Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 19

Lebih dari sebulan di Joseon, belum sekalipun aku merasakan ketegangan di medan perang. Tanah yang berlapis darah kering, mayat berserakan, ataupun barisan burung pemakan bangkai hanya kudengar dari para pengawal ataupun cerita Menteri Pertahanan. Belum sampai di sana saja, sekarang aku sudah di antara hidup dan mati. Pertarungan sebenarnya jauh berbeda dengan puluhan kompetensi kumdo yang ku ikuti. Setidaknya, motivasi dan alat yang digunakan tidak pernah sama.

"Seja Joeha, jumlah mereka lebih banyak dari pasukan kita," bisik seorang pengawal yang membantuku melawan gerombolan Tabib Kwon.

"Suruh seseorang untuk kembali ke istana mencari bantuan. Aku belum mau mati di sini."

Aku kembali fokus pada Tabib Kwon yang masih terbatuk-batuk setelah aku membuatnya tersungkur. Pria itu tersenyum sinis padaku dan membuang ludahnya.

"Kau bergerak lebih cepat dari yang kuduga."

Kupikir, setelah menghabisi Kepala Dewan Negara, Tabib Kwon akan menyerang ibu suri sebagai dalang dari pembunuhan Putra Mahkota Taemin. Namun, dugaanku meleset. Ia jauh lebih tak terduga dengan menjadikan calon penerus kekuasaan Joseon sebagai target, yaitu Aku.

"Aku tidak suka menunda-nunda, Seja Joeha. Kalau hidupmu bisa berakhir sekarang, kenapa harus nanti?"

Dengan napas tersengal, ia bangkit dari posisinya. Tanpa kusadari, ia sudah kembali mengangkat dan mengacungkan pedangnya padaku. Segera kutepis serangannya dengan pedang di tangan hingga mendorongnya mundur beberapa langkah. Untuk ukuran seorang tabib dengan disabilitas, ia cukup lihai dalam berperang. Pria itu kembali melayangkan pedangnya ke leherku.

Dash!

"Sayangnya, hari ini bukan hari terakhirku, Tabib Kwon."

Aku bergeser ke kiri dan berjalan mundur. Pria itu kesetanan dan aku tak boleh gegabah. Aku harus membawanya ke istana dalam kondisi hidup. Kesaksiannya lebih penting dari pelampiasan emosiku.

"Ini harus menjadi hari terakhirmu, karena besok putraku yang akan menggantikanmu mengenakan Gonryongpo putra mahkota."

"Ternyata, kau tidak ada bedanya dengan ibu suri. Sama-sama haus kekuasaan."

"Jangan samakan aku dengan jalang itu! Dia wanita serakah yang tega melenyapkan Putra Mahkota Taemin dan membantai kedua kakakku."

"Kau juga 'kan? Merencanakan pembunuhan kakakku dan mengambil nyawanya, lalu sekarang terang-terangan akan membunuhku?"

"Ya, aku membunuh putra mahkota lemah itu dengan cara serupa yang dilakukan tua bangka itu. Aku pun akan menghabisimu dengan cara yang sama yang mereka lakukan pada kakakku."

Dugaan permaisuri benar, pria ini merencanakan pembantaian keluarga kerajaan tanpa pandang bulu, untuk melampiaskan dendamnya. Pernyataan-pernyataan ini yang harus kubawa ke meja pengadilan.

"Kalau kau berhasil mencabut nyawaku, lantas kau mau apa?" tanyaku merusak konsentrasinya. Tabib Kwon bukan orang yang bodoh. Ia pintar dan licik. Satu-satunya cara untuk melemahkannya adalah merusak konsentrasinya.

"Tentu akan kubantai saudara-saudaramu dan keluarga kerajaan yang tersisa."

"Dan menjadikan putramu seorang raja dari hasil pembantaian? Betapa menyedihkannya rakyat Joseon harus memiliki raja semacam itu."

Pertanyaan retorisku sedikit membuatnya berpikir, sebelum ia kembali kehilangan nuraninya.

"Aku tak peduli. Dunia ini pun tak pernah peduli pada kami."

"Sayang sekali. Kalau kau punya niat lebih mulia, dengan senang hati kuserahkan posisiku. Berhubung kalian terlalu gelap mata, maaf-maaf saja."

"Aku juga tak butuh kerelaanmu. Kalau kau merindukan kakakmu, sudah saatnya kau menyusulnya ke neraka," pekik Tabib Kwon, "hyaaah!"

Serangannya yang penuh amarah justru menjadi kesempatanku untuk menjatuhkan pedangnya dan mendorong pria itu ke pohon. Untuk melumpuhkan pergerakannya, terpaksa kupukul lehernya di titik lemah hingga pria itu hilang kesadaran.

Di saat bersamaan, kulihat jumlah pasukanku sudah bertambah untuk membuat komplotan pemberontak bertekuk lutut dan membawa mereka sebagai tahanan istana.

"Di mana putri mahkota?" tanyaku menyadari Yeju sudah tak ada di sekitar tandu.

"Seja Joeha, maaf, putri mahkota tiba-tiba menghilang. Kami akan mencarinya."

***

Aku sempat hilang akal ketika pengawal mengaku kehilangan jejak putri mahkota. Bisa-bisanya aku sendiri tak tahu ke mana perginya putri mahkota— Yeju. Aku menoleh ke sekitar, tapi tak ada satupun petunjuk. Kalaupun gadis itu bersembunyi, sudah seharusnya ia kembali sekarang.

"Maafkan saya, Seja Joeha. Sebelum saya pingsan, saya melihat putri mahkota dibawa oleh dua orang dari komplotan pemberontak."

Shit. Kenapa ia tak mengatakannya sejak tadi?

"Kita harus berpencar!" titahku pada pengawal yang bersisa.

Kuambil pedang yang terjatuh di tanah dan berjalan mengikuti intuisiku. Seharusnya mereka belum jauh. Besar kemungkinan, mereka bersembunyi dalam rumah-rumah penduduk.

"Bin-gung Mama!"

Sesekali aku berteriak untuk memastikan arah yang kuambil benar. Mataku menyapu ke berbagai arah untuk memastikan keberadaan mereka.

"Tolong!"

Kudengar suara putri mahkota dari Jangdokdae* seorang warga dan kubuka gerbangnya dengan paksa. Pengawal yang mengikutiku mengambil posisi untuk masuk terlebih dulu.

"Selagi aku masih baik, lepaskan putri mahkota atau nyawamu akan berakhir di sini!" ancamku ketika mataku menangkap siluet manusia di balik deretan kwali.

Shot!

"Argh! Sial!"

Umpatan itu terdengar jelas dari mulut seorang pria yang terus mengerang. Ternyata sebuah anak panah yang entah dari mana sudah menghunus lengannya hingga ia kesakitan. Kulihat Yeju berhasil melepaskan diri dan berlari ke arahku. Sayangnya, seorang pria asing kembali menyanderanya dan meletakkan belati di depan leher gadis itu. Gadis itu menutup matanya rapat dan pikiranku kosong melihatnya.

Shot!

Sebuah anak panah dari arah lain melesat lagi dan menembus tubuh pria yang menyekap Yeju. Namun, gadis itu tampak bingung hingga aku menarik tubuhnya dan membawanya keluar dari rumah ini. Kubiarkan para pengawal untuk membereskan dua orang yang sudah berusaha menyekap Yeju. Pikiranku penuh akan pertanyaan bagaimana kondisi gadis ini, tapi bibirku terlalu kelu untuk bergerak.

"Dasar lamban, apa guna pedang di tanganmu kalau tidak bisa melindungi putri mahkota?"

Kami—aku dan Yeju— menoleh ke asal suara dan mendapati pria dengan pakaian bangsawan yang sangat familier. Pria itu membawa busur dan beberapa anak panah yang kuyakin sebagiannya sudah dilesatkan pada para pemberontak. Jadi, ini asal panah-panah tadi.

"Pangeran ... Uiseong?"

Pria itu berjalan mendekati kami tanpa mengindahkan keberadaanku. "Anda baik-baik saja ... Bin-gung Mama?"

Kulihat tubuh Yeju bergetar. Seburuk apapun kekacauan yang terjadi di dunia modern tak akan lebih parah dari yang kami alami hari ini. Gadis itu harus merasakan dirinya disandera dan menyaksikan sendiri dua orang pemberontak kehilangan nyawa di depan matanya.

Yeju masih diam, tapi tanpa ragu Pangeran Uiseong menjangkau kami dan mengusap lengan gadis di sampingku. "Sekarang, kita impas."

"Terima kasih."

***

Kejadian semalam benar-benar menggegerkan istana dan aku harus segera mengambil langkah besar. Jadi, meskipun langit masih berwarna oranye, aku sudah berdiri di depan kediaman raja dan menunggu kasim mengumumkan kedatanganku.

Akar masalah kematian mendiang putra mahkota sudah jelas. Rencana pembunuhan yang tak hanya dipikirkan dalam semalam. Bahkan, aku yakin mereka merancang strategi ini dengan penuh perhitungan. Karena itu, sudah sepantasnya aku menuntut keadilan bagi mendiang putra mahkota.

"Kami akan menghidangkan teh melati, Seja Joeha," ujar kasim kepercayaan raja seraya meninggalkan ruangan, setelah mempersilakan aku masuk.

"Tidak perlu."

"Kau datang pagi-pagi. Sudah sepantasnya pelayanku menghidangkan hal yang kau sukai, bukan?" ucap raja dengan tenang, "ini akan membuatmu lebih tenang setelah insiden kemarin, Seja Joeha."

Aku hanya mengiyakan dan membiarkan Kepala Kasim menjalankan tugasnya.

"Maaf, kalau apa yang akan aku katakan tak membuatmu senang, Joeha."

"Kalau itu soal kejadian kemarin, aku justru sangat puas dengan ditangkapnya Tabib Kwon. Tapi, kalau ada hal lain, kupersilakan untuk bicara."

Kalimat itu kuanggap sebagai lampu hijau untukku mengutarakan maksudku. "Hasil investigasi saya bersama permaisuri, menunjukkan bahwa mendiang putra mahkota memang benar diracuni."

Aku menangkap wajah raja yang masih tenang, seolah ia sudah siap dengan apapun yang akan aku jabarkan di pagi buta.

"Tapi bukan dengan baibu* yang dibawa khusus dari luar istana setelah mendiang putra mahkota pingsan. Menurut penelitian, simplisia ini terbukti memiliki efek penyembuhan luka, yang berarti mengatasi pendarahan yang sempat dialami," paparku dengan bahasa sederhana, "Putri Min sendiri menyampaikan bahwa mendiang rutin mengkonsumsi infusa* bunga hortensia dari Tabib Kwon selama setahun kebelakang."

"Apa maksudmu putra mahkota diracuni dengan sesuatu yang dianggapnya sebagai obat?"

Spontan aku mengangguk yakin. "Bunga hortensia ini mungkin tidak dikenal sebagai tumbuhan toksik, sehingga ditanam bebas di luar istana. Tapi, tidak pernah ada hewan peliharaan yang berada di dekat tumbuhan itu. Bahkan, kami sempat melakukan uji coba pada beberapa ekor mencit dan hasilnya di luar dugaan. Beberapa dari mereka meregang nyawa lebih cepat meskipun kami berikan konversi dosis dari yang Tabib Kwon berikan pada mendiang."

"Itu artinya, tumbuhan itu tak berhasil membunuh— mendiang putra mahkota— selama itu juga?"

Sulit untuk menjelaskan kronologisnya dengan masuk akal. Apalagi di era Joseon ini Korea belum mengenal sianida. Oh, koreksi, bahkan dunia baru mengenal sianida sebagai toksin di tahun 1700-an. Aku tak bisa serta merta menyebutkannya kalau tak ingin putra mahkota dijebloskan karena alasan penjelasan tak berdasar.

"Benar. Namun, beberapa mencit yang bertahan tampak mengalami gangguan pencernaan dan depresi."

"Aku tidak paham. Bagaimana kau mengamatinya?"

Baiklah, uji praklinis yang kulakukan memang sangat jauh dari kata proper. Namun, itu satu-satunya hal sederhana yang bisa kulakukan untuk membuktikan hipotesisku.

"Tentu dengan bantuan tabib istana yang lebih ahli dalam melakukan observasi. Namun, gangguan pencernaan jauh lebih mudah diamati dengan intensitas muntah yang tercatat."

"Baiklah."

"Menurut saya, jika dalam dosis tinggi, tumbuhan tersebut bisa membunuh, tentu dalam dosis rendah akan ada efek menyiksa. Apalagi dalam waktu lama. Ketika tubuh mendiang tersiksa berlarut-larut, maka kekebalan tubuhnya akan menurun dan mengakibatkannya tak dapat melawan bentuk serangan selanjutnya."

"Apa aku bisa mempercayai kata-katamu?"

"Tabib istana sudah menyusun laporan yang bisa Anda baca terkait penelitian yang kami lakukan. Saya harap, hal ini bisa menjadi titik terang," tuturku seraya menyerahkan segepok dokumen yang disusun oleh tim tabib istana.

Raja menerima berkas yang kuserahkan dan membaca lembar demi lembar yang tertulis. Pria itu tak menanyakan apapun, tetapi ia mengangguk seakan memahami kalimat-kalimat yang tertulis di dalamnya. Fokusnya baru terpecah ketika berita kedatangan permaisuri disampaikan oleh kasim.

"Kau seharusnya menjemputku dulu sebelum menemui ayahmu, Seja Joeha."

"Maaf, Eomma Mama. Saya ingin menyegerakan berita ini."

"Saya rasa putra mahkota sudah bicara banyak, melihat ekspresi Anda, Joeha."

Raja menutup matanya sesaat, isyarat ia mengiyakan apa yang dikatakan oleh permaisuri.

"Jadi, ibu suri dan Kepala Dewan Negara berada di balik pembunuhan putra mahkota terdahulu? Apakah benar, Mama?"

"Benar."

"Kalau itu benar, aku akan minta investigasi lebih lanjut dari tim keamanan istana."

"Untuk apa? Kami sudah melakukannya," tolak permaisuri tegas, "mungkin putra mahkota belum bicara sampai sana, tapi jurnal mendiang putra mahkota menuliskan bahwasanya Tabib Kwon diam-diam menggunakan akupuntur selama mengobati mendiang putra mahkota."

"Apa yang kau katakan, Jungjeon Mama?"

"Sebagai ibu, saya ingin mereka mendapat hukuman yang setimpal. Namun, saya sadar, dengan siapa saya berurusan sekarang."

"..."

Ada jeda dalam dialog kami semua. "Kita sedang berseberangan dengan ibu suri, ibu Anda sendiri. Apakah Anda bisa mengadilinya?"

Raja tampak terkejut dan kalau aku ada di posisinya, sebagai manusia biasa, tentu aku akan memilih keselamatan ibuku sendiri. Namun, ia adalah raja, sudah sepantasnya keadilan berasal darinya.

"Kau lebih tahu dari aku, jawaban apa yang bisa kuberikan. Kerajaan ini sedang tidak stabil dengan segala permasalahan internal yang kita hadapi. Mengadili ibu suri tentu bukan keputusan yang bijaksana. Rakyat akan semakin mempertanyakan akuntabilitas keluarga kerajaan."

"Saya sudah pernah menyampaikan ini ketika putra mahkota diserang dalam kepulangannya ke Hanyang. Apa Anda masih akan diam dengan alasan kestabilan kerajaan ini?"

"Jawabanku masih sama, Mama."

Apa-apaan ini? Kenapa kebijakan raja tak lebih baik dari pada tai sapi?

***

Kalau Yeju pernah bicara ia berat hati menyiapkan masa depannya di Joseon setelah kembali dari masa depan, tidak denganku. Terlepas kedatanganku sudah jelas hanya untuk memenuhi permintaan pria bercadar, aku sama sekali tak keberatan melanjutkan hidup sebagai putra mahkota. Anggap saja, aku tak tahu malu, tapi banyak hal yang harus dibenahi di Joseon, termasuk kebijakan dari Raja.

"Mungkin sangat tidak dewasa, tapi aku kecewa dengan keputusan raja," keluhku pada Yeju di kediaman putri mahkota.

Gadis itu melirik sekilas, tapi tangannya masih tertuju pada kerajinan tangan yang sedang dibuatnya dari perhiasan-perhiasan putri mahkota. "Keputusan yang mana?"

"Kuyakin kau belum dengar, tapi raja belum bisa mengadili Tabib Kwon atas tindakan pidana yang dilakukannya. Ia tak mau menyeret ibu suri dan mengungkap kejadian 20 tahun silam."

"Ini tidak sesederhana yang kita bayangkan sebagai orang awam," ujar gadis itu seraya menarik benang merah untuk mengaitkan ornamen yang dirangkainya.

Sayang sekali, Yeju sedang tak ada di pihakku. Sebodoh-bodohnya, aku sudah banyak belajar tentang sistem pemerintahan Joseon.

Kuperhatikan gerak-gerik gadis itu yang terfokus pada kerajinan tangannya dan hanya menganggapku angin lalu. Sekelebat kejadian kemarin terlintas di pikiranku."Aku sampai belum bertanya. Bagaimana lukamu? Apa masih sakit?"

"Hanya goresan kecil. Tak perlu dibesar-besarkan," jawab Yeju enteng.

"Tapi Tabib Lee masih menutup lukamu," ujarku seraya mendekatkan wajahku, "sini kulihat!"

Baru setelah aku minta melihat lukanya, ia menggeser barang-barangnya dari atas meja dan mempersilakanku mendekat untuk membuka perban. Lukanya memang tidak dalam, tapi aku yakin Yeju masih trauma dengan ancaman kemarin.

"Maaf, aku gagal menjagamu dan putri mahkota."

Gadis itu tersenyum simpul. "Kau sudah berusaha. Mungkin, memang jalannya harus lewat Pangeran Uiseong."

Aku tak bisa bersikap netral, sepenggal kalimat itu menghunus jantungku. "Benar... benar.... Kalau tak ada Pangeran sialan itu mungkin kita sudah tinggal nama."

"Bicara yang benar!" tegur Yeju dengan mimik serius.

"Ini kenyataan. Bukankah kalimat itu yang ingin kau lontarkan juga?"

Ia tak menggubrisku dan lanjut berucap, "Soal keputusan raja tadi, aku merasa kalian hanya memiliki perspektif yang berbeda."

Baguslah, ia mengalihkan topik pembicaraan. Aku tidak suka saja ia terlalu mengagungkan Pangeran Uiseong.

"Bagaimana?"

"Perhaps, you're fearless and he pondered a lot. However, this country also needs your courage to make a change in the future."

Aku terperangah pada kalimatnya. Singkat, tapi berhasil mengembalikan semangatku.

"I guess you become the one who knows me the best now."

Ekspresinya di luar nalarku. "Aku hanya menyampaikan pendapat. Bukan apa-apa!"

"Tapi itu kenyataan, latar belakang dan pemikiran kita yang paling selaras di masa ini. Sepintar-pintarnya Pangeran Agung Gyeseong ataupun raja mereka tak akan paham cara berpikirku. Seperti kau mengerti aku."

"Padahal, pemikiran Pangeran Agung Gyeseong cukup moderat. Ia tahu banyak hal yang kadang aku tidak terpikir."

Aku tidak mengelak kalau adik kedua putra mahkota berpengetahuan luas, tapi tetap bukan itu maksudku. "Semoderat-moderatnya, ia tetap orang Joseon. Mungkin itu juga alasan kau menjadi teman baikku di dunia ini. My strength to endure."

***

Dengan tertangkapnya Tabib Kwon, permaisuri dapat bernapas lebih lega. Karena itu, ia mengajakku untuk kembali menengok Putri Min dan Wangseson hari ini. Sebenarnya, permaisuri juga ingin mengajak putri mahkota. Namun melihat kondisinya, gadis itu perlu lebih banyak waktu untuk beristirahat.

"Apakah Anda memiliki seseorang yang sangat berpengaruh terhadap perasaan Anda?" tanya Putri Min tiba-tiba ketika kami sedang menikmati keindahan taman bunga.

"Tentu jawabannya, iya," sahut permaisuri.

"Eomma Mama ...."

"Itu bukan hal terlarang, Seja Joeha. Apakah dia putri mahkota atau kau memiliki gadis lainnya?"

"Coba ceritakan perasaan Anda pada kami?" goda Putri Min tanpa disangka-sangka.

"..."

Aku kehilangan kata. Bukan apa-apa, tapi aku tak menyangka akan ditodong pertanyaan semacam ini. "Aku ingin bertanya sekali lagi. Apakah kau mulai jatuh cinta ... pada putri mahkota?"

Putri mahkota? Apakah permaisuri tidak salah bicara? Kalaupun aku pernah merasa jatuh hati, aku sadar perasaanku keliru karena bukan seharusnya.

"Tidak seharusnya Anda membahas hal itu di sini, Eomma Mama."

Permaisuri mengedipkan matanya dan aku hanya merespon dengan senyum tipis. Bisa-bisanya ia menggodaku seperti ini. Lantas, permaisuri berjalan lebih cepat, meninggalkan aku dan Putri Min berjalan berdua di halaman rumah singgah.

"Saya rasa, saya tak berhak menyimpan binyeo ini, Seja Joeha."

Kulihat Putri Min menggenggam sebuah hairpin yang pernah dihadiahkan oleh seorang warga Hanyang padaku.

"Kenapa?"

"Anda juga tahu bahwa seorang wanita tidak berhak menerima sebuah binyeo, terlebih dari pria yang merupakan adik suaminya. Sama sekali tidak bermaksud tidak menghargai perasaan tulus Anda. Saya mengerti, tapi saya ingin fokus pada Wonson."

"..."

"Kalau Anda belum mencintai putri mahkota, Anda bisa menyimpannya kelak untuk gadis yang Anda cintai."

Aku benar-benar kehabisan kata. Bukankah aku sudah sangat mengendalikan diri? Lagi pula, seorang putri mahkota tidak akan pernah memakai binyeo semacam ini, bukan?

***

Seolah tak ingin ada satupun kebijakan raja yang melemahkannya, ibu suri menginterupsi diskusiku dengan raja dan permaisuri sore ini. Wanita itu tampak buru-buru dan panik. Ya, untuk kejahatan sekelasnya, kupikir ia sudah siap dengan segala konsekuensi. Sayangnya, tidak.

"Jadi, segerakan hukuman untuk permaisuri terdahulu dan Pangeran Uiseong. Kita harus pastikan tidak ada orang tak bersalah di luar sana yang menderita."

"Mengapa Anda gegabah, Daebi Mama? Orang yang melakukan tindakan kriminal adalah Tabib Kwon. Pangeran Uiseong justru menyelamatkan kami—aku dan putri mahkota," bantahku setenang mungkin. Her proposal is a blunder!

"Buktinya sudah sangat jelas. Tabib Kwon adalah putra dari permaisuri terdahulu dan sayangnya ... Pangeran Uiseong adalah anak haramnya. Sungguh memalukan," cemooh ibu suri. Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop dari balik jeogori-nya.

"Mungkin kalian semua belum tahu isi surat ini. Surat ini dikirimkan oleh pemberontak itu pada ibunya dan menjanjikan tahta ini akan kembali pada mereka. Sudah jelas siapa saja mereka itu. Bahkan, dalam surat ini tidak hanya berisi pembunuhan yang dilakukan kepada mendiang putra mahkota, bahkan rencana kudeta terhadap raja."

"Daebi Mama, surat itu keliru," bantah pria yang kukenali sebagai Pelaksana Tugas Kepala Dewan Negara yang baru ditunjuk. Pria itu baru saja ditunjuk oleh raja dari hasil diskusiku dengan raja dan permaisuri untuk melanjutkan tugas mendiang Kepala Dewan Negara.

"Lancang sekali mulutmu mengatakan apa yang kubawa salah," hardik ibu suri dengan tegas.

Pejabat baru itu membela diri lewat argumennya, "Bukan berarti dengan ikatan darah Pangeran Uiseong juga terlibat di dalamnya. Pangeran Uiseong tidak tahu kalau ... kalau ia memiliki hubungan dengan Tabib Kwon."

Aku sendiri masih antara percaya dan tidak, apakah memang Pangeran Uiseong ada di balik pemberontakan, atau memang terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Namun, semua berubah ketika seorang prajurit menginterupsi dan menyampaikan kalau Tabib Kwon dan beberapa orang pemberontak berhasil kabur dari penjara istana.

Wajah ibu suri memerah dan ia siap meledak. "Persetan! Kalian dengar sekarang? Mereka pasti bersekongkol membodohi kita semua. Raja, kumohon untuk cepat mengambil keputusan sebelum mereka benar-benar mengkudeta pemerintah sekarang."

Kali ini, raja ikut bicara, "Tenangkan diri Anda, Daebi Mama."

"Anda yang harus dengarkan aku, Joeha. Istana ini sedang tidak baik-baik saja. Sekali lagi, Anda harus mengambil keputusan besar untuk kestabilan kerajaan. Sekarang!"

"..."

Setelah banyak perdebatan dengan ibu suri, baru sekarang aku sependapat. Entah apapun motivasinya, ini adalah salah satu cara untuk melindungi keluarga istana.

"Anda tidak bisa melindungi kriminal. Atau kebijakan Anda akan dipertanyakan, Joeha. Saya mohon keadilan dari Anda untuk permasalahan ini," pintaku dengan penuh kesadaran.

***

Catatan kaki:

Baibu: Akar stemona yang sering digunakan sebagai obat herbal

Infusa: ekstrak bahan alam yang diperoleh dengan menggunakan pelarut air pada suhu 90°C selama 15 – 20 menit

Jangdokdae: halaman untuk menyimpan makanan fermentasi


Selamat kan Yeju-nya, guys! Hehehe.

Tapi yang nyelametin Pangeran Uiseong aja, ya. Biar Yeju ga gimana-gimana banget sama Sangmin. Masalahnya, Sangmin itu kaya masih questioning sama perasaannya. Ada saran nggak gimana biar Sangmin aware dan mau confess?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro