Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DAY 3 - Ruangan Simpati

tw // suicide attempts

-

ke-302 gagal.

Mobil yang sebelumnya mengalami glitch sudah kembali normal. Gerakan berulang kali tidak ada lagi, dan mobil telah melaju pergi tanpa pertanda untuk putar balik lalu menabrak tubuhku dengan posisi tepat. Aku memukul aspal, tidak memedulikan sensasi panas yang masih membekas dari ban melukai buku-buku jari.

Mentari yang menyilaukan mata menghilang bersama dengan kedatangan bayangan di atas kepala. Keberadaan tubuh itu perlahan mendekat, tepat di atas puncak kepala. Jika aku berdiri tanpa aba-aba, sudah pasti kepalaku dan dagunya terbentur, lalu aku akan menemukan kebahagiaan dari muncung yang mengeluh kesakitan. Namun, ide itu pernah gagal juga. Aku tambah kesal mengingat tawa mengejeknya karena aku kembali gagal menyiksanya.

"Menyerah?"

Aku menatap tajam pada sosok sialan yang menonton semuanya dari kejauhan. Senyuman iblis khasnya terlukis begitu jelas, bersinar di bawah langit merah dan netra darah yang tidak kalah cemerlang. Setiap aku menghela nafas gusar karena percobaan bunuh diriku gagal dalam simulasi ini, dia akan muncul sambil terbahak-bahak sebelum mengeluarkan pertanyaan bodoh itu.

"Bukan urusanmu," ujarku, mendorong diri agar kembali berdiri. Tatapan bosan terasa panas di punggung ketika aku melangkah menjauh, tidak sudi melihat dirinya lebih lama.

"Aww, padahal aku ingin bermain bersamamu!" Sosok itu mengikuti langkahku. Benar-benar tidak bisa baca atmosfir ruangan. "Hei, biasanya kalau sudah bertemu tiga kali otomatis kita menjadi teman, kan? Teman macam apa yang tidak tahu nama satu sama lain?"

Langkah kakinya yang gesit cepat membawa dia berjalan di sampingku. Ketika aku ingin menyikut dia, kegesitan itu kembali datang disusul tawa mengejek yang membuat suasana hatiku tambah kusut. Manusia spesies macam apa yang suka bermain dengan orang asing dalam mimpi?

"Aku iluisi saja, ngomong-ngomong," ucapku asal, mempercepat langkah dengan harapan dia menangkap sinyal untuk sekian kalinya bahwa aku ingin ditinggal sendirian.

"Kebohongan yang bagus, tapi kurang dapat dipercaya." Si parasit tetap menempel hingga pundak kami saling bersentuhan. Percikan bahaya meledak di matanya ketika aku melirik sekilas, pertanda bahwa hal yang lebih mengerikan daripada hidup hingga umur 30 akan tiba jika aku tidak segera menghindar.

Pemandangan di sekitar hanya langit merah dan jalan tol yang tak punya ujung. Aku tidak siap harus berjalan tanpa henti sambil mendengarkan obrolan tidak bermutu dari parasit penghisap tenaga sosial. Perjalanan ini juga tidak akan berakhir cepat, mengingat kemarin aku bangun kesiangan dan hampir digeplak pakai proposal oleh editor jika masih sempat mandi sebelum berangkat kerja.

Pandangan yang penuh oleh cakrawala membara digantikan oleh netra merah yang satu rona. Daguku ditahan dalam genggaman, membuat aku terpaksa menatap lurus kepada matanya yang terlihat ingin menenggelamkan diriku ke lautan darah manusia yang tidak aku kenal.

"Ini pertama kalinya aku bertemu dengan manusia yang sangat menginginkan kematian." Suara berat mengisi pendengaran. Suara derap langkah yang nyerah di atas aspal tidak lagi terdengar. Seluruh kelima indraku dipenuhi oleh si parasit yang menatap rendah, seolah aku sebuah kelinci percobaan yang tidak mati-mati padahal sudah dicecokin banyak obat.

"Setiap manusia yang aku temui begitu keras kepala, meraih sebuah kenyamanan dan kemakmuran dalam hidup mereka. Sebelum ajal tiba, mereka bermohon sampai bersimpuh agar hidup lebih lama, tapi kamu berbeda--kamu sepertinya lebih baik mati sekarang juga daripada bangun dari mimpi ini."

Aku mencengkram pergelangan tangannya, membebaskan diri dari genggaman yang terasa seperti cakar elang. "Sudah puas mengobservasi? Sekarang pergi. Kau memuakkan."

Si parasit tertawa puas, melahap setiap kemarahan yang aku gunakan sebagai energi hidupnya, seperti benalu di ranting pohon. "Aku bukan mengejekmu, melainkan bersimpati denganmu. Di ruang kecil ini, hanya ada kita berdua--kau dan aku."

Seolah mengikuti ucapannya, kami tidak lagi berjalan di tengah jalan tol seperti orang bodoh. Kami berada di ruang makan kecil; aku tersudut di meja makan yang muat oleh empat orang, sementara dia mengurungku di antara kedua lengan dua kali lipat lebih tebal dari botol minum sehari-hari.

Ketika aku ingin mendorongnya menjauh lagi, seluruh tubuhku terpaku pada matanya yang tidak lepas dari setiap pergerakan yang aku lakukan. Aku menurunkan tangan, mencerminkan kepalanya yang sedikit teleng seolah ingin mempelajari raut wajahku dari setiap sudut.

"Kau lucu sekali," ucapnya tiba-tiba. Meskipun kami masih berada dalam mimpi, nafas yang terhembus dari mulutnya menyapu kulit, menyalakan tiap api di bulu kuduk. "Apa kau masih memikirkan kematian jika aku memenuhi seluruh ruanganmu?"

***

AAAAAAAHHHH AMPUN! First time buat yandere jadi maklumkan kalau terasa sangat canggung. Aku juga lupa gimana cara nulis cerita lewat sudut pandang pertama. Efek writer block sungguh menyeramkan.

Maaf temanya agak gelap, lagi di mood gelap-gelap kayak malam tanpa keberadaanmu /geplak

SFragment

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro