Si Bisu dan Batok Kelapa
Nak, duduklah. Memang bukan cerita sehebat Sultan Domas yang hendak aku tuturkan. Tahu kau tentang Si Bisu di pinggir pantai? Atau Makatau yang akhirnya bisa melepas dendam? Nah, duduklah. Duduk sini di sekitarku agar tidak sekadar embus angin yang dirasa, tetapi juga desiran kisah.
***
Nak, kau harus tahu bahwa lisan Nenek tidak pernah kering tentang Makatau. Meski tinggal sepasang telinga yang menyimak, suaranya tetap menemani para cucu sebelum terlelap. Makatau tidak pernah tidur, Nenek memulai. Jangan mendekat, Makatau tidak suka didatangi. Jangan berbuat buruk, Makatau menumpuk kesaktian dari segala perilaku jahat kita. Jangan lengah, Makatau selalu mengawasi. Lewat geraman yang sering terdengar, Makatau memberi peringatan.
Lantas, apa yang harus dilakukan kalau Makatau tetap mengancam? Pernah cucu tertua Nenek bertanya.
Nenek berhenti mengibaskan kipas anyaman daun kelapanya. Pelan dia berkata, lempar batok kelapa.
Kening cucu tertua berkerut.
Kepala cucu tengah mengangguk.
Mata cucu bungsu memicing.
Para cucu tertawan kisah Nenek. Saban siang turut mengajak teman melempar batok kelapa ke laut. Namun, lambat laun kisah Nenek hanya sekadar pemanis menjelang tidur. Suara Nenek tidak lagi pelan dan tegas, melainkan berbisik tidak jelas. Dari tiga pasang telinga, tersisa sepasang yang masih menemani. Cucu tertua sudah ikut bekerja. Ketika merebahkan badan, tidak lama lelap menyergap. Cucu bungsu sudah bisa berbaur dengan yang lain. Batok kelapa bukan lagi hal menarik. Tertinggal cucu tengah. Dengan tangan gemetar, sembari merapal harap, menatap Makatau yang berdiri semakin kokoh.
Makatau bergemuruh lagi. Hari ini terdengar lebih keras. Si Bisu—cucu tengah Nenek—menggenggamku kuat.
Hatinya berkata, kenapa Makatau semakin tampak kokoh? Padahal sudah sering dilempari batok kelapa.
Aku balas genggaman tangannya. Dia menoleh. Tatap kami bertemu. Makatau punya urusan, jawabku.
Dia mengernyit. Dengan alam?
Dendam.
Sorotnya kembali ke Makatau. Tangannya semakin kuat meremas. Sudah aku sampaikan, Makatau yang berdiri jauh di tengah laut itu memiliki kesumat tersendiri. Tentu Nenek tidak tahu soal ini. Hanya kami yang terhubung langsung dengan alam yang paham.
Makatau laiknya Si Bisu yang berdiri di sampingku. Sosoknya berbeda hingga dikucilkan. Biar diperintah berdiri di tengah laut, dia masih menyimpan ingin untuk diajak bergabung. Namun, sudah lama berganti musim, hingga manusia-manusia berkulit putih menapakkan kaki di darat tempatnya menaruh harap, ajakan itu tak kunjung datang. Sampailah dia pada kenyataan bahwa sedari awal memang tidak diperkenankan bergabung. Dia dibuang dengan cara halus. Kakinya dipancang jauh di kedalaman laut. Setiap saat dia berdoa, lalu alam membuka jalan. Seperti pesan Nenek, jangan jadi orang jahat. Makatau memakan setiap niat jahat manusia untuk kekuatannya. Ketika kekuatannya sudah terkumpul, sulit untuk terhindar.
Si Bisu tahu. Sudah mencoba melarang kedua saudaranya. Pada cucu pertama dia larang mencuri. Pada cucu bungsu dia larang bermain curang. Si Bisu tidak seperti kedua saudaranya yang meski kurus, tetapi bertenaga kuat. Dia kurus dalam artian yang sebenar-benarnya; tidak memiliki tenaga. Bahkan ketika cucu bungsu menariknya untuk pulang, dia seperti selembar kain yang tersapu angin kencang, hanya bisa mendekapku erat tanpa perlawanan.
Aku menemaninya makan singkong rebus di belakang rumah. Dia suka menawari untuk makan bersama. Aku katakan padanya, aku tidak memiliki perut untuk diisi, dia tertawa. Kami kembali pada sayup suara serangga malam dan derak api kecil di hadapan. Tangannya mengambil kayu yang dibawa dari dapur, lalu menusuk-nusuk ranting yang dimakan api.
Seperti itulah gambaran Makatau.
Si Bisu menoleh.
Gambaran Makatau, kalau dia menuntaskan dendam.
Mulut Si Bisu menganga.
Nak, tidak ada yang aku sembunyikan dari Si Bisu. Saat kami berdiri menatap Makatau tadi, angin yang berembus tidak hanya membantu ombak menyapu pasir, mereka turut mendatangkan kabar. Makatau sudah siap dan alam mempersilakan. Tidak tahu pasti, bisa lusa atau besoknya lagi. Namun, Makatau sudah berikrar untuk memusnahkan sekaligus.
Si Bisu langsung membawaku masuk. Api dalam ceruk tidak dia padamkan. Di hadapan keluarganya yang tengah menyantap singkong dan ikan, Si Bisu memberi tahu. Niat baiknya disambut ucapan kasar dan penarikan paksa ke belakang rumah. Tidak ada yang memahami kecuali mendiang Nenek. Anak lelaki itu menangis di hadapan api dalam ceruk. Aku merangkulnya, berbisik tepat di telinga, besok kita lempar lebih banyak lagi, bila perlu lempar aku juga. Dia menoleh dan menggeleng. Kami berpelukan.
Di tengah siang tangan Si Bisu kembali melempar batok kelapa. Tak sebanyak yang kami harap untuk dibawa. Si Bisu masih membisiki alam agar niat Makatau tidak terlaksana. Aku biarkan dia puas melempar sembari berdoa.
Makatau di tengah sana kembali bergemuruh. Angin datang membawa kabar lagi. Tak ada waktu, alam mengizinkan Makatau membalas dendam. Kesumat itu sudah berakar dan alam butuh keseimbangan.
Malam saat Si Bisu sudah terlelap, aku merebah di sampingnya. Kuelus kepalanya seperti yang sering di lakukan Nenek. Entah sedang memimpikan apa sampai mengernyit. Besok Makatau akan memulai. Aku tidak bisa menyumbangkan serapah. Sakit itu memang patut dibalas. Mengapa yang lain boleh menetap sedang yang satu disuruh beranjak? Mengapa tangan terbuka pada yang jahat sedang yang berusaha baik tidak diacuhkan? Keputusan alam tepat, tetapi tidak semua harus dimusnahkan.
Aku bisikan pada Si Bisu yang terlelap, besok kita daki bukit. Tinggi hingga tak tampak desa. Di sana kita akan terlindung dari air pasang Makatau. Jangan takut, aku akan menjadi pelindung.
Ada satu hari semua berkumpul, juragan-kacung, menjadi satu dalam perayaan panen. Si Bisu dan aku biasa sekadar berjalan-jalan sebelum kembali melempar batok kelapa ke laut. Ketika bangun, Si Bisu tanpa kata sepakat untuk ke bukit alih-alih turut serta dalam perayaan.
Kami jalan berdampingan, saling menggenggam tangan. Sesekali Si Bisu menoleh. Aku ikuti arah tatapnya. Puncak Makatau mulai diselimuti mendung. Kilat menyambar-nyambar di sana. Gemuruh yang memang sering terdengar, kali ini lebih keras.
Ini saatnya.
Ini waktunya.
Si Bisu hendak kembali, tetapi aku cegah. Dia sudah mulai berontak dan ledakan dahsyat membuatnya membungkuk seraya menutup telinga. Denging juga hinggap padaku. Makatau mulai menyemburkan dendam. Mengundang lebih banyak petir dan suara ledakan. Sayup, teriakan dari desa menyelip di antara kegaduhan alam.
Aku segera menarik Si Bisu dan kami berlari mendaki bukit. Kaki telanjangnya membuat Si Bisu tersungkur. Dia sempat menolak saat aku menawari punggung, tetapi aku paksa, dan aku berlari dengan dia di atas punggung.
Apa semua akan hancur?
Aku mengangguk. Semua, termasuk pohon tempat aku tumbuh. Si Bisu menangis. Satu per satu dia panggil anggota keluarga.
Tubuh Si Bisu aku sandarkan pada pohon dekat rumah peristirahatan seorang majikan. Rumah ini ada di atas bukit, aman dari air bah. Namun, angin masih ribut perihal kabar buruk.
Aku biarkan Si Bisu menangis. Kami sama-sama mencari saat sisa penduduk desa tiba di sini. Tidak ada. Keluarga Si Bisu menghilang. Si Bisu kembali bersandar pada pohon. Wajahnya menghadap langit abu-abu yang pekat.
Aku katakan padanya bahwa alam melakukan tugas untuk memilih. Akan ada yang diambil dan dibiarkan hidup. Alam tidak sembarangan dalam mengambil umur makhluk. Semua sudah digariskan, sudah ada takdir. Begitu juga denganku, ada suratan yang mengikat.
Jadi bisa diambil alam juga? Si Bisu bertanya.
Aku tidak menjawab.
Sejak Nenek meninggal, Si Bisu selalu menentengku. Hampir dilempar ke laut, alam lebih mendukungku menjadi temannya. Manfaatku bukan lagi sekadar pengeruk air atau penahan dendam Makatau, tetapi juga pendengar. Kadang aku harus didekap, tak jarang pula bisa menggenggam tangannya, bisa menyahuti ucapannya.
Teruslah jadi orang baik. Alam akan melindungi orang baik. Aku ucapkan itu sebelum dia bersandar padaku. Kepalanya mengangguk dengan mata yang terpejam.
Di kejauhan Makatau masih meraung, bersahut-sahutan dengan tangis di sini. Perlahan yang tersisa hanya bisik-bisik dan geraman Makatau. Banyak yang sudah seperti Si Bisu; terlelap.
Melihat langit yang masih pekat, aku tidak tahu apa hari sudah berganti. Beberapa yang tertidur sudah bangun. Keluarga majikan yang selamat tengah duduk-duduk di teras pondok. Berapa lama sampai dendam Makatau selesai?
Ini saatnya! Makatau akan membalas semua!
Bisik angin membuatku bergidik. Inikah puncaknya? Segera, aku bangunkan Si Bisu. Dia langsung terkesiap. Lantas, aku tarik dia berdiri. Makatau kembali bersuara keras. Dari kejauhan gumpalan awan berjalan cepat ke arah kami. Teriakan mulai terdengar. Semua berlari menyelamatkan diri.
Aku membawa Si Bisu ke belakang pondok. Ada beberapa yang lain juga bersandar di tembok. Kala awan beraroma belerang itu menerjang, aku dekap dia. Tubuhku menjadi melar; menjadi perisai. Serat-seratku mendidih, terbakar lapis demi lapis.
Temanku sayang.
Temanku yang berharga.
Dia yang selalu membantu Nenek. Merawat Nenek.
Dia yang tidak pernah membalas pukulan saudara-saudaranya.
Dia yang tetap menyayangi keluarganya.
Semakin erat aku dekap tubuh Si Bisu. Jangan sampai terluka. Jangan sampai Makatau menjilat kulitnya. Tubuhku perlahan terburai dan menjadi abu yang terbawa angin panas. Aku titipkan Si Bisu pada alam.
Alam menepati janjinya. Lewat angin, kisah Si Bisu selalu datang untukku. Si Bisu sudah memiliki istri dan anak. Selalu membawa kebaikan dalam hidup. Tak lupa, sebuah batok kelapa turut serta dalam perjalanan, hingga habis nyawanya.
Alam mengambil Si Bisu kala tubuhnya sudah renta. Di atas tikar, ditemani istri, anak, dan cucu.
Nak, Si Bisu memang sudah tidak ada. Namun, alam menuntunku untuk terus berkelana, mencari telinga untuk aku tuturkan kisah.
Nah, silakan ambil yang baik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro