mungkin?"
"Aku tidak tahu," Xia-xia menggeleng. Dia melayang dengan perasaan cemas. "Tadi Romeo memintaku untuk melaporkannya padamu. Katanya ..."
"T-Tunggu," aku segera membuka pocket. Perasaanku tidak enak. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan pesan yang kudapat?
Dan benar saja.
Tepat setelah membaca sebaris pesan dari layar transparan pocket, mataku terbelalak, melotot lebar. Aku menutup mulutku, kemudian kembali membacanya--setengah tidak percaya.
Kena, cepat datang ke ruang kesehatan. Sena tidak sadarkan diri selepas pertarungan.
-Romeo.
***TBC***
Yah, tbc nya kurang greget.
Semoga chapter kali ini bisa membuat kalian sedikit lega :v
UDAH CONFESS LOH! UDAH CONFESS!!! //digampar.
JANGAN LUPA KLIK BINTANG DAN KOMENTAR. KOMEN APA AJA SELAIN LANJUT/NEXT DONG, VARA BUTUH ASUPAN SEMANGAT :(
DUA CHAPTER LAGI, TEBAK-TEBAKAN DITUTUP YA. SEKARANG SIH MASIH DIBUKA. AYO TEBAK GAEZ~
EH, TAPI INI TAMATNYA MASIH SEKITARAN SEPULUH CHAPTER LAGI KOK. TENANG AJA~♡
#VaraCapsLovers
Oiya, Vara dapet fanart dari kak Viona loh! Kakel Vara di sekolah, tapi dia nggak punya wp :(
HANZ JADI IKEMEN YANG KAWAEHH BANGET ASTOGEH :'D
KENAPA VARA TIBA TIBA JADI GEPENS SAMA HANZ.
Alice: //menatap tajam.
Eh, santai dong mba nya. Vara bercanda kok :v
OIYA, VARA PUNYA GAMBARAN BUAT KALIAN
Tadinya sih mau pake di main story, tapi gajadi. Tapi sudahlah :v
Iya, awalnya pas Sena confess, Kena langsung peka and blushing. Tapi pas vara pikir seribu kali, gajadi deh. Kurang greget :v
Udah yaw, bubyeeee.
Big Luv, Vara
🐣🐤🐥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro