Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 20

Hufth.

Belakangan ini, hidup di Joseon sudah seperti neraka. Penyekapan yang kualami kemarin sedikit banyak menggangguku. Pada akhirnya, tidak ada seorang pun yang bisa aku percaya selain diriku sendiri. Pertolongan dari Pangeran Uiseong pun tak lebih dari balas budi karena aku pernah menyelamatkan nyawanya. Tanpa itu semua, benar kata Sangmin, mungkin aku tinggal nama.

Jadi, simpan saja harapan pria itu untuk melihatku tidak berburuk sangka. Yang jelas, karena sekarang aku berada di Joseon, aku akan mengusahakan apapun demi keselamatan putri mahkota. Biarlah nasibku di masa depan menjadi urusan Tuhan.

"Bin-gung Mama."

Pikiranku buyar ketika Duri memanggilku pelan. Spontan, aku meliriknya yang menatapku penuh sorot khawatir.

"Ada apa, Duri?"

Kali ini ia menunduk hormat padaku. Seolah cemas kalau sedikit sikap santainya akan membuatku sedih.

"Apakah tidak sebaiknya Anda beristirahat di kediaman Anda? Saya rasa angin sore ini cukup kencang. Ini tidak baik untuk kesehatan Anda."

"Oh, tidak perlu," tolakku pelan. Aku justru menikmati angin sore ini. Rasanya seperti angin di pantai. Anggap saja, atmosfer ini adalah pengganti pelesir yang seharusnya ku dapatkan di liburan musim panas.

"Saya sudah menyampaikan pesan Anda pada Kasim Cho. Setelah urusan putra mahkota selesai, saya yakin ia akan segera menghampiri Anda."

"Segera yang tak akan pernah datang," gumamku.

Ternyata Duri mendengarnya dan justru ia yang terlihat muram. "Putra mahkota akan datang, Bin-gung."

Aku membalasnya dengan senyum tipis. Sudah seharusnya aku berterima kasih atas pernyataan Moon Sangmin yang membuat semuanya jelas, aku hanya teman untuknya di masa Joseon. Jujur, ucapan Sangmin jauh lebih menyakitkan dari pada penolakan putra mahkota asli setelah pasangan kerajaan menghabiskan malam bersama. Kadang aku berpikir, apa aku harus menenggelamkan kepala dalam bak mandi agar bisa berpikir jernih?

Sekali lagi, debaran jantung itu, hanya aku yang merasakannya. Sudah seharusnya aku berpikir, apapun yang terjadi di sini—Joseon, akan berhenti di sini.

"Bin-gung Mama, dayang sudah menyiapkan kudapan kesukaan Anda di dalam, apakah Anda ingin makan dulu mengingat akhir-akhir ini Anda makan lebih sedikit dari biasanya?" tawar Duri untuk mengambil atensiku.

"Tidak, terima kasih."

Aku tahu sikapku belakangan ini memang kurang enak dilihat, tapi aku kehilangan nafsu makan. Mulutku rasanya pahit untuk mengunyah. Kalau dengan melihat makanan bisa membuat lambungku terisi, sudah kulakukan itu dari dulu.

"Kalau Anda begini terus—"

"Kumohon tinggalkan aku, Duri. Aku ingin sendiri," ucapku memotong kalimatnya. Tak berselang lama, kudengar langkah kaki menjauh dan kuyakin Duri kini mendengar kata-kataku dengan baik. Meskipun, aku tahu Duri tak pernah benar-benar meninggalkanku. Ia hanya mengambil jarak untuk mengawasi putri mahkota dari jauh.

***

Entah apapun alasan Pangeran Uiseong, aku merasa perlu mengundangnya untuk makan malam sebagai ucapan terima kasih. Untuk mencegah pikiran macam-macam dari abdi istana, aku menggunakan nama putra mahkota dan mengadakan jamuan di paviliun istana. Hanya saja, sampai saat ini baru Pangerang Uiseong yang menunjukkan batang hidungnya.

"Bin-gung Mama."

"Oh, Pangeran Uiseong, bagaimana kabarmu?"

"Cukup baik."

"Kulihat Anda juga."

"Hmmm, seperti yang kau lihat. Aku tak bisa menjelaskannya."

"Ada yang membuat Anda terganggu?"

"Sepertinya banyak," jawabku jujur.

Sedikit basa-basi kami berdua, karena selanjutnya Pangeran Uiseong justru menceritakan kekhawatiran akan asal usulnya. Ia bilang, sampai sekarang Selir Hwang tak membenarkan kalau ia adalah putra Tabib Kwon. Jadi, ia akan menganggap semua itu sebagai omong kosong.

"Anda datang lebih cepat," sapa Sangmin yang ditujukan pada Pangeran Uiseong. Pria itu menarik kursi di sebelahku dan menginstruksikan para dayang untuk menyajikan makan malam kami.

"Maaf, aku datang terlambat," ucap Sangmin kepadaku. Pria itu lantas menatap lurus pada Pangeran Uiseong, "Ada tahanan istana yang kabur. Jadi, aku harus menginstruksikan para pengawal mencarinya."

"Astaga! Lalu, apa sudah ditangkap?"

Pria itu tak menoleh padaku meskipun bibirnya bergerak menjawab, "Tenang saja, pengawal kerajaan sedang mencari mereka."

Jujur saja, aku merasakan ketegangan antara kedua pria ini. Walaupun Pangeran Uiseong dan putra mahkota punya hubungan yang buruk, aku tidak setuju kalau Sangmin bergaya seperti putra mahkota. Dari pengalamanku, Pangeran Uiseong memang senang menyulut emosi di awal, tapi ia merespon baik sikap bersahabat kita.

"Seja Joeha, bagaimana Anda memperlakukan dayang-dayang di istana Anda? Kulihat tangannya cukup kasar. Memang apa yang dikerjakan sehari-hari? Menyediakan makanan atau berlatih pedang?"

Setidaknya, kesanku pada Pangeran Uiseong masih positif sampai ia mengomentari penampilan fisik seorang dayang yang menyajikan minuman. Menurutku, itu sangat tidak sopan.

"Dayang-dayang di istana ini adalah tanggung jawabku, jadi tidak seharusnya protes itu disampaikan—" ucapanku terputus karena tiba-tiba Sangmin menggenggam erat tanganku di bawah meja. Spontan mataku terarah pada pria itu.

"Pengawal!"

Shoot!

Aku tersentak mendengar hardikan Sangmin. Pria itu menarik tubuhku untuk bersembunyi di balik tubuhnya. Sementara Pangeran Uiseong menahan pergerakan dari dayang yang baru saja melemparkan kunai* dan — untungnya— mengenai tiang di belakangku.

"Beraninya dayang rendahan sepertimu mengacaukan makan malamku?"

Kalimat tersebut dilontarkan Pangeran Uiseong dengan tatapan bengisnya.

"Ini demi kebaikan Anda, Pangeran."

"Hampir membunuhku kau sebut sebagai kebaikan?"

"Kami tidak akan pernah membunuh calon raja kami. Kami hanya menyingkirkan hama."

"Terima kasih untuk dukungan kalian, tapi ini agak berlebihan. Meja makan bukan tempat yang bagus untuk bertikai. "

Di saat Pangeran Uiseong sibuk mengecoh dayang itu. Sangmin menarik tubuhku mundur dan meminta Duri untuk membawaku bersembunyi.

"Kau mau ke mana?"

"Tidak mungkin aku biarkan Pangeran Uiseong menangkapnya sendiri. Aku tidak tahu siapa saja yang berkhianat, jadi bersembunyilah di perpustakaan istana atau tempat lain yang jarang dikunjungi," titah Sangmin yang membuatku merinding.

"Tapi—"

"Patuhi perintahku yang ini."

Aku pura-pura menuruti kemauannya untuk pergi. Lagi pula, kulihat para pemberontak datang berduyun-duyun untuk mengepung paviliun istana. Situasi ini membuatku terhimpit. Jadi, kuperintahkan pengawal untuk mengendap-endap dan melaporkan pada Kepala Keamanan Istana, atau kalau perlu memanggil pasukan ayahku. Selagi mereka pergi, kutarik Duri untuk membantuku mengosongkan deumeu* di dekat kami dan masuk ke dalamnya.

"Bin-gung...."

"Aku tidak bisa meninggalkan mereka."

Apapun ocehan Duri sekarang, aku tak mengindahkannya. Posisi kami sudah cukup strategis untuk mengintai. Berulang kali aku mengintip, memastikan para pengawal membawa pasukan. Napasku hampir tercekat ketika kulihat pria yang pernah menodongkan pisau padaku sudah berdiri di antara Sangmin dan Pangeran Uiseong.

"Bagaimana bisa seorang tahanan berkeliaran di istana!" amuk Pangeran Uiseong yang tiba-tiba mengacungkan pedangnya ke hadapan Tabib Kwon.

Serentak komplotan dari Tabib Kwon ikut mengangkat pedangnya, bersiap bertarung. Tak kusangka mereka bicara sangat keras hingga aku bisa mendengar lebih banyak percakapan mereka. Pria berusia senja itu berujar, "Orang yang tidak bisa membedakan lawan dan kawan, akan kesulitan memperjuangkan haknya."

"Aku setuju dan orang itu adalah Anda, Daegun-daegam," ucap Sangmin dengan nada mengejek.

"Percaya diri sekali. Asal kau tahu, sekarang pasukanku sudah mengepung istana ini. Kau tinggal menghitung mundur sampai aku mengakhiri hidupmu," sahut Tabib Kwon diikuti tawa nyaring, "atau, tugas ini bisa kuserahkan pada calon raja kita?"

Bulu kudukku merinding. Kuharap, aku tak salah menilai Pangeran Uiseong. Di saat bersamaan, kulihat para pengawal kerajaan mulai menginvasi paviliun istana kembali. Meskipun, hal ini sama sekali tak membuat Tabib Kwon gentar. Ia justru menghasut Pangeran Uiseong untuk membunuh putra mahkota.

Dash!

Kulihat wajah Sangmin yang pias mendapati pedang Pangeran Uiseong yang sudah bergeser mengarah padanya. Pria itu melirik ujung pedang dan mata Pangeran Uiseong bergantian.

"Pangeran Uiseong, meskipun tak terlahir sebagai seorang putra mahkota, kita berdua sama-sama dididik untuk menjadi seorang ksatria. Menjunjung tinggi norma kemanusiaan adalah hal yang fundamental, termasuk keadilan. Apakah Anda bangga memperoleh pakaian kebesaran ini setelah membunuh pemiliknya?"

"Seperti yang kau tahu, aku tak mempermasalahkan cara untuk meraih apapun yang kuinginkan, asalkan aku berhasil memilikinya."

"Sebentar-sebentar. Ada yang salah di sini. Orang yang pantas dan berhak disebut Seja Joeha, bukanlah siapapun, selain keturunanku, Pangeran Agung Yeongwon," sela Tabib Kwon, "posisi itu bukan sekedar impianmu, tapi milikmu."

Kini tatapan Pangeran Uiseong tertuju pada Tabib Kwon yang sudah jelas mengungkap identitas aslinya. Mata pria itu bergerak seolah mempertanyakan kebenaran kata-kata yang dilontarkan pria yang mengaku sebagai ayahnya.

"Tunggu apa lagi, putraku? Aku sudah mempertaruhkan nyawaku, membunuh putra pertama keparat itu dan antek-anteknya untuk menyiapkan jalanmu. Kau tinggal menyelesaikan sisanya."

Kulihat tangan Sangmin yang bersiap pada gagang pedang yang menggantung di pinggangnya. Pertarungan sudah tak lagi terelakkan.

Dash!

Aku menenggelamkan diriku dalam kwali. Tak sanggup melihat pertumpahan darah dalam istana ini. Pertarungan tak hanya terjadi di sana, melainkan antara pengawal dan para pengikut Tabib Kwon yang masif. Kututup telingaku rapat-rapat, hingga suasana terdengar lebih tenang.

"Bisa-bisanya kau menangkap ayahmu sendiri?"

Aku kembali melongok keluar, mendapati Pangeran Uiseong yang membiarkan para pengawal mengikat kedua tangan Tabib Kwon.

"Maaf. Aku ... tidak bisa bersekongkol dengan seorang pemberontak."

Sorot mata Pangeran Uiseong sangat terluka. Pasti berat menerima kenyataan bahwa ayah kandungnya adalah seorang pemberontak yang menginginkannya hanya untuk kekuasaan.

***

"Putri mahkota tiba."

Kalimat sambutan disampaikan dayang yang berjaga di luar istana kediaman putra mahkota. Setelah insiden penyerangan di istana, paviliun istana disterilkan dan aku baru bisa menemui Sangmin sekarang.

"Tidak ada yang melukaimu, 'kan?" tanyaku melihat Sangmin yang berbaring dengan satu tangan menutup wajahnya.

Ia buru-buru duduk dan merapikan pakaian. "Tidak. Kau sendiri baik-baik saja?"

Aku mengangguk. Adrenalinku memang terpacu selama pertarungan mereka, tapi tubuhku tak kurang satu apapun.

"Jantungku hampir berhenti berdetak waktu Pangeran Uiseong mengacungkan pedangnya padamu, tapi untung saja kau tidak terluka."

"Ba–bagaimana kau tahu?"

Spontan kututup mulutku dengan kedua tangan. Ia bisa marah kalau tahu aku tak mematuhinya.

"Duri... Duri menceritakannya padaku."

Pria itu memicingkan matanya padaku. Kedua tangannya sudah memegang pundakku dan ia sibuk memperhatikan wajah dan tanganku. "Mereka tidak menyentuhmu 'kan?"

Tentu tidak dan tidak akan mungkin karena aku punya tempat persembunyian baru. "Seperti yang kau lihat."

"Syukurlah," pungkasnya yang lantas memelukku erat. Tubuhku membeku, tapi aliran darahku terasa lebih cepat terlebih ketika kurasakan usapan lembut di kepalaku.

Thump, thump. Thump, thump.

Astaga! Jantungku, kenapa berdegup kencang lagi?

"S—Sang–Sangmin, bisa lepaskan dulu?"

"Oh, maaf. Aku hanya—-"

"Ya, ya, aku tahu," potongku cepat. Kupikir aku harus segera pergi. Tapi sebelum itu, aku harus menyelesaikan niat awalku.

"Tabib Kwon memang sudah tertangkap, tapi aku tidak yakin masih ada berapa banyak orang yang membenci putra mahkota."

Pria itu menggaruk lehernya dan tampak tidak fokus. "Itu konsekuensi logis."

"Terserah kalau kau menganggap ini kolot. Beberapa hari lalu aku membuat lucky charm untukmu. Anggap saja ini sebagai penghubung dirimu dan Sang Pencipta, melindungimu dari musuh. Juga, memberikan petunjuk untukmu menjadi ... lebih bijaksana."

Kuserahkan sebuah aksesoris yang kubuat dari anyaman benang rajut dan cincin giok yang kami beli di Pasar Hanyang. Ia bilang tidak suka mengenakan perhiasan, tapi karena cincin ini miliknya, akan lebih baik kalau kubuat menjadi sesuatu yang berguna. Lagi pula, nenekku pernah mengajarkanku membuat beberapa handicraft tradisional.

"Benda ini ...."

"Kubuat dari cincin giok yang kau buang di pasar," ucapku tanpa bermaksud menyindir.

"Bukan, ini mirip gantungan kunci yang kuperoleh dari seorang fans."

"Fans?"

"Ya, seorang freshman yang menukar keychain-nya dengan hoodie-ku."

Oh, astaga, astaga! Kuperhatikan wajah pria ini dengan seksama. Bagaimana bisa aku melupakannya? Refleks kulempar bantal di sebelahku dan mengenai mukanya.

"Aku bukan fans-mu dan aku tidak pernah memberikan kunci buku diary-ku pada siapapun. Asal kau tahu, aku menitipkan hoodie-mu pada resepsionis, berharap kunciku akan kembali. Bahkan, aku sudah menghubungi Bagian Tata Usaha, tapi mereka menganggapku seorang sasaeng dan tidak memberikan kontakmu. Bahkan, aku mencari social media-mu, tapi tidak ada yang aktif. Mahasiswa program studimu juga sama saja, mereka bungkam," paparku panjang lebar. Enak saja dia bilang aku menukar kunci catatan harianku dengan hoodie-nya. Tidak sebanding. Padahal, dia yang menghilang setelah hari itu dan aku tak bisa menemuinya.

"Jadi ... mahasiswa itu kau?"

"Iya! Kau harus mengembalikan benda itu nanti."

"Maaf, tapi setelah hari itu aku harus mulai internship di Busan. Kalau begitu, ku kembalikan sekarang," ucapnya seraya menyerahkan lucky charm yang baru kuberikan.

"Eh... eh.... Bukan yang ini, tapi di masa depan."

"Ya, kalau begitu kemungkinannya kecil. Aku tidak tahu bisa kembali atau tidak."

Dia pikir aku juga masih yakin bisa kembali. "Aku tidak mau tahu."

"Begini saja, aku punya sesuatu untukmu. Bisa kau anggap sebagai permohonan maaf. Aku tahu, di istana ini kau punya berbagai macam hairpin yang mewah, tapi ini tak kalah indah."

Sangmin beranjak menuju lemari di sisi ruangan dan mengambil sesuatu. Lantas, ia membuka kepalan tanganku dan menyerahkan sebuah binyeo berwarna emas dihias batu giok dan ornamen burung di ujungnya. Aku tertegun dan hatiku menghangat. Apakah pria ini tahu kalau binyeo tidak bisa disamakan dengan hairpin biasa dan dijadikan sembarang hadiah?

"Kau tidak suka?"

"Bukan itu. Kau serius?"

"Ya, aku tidak bercanda, aku memberikannya untukmu. Benda ini bisa kau pakai kalau kau berkunjung ke Hanyang, tidak terlalu mencolok dan masih cantik."

Sepertinya ia tidak tahu kalau binyeo adalah hadiah dari mempelai pria untuk mempelai wanita sebagai tanda bahwa wanita itu sudah dewasa dan terikat padanya. Kuamati benda itu sekali lagi dan aku merasa sangat familier. Sebentar ... di mana aku melihatnya?

"Kau dapat dari mana benda ini?"

Pria itu tak langsung menjawab, seperti sedang mencari alasan. Segera kuputar bagian ramping dari binyeo itu dan kudapati tulisan yang membuatku sangat yakin pernah melihat benda ini.

"Percaya atau tidak, seorang wanita memberikannya padaku sebagai ucapan terima kasih karena menyelamatkan suaminya."

"Ini seperti milikku."

"Kau ... dan binyeo? Lebih tidak cocok dari kau dan jamu," ejek pria itu yang mengingat argumenku sebelumnya, "kurasa di masa depan banyak yang menduplikasinya."

"Nenekku bilang, itu hanya satu di dunia. Pemberian dari nenek moyangnya untuk diturunkan pada setiap anak perempuan pertama di setiap generasi."

"Tapi tidak menutup kemungkinan kalau nenekmu atau leluhurmu membeli dari orang lain yang membuat dupe-nya, bukan?"

Aku melirik Sangmin tajam. Ia tak tahu seperti apa keluarga ibuku berasal. Kakekku yang paling baku terhadap aturan dan gaya hidup tradisional, merupakan keturunan Raja Heondeok dari Silla. Meskipun dari cerita nenekku, keluarganya sedikit lebih moderat, beliau masih keturunan kerabat dari Raja Sejo dan Raja Yejong, yang menjaga kejelasan garis keturunan. Jadi, tidak ada benda bersejarah palsu di tempat kami. Sebentar, kenapa aku melewatkan fakta kalau aku masih keturunan kerabat kerajaan?

"Jangan-jangan kita bisa ke Joseon karena benda-benda antik ini?" cetusku yakin.

"Sudah jelas, aku ke sini karena panggilan pria bercadar."

"Kau pernah membaca cerita isekai*? Portal ke alternate universe tidak selalu terbuka dan hanya orang yang tepat yang bisa melewatinya. Kupikir, benda ini di masa depan akan menjadi kunci."

Pria itu mengamati lucky charm yang kubuat dan berujar, "Kalau begitu, kenapa kau tidak ke Joseon sejak dulu? Atau, aku masuk ke Joseon sejak menerima kuncimu?"

"Hmm. Ya, menurut teoriku, belum saatnya. Mungkin ada kondisi yang tidak aku ketahui dan baru terbuka ketika kita di Jeju," jelasku, "semacam Term and Condition. Hehe."

"Berhentilah berkhayal!"

Baiklah. Arogansi seorang Moon Sangmin memang terlalu tinggi untuk mengakui analisisku. Awas saja kalau aku yang benar!

"Jangan mengatai teoriku! Asal kau tahu, keberadaan kita di sini–Joseon— saja sudah tidak masuk akal!"

***

"Yeju-ya, Yeju-ya!"

Kurasakan sentuhan lembut pada tanganku. Spontan kugosok mataku karena hal pertama yang kulihat masih langit-langit kamar putri mahkota. Sementara, hanya Sangmin yang mengenalku dengan panggilan itu di Joseon. Kulihat sosok dengan jeogori indah yang tak bisa dengan jelas kukenali karena terhalang meja. Pelan-pelan aku bangkit dari tidurku.

"Bin-gung—"

Ucapanku terpotong karena telunjuk wanita dengan rupa yang sama denganku berada di depan bibirku. Aku benar-benar seperti melihat pantulan diriku dalam cermin.

"Oh, astaga!"

Aku kembali menggosok mataku saking tak percaya dengan apa yang kulihat. Wajah kami bak pinang dibelah dua. Hanya saja, meskipun hanya berbalut jeogori sederhana dengan aksesoris bangsawan, ia tampak lebih anggun. Bahkan, aku harus mengakui, ia lebih mempesona dari Putri Min.

"Maaf aku sudah merusak image-mu," gumamku pelan.

"Citra yang mana? Bukan sebaliknya, Yeju?"

Putri mahkota mengusap tanganku lagi dan menatapku serius. "Terima kasih banyak sudah membantuku bertahan di istana ini. Aku memang mencintai putra mahkota, tapi semua terasa berat ketika perasaanku tak bersambut."

Mendengar ucapannya, aku jadi sedih. Kudengar dari Duri, ia sudah lama menyukai putra mahkota. Sayangnya pria itu sangat dingin. Aku cukup beruntung karena pasanganku di Joseon adalah Sangmin. Ia memang gila, tapi setidaknya secara implisit ia mengingatkanku untuk tidak berekspektasi pada hubungan kami. Jadi, aku bisa lebih fokus melindungi posisi putri mahkota dari neneknya.

"Sampaikan salamku pada temanmu yang sudah membantu putra mahkota memecahkan teka-teki. Ia sangat cerdas, sama dengan putra mahkota."

"Anda berlebihan. Itu hanya kebetulan saja. Katanya ia mempelajari bidang kesehatan di masa depan. Jadi, sudah sewajarnya ia tahu, bukan?" tandasku merendah.

Wanita ini hanya menjawab dengan anggukan. Ia menatapku penuh kasih seperti tatapan seorang ibu hingga aku merasa lemah

"Maaf, bagaimana Anda bisa tahu, selama ini Anda ada di mana? Anda tidak ada di tubuhku di masa depan 'kan?"

Dugaanku dan Sangmin, ruh pasangan kerajaan ini bersemayam di tempat lain atau menempati tubuh kami, tapi sepertinya salah. Wanita itu terkekeh kecil, seperti mendengar ucapanku sebagai sebuah humor.

"Aku selalu bersamamu Yeju," pungkasnya seraya menunjuk dada kiriku, "bersama setiap detak jantungmu. Kami tidak mungkin meninggalkan kalian begitu saja."

"Oh, jadi ... Anda dan putra mahkota?

Ia tersenyum dan mengangguk. "Joseon tak seburuk yang kau pikirkan bukan?"

"Udara Joseon sejuk. Banyak keindahan yang baru kusadari di sini .... Meskipun, masalah Anda tidak sederhana ... Ada baiknya, aku jadi belajar banyak dari kehidupan Anda."

"Aku senang mendengarnya. Mungkin kau belum sempat pergi ke alam bebas, tapi apa yang kau dapat di sini, tak kalah bernilai."

"Anda tahu?" Aku cukup terkejut putri mahkota tahu kecintaanku pada alam bebas. Bisa jadi masuk akal kalau ia benar-benar bersamaku selama ini.

"Sekali lagi, terima kasih sudah menemaniku menghadapi kehidupan ini," tuturnya seraya memelukku. Kharisma wanita ini membuatku terdiam hingga membiarkannya berjalan meninggalkan ruangan ini.

"Ada yang kulupakan, tolong jaga keajaiban dalam perutmu, ya."

Aku masih tercengang. Sebentar, apa itu artinya putri mahkota benar-benar hamil? Segera aku beranjak menyusul putri mahkota, tapi bayangannya lenyap.

Aku berlari menyusuri lorong kediamannya yang entah mengapa terasa begitu panjang. "Bin-gung Mama!" kuteriakkan panggilannya terus menerus, "Bin-gung Mama!"

Namun, tak ada sahutan hingga kulihat sebuah cahaya putih yang menyilaukan mata, dan ... semua hilang.

Kurasakan seseorang menggerakkan bahuku dengan keras dan ... "Sangmin?"

"Kau mimpi apa?"

"..."

"Minum dulu."

Kulihat Sangmin dan para dayang menatapku dengan sorot khawatir. Jadi, aku menuruti perintahnya untuk menghabiskan air minum yang entah sejak kapan ada di meja sampingku.

"Besok-besok jangan pegang perhiasan saat tidur, jadi mengigau tak karuan."

Aku mengernyit tak setuju. Sayangnya di tanganku sudah ada binyeo yang Sangmin hadiahkan dan cincin giok milikku. Seingatku aku tidak menyentuh kotak perhiasan, tapi benda ini dan cincin giok itu digunakan oleh putri mahkota. Jangan-jangan, ini petunjuk dari putri mahkota.

***

Catatan kaki:

Deumeu: Hidran tradisional untuk penanganan kebakaran karena bangunan kuno di Korea dibangun dengan kayu

Kunai: senjata kecil yang biasanya digunakan ninja.

Isekai: genre cerita fiksi yang terhubung dengan alternate universe, bisa dalam novel, komik, video game, atau kisah sejarah.

Ketangkep beneran ya Tabib Kwonnya. Jadi, ceritanya udah mau tamat nih, tapi kok aku malah jadi panjang-panjang words-nya. Wkwkwk.

Btw, selama aku off nanti, aku pingin bacain wattpad ataupun Twitter AU mereka. Awal Mei baru nemu wattpad dan AU moonseongha dan aku suka bangeeet. Love banget deh sama ceritanya. Kalo temen2 ada rekomendasi lain, kindly info ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro