Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Path-21 : Dig Down

Sena menyenderkan tubuhnya ke senderan kursi di Ruang tunggu. Dia menatap kosong langit-langit Ruangan. Entah kenapa, ujian tetap harus berjalan meskipun ada kejadian aneh seperti tadi. Dinding sihir yang memisahkan antara Arena dua dengan Arena satu retak, lalu muncul sosok Kena yang sudah babak belur dari sana. Padahal, Hanz―yang merupakan bagian keamanan―sama sekali tidak mendapatkan radar aneh dari Arena dua. Di setiap Arena dipasang alat yang dapat mengirimkan sinyal saat ada murid yang terluka. Kata Romeo, kemungkinan terbesar adalah alat tersebut telah di-hack oleh seseorang.

Sena yang kebetulan mendapat Arena satu terkejut bukan main saat melihat kejadian tersebut lewat kaca Ruang tunggu yang terhubung langsung dengan Arena bertanding. Bagaimana mungkin kejadian seperti itu dapat terjadi di saat yang penting seperti ini? Saat ujian kenaikkan tingkat yang menyibukkan semua orang. Musuh benar-benar memanfaatkan momen ini. Dia pasti sudah tahu betul seluk beluk Sekolah.

Tidak ada yang dapat memungkiri, kalau musuh bisa jadi ada di sekitarnya.

Sena menghela napas pelan. Tadi Hanz dan Romeo sempat membujuknya untuk menetrlalkan sihir hitam Riana. Akan tetapi Sena menolak. Bukan karena semata-mata Sena membencinya―meskipun memang benar Sena sangat membenci gadis itu yang telah mencelakai Kena. Sena bukannya tidak mau, tapi Sena tidak bisa menetralkannya. Mungkin dia yang dulu bisa. Sekarang, mustahil.

Kekuatan netraler yang dimiliki Sena telah melemah karena telah digunakan untuk membuat kalung penetral. Setiap hari dia menciptakan 20 sampai 50 kalung penetral untuk diberikan kepada Clyde, lantas Clyde akan membagikannya kepada murid-murid.

Gejala yang ditimbulkan akibat terlalu banyak menggunakan kekuatan mulai Sena rasakan. Dia tidak bisa menetralkan serangan musuh lagi. Mungkin hanya mengurangi efek serangannya saja. Itu mengapa saat ujian kelompok, dia lebih banyak berdiam diri dan menyerahkan tugasnya kepada tim. Bukannya takut atau apa, tapi Sena hanya tidak mau jika yang lainnya tahu dan membuat mereka cemas.

Sena benci dikasihani, melihat pandangan mereka yang begitu merendahkan, hanya memintanya untuk bersabar tanpa berusaha untuk membantu. Itu memuakkan.

Entah sudah sejak kapan, kondisi fisik Sena mulai melemah. Staminanya tidak sekuat dulu. Jadi, mau tidak mau setiap pagi dia harus rutin berolahraga. Melelahkan, namun setidaknya berkat tindakannya dia dapat membantu untuk menghentikan sihir hitam yang menyebar di Sekolah.

Sena menoleh saat merasakan ada yang menepuk bahunya. Rautnya selalu datar seperti biasa. Dia terlalu malas untuk berekspresi, karena menurutnya merepotkan.

Yura yang menepuk bahu Sena setelah beberapa saat menyadari bahwa lelaki itu tampak memikirkan banyak hal. Tidak sulit untuk menerka isi pikiran dari wajah datarnya saat melihat tatapan lelaki itu yang begitu mematikan. Yura mengukir senyum hangat, "Jangan terlalu dipikirkan. Ayolah, kau harus semangat!" Rasanya aneh jika Yura mencoba menyemangati orang, padahal dia sangat benci disemangati. Tapi mau bagaimana lagi? Sena saat ini memang perlu asupan semangat dari orang lain. "Aku yakin Kena baik-baik saja. Dia sangat kuat! Kau ingat, dua tahun lalu saat dia disekap oleh Dark witch dan dia berhasil selamat? Itu sudah membuktikan betapa besarnya semangat hidupnya. Makanya, kamu juga tidak boleh putus asa!"

Sena mengulum senyum tipis, mungkin terlalu tipis sehingga membuat Yura mengira bahwa dia hanya berhalusinasi. "Iya ... aku tahu."

"Lantas, kenapa kerutan di keningmu itu begitu kontras?" Alis Yura bertaut. "Dari dulu hingga sekarang, saat kau merasa kesal, tatapanmu berubah menakutkan!"

"Maaf," Sena memejamkan matanya beberapa saat. Tanpa sadar sorotnya berubah.

"Untuk nomor peserta 57 harap untuk bersiap-siap. Sekali lagi untuk nomor peserta 57 harap untuk bersiap-siap, terima kasih."

Yura mendorong pelan punggung Sena, "Sana pergi, nomormu sudah dipanggil."

"Iya." Sena beranjak berdiri, berjalan tenang menuju pintu masuk Arena. Dia menatap seorang pengawas yang bertugas memanggil nomor peserta. Tatapannya terjatuh pada seorang lelaki bersurai hitam kelam yang akan menjadi lawannya kali ini. Tatapannya kian menajam sesaat lelaki itu mengembangkan senyum lebar.

"Kita bertemu lagi," Leon memiringkan kecil kepalanya. Dia mengulurkan tangan, "Ayo berjuang bersama."

Alih-alih menjabat, tatapan Sena berubah mengintimidasi. "Kita lihat ... siapa yang akan berakhir sebagai pecundang."

Leon tertawa. "Aku tidak sabar melihatmu berlutut di hadapanku dan memohon."

"Kita lihat saja nanti," kepalan tangan lelaki bersurai merah itu semakin erat. "Setelah pertarungan."

***

Dalang dari sihir hitam ...

Dia ... dalangnya ...!

Dia pasti!

"D-DIA DALANGNYA!" Mataku terbelalak, aku refleks beranjak duduk, kemudian meringis pelan saat merasakan pening menjalar di kepalaku. Napasku menderu cepat. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, menatap panik. Dalangnya ... mana dalang dari sihir hitam?!

"K-Kena ... tenang dulu."

Suara yang familiar ini membuatku sontak menoleh. Lizzy berdiri di sisi ranjang, mengulurkanku segelas air. Aku menatap tidak mengerti. "Ta-tapi Riana ... Riana yang menyebarkan―"

"Ssssst," Lizzy tersenyum hangat, mencoba menenangkanku. "Minum dulu. Kau harus tenang, ya."

Meski sedikit bingung, aku menurut. Aku hendak mengambil alih gelas dari tangan Lizzy, namun rasa nyeri menjalar di tanganku. Aku menunduk, menatap lengan kanan dan kiriku yang dibabat perban. Bukan hanya lenganku saja, tapi kakiku juga. Aku menyentuh kepalaku. Syukurlah kepalaku tidak dibalut perban.

Lizzy yang tampak menyadari kesulitanku, berinisiatif membantuku untuk minum. Setelah menebas habis ini gelas, aku mulai tenang dan dapat berpikir jernih.

"Kau ingat?" Lizzy menatap cemas. "Semuanya?"

Aku mengangguk. Aku sudah ingat. "Lalu, Riana bagaimana?"

"Dia bukan dalang yang menyebarkan sihir hitam," Lizzy tersenyum menyayangkan. "Dia hanya terkena sihir hitam yang menguasai pikirannya. Padahal kamu sudah berusaha, tapi akhirnya justru ..."

"Tidak apa," aku tersenyum kecut. "Setidaknya, aku bersyukur pelakunya bukan murid di sini. Seharusnya aku tidak boleh gegabah, kan?"

"Iya," Lizzy melebarkan senyum manisnya. "Kau tahu, saat kau tidak sadarkan diri, banyak yang mengkhawatirkanmu."

"Oh?" Aku menaikkan sebelah alisku. Mataku menjelajahi sekitar. "Sena mana?"

"Dari sekian banyak orang, harus Sena yang paling pertama kau cari?" Lizzy menaik turunkan alisnya, menggodaku.

Aku memutar bola mata, jengah.

Lizzy tertawa. "Sena dari kemarin memaksa untuk menjagamu. Dia bahkan hampir tidak mau melanjutkan ujian. Kalau bukan atas paksaan Romeo, mungkin Sena tidak akan lulus kelas Amature."

Tubuhku refleks membeku. "L-Lulus ...? Pengumuman lulusnya sudah diumumkan?""

"Sudah," Lizzy tersenyum, "Aku lulus! Yura, Sora, dan Juliet juga."

"A-ku ... bagaimana?" Aku tahu ini pertanyaan yang bodoh. Jelas aku tidak akan pernah lulus dengan total poin yang kurang seperti itu.

"Yah ... begitulah ..." raut wajah Lizzy berubah sedih. "Maaf Kena. Tapi ... kamu ..."

"Aku tahu," aku memaksakan seulas senyum, meski hatiku kini menangis. Aku sudah berjanji akan menerima apapun hasilnya, kan? Aku tidak boleh menangis.

Alih-alih menyemangati, Lizzy justru balas bertanya, "Tahu apa?"

"Aku tidak lulus, kan?" Rasanya sakit mengatakan hal itu lewat mulutku sendiri.

"Huh? Kata siapa?"

Mataku mengedip sebanyak dua kali. "Eh? Katamu, kan?"

Lizzy tertawa. "Jika aku bicara, jangan dipotong dulu. Aku padahal mau bilang bahwa kamu lulus ujian kenaikkan tingkat."

Mataku melebar. Aku menatap tepat di manik sahabatku itu, berusaha mencari kebohongan dari tatapannya. Nihil. Berarti dia berkata jujur. Astaga, ini bukan mimpi, 'kan? Aku sudah sadar dari pingsan, 'kan?

"Astaga, aku serius," Lizzy tersenyum lebar hingga matanya melengkung seperti bulan sabit. "Total jumlah poinmu mencukupi untuk lulus kelas Amature. Berdo'a saja kalau kamu bisa masuk jurusan Front witch.

Aku mengangguk semangat. Sesuatu seperti meluap di dadaku. Aku senang sekali mendengarnya. "Syukurlah kalau begitu." Aku menoleh ke jendela di samping ranjang yang tertuju langsung ke lapangan luas. Hamparan permadani bersama pepohonan rindang membuat suasana hatiku menjadi sejuk. Syukurlah, semua baik-baik saja. Meskipun ada insiden yang tak diinginkan terjadi, setidaknya tidak ada yang terluka.

Cukup aku saja yang terluka. Aku rela diriku terluka asalkan orang-orang di sekitarku selamat.

Semoga saja ... dalang dari sihir hitam bisa segera ditemukan.

***

Juliet meraih sebuah kertas yang terstreples dari tumpukan dokumen. Matanya tergerak, membaca huruf yang tergores di sana dengan cepat. "Kena masuk kelas apa?" tanyanya begitu selesai membaca tulisan di kertas yang dia genggam.

"Front witch A," jawab Romeo tanpa menghentikan aktivitas menulisnya. Setelah ujian kenaikkan tingkat amature selesai, pengumuman lulus segera diberi tahukan. Lalu, Romeo kembali melakukan kerjaannya―memilah data murid per kelas―mengabaikan fakta bahwa dia belum beristirahat seharian. Seharusnya itu menjadi kerjaan guru, namun Romeo bersikeras untuk mengaturnya. Memang tidak semuanya, hanya nama-nama yang terpilih untuk masuk ke jurusan front witch saja. Dan Juliet hadir di sini―ruangan khusus milik Romeo―untuk membantu meringankan kerjaan lelaki itu. "Aku berencana memasukkan beberapa anggota Dewan ke kelas yang sama. Bagaimana menurutmu?"

"Kena di front witch A, 'kan? Berarti dia sekelas dengan Hanz dan Ryan. Tambahkan saja Sena dan Lizzy ke kelas yang sama," Juliet berpendapat. Tubuhnya ia senderkan ke dinding ruangan, menatap lurus ke arah Romeo yang masih sibuk menulis seuatu―entah apa.

Romeo termangut-mangut, "Hm ... alasan?"

Juliet menarik napas, "Karena Lizzy cukup kuat, dia pasti bisa melindungi Kena. Lagipula mereka sangat akrab. Dan kalau Sena ... Kenalah yang harus menjaga Sena."

"Lho? Kenapa begitu?"

"Iya, Kena harus menjaga Sena agar lelaki merah itu tidak membakar satu Sekolah demi mencari pelaku sihir hitam." Hening sesaat. Perkataan Juliet sukses membuat perhatian Romeo larut. Romeo mengangguk membenarkan pernyataan Juliet.

"Kau benar," Romeo menuliskan nama Sena dan Lizzy di daftar kelas A jurusan front witch. "Sebenarnya aku berniat untuk membuat Yura sekelas dengan Kena. Sayangnya anak itu masuk jurusan netralize witch."

"Ya ... mau bagaimana lagi, kan? Total poin Yura memang hanya cukup untuk membuatnya tembus jurusan netralize witch."

"Ya sudah, kalau begitu kau boleh pergi," Romeo meraih cangkir kopinya yang sempat dibawakan Vere untuknya. "Sisanya aku yang akan urus."

"Huh, kau mengusirku?" Juliet menatap hina. Gadis itu mendekat ke arah Romeo, menahan gerakan tangannya untuk mengangkat cangkir kopi. "Minum kopi terlalu banyak tidak baik untuk kesehatanmu!"

"Bukan begitu maksudku," Romeo sontak menggeleng. "M-Minum kopi mengusir jauh rasa kantuk. Jadi ..."

"Alasan," desis Juliet. Gadis itu merebut cangkir kopi dari tangan Romeo, berjalan menuju jendela yang terbuka lebar lalu membuang isi cangkir tersebut ke luar jendela.

Mata Romeo melotot, "Kalau air kopinya terkena orang bagaimana?!"

"Berarti mereka sedang sial," Juliet menjawab acuh. "Pengumuman pembagian kelas masih akan diberitahu hari Senin, 'kan? Masih lama. Ayo, sekarang kamu ke Kafeteria," Juliet meraih tangan Romeo, menyeretnya paksa.

"E-Eh! Tapi itu dua hari lagi!"

"Tidak ada salahnya 'kan menggunakan sehari saja untuk beristirahat?" Juliet menggenggam semakin erat tangan Romeo, menatap lurus ke depan. Meski sedang berjalan, namun langkah kakinya begitu cepat sehingga membuat Romeo sedikit kesulitan untuk mengikutinya. "Ayo, aku yang akan memasakkanmu makanan. Setelah itu, kau harus segera tidur!"

Romeo mengulum senyuman. "Sudah lama aku tidak makan masakanmu. Terakhir kali aku memakannya, saat ulang tahunku yang ke lima belas."

"Itu karena kita masih tinggal bersama di Istana."

"Tetap saja, 'kan?" Romeo mempercepat langkahnya, mensejajarkan diri dengan Juliet. "Baiklah, aku akan beristirahat. Aku sangat senang bisa makan masakanmu, Juju!"

"Jangan panggil aku seperti itu!" Juliet membuang muka. "Lagipula, aku melakukan ini atas perintah Raja yang memintaku untuk menjagamu di sini."

Romeo tertawa, mengacak rambut Juliet. "Baiklah, baiklah."

***

Lizzy mengelap rambutnya yang basah menggunakkan handuk. Setelah mandi, dia merasa jauh lebih segar. Meski tubuhnya sedikit menggigil karena tidak terbiasa mandi di malam hari, tapi setidaknya kebugarannya tetap terjaga.

Gadis itu menatap lurus kepada seseorang yang tengah duduk di atas ranjang, memunggunginya, melihat jendela kamar yang masih terbuka lebar. Membiarkan kesiur udara dingin malam masuk. Lizzy mengalungkan handuknya di pundak, berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Alice di sana, duduk termenung, memeluk erat kedua lututnya. Kacamata yang bertengger di batang hidungnya tampak berkilau diterpa cahaya bulan. Ada memar di lehernya, dengan simbol Coctyus yang tak kunjung menghilang meski sudah dipakaikan kalung penetral sebanyak apapun.

Ia menoleh, menyadari kehadiran Lizzy yang sedari tadi menatapnya sendu. Alice menyunggingkan senyum manisnya, "Oh, halo Lizchan! Sudah mengantuk?"

Lizzy menggeleng pelan, "Belum."

"Aku juga belum," Alice kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Menatap bintang yang bertaburan di atas gelapnya langit malam. "Rasanya agak aneh ...," gumamnya.

"Kenapa?"

"Di saat aku merasa langit akan runtuh, akan tetapi masih ada bintang yang bertaburan di atas sana." Alice kembali tersenyum, hampa.

Lizzy menghela napas, menatap prihatin. Dia mengeluarkan sebuah buku berisikan mantra sihir dari pocketnya, lalu memberikannya kepada Alice. "Meski tidak bisa menggunakan kekuatanmu, kamu masih dapat menggunakan sihir, 'kan?"

Alice menerimanya ragu-ragu. "Iya. Memangnya kenapa?"

"Cobalah hapalkan mantra-mantra yang ada. Kalau bisa, kau harus menguasai cara meracik berbagai ramuan." Angin malam semakin kencang, menerobos masuk melalui jendela. Surai ungu pudar miliknya sedikit berkibar. "Jangan anggap dirimu tidak berguna, ya?"

Lizzy pikir, Alice akan mengatakan hal menyedihkan, atau lebih parahnya menangis. Namun entah mengapa Alice justru tertawa, membuat kerutan terlihat di kening Lizzy. "Duh, Lizchan memang sosok kakak yang baik," Alice membenarkan letak bingkai kacamatanya, "Kamu membuatku teringat kepada kakakku dulu."

"Kakak?" Mata Lizzy mengedip beberapa kali. "Kau memiliki saudara?"

Alice meluruskan kakinya, rileks. "Iya, keluargaku berada di dimensi manusia. Aku tinggal di sini bersama Bibiku. Bibiku sekarang tinggal di Desa Sezola, desa yang ada di Kerajaan Barat Laut."

"Oh. Kalau tidak salah, Hanz pangeran dari Kerajaan itu 'kan? Kau menyukainya karena itu?"

"Entahlah," Alice melepas kacamatanya. Penglihatannya sedikit kabur, meski masih dapat terlihat. Ia menatap kacamata perak di tangannya dengan senyum tipis. "Aku yang dulu hanyalah seorang gadis Desa, sama sekali tidak berhak menyukai seorang bangsawan. Tapi sejak pertemuan pertamaku dengannya, membuat presepsiku itu hancur. Dia orang yang sangat baik. Dia memiliki banyak penggemar, dan hal yang sebenarnya ironis adalah ... dia sedikit takut kepada perempuan.

"Hanz pernah hampir dicelakai oleh seorang perempuan. Aku yang waktu itu kebetulan sedang mengambil air di Sungai menolongnya. Mungkin sedikit ironis, dia mau menjadikanku sahabatnya sedangkan dia membenci perempuan, kecuali Ibunya, teman-teman yang dipercayanya, dan ... aku.

"Sebagai ucapan terima kasih, dia memberikanku kacamata ini," Alice memamerkan kacamata miliknya kepada Lizzy. Dia menunjuk ke gagang kacamata yang terukir huruf 'H' di sana. "Karena itu, aku mulai menyukainya. Aku masuk ke Sekolah yang sama dengannya meskipun kepintaranku rata-rata. Dan ... aku baru berani mengakuinya kepada kalian tahun lalu. Aku ini sebenarnya sangat pemalu, terlepas dari kepribadianku yang terlalu banyak bicara."

Lizzy mengangguk mengerti. Dia tersenyum. Semua orang pasti memiliki kisah cinta tersendiri. Kisah cinta Alice begitu manis, tidak sepertinya yang sangat pahit.

Mendengar cerita Alice, membuat Lizzy kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Ryan. Saat mereka baru berumur lima belas tahun, dan untuk pertama kalinya ia datang ke Istana menemani Ayahnya yang diundang ke Pesta perayaan ulang tahun sang Raja.

Ayah Lizzy memang seorang pengusaha sukses, dan secara otomatis keluarga Lizzy begitu terpandang. Ayahnya juga merupakan teman dekat sang Raja. Jadi, Lizzy dibesarkan di dalam peliknya politik.

Bertemu dengan Ryan adalah sebuah kebahagiaan sekaligus rasa sakit. Mengetahui fakta tentang pertunangan antara Ryan dan Annabeth, membuat Lizzy terpaksa mengubur dalam-dalam perasaannya.

Ah ... dia mengingatnya lagi. Seharunya tidak boleh.

Itu sangat menyakitkan.

Tapi meski begitu, Lizzy tidak mau menyerah dalam cintanya.

"Alice," panggil Lizzy. Suaranya sedikit serak. "Ayo berusaha. Semoga kita mendapatkan takdir yang baik untuk cinta kita!"

Alice terdiam, lalu tertawa. Dia menggunakan kembali kacamatanya dan mengangguk. "Semoga saja ya, Lizchan!"

Ya, semoga saja ... tidak ada penyesalan.

Meski tahu kenyataan bahwa cinta tidak selalu berakhir kebahagiaan, melainkan lara yang memutuskan asa.

Tapi setidaknya mereka telah berusaha.

A/N

Hmm..... ini Vara kesambet apa sampe ngetik galau-galau? Kayaknya Vara pas lagi nyeduh teh, malah masukin garem deh bukan gula.

Gadeng wkwk :p

Bingung mau masukin apa, soalnya konflik selanjutnya harus dimulai next chap. Karena masih banyak batas, jadi Vara masukin momen Romeo-Juliet wkwkkwk.

Tsundere Juliet, with over-active Romeo. Pasangan yang lucu wkwk.

Iya, seenggaknya mereka saling sadar perasaan masing-masing. Nggak kayak mereka ....
//lirik pairing sebelah.

Sengaja nggak masukin pertarungan antar Sena sama Leon, soalnya Vara udah wasted duluan karena nggak bisa nulis adegan action wkwkwkwkkk.

Ah, kalian ada rekomendasi cerita action? Vara butuh banyak refrensi. Soalnya untuk arc Luminas festival, banyak karakter yang bakal bertarung. Haha .... bisa tepar ini Vara wkwk :v

Jangan lupa klik bintang yang di ujung kiri yah! 😙

Vara nggak maksa kok. Tapi biar Vara lebih semangat aja ngetiknya hehe. (HalahLagiAdaMaunya)

Udah sih, mau ngomong itu aja wkwk.

Oke, cukup acara cuit-cuitan Vara, see u next path!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro