Path-25 : Justice Of Pain
TUK! TUK! TUK!
Jemari lentik itu tak kunjung henti mengetuk meja. Iramanya tetap konsisten meskipun pikiran si pengetuk sedang melayang ke mana-mana. Tatapannya begitu datar. Dia membaca sekilas kertas di hadapannya, lalu menghela napas pelan. Otaknya buntu. Dia tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
Suara berdenyit pintu terbuka terdengar di telinganya, membuat ketukan jemarinya terhenti. Ia menoleh, menatap sosok yang membuka pintu ruangannya.
"Wanda, aku membawa dokumen yang kau minta." Rosseline menarik kursi lalu duduk di hadapan Wanda. Dia meletakan setumpuk kertas yang merupakan dokumen-dokumen penting. "Beberapa ada yang rusak, akan tetapi masih bisa terbaca tulisannya."
Wanda meraih secarik kertas yang sudah berkerut dan lecak. Seakan, kertas tersebut telah dihantamkan berkali-kali oleh angin puting beliung. Tatapannya terkunci pada cairan merah yang telah menghitam di sudut kertas. Keningnya berkerut. "Apakah sempat ada pertarungan di Ruang dewan?"
Rosseline meringis pelan. Wanda benar-benar peka. "Sepertinya begitu."
Sekali lagi, Wanda menghela napas. Dia kembali meletakan dokumen ke meja. "Aku tidak menemukan titik terang," ucapnya dengan suara berat.
"Maksudmu?"
"Aku sudah menyelidiki semua kepala pelayan. Tapi, mereka semua memiliki alibi yang kuat." Wanda menjentikkan jarinya. Detik selanjutnya muncul sebuah layar transparan dari atas meja. Deretan huruf terpapar dengan jelas di sana. "Ada tiga kepala pelayan yang dicurigai. Pertama, kepala pelayan dari kerajaan Barat Laut, Grusa. Namun, dia tidak memiliki alasan untuk dicurigai. Kekuatannya hanya sebatas memperbesar dan memperkecil sesuatu. Dia juga merupakan wanita terpelajar. Tidak ada alasan bagi kita untuk menuduhnya."
"Mengapa kau begitu yakin?" tanya Rosseline.
"Karena aku telah mengujinya," jawab Wanda, "Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan hitam."
"Lalu, bagaimana dengan Olde?"
"Olde ... ya?" Raut wajah Wanda berubah masam. "Dia menjadi tersangka kedua yang kita curigai. Meski dia menyebalkan dan begitu sarkas, tapi aku dapat merasakan energi positif dari dirinya. Dia tidak pernah bermaksud buruk. Aku juga telah mengujinya."
Rosseline mendesah putus asa. "Dan jangan bilang padaku bahwa tersangka nomor tiga juga tidak bersalah?"
"Itu yang hendak aku sampaikan." Wanda memijat keningnya. "Tersangka nomor tiga yaitu Henry, kepala pelayan kerajaan Timur. Dia juga berhasil lulus tes dariku dengan baik. Aku sama sekali tidak bisa mencurigainya ...," ucapan Wanda terhenti, "Kecuali satu hal," lanjutnya.
"Apa?"
"Dia tidak memiliki latar belakang yang jelas. Aneh. Mengapa raja Raven mau menerima kepala pelayan yang latar belakangnya tidak jelas seperti itu?"
"Bisa saja ratu Lizne yang menerimanya. Kau tahu? Kebijakan setiap kerajaan itu berbeda."
"Hm. Bisa jadi."
Krek!
Baik Wanda maupun Rosseline menoleh serempak. Tatapan mereka terkunci pada pintu ruangan yang terbuka sendiri. Rosseline refleks berdiri. Seingatnya, dia telah menutup pintu saat masuk. "Siapa itu?!"
Tidak ada jawaban. Hanya ada suara hentakan kaki orang berlari.
Wanda melangkah mendekati pintu. Ia mencondongkan kepalanya ke luar, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tatapannya terkunci pada seorang lelaki yang sedang berjalan tenang melewatinya.
Lelaki itu menunduk hormat begitu melihat Wanda. "Selamat pagi, Miss."
"Pagi," balas Wanda, "Hei, apakah kau melihat ada seseorang di sini?"
"Seseorang?" Lelaki itu memiringkan kecil kepalanya. "Ah, tadi aku melihat ada orang yang berlari di koridor. Apakah maksudmu orang itu?"
Entah sejak kapan, Rosseline sudah berdiri di samping Wanda. "Kau lihat siapa orangnya?" tanyanya.
"Tidak," Lelaki itu menggeleng, "Maaf."
Wanda menghela napas, "Tak apa."
"Ah, tunggu dulu," Rosseline memicingkan matanya, menatap lelaki itu lekat-lekat, "Hei! Bukankah kau si murid yang begadang di Kafeteria saat ujian kenaikan tingkat?"
Lelaki itu tersenyum. "Iya, itu aku."
"Sebentar!" Rosseline mengeluarkan buku dari dalam pocket miliknya. Lalu menyerahkan buku itu kepada lelaki di hadapannya. "Kau meninggalkannya di Kafeteria."
"Ah, terima kasih." Lelaki itu menunduk pelan.
"Bukan masalah."
"Permisi, Miss."
Mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Gadis dengan surai merah pendek berjalan menghampiri mereka. Ada beberapa buku di dekapannya. Gadis itu―Clyde―mengerjapkan matanya beberapa kali. Tampak terkejut melihat lelaki yang ada di sampingnya. "L-Leon?"
Leon menyunggingkan senyum. "Clyde? Lama tak bertemu!"
Clyde memutar bola matanya, jengah. "Jangan bercanda. Kita baru saja bertemu dua bulan yang lalu, ingat?"
"Itu sudah lama!"
"Wah, kalian sudah saling mengenal?"
Clyde sontak menggeleng begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan Rosseline. "Aku tidak mengenalnya. Aku hanya tahu namanya saja, dan kebetulan kami sering bertemu secara tidak sengaja."
Rosseline mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti.
"Iya, Miss. Kami saling mengenal," jawab Leon cepat. Tak lupa seulas senyum manis di wajahnya.
Clyde melotot. "Jangan sok kenal!" Begitulah arti dari tatapannya.
"Oh," Rosseline mengangguk mengerti. "Seharusnya kalian katakan dari awal. Omong-omong, namamu Leon? Aku baru tahu kalau ada murid sepertimu di Akademi. Kau di kelas mana? Alchemis?"
"Aku di kelas Senior, jurusan netralize witch," jawab Leon sopan.
Rosseline terbelalak. "Sungguh? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Sepertinya aku sudah tua, ya?"
"Kau bahkan belum menikah," gumam Wanda.
Rosseline menatap histeris. "Jangan ingatkan aku hal itu. Kumohon?"
Wanda memutar bola matanya. "Yasudah, kalau tidak ada hal penting yang harus dibicarakan, aku masuk dulu."
"T-Tunggu, Miss Wanda," cegat Clyde, "Aku ke mari untuk berbicara denganmu. Ini hal penting!"
"Oh? Sungguh?" Leon melirik sinis. "Apakah kau akan mengaku sekarang?"
Clyde balas menatap sinis. "Urus urusanmu sendiri. Jangan ikut campur!" desisnya tajam.
"Haha, oke." Leon tertawa. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih bukunya, Miss Rosseline. Selamat pagi!"
Clyde menatap awas sosok Leon yang kini berjalan santai menjauh darinya, hingga sosok lelaki itu hilang ditelan jarak. Clyde mendengus pelan. Baginya, Leon adalah sebuah penghalang untuk mencapai tujuannya.
"Aku tak pernah melihatnya selama aku mengajar di sini," Rosseline bersedekap.
Clyde menatap tepat di manik gurunya itu. "Miss, boleh aku bertanya?"
"Hm? Tentu."
"Apakah seorang murid boleh menerima ujian khusus dari tiga tingkat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan?"
"Huh? Mengapa kau menanyakan hal ini?"
"Jawab saja," desak Clyde.
Rosseline menyenderkan tubuhnya ke dinding yang berada di belakangnya. "Hm ... setahuku tidak ada kebijakan seperti itu. Hanya kelas A yang boleh memberikan ujian khusus untuk naik tingkat dalam waktu sehari. Karena, kelas A adalah kelas yang berkreditasi unggulan."
Clyde mengangguk mengerti. "Terima kasih."
"Sama-sama," Rosseline memutar kenop pintu, "Kau mau bicara dengan Wanda, 'kan? Silakan masuk."
Clyde terdiam. Dia menggepalkan telapak tangannya erat-erat. Dari sorot matanya, terdapat kebencian yang begitu kontras. "Iya," jawabnya seraya memasuki ruangan kepala sekolah.
***
"Uh ... Luminas Festival sebentar lagi akan tiba!" Lizzy mengetuk-ngetuk pelan meja menggunakan tinjunya. "Aku gugup! Aku tidak sabar!"
"Kau ini aneh sekali," cibir Yura, "Aku justru malas ikut Luminas Festival. Aku tidak berbakat dalam hal bertarung."
Gerakan tanganku yang hendak membuka halaman selanjutnya dari buku yang kubaca terhenti. Aku menatap Yura dengan sebelah alis terangkat. "Eh? Memangnya boleh kalau tidak ikut?"
"Boleh boleh saja," jawab Yura, lalu menguap pelan, "Festival itu 'kan hanya untuk menentukan peringkat. Aku tidak terlalu peduli masalah peringkat, sih. Lagipula, jika aku ikut, nanti bisa saja aku melawanmu, 'kan? Aku tidak mau."
"Kau akan menarik ucapanmu saat kau mengetahui jumlah hadiahnya," Flo menghampiri meja dimana aku, Lizzy, dan Yura duduk. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, gadis itu menarik kursi dan duduk tepat di samping Lizzy.
"Eh? Ada hadiahnya?"
"Tentu saja!" Flo menopang wajahnya menggunakan telapak tangan. "Jika kau terpilih menjadi peringkat pertama, maka satu permohonanmu dapat dikabulkan."
"Kalau aku minta satu gudang baju, apakah boleh?" tanya Yura.
Flo mengangguk, "Selama masih di garis kewajaran, tentu saja boleh!"
"Kalau begitu, bagaimana jika aku minta sekolah ini untukku saja?"
Flo melotot. "Aku sudah bilang selama masih di garis kewajaran!"
"Aku penasaran," gumamku seraya menutup buku yang tadi sempat kubaca, "Beth masih ada di peringkat pertama hingga sekarang, 'kan?"
"Yup! Total poinnya 998."
"Lalu, tidak ada permohonan yang dapat dikabulkan?" tanyaku, "Bagaimana cara mendapatkan poin?"
"Hm ... memang belum ada yang bisa mengalahkan putri Annabeth hingga sekarang," jawab Lizzy. Dia memainkan anak rambutnya yang berwarna ungu pudar. "Tapi, Romeo berada di posisi kedua. Poin Romeo 990. Poin dihitung melalui penyerangan kita yang mengenai lawan."
"Tapi-tapi-tapii...!" Flo berkata dengan sangat girang, "Apakah kau tahu? Peringkat sepuluh besar akan mendapatkan hadiah berupa poin. Peringkat kedua dan ketiga akan mendapatkan jatah liburan sebagai tambahan. Bagaimana? Keren, 'kan?"
Kali ini, mata Yura berbinar. "Liburan?"
"Kau ini ... kalau liburan nomor satu," cibir Lizzy.
"Itu bagian terbaiknya!"
"Oh." Aku melemparkan tatapanku ke lain arah. Entah kenapa, aku tidak terlalu bersemangat dengan festival itu. Mungkin karena efek aku terlalu lelah hari ini. Tadi ada jam pelajara bertarung di Gedung olahraga. Dan sekujur tubuhku pegal-pegal sejak tadi. Clyde tidak dapat kutemukan di UKS, maka Lexy―wakil ketua badan kesehatan―yang mengobatiku. Efek kekuatannya memang tidak sebagus Clyde yang bisa membuat rasa sakit hilang, tapi tak apalah, yang terpenting rasa nyeri di tubuhku berkurang.
Pandanganku terkunci pada dua sosok lelaki yang sedang bercengkerama di sudut Perpustakaan. Meskipun mereka terhalang oleh rak-rak buku, namun aku masih dapat melihat sosok mereka melalui celah yang ada.
Aku jelas mengenal mereka. Mereka sepertinya sedang berbicara serius. Apa yang sedang mereka bicarakan?
"Kena? Bagaimana?"
Aku refleks menoleh. "Apanya?"
"Duh! Kau ini tidak mendengarkan ya?" Flo memajukan bibirnya beberapa senti. "Kau mau ikut festival atau tidak?"
"Hm... entahlah," aku mengendikkan bahuku. Mataku masih melirik-lirik sosok dua lelaki tadi. Entah mengapa, aku jadi cemas.
"Kau melihat apa?" Flo memiringkan tubuhnya, hendak melihat kemana arah lirikan mataku.
Aku cepat-cepat berdiri, menghalangi pandanhan Flo. "T-Tidak. Aku hanya ..." aku berpikir sesaat, "Ingin ke Toilet!" lanjutku.
"Oh... yasudah sana," Flo mengibas-ngibaskan tangannya, "Kupikir apa."
Aku mengangguk kikuk, lalu berjalan cepat menuju pintu keluar. Saat berada di ambang pintu, aku menoleh ke meja yang ditempati Yura, Flo, dan Lizzy. Sepertinya mereka tidak terlalu memperhatikanku. Syukurlah.
Dengan cepat, aku berjalan menuju balik rak buku agar tidak dilihat oleh mereka. Bisa bahaya jika mereka tahu aku sedang berbohong. Aku menyelinap di antara rak-rak buku besar yang menjulang di sekitarku. Hanya dalam hitungan detik, aku telah tiba di rak paling akhir―pojok ruangan. Tanpa sadar, aku bersembunyi di belakang sebuah rak, memperhatikan mereka berbicara.
"Haha, kau ini bicara apa? Jangan melucon." Lelaki berambut hitam kelam itu terkekeh. Dia menepuk-nepuk pundak lawan bicaranya beberapa kali.
Lelaki yang menjadi lawan bicaranya menatapnya datar―nyaris tanpa ekspresi, kecuali ekspresi seriusnya itu. Dia menepis tangan lelaki bersurai hitam itu sedikit kasar. "Kalau begitu, jauhi dia."
Aku mengerjap. Dia? siapa?
Lelaki itu kembali tertawa. "Kau tidak punya hak untuk melarangku. Kau bukan siapa-siapanya."
"Hanya belum, tidak bukan."
Lelaki bersurai hitam itu melirikku, tepat di manik mataku, membuatku tersentak kaget. Dia kembali mengarahkan pandangannya kepada lawan bicaranya. "Kalau begitu, semoga beruntung, kawan."
"Ingat," ujar lawan bicaranya, "Aku selalu mengawasimu." Entah mengapa, nada bicaranya begitu mengintimidasi.
Sekali lagi, lelaki berambut hitam itu tertawa, lalu memutar tubuhnya, berjalan menjauh. Dia melambai sekilas, "Baiklah, baiklah. Sampai nanti, Sena," ia berhenti melangkah, menoleh ke belakang. Senyum tersungging di bibirnya, "Dan Kena juga!" tambahnya, sebelum akhirnya melanjutkan langkah.
Sena refleks menoleh ke arahku. Meski wajahnya tetap datar, tapi aku tahu bahwa dia terkejut. "Sudah berapa lama kau di sana?"
Aku keluar dari tempat persembunyianku, tersenyum canggung. "Um... baru saja," jawabku pelan. Percayalah, saat ini jantungku sedang berdegup sangat kencang seperti dedang marathon mengelilingi satu dunia. Jadi, seperti ini yang namanya tertangkap basah?
"Oh," dia menyembunyikan kedua telapak tangannya ke saku jaket. Aku baru menyadari bahwa Sena sedang memakai jaket. Dia kenapa? Apakah sedang sakit? Tidak mungkin 'kan dia memakai jaket pada hari sepanas ini? Kecuali jika dia memang sakit.
Ah, jika diingat-ingat, sudah tiga hari aku tidak bertemu dengannya. Ternyata lama tidak melihat wajah datar tanpa ekspresinya membuatku rindu juga. Haha, dasar, aku ini aneh sekali.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?"
Aku sontak menggigit lidahku. Apakah aku sedang tersenyum? Gawat! Aku tersenyum tanpa kusadari. Jika ini terjadi lagi, aku bisa dianggap orang tidak waras!
"Ah, tidak," aku menggeleng, "Aku hanya berpikir sudah berapa hari kita tidak bertemu."
Sena mengangkat sebelah alisnya. "Lalu, apa yang dapat disenyumkan?"
"Lucu saja, tidak ada orang yang mengajariku dengan raut datarnya saat jam pelajaran," aku mulai tertawa saat mengingat momen aneh tersebut, "Oh, dan juga tidak ada orang yang menatapku datar seperti hendak mengatakan sesuatu setiap saat. Haha, aneh sekali." Tawaku tersumpal begitu aku mengatakan hal tersebut. Dengan cepat, aku menatap Sena dengan tatapan serius. "Ataukah kau memang hendak mengatakan sesuatu padaku?"
Kening Sena mengerut samar. Sepertinya dia tadi tersentak, tapi mungkin saja itu hanya halusinasiku. Sena mengelus tengkuknya, menatapku ragu. "Aku―"
"Haha, hanya bercanda," aku kembali tertawa lepas. Rasanya menyenangkan sekali menjahili Sena. Lihatlah wajahnya yang terlihat terkejut itu. Jarang sekali aku dapat melihatnya. Tangaky memegang erat perutku yang sedikit sakit akibat terlalu banyak tertawa. Aku menepuk bahu Sena beberapa kali. "Maaf, maaf. Aku hanya bercanda. Jangan diambil serius," ujarku setelah tawaku mereda.
Sena masih terdiam untuk beberapa saat, membuatku berpikir apakah dia sedang marah atau tidak?
Ah, sepertinya dia memang sedang marah.
Ini gawat! Maksudku, aku tidak pandai membujuk orang marah. Apalagi, Sena tidak pernah menunjukkan secara terang-terangan bahwa dia marah padaku. Jika saat ini Sena marah, tamatlah riwayatku!
"S-Sena, aku hanya bercanda," kataku mulai panik. Aku menarik-narik ujung lengan pakaian Sena, "Ayolah, jangan marah. Katakan sesuatu!"
Sena tetap terdiam, menatap lurus ke depan. Dia bahkan tidak mau menatapku!
"Sena...!" aku mulai putus asa. Kali ini, aku mengatupkan kedua tanganku ke pipinya, lantas menariknya ke bawah, memaksanya untuk menatapku. "Kumohon katakan sesuatu! Aku hanya bercanda! Jangan marah!"
Kami saling menumbuk netra. Aku menatapnya dengan tatapan memohon yang begitu mendalam. Meskipun aku tahu bahwa Sena tidak akan luluh padaku. Orang pendiam saat mereka sedang marah memang menyeramkan!
"Pft."
Mataku mengerjap.
Ha?
Sena menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dia menahan tawanya! Itu dapat kusadari saat aku melihat ujung bibirnya yang samar tertarik ke atas. "Aku bercanda. Aku tidak marah."
Aku mengembungkan pipiku, merasa kesal karena berhasil dipermainkan olehnya. Dengan sebal, aku mencubit kedua pipinya. "Dasar menyebalkan!"
Sena menyentuh kedua tanganku yang sedang sibuk menarik-narik pipinya, berusaha melepaskan cubitan dariku sebelum pipinya melar. "Sakit."
Aku melepaskan cubitanku, mengalah. Sebenarnya karena kasihan juga. Cubitanku 'kan terkenal pedas dan menyakitkan. Aku bersedekap, membuang muka. "Huh! Biarkan saja sakit! Habisnya kamu menyebalkan!"
"Kamu marah?"
Aku mendelik begitu mendengar ucapannya. "Siapa yang marah? Aku? Aku tidak marah!"
"Tapi kenapa nada bicaramu ketus?"
"Aku tidak marah!"
"Kau terlihat seperti orang marah."
"Sudah kubilang, aku tidak marah!"
"Kenapa sekarang kamu yang marah?"
Aku berdecak kesal. "Karena kamu sudah membuatku marah!"
"Berarti kamu memang marah," ucapnya yang membuatku kehabisan kata-kata. Sena mengangguk-anggukan kepalanya, tampak puas karena menang berdebat denganku.
"Kau ..!" aku menggertakan gigiku. Sena itu memang laki-laki paling menyebalkan sedimensi sihir!
"Ada apa di sini? Kenapa berisik sekali?"
Aku terkejut begitu melihat seorang wanita menegur kami. Namanya Miss Dely, dia penjaga Perpustakaan di sini.
Sena menggeleng, "Aku dan Kena sedang berebut buku untuk dibaca," Sena menunjukkan sebuah buku di genggamannya, "Maafkan kami jika membuat keributan."
"Kupikir apa," Miss Dely berkecak pinggang. Dia membenarkan letak kacamatanya yang sedikit miring dari batang hidungnya. "Lain kali, jangan membuat keributan. Kalian bisa mengganggu murid yang lain."
Aku dan Sena menunduk kecil. "Maafkan kami. Kami mengerti."
"Bagus."
Setelah memastikan Miss Dely sudah hilang dari pandangan, aku menyikut rusuk Sena, membuat lelaki itu meringis dan menatapku tidak mengerti. "Apa?"
Aku melotot. "Kau tadi berbohong!"
"Lalu, aku harus menjawab apa?"
"Yang sejujurnya!"
"Kau mau aku bilang bahwa kau sedang marah padaku?"
Aku terdiam sesaat, lalu kembali menyikut rusuk lelaki itu. Membuat Sena meringis untuk kedua kalinya. "Daripada berbohong, lebih baik diam."
"Itu tidak sopan, Kena." Sena menatap datar.
"Uh ..." aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, "Baiklah, mari kita lupakan saja masalah barusan."
Sena mengangguk. "Oke."
Hening.
Tak mau berada di dalam keheningan ini terlalu lama, aku melontarkan sebuah ajakan, "Sepertinya aku harus kembali. Mau ikut belajar bersama? Yah, sebenarnya tidak juga. Yura sama sekali tidak menyentuh buku. Mungkin, seperti ... mengobrol?"
"Sedari tadi kita sedang mengobrol," balas Sena singkat, padat, jelas, dan tidak mudah dipahami.
Beruntung, aku sudah terbiasa sabar menghadapinya. Kalian tidak lupa 'kan kalau aku selalu bersamanya dua tahun terakhir? "Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku!" aku berseru tertahan―tidak ingin ditegur membuat keributan untuk kedua kalinya.
"Sepertinya tidak dulu," jawab Sena akhirnya, "Aku mau menemui Clyde."
"Clyde tidak ada di UKS," ujarku cepat begitu mengingat bahwa tadi aku tidak menemukan keberadaan Clyde di sana, "Memangnya kau mau apa? Berobat?"
Sena menggeleng. "Aku mau memberikan kristal penetral kepadanya."
Aku mengangguk mengerti. Di Sekolah ini, memang belum semua orang mendapatkan kristal penetral. Tapi kulihat, sudah hampir semuanya punya. Jadi, mungkin sebentar lagi pekerjaan paruh waktu Sena sebagai produsen kristal telah berakhir.
"Baiklah, aku akan mencarinya ke tempat lain. Sampai nanti."
Aku melambaikan tanganku, "Sampai nanti."
Saat baru tiga langkah menjauh dariku, Sena kembali membalikan tubuhnya, menatapku lekat-lekat. "Sebenarnya ... aku memang hendak mengatakan sesuatu padamu."
Alisku bertaut. "Huh?"
"Tapi mungkin ... nanti saja," Sena kembali melangkah menjauh, "Aku akan katakan setelah pertarungan kita. Semoga kau tidak melupakan taruhan kita ya, Kena."
Hah? Dia sengaja ya mau membuatku penasaran sampai festival luminas digelar? Itu 'kan masih bulan depan!
Ternyata Sena memang pandai membuatku merasa sebal.
***TBC***
Magic Cafe
HEI HOOOO!! BERTEMU LAGI VARA DI SINI~♡
Kangen gak sama magic cafe? Gak ya? Wkwkkwkk.
Oke, Vara buka magic cafe, karena Vara mau menyampaikan sesuatu kepada Sena. Yup. Ada seseorang yang menitipkan pesan untuk Sena di GC. Sebagai warga negara wattpad yang baik, maka Vara menyampaikannya kepada Sena (plak)
Sena: ...? Aku?
Kena: Huwa! Sena! Kamu jadi terkenal! Hebat, hebat!
Sena: ...
Oke, nggak perlu banyak chit chat lagi, ini diaaaa!
Sena dapet pesen dari noniesha
GIMANA? GIMANA?? IYA, MENURUT VARA SIH INI PESANNYA BERFAEDAH BANGET WKWKWKWKK.
Sena: Senpai sudah bosan hidup?
Kena: Apa maksudnya, Sena? Kau mengerti? Aku tidak mengerti!
Sena: Belum. Belum sekarang.
Kena: Heee??? Kenapa??? Beri tahu aku apa maksudnya! Apa yang dimaksud kode? Deretan angka? Password sesuatu??
Sena: ... Kapan-kapan saja ya aku memberitahumu?
Kena: Astaga kau pelit sekali :(
EHEM! Sena! Kalau sudah dapet pesan dari seorang readers, bilang apaaa?
Sena: ... Bosan hidup?
WOY! BILANG MAKASIH! JANGAN MALAH NGANCEM!!
Wah, ini anak udah ga bener. Gengsinya kegedean!
Pergi hush! Hush! //ngusir Kena Sena.
Ehem. Karena kehadiran mereka malah bikin kacau suasana, kadi MC Vara akhiri sampai di sini saja.
Makasih ya noniesha-chan udah kirim surat!
Kalau ada pesan dari kalian yang juga mau dikasih buat karakter, bisa chat Vara.
Udah ya! Bubyeeeee.
See u next path!
Big Luv, Vara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro