Path-29 : The Festival (2)
Sehari sebelumnya ...
"Ketua!" panggil seorang lelaki berambut pirang dengan suara sedikit keras, "Ketua!"
Clyde menoleh, keningnya berkerut dalam. Tangan kanan Clyde menggenggam belati, dengan mata belati yang terarah kepada lengan kirinya. Akibat panggilan lelaki tadi, gerakan tangannya terhenti. "Ada apa, Lexy?"
Lelaki yang bernama Lexy itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menatap ragu kepada sang Ketua badan kesehatan sekolah. "Apa kau harus menggunakan darahmu untuk melakukan ritual itu?"
"Aku tak punya pilihan lain," Clyde menengadahkan kepalanya, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang di sekitarnya. Hanya ada bulan sabit yang melengkung untuk menyinari malam.
"Tapi, ini bukan malam purnama!" kilah Lexy kesal, "Kalau kau nekat melakukan ritualnya sekarang, maka kemungkinan berhasilnya hanyalah 20%!"
"Itu lebih baik daripada tidak sama sekali." Clyde tersenyum hampa, menatap tanah satu meter di depannya yang telah tergambar sebuah rune sihir. "Aku memiliki firasat buruk, Lexy. Malapetaka akan segera terjadi, purnama merah adalah peristiwa yang sangat berbahaya. Sebelum para dewan menyadarinya, kita harus selangkah lebih dulu!"
"Tapi ...," Lexy mendesah frustasi. Clyde memang gadis yang keras kepala.
"Diamlah, Lexy, dan turuti saja perintahku." Clyde perlahan menggores kulit lengan kirinya menggunakan belati hingga cairan merah kental mulai menetes dari sana. Seringaian kecil terbentuk dengan sempurna di bibir merahnya. "Beberapa waktu lalu, dia berhasil menghentikanku. Tapi sekarang, kupastikan bisa menangkapnya segera!"
***
"Hanz," panggil Alice pelan, suaranya sedikit serak, "Apa maksudmu pelaku sebenarnya sedang mengawasi kita?"
"Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya," Hanz duduk di kursi Taman―di samping Alice―dengan tatapan serius. "Dia selalu mengawasi kita. Dia berada di antara kita."
"Aku takut," ungkap Alice jujur. Sekujur tubuhnya mulai gemetaran. "Bagaimana ... kalau dia nekat menghancurkan sekolah? Memakan banyak korban jiwa?"
Hanz hendak mengatakan sesuatu, namun kembali mengatupkan mulutnya begitu dia berpikir ulang. Dia seharusnya mengatakan sesuatu untuk menenangkan Alice. Kini, Alice pasti sangat terguncang. Kehilangan kekuatan adalah hal yang mengerikan. Banyak diantara murid yang kehilangan kekuatan mereka justru berakhir despresi di ruang terapi. Beruntung, Alice berhasil melewati masa-masa kelam tersebut. Alice adalah gadis yang kuat, juga selalu berpikiran optimis. Meski begitu, dia juga manusia yang memiliki rasa takut.
Hanz memutar otaknya, mencoba untuk tidak ikut panik dan menenangkan Alice sesegera mungkin. Tersirat sesuatu di benaknya, dan mungkin hal itu dapat menenangkan Alice. Hanz menggigit bibir bagian bawahnya, tampak ragu.
Akan tetapi, melihat mata Alice yang mulai berkaca-kaca, Hanz segera menarik tubuh Alice ke dalam dekapannya. Begitu erat, hingga ia dapat merasakan betapa hangatnya suhu tubuh gadis itu.
Alice terbelalak, terkejut dengan perlakuan Hanz yang begitu tiba-tiba.
"Aku... akan melindungimu," bisik Hanz yakin, "Tidak perlu takut. Aku akan selalu ada di sini untukmu. Bahkan, jika dark witch menyerangmu, maka aku akan menjadi orang pertama yang berdiri di depan untuk melindungimu."
Kristal air mengepul di pelupuk mata Alice hingga kacamatanya berembun tipis. "Hu-uh," Alice memejamkan matanya sesaat. Dalam hati, dia sedikit bersyukur bahwa kekuatannya tersegel. Jika tidak, dia pasti merasakan emosi yang begitu campur aduk, dan hal itu bisa membuatnya gila.
Hanz melepas pelukannya, menatap Alice hangat. Mereka saling bertumbuk netra. Alice, adalah teman perempuan pertama Hanz selain Flo, Kena, dan Yura. Pertemanannya dengan Alice membuka matanya untuk memandang lebih luas tentang dunia. Tidak semua perempuan sejahat yang ia pikirkan. Meski, ada beberapa yang justru lebih jahat dari perkiraannya.
Alice, gadis yang selalu menempati tempat spesial pada dirinya. Seorang sahabat yang begitu berarti.
Meski saat ini, Hanz belum sepenuhnya menyadari perasaannya kepada Alice, namun Alice akan tetap sabar menunggu.
Sampai kapanpun.
***
Aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian menghela napas panjang begitu tidak menemui satupun wajah yang kukenal.
Dimana Lizzy? Dimana Sena? Dimana Alice? Dimana semua orang?!
Aku tadi sempat ke kamar Lizzy, namun tidak menemukan keberadaan Alice di manapun! Ke mana perginya semua orang?
Tolong, jangan sisakan aku berdiri sendirian di tengah kerumunan festival ini. Seakan, aku adalah anak kecil yang terpisah dari kedua orangtuanya di tengah keramaian.
Menyedihkan sekali.
Turnamen baru akan dimulai pukul sepuluh, dan ini sudah pukul sembilan pagi. Aku menghabiskan dua jam berhargaku hanya untuk berkeliling sendirian mencari seseorang yang kukenal.
Sena ke mana, ya? Dia jelas tidak berada di kelas, karena dia tidak mendapat bagian untuk menjaga kelas. Apa dia sedang berada di ruang dewan?
Ah, benar juga. Kenapa tidak kupikirkan sejak tadi? Aku belum mengecek ruang dewan.
Masih ada satu jam sebelum turnamen pertama dimulai, jadi mungkin masih sempat untuk bersiap-siap nanti. Maka, kuputuskan untuk memutar arah langkahku, menuju ruang dewan yang jaraknya lumayan jauh dari tempatku berada.
Aku menelusuri koridor panjang yang dipenuhi hiasan berupa pita dan renda. Ada beberapa kerlap-kerlip bintang di langit-langit koridor. Bintang-bintang tersebut dibuat dari sihir sparklings yang dimodifikasi sedemikian rupa.
Rasa kagum mulai menyerangku, tak menyangka bahwa sihir sparklings yang nyaris terlupakan justru dapat membuat suasana menjadi seindah ini.
Langkahku terhenti begitu melihat palang bertuliskan "Ruang Dewan" terpapar di atas pintu cokelat besar yang dipenuhi ukiran. Detik sebelum tanganku menyentuh gagang pintu, dapat kudengar perbincangan di dalam sana.
"Jangan keras kepala!" suara tajam tersebut terdengar begitu jelas, membuat pergerakan tanganku terhenti. Itu suara milik Romeo. Aku tak mungkin salah mengenali suara ini. Lantas, mengapa nada suara Romeo tampak marah?
Aku menempelkan telinga ke pintu agar dapat mendengar percakapan di dalam lebih jelas.
"Aku serius," kini suara Sena yang terdengar, "Apakah aku pernah bercanda?" Entah mengapa, dari nada suara Sena kentara sekali rasa mengintimidasi.
"Dan kau hendak menuduh anggota Kerajaanmu sendiri?" Romeo berseru tidak percaya, "Ayolah! Miss Wanda telah memberikan tes kepadanya. Dan jika dia bisa melewati tes dengan baik, berarti dia memang tidak bersalah!"
"Kau tidak akan mengerti."
"Tentu saja aku tidak akan mengerti, karena kamu belum menjelaskan!" Romeo menghela napas berat. "Aku sudah memprediksi sepuluh daftar tersangka. Empat guru, dan enam murid. Aku tidak memasukan para kepala pelayan ke dalam daftar tersangka lagi."
"Darimana kau memprediksi mereka?" meski dengan nada suaranya tetap datar, namun aku dapat merasakan bahwa Sena merasa terkejut.
"Ada seseorang yang meletakan amplop berisi daftar tersangka di depan pintu. Hanz yang menemukannya," jelas Romeo tenang.
"Dan kau mempercayainya?"
"Ini hanya dugaan sementara, Sena. Selama ini kita menemukan jalan buntu! Tak ada salahnya 'kan mempercayainya sejenak?"
Aku melotot. Bagaimana mungkin Romeo bisa mengatakan hal sedemikian rupa dengan tenang seperti itu? Dia pasti sudah gila!
"Kau gila?" suara Sena mulai meninggi, "Clyde termasuk di dalamnya! Menurutmu, jika Clyde tidak memberikan usulan untukku membuat kristal penetral, berapa banyak lagi murid yang terkena sihir hitam?"
"Apakah kau tidak berpikir? Bagaimana jika itu hanya akal-akalannya saja?" Romeo menentang, "Masih ada beberapa murid yang terkena sihir hitam, bahkan setelah mendapatkan kristal penetral. Riana contohnya."
Tanganku menggepal erat, hingga buku-buku jemariku memutih. Mengapa dia mengatakan hal seperti itu?!
"Kalau kau tidak mau membantu, akan kubuktikan sendiri," ujar Sena akhirnya, "Permisi."
Aku refleks melangkah mundur saat pintu di hadapanku terbuka lebar. Sosok Sena terlihat di sana. Wajahnya begitu keras, kentara sekali kalau dia sedang kesal. Aku segera menetralkan wajahku, bersikap seakan aku baru saja datang ke sini. "H-Hai, Sena! Kau baru dari dalam?" Detik itu juga, aku segera merutuki kebodohan yang baru saja kubuat. Tentu saja Sena baru saja dari dalam sana! Itu sudah terlihat jelas lewat mata! Dasar Kena bodoh!
Aku menegup air liurku dengan susah payah, kemudian memaksakan seulas senyum. Semoga saja Sena tidak curiga padaku.
"Iya," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
"Kau sudah bersiap untuk pertandingan?" Aku segera mengalihkan topik pembicaraan saat merasakan atmosfer sekitar mulai mencekam. "Sejam lagi, lho! Ayo lihat siapa lawanmu!"
"Hm," Sena mengangguk tanpa minat, "Kau ada urusan apa datang kemari?"
"Eh, uhm," aku menggigit bibir bagian bawahku, kemudian menggeleng, "Tidak apa-apa, kok! A-Aku hanya kebetulan lewat saja. Mau pergi ke gedung olahraga bersama?"
"Tentu."
Kami berjalan beriringan, dalam keheningan yang begitu mencekam. Tak ada di antara kami yang memulai percakapan. Aku terlalu larut dengan pikiranku, hingga tanpa sadar keningku mengerut dalam. Aku curiga, mengapa Romeo bisa bersikap setenang itu saat salah seorang temannya dituduh?
Romeo pasti merencanakam sesuatu, namun dia lebih memilih merahasiakannya. Si maniak aktivitas itu selalu melakukan segalanya sendirian, seakan semua tanggung jawab berada di tangannya.
Seketika, aku tidak yakin jika masalah kami hanya satu. Pasti ada lagi masalah yang rumit sehingga Romeo tampak begitu terbebani.
Bibi Laura juga berhenti mengirim pesan kepadaku. Aku paham para Raja dan Ratu pasti selalu sibuk, namun kali ini benar-benar membingungkan.
Seakan, seluruh dunia menyembunyikan bencana terburuk yang akan segera runtuh menimpa bumi.
***
Wanda menghempaskan tubuhnya di atas sofa maroon yang begitu empuk, melepas lelah sehabis rapat bersama para Raja dan Ratu.
Meski rapat hanya berlangsung selama dua jam, tapi sangat menguras otak. Apalagi, penjelasan Amartia hampir tidak dapat dicerna akal sehat para Raja dan Ratu. Beruntung, ada Raja Rouve yang membantu menjelaskan, sehingga membuat para Raja dan Ratu yang lain percaya.
Mereka sepakat, akan merahasiakan dua bencana yang ada. Bencana pertama, tentang beredarnya sihir hitam di School of Magic. Bencana kedua, tentang adanya meteor yang akan menghantam bumi.
Sebagai gantinya, seluruh kerajaan mengirim mata-mata terbaik di seluruh penjuru negeri sihir, guna menangkap siapapun yang ada kaitannya dengan sihir hitam, maupun pemberontak, juga aliran hitam.
Namun, ada satu masalah yang belum teratasi. Jika peredar sihir hitam belum ditemukan hingga purnama merah, maka masalah kedua akan semakin ruyam. Tidak ada yang tahu bagaimana cara menghentikan meteor yang akan menghantam bumi. Jika meteor berhasil menghantam bumi, maka kehidupan manusia akan segera punah. Hal tersebut tidak boleh terjadi, karena akan mengancam keseimbangan tiga dimensi.
Pintu ruangan pribadi Wanda terbuka, membuat wanita itu melirik malas. Akan tetapi begitu melihat orang yang datang memasuki ruangannya tanpa izin itu, Wanda segera menatap tajam.
Amartia berjalan santai, dengan dua cangkir teh di genggamannya. Pria itu beranjak duduk di sofa maroon di seberang Wanda sembari meletakan dua cangkir teh tersebut di atas meja.
Wanda melotot, "Apakah kau tahu sesuatu yang bernama tata krama, Tuan?"
"Di dunia atas, tidak ada yang namanya tata krama," jawab Amartia santai, "Apalagi untuk makhluk campuran sepertiku."
"Oh, kalau begitu kau harus mulai belajar tata krama," Wanda mendesis sinis, "Di sini, ada moral dan etika. Tidak sopan bila berkunjung ke ruangan wanita tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu."
"Begitukah?" Amartia memiringkan kecil kepalanya, "Tapi tadi bawahanmu memintaku untuk segera masuk saja."
"Rosseline? Ya, meski dia berkata begitu, alangkah baiknya jika kau mengetuk pintu."
"Jadi, apakah aku harus mengulang kedatanganku?"
Wanda menghela napas berat, "Tidak perlu. Lupakan saja."
"Pilihan bijak, karena aku tidak punya banyak waktu di sini," Amartia bersidekap tangan, kemudian menyenderkan tubuhnya ke senderan sofa. "Ada hal penting yang harus kuberitahukan padamu. Setelah itu, aku harus segera kembali ke Kerajaan Timur. Sebenarnya, seharusnya aku membicarakan hal ini tadi saat rapat bersama para Raja. Tapi setelah kupikir-pikir ... mungkin kubicarakan denganmu dulu."
"Langsung saja ke intinya," ujar Wanda tegas.
"Haha, baiklah," Amartia menyeruput teh yang ia suguhkan sendiri, sebelum akhirnya melanjutkan, "Jadi, aku mau memberitahumu sesuatu terkait bencana kedua―"
"Kau menemukan caranya?" potong Wanda.
"Iya."
Wanda merubah posisi duduknya menjadi tegap. Dia jelas senang mendengar kabar ini. "Kalau begitu, cepat katakan! Aku tidak sabar mendengarnya!"
"Jangan senang dulu. Aku juga punya kabar buruk," pandangan Amartia berubah serius. "Dulu saat di dunia atas, simpang siur aku pernah mendengar bahwa ada seorang penyihir dengan kekuatan breaker yang dapat menghancurkan batas sihir. Penyihir dengan kekuatan breaker dapat menciptakan sihirnya sendiri, menghancurkan batas mantra sihir yang sudah ditentukan, menciptakan kekuatan tersendiri, tak terhentikan.
"Seorang penyihir bernama Lisa menciptakan kumpulan mantra-mantra yang tidak pernah tertulis di keenam buku mantra. Dia menuliskan semua mantra yang ia ciptakan di sebuah buku bernama buku penghancur. Sayangnya, tak ada siapapun yang mengetahui dimana letak buku itu. Dan aku juga tidak mengetahui siapa pemilik kekuatan breaker yang sekarang."
Mendengar kabar buruk tersebut, antusiasme Wanda mulai tersapu bersih. "Artinya, kita harus menemukan pemilik kekuatan breaker terlebih dahulu?" Dia mendesah putus asa begitu melihat anggukan kepala dari Amartia. "Dimensi ini luas. Dia bisa tinggal di mana saja. Dan lagi, apakah seseorang yang bernama Lisa itu masih hidup?"
Amartia mengangkat kedua bahunya. "Terakhir aku mendengar berita tersebut, sudah sekitar tiga puluh tahun yang lalu."
Wanda menepuk keningnya frustasi, "Kumohon jangan katakan apapun lagi."
"Tapi, hei, kita masih punya harapan!" Amartia mencoba menyemangati, "Aku tahu semua ini salahku, maka dari itu akan bersedia membantu. Bahkan jika harus mengorbankan nyawaku."
"Dunia tidak akan berakhir jika satu makhluk campuran sepertimu tetap hidup," Wanda mengulaskan senyum tipis, "Maka dari itu, jangan terus salahlan dirimu. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Baik itu disengaja, maupun tidak disengaja."
"Terima kasih telah menghiburku. Aku tersanjung."
"Tapi karena kau sudah berkata seperti itu, sebaiknya aku mulai mencari info mengenai keberadaan kekuatan breaker ini." Wanda beranjak berdiri dari tempatnya, kemudian berjalan menuju meja kerjanya. "Kau bisa pergi sekarang. Ada banyak hal yang harus kuurus. Dan, jangan sampai ada murid yang melihatmu. Hari ini festival sedang berlangsung."
"Haha, baiklah." Amartia mengangguk mengerti, "Kalau begitu, sampai nanti, Wanda."
"Hm," Wanda menoleh begitu dia mendengar sesuatu yang janggal. Namun, tidak ada apapun yang terjadi kecuali sosok Amartia yang sedang keluar dari ruangannya. Wanita itu mengendikkan bahunya pelan. Pasti hanya halusinasinya saja.
***
"K-Kau dengar itu, Hera?" bisik Xia-xia sembari sesekali melirik sosok Wanda lewat lubang kecil, takut jika wanita tersebut menyadari kehadiran mereka.
Hera mengangguk. Pixieball satu itu juga tampak ketakutan. "Xia, sebaiknya kita pergi."
"Aku juga memikirkan hal yang sama!" Xia-xia menarik tubuh Hera agar menjauh dari lubang. Sebenarnya, Xia-xia tidak menyangka bahwa pipa tua yang ditemukannya saat sedang bermain petak umpat justru terhubung langsung dengan ruangan Wanda. Parahnya, mereka dapat mendengar dengan jelas perbincangan yang dilakukan oleh Wanda bersama Amartia.
"Xia, kita harus apa?" tanya Hera cemas. Wajahnya yang selalu datar kini berubah menjadi penuh rasa khawatir.
"Kita pergi," putus Xia-xia. Kedua tangan mungil mereka saling terpaut satu sama lain, menggenggam erat. "Kita harus memberi tahu seseorang. Ini informasi serius."
"Kena?" tanya Hera.
"Um ... aku tidak yakin," Xia-xia menatap ragu. "Jika Kena tahu tentang ini, dia pasti akan sangat cemas. Tidak, tidak boleh. Kena tidak boleh tahu."
"Kalau begitu, Sena?"
"Uhm, sepertinya itu ide bagus," ucap Xia-xia, "Tapi kita juga harus memberi tahu Cero. Clyde pasti bisa membantu."
"Tapi, Vere pernah bilang bahwa dia melihat foto Clyde di jejeran daftar tersangka," nyali Hera semakin menciut, "Apa kau yakin?"
"Aku yakin Clyde orang yang baik!" sahut Xia-xia mantap, hingga suaranya bergema di sepanjang pipa. Cahaya mulai terlihat dari kejauhan, membuat semangat berkobar di tubuh mungil makhluk itu. "Itu jalan keluarnya! Ayo, kita harus bergegas!"
***TBC***
Magic Cafe
Hae, balik lagi sama makhluk terkawaii ini, Vara!!
(Drum sfx)
Sowry telat update, seminggu berturut turut :')
I have RL activity. So so sorry!!
Tapi, Vara akan berusaha biar gak telat update lagi :D
Ganbatte~!
Ohiya, ini MC part cowoknya wkwk.
Sila menikmati~
Itu apasi yg paling bawah wkwk.
Oiya! Vara punya tebak-tebakan nih!
Coba tebak siapa pelakunya dan kenapa kamu curiga sama dia.
Jawaban tercepat dan terbenar, Vara kabulin satu permintaannya wkwk.
Asalkan jangan suru Vara update tiap hari aja. Terkapar dong Varanya :'v
Mau minta follback, atau pengen Vara baca ceritanya juga boleh. Minta ekstra chapter juga boleh, banget bahkan wkwk.
Okee! Thats all for today! Happy reading!!
Dont forget to Vote and Comment!
Bubyeee!!
Big Luv, Vara
🐣🐤🐥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro