Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

Layaknya kisah sejarah kerajaan dengan pemimpin yang dicintai rakyatnya, kehamilan putri mahkota menjadi berita bahagia tak hanya untuk anggota kerajaan, melainkan juga penduduk kerajaan ini. Kudengar dari Kasim Cho, Keluarga Yoon sampai tak henti menerima hadiah dari rakyat dan keluarga bangsawan lain. Kalau yang kedua, entah sebuah ucapan selamat yang tulus atau hanya sekedar cari muka. Hal itu juga terjadi di kediaman putri mahkota, berita selir istana mengirimkan beberapa lukisan dan kudapan manis juga sampai ke telingaku.

Padahal sebagai suami, selama 2 hari ini, aku absen untuk melihat kondisinya. Baru sekarang, aku punya waktu berkunjung.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa yang kau katakan, Bin-gung?" sindirku dengan nada rendah.

Sontak Yeju meminta maaf dan membungkukkan tubuhnya 45 derajat.

Kurasa bocah itu mengira putra mahkota sudah kembali. Perutku geli hingga aku jadi tak tahan untuk tertawa. Tawaku baru terhenti ketika sebuah bantal tebal mendarat tepat di wajahku.

"Kau pikir bisa membodohiku terus menerus?"

Aku kembali tertawa melihat ekspresi kesal bocah itu. Kalau kupikir, ia bisa menjadi salah satu alternatif hiburanku di sini.

"Aku hanya bercanda. Kenapa ketus? Masih kesal karena kejadian di Hanyang?" godaku.

Bocah itu kembali melemparkan bantal yang tergeletak di lantai. Wah, dia punya bibit KDRT sepertinya.

Ia menatapku tajam dan itu cukup mengerikan. "Kau tanya kenapa?"

"Aku minta maaf. Ada hal yang harus diselesaikan hari itu. Ini terkait misi pentingku di Joseon."

"Kau pikir, maaf cukup untuk semua kesalahanmu?"

Hmm. Sepertinya ia punya alasan lain untuk kesal. Baiklah, ini akan panjang. Semangat, Moon Sangmin!

"Lalu, kau mau apa?"

"Jujur!" ucapnya tegas, "kau harus jujur dan terbuka padaku."

Aku terdiam beberapa saat dan mencoba mencerna perkataan gadis itu. Kami tidak benar-benar menikah, jadi untuk apa kami terbuka pada satu sama lain? Ada-ada saja.

"Apa yang kau lakukan setiap malam?" tanya bocah itu masih dengan nada mengintrogasi.

"Aku tidur."

"Bohong! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kau mengendap-endap keluar kamarmu dengan pakaian dan cadar hitam," jelasnya telak.

Oh, kapan ia melihatnya? Aku memang berbohong, tapi kecurigaannya juga bukan sesuatu yang besar—untuknya. Kepergianku tengah malam karena keharusanku untuk memata-matai rumah Tabib Kwon. Untuk sekarang, tidak mungkin juga aku menceritakan itu padanya.

"Ini terkait misiku."

"Misi, misi, semua alasanmu selalu misi! Tidak punya ide lain? Aku sebenarnya curiga dengan yang kau sebut misi. Apakah itu mulia atau kriminal?"

"Ya! Bocah cilik, bisa tidak kau sedikit saja menghilangkan pikiran-pikiran negatifmu. Tidak hanya padaku, tapi pada Joseon. Cobalah lebih optimis memandang petualangan ini."

"Petualangan, your ass? Sok tahu."

Memang, aku tahu. Dia saja yang tidak sadar aku sudah membaca catatan keluh kesahnya. Meskipun, untuk beberapa kesulitan hidup di Joseon, aku sependapat juga.

"Atau, kau mengendap-endap ke kediaman putri mahkota dan melakukan hal terlarang?"

"Maksudmu?"

"AKU HAMIL, BODOH!"

Bocah itu berteriak nyaring tanpa peduli para dayang bisa mendengarnya. Refleks, kututup mulutnya dengan tangan.

"Sye–pe le–ge—"

"Jangan teriak-teriak!"

Dengan sekuat tenaga ia menghempaskan tanganku. "Siapa lagi yang menghamiliku kalau bukan kau?"

Aku menghela napas panjang. Kalau memang yang dia katakan benar, aku tak akan mengelak. Walaupun, dia tak bisa memaksaku terbuka. Tapi, untuk pertanyaan ini, namanya fitnah.

"Putra mahkota," jawabku lugas, "coba kau ingat-ingat lagi tingkahmu sebelum aku datang ke sini."

Sudah kuduga, bocah ini akan memperkarakan kehamilannya. Jadi selama tidak bertemu dengannya, aku sering bertanya pada Kasim Cho terkait hubungan pasangan kerajaan ini. Yang jelas, menuduhku adalah sebuah pemikiran yang dangkal.

"..."

"Kalian pernah menghabiskan malam di Jeju, bukan?"

Bola mata bocah itu berputar. Ia tampak berpikir. "Bukan. Bukan aku."

"Lalu? Hantu?"

"Kalau begitu, ini ... hasil perbuatan putra dan putri mahkota yang sebenarnya. Aku datang setelah consummation night."

"Oh, kupikir."

Ya, sempat terbesit kalau Yeju pernah menghabiskan malam bersama putra mahkota sesungguhnya. Meskipun, ada rasa tidak percaya melihat seberapa polosnya gadis ini.

Kini, ia menggaruk kepalanya. Sepertinya, ia kebingungan sampai meracau, "Aku harus bagaimana? Di dalam perutku ada royal baby. Aku tidak tahu soal kehamilan. Apalagi bayi ini sangat penting untuk Joseon."

"Tenang saja. Tugasmu adalah menjaga kondisi putri mahkota agar tetap sehat. Kau sudah dengar dari Duri soal insiden yang kau alami, 'kan?"

Ia menatapku beberapa saat dan mengangguk patuh. Namun, tak ada senyum ceria yang biasanya terkembang. Seperti ada beban hidup yang dipikulnya seorang diri.

"Sudah larut, kondisi tubuh putri mahkota tidak terlalu baik. Jadi, sekarang kau harus tidur," tegurku berusaha mengakhiri pembicaraan kami. Jujur, aku sendiri juga mengantuk. Kelopak mataku sudah jatuh berulang kali.

"Tapi aku takut."

Responnya yang tiba-tiba itu membuatku penasaran. "Takut apa?"

"Kembali ke 2025."

"Bukannya seharusnya senang?"

"Berarti aku harus berpamitan dengan semua sahabatku di sini. Duri, Pangeran Agung Muan, Pangeran Agung Gyeosong—"

"Tidak ada yang menganggapmu sahabat di Joseon," potongku kesal.

Bibir bocah itu mengerucut dan membuatku gemas sendiri. Spontan kutarik kedua pipinya.

"Ih, sakit tahu. Jangan pegang pipiku, ini bisa menyebabkan infeksi," gerutunya kesal.

Aku mencibir mendengar omong kosongnya itu. Bagaimana bisa?

"Aku serius, dari artikel yang kubaca, bisa menyebabkan Zika. Kau harus ingat, putri mahkota sedang hamil."

"Sudah kuduga kalau kau itu memang kurang—pintar. Tidak mungkin ada artikel seperti itu. Tapi ... kalaupun ada. Pilihannya adalah penulisnya yang bodoh atau kau yang tidak paham. Infeksi hanya bisa terjadi kalau kekebalan tubuh orang itu rendah atau bayi yang jelas sistem kekebalannya belum sempurna."

"Coba ada handphone, akan kubuktikan," ujarnya bersikukuh.

"Kau tidak perlu handphone. Dengarkan aku saja. Aku ini mahasiswa kedokteran kalau kau masih tidak percaya."

Matanya membola sempurna. Seperti biasa, ia tidak sungkan menunjukkan wajah terkejut. "Oh, ya? Universitas mana yang mau menerimamu? Tapi kau tak terlihat sepintar itu."

Shit! Dia meremehkanku. Yang jelas aku lebih pintar darinya kalau bicara soal medis.

Bukannya tidur, ia malah duduk bersila di sampingku.

"Asal kau tahu, universitasku bukan kaleng-kaleng. Jurusanku ada dalam 100 besar ranking dunia," jelasku berbohong. Sebenarnya, ada di peringkat 102, tapi bocah ini tak akan tahu juga.

"Suka-suka kalau kau mau menipuku lagi," ejeknya tak setuju.

"Kau bisa cari di Naver, kalau nanti kembali ke masa depan dengan keyword, jurusan kedokteran Sungkyunkwan University."

Ia hanya mengangguk-angguk sok dewasa. Kenapa sekarang justru aku yang jadi kesal? Wah, apa bocah ini berusaha mempermainkanku?

"Bicara masa depan ... ada yang ingin kuceritakan."

Aku hanya meliriknya malas. Responnya tadi membuatku merasa terhina. Semalas-malasnya aku, tidak pernah ada yang menganggapku bodoh sepertinya.

Seolah tak peduli dengan ekspresiku, ia tetap berbicara, "Selama pingsan—"

"—aku kembali ke masa depan."

Aku tetap berada pada posisiku dan mengarahkan ekor mataku padanya. Apa sebenarnya ia sedang bermain prank karena menganggapku teman bercanda sejak tadi?

"Harusnya aku yang bilang padamu untuk berhenti melantur."

Matanya melotot mendengar responku, tapi aku masih malas saja dengannya. "Mimpi atau apa? Kenapa tidak di sana saja?"

Kali ini, wajahnya tampak muram dan matanya berkaca-kaca. "Bagaimana bisa kalau aku hanya menjadi mayat hidup?"

"..."

"Aku dirawat di ICU karena keracunan sesuatu. Pengobatan selama hampir seminggu tak membuat kondisiku kembali seperti sedia kala. Mereka bilang, aku mengalami cerebral edema."

Meskipun sejak awal aku yakin ia membual, tapi tak mungkin ia tahu soal cerebral edema. Shit! Kenapa harus insiden keracunan juga? Kalau sampai bocah itu mengalami cerebral edema, efek dari toksinnya pasti akut. Antidot sudah tidak berfungsi. Pengobatannya akan cukup sulit karena sistem syaraf pusatnya diserang. Bisa-bisa ia di antara hidup dan mati.

Bocah itu mengusap pipinya, menghapus linangan air mata. Aku jadi ... berempati.

"Percayalah. Tubuhmu akan pulih kembali. Dokter-dokter di Korea Selatan mumpuni untuk menyembuhkanmu," ujarku yang refleks menggenggam kedua tangannya.

"Kalau aku mati di masa depan bagaimana? Apa aku harus menata hidupku sebagai putri mahkota?" rengeknya sedih, "aku tidak mau selamanya di sini."

Ekspresinya menyimpan ketakutan yang selama ini tak pernah kulihat. Meskipun, akupun merasakan hal yang sama. Kalau Yeju tahu kondisinya di masa depan, tidak denganku. Bisa saja aku masuk ke dalam fase vegetatif atau mungkin sudah mati. Setelah misiku habis, roh putra mahkota akan kembali. Lalu, aku ke mana?

"Tugas kita di sini, hanyalah menyelesaikan masalah putra dan putri mahkota. Setelah itu, kita akan bersama-sama mencari cara kembali ke masa depan," ujarku menenangkan.

Aku semakin tak tega ketika kudapati wajahnya masih muram. Ia tampak sangat terpukul. Tahu begitu, aku tak akan bahas soal masa depan.

"Aku akan temani kau sampai tertidur," ucapku seraya mengusap kepalanya, sebelum melantunkan potongan lullaby yang lewat di benakku.

***

Butuh waktu cukup lama sampai kulihat matanya terpejam dan napasnya mulai teratur. Mungkin tubuh putri mahkota masih belum sepenuhnya pulih.

Ketika aku akan beranjak, kusadari tangannya bertengger di lututku. Kuangkat pelan-pelan tangan mungil itu, untuk mencegahnya terbangun. Namun, gerakanku terhenti ketika kudengar suara napas yang tersengal. Tak hanya itu, buliran keringat dingin membasahi keningnya. Baru sesaat dia tertidur, apalagi ini?

"Yeju-ya!"

Karena tak ada sahutan, aku mengulangi dan mengguncang tubuhnya.

"Yeju!" pekikku menyadarkannya.

Kali ini kudengar Yeju meracau tak jelas. Aku benar-benar panik sehingga guncanganku semakin keras. Sebenarnya aku khawatir dengan pernyataannya tadi. Bisa jadi Yeju kembali ke masa depan lagi tanpa peringatan.

"Yeju-ya, bangun sekarang!"

"Haaah!"

Ia terbangun dengan wajah pongah dan posisi terduduk.

"Mimpi buruk?"

"Mimpi?" tanya Yeju retoris, "kupikir ... ini terlalu nyata."

Buliran peluh di kening Yeju membuatku tak tahan untuk menyekanya. Astaga, apa yang dimimpikan gadis itu hingga wajahnya berubah pias? Pandangannya tampak kosong dan tubuhnya tremor.

"Yeju...."

Ia tak menjawab. Wajahnya linglung. Kedua tangannya bertaut dan fokusnya tertuju pada jemari kecilnya. Apakah benar ia kembali ke masa depan lagi?

"Kau ... Putra mahkota ... tidak ... aku tidak tahu itu kau atau putra mahkota. Ta—pi kalian sedang terancam."

Astaga! Ia tak berhenti membuat jantungku copot hari ini. "Apa maksudmu?"

"..."

"Kalau kau belum bisa menceritakannya tidak masalah, tapi istirahatlah. Tubuhmu pasti lelah."

Ia tampak memikirkan kata-kataku sebelum menengadah dan menatapku seolah membutuhkan perlindungan. Yang sama sekali tak kuduga, sedetik kemudian, ia menarik tubuhku dan memelukku erat sampai dadaku terasa sesak. Posisi kami yang sangat dekat ini benar-benar membuatku bisa merasakan deru napas dan getar tubuhnya. Bahkan degup jantungnya yang tak beraturan. Sontak, aku mengelus punggungnya dan berharap bisa memberikan sedikit ketenangan. Pelukan gadis itu mengerat dan ia menjatuhkan kepalanya pada pundakku.

"Aku takut ... Aku tidak tahu siapa yang akan menyerang keluarga kerajaan sebentar lagi. Tapi ... aku takut ... tidak bisa berbuat apa-apa."

Aku berhenti mengelus punggungnya dan mengurai pelukannya. Kutatap kedua mata almond yang sudah berkaca-kaca. Tanpa ia bercerita, aku bisa membayangkan seberapa buruk mimpinya kali ini.

"Kau tidak sendiri. Kita akan bersama-sama melindungi mereka—keluarga kerajaan," ucapku menenangkan. Seberapa mencekam apapun kondisi di luar sana, aku tak boleh membuatnya takut. Ia sudah terlalu pesimis menatap hidupnya.

Ia menatap wajahku dengan nanar. "Kau harus melindungi dirimu sendiri juga."

Sungguh, hatiku mencelos mendengarnya.

"Tentu. Dengan melindungi putra mahkota, itu artinya aku menjaga diriku sendiri."

Kami terdiam untuk beberapa saat dan hanya menatap mata satu sama lain. Ia masih belum bisa bicara banyak, tapi aku yakin ada kecemasan lain yang mengganggu pikirannya.

"Kalau aku tidak mampu menjaga putri mahkota ... kumohon bantu aku."

"..."

"I mean, we don't have anyone else here, instead of each other," ralat Yeju tergagap, "I will protect you and the crown prince as well."

"Aku tahu."

Ia kembali menyandarkan kepalanya di dadaku dan melingkarkan lengannya di pinggangku.

"Satu lagi, bolehkah aku pinjam dadamu malam ini saja?"

Tubuhku membeku. Apakah gadis ini tidak mencari kesempatan di tengah-tengah rasa takutnya?

***

"Eomma Mama, saya menemukan jurnal mendiang putra mahkota," tuturku setelah dipersilakan menemui permaisuri.

Ya, investigasiku di Sigangwong berhari-hari mulai membuahkan hasil. Aku menemukan buku yang diselipkan di antara panel kayu pada bagian bawah meja belajar.

Permaisuri tampak antusias dan tak sabaran di waktu bersamaan. Ia membuka lembar demi lembar buku itu atensinya tertuju pada satu halaman dengan lembaran yang robek.

"Ini—lembar— bukan tulisan asal, melainkan bagian dari jurnal putra mahkota."

Lembar yang dimaksud adalah robekan kertas yang pernah kuserahkan sebelumnya setelah menemukan benda itu di dalam Lúnyǔ*, yang merupakan buku favorit mendiang putra mahkota.

"Pada akhirnya kita bisa membacanya, Eomma Mama."

"Jelas di sini, kakakmu menuliskan bahwa depresinya semakin buruk setelah praktik akupuntur Tabib Kwon. Ia lebih sering muntah darah," ucap permaisuri dengan suara parau, "anakku yang malang bahkan mengeluhkan sakit di ulu hatinya. Tapi, aku tidak tahu dan tidak bisa menolongnya,"

Ini benar-benar salah. Akupuntur tak bisa dibenarkan untuk semua penyakit. Apalagi mendiang putra mahkota menderita hemofilia. Entah pengobatan di Joseon yang masih terbelakang atau Tabib Kwon sengaja melakukan semua ini. Aku benar-benar bias untuk menentukan motifnya.

"Akupuntur bisa jadi terapi hemofilia, tapi akan sangat bergantung pada teknik dan kedalaman jarum yang digunakan. Risikonya jauh lebih besar dari manfaatnya. Hal ini sangat berbahaya," jelasku pada permaisuri.

"Aku yakin ... mendiang putra mahkota dibunuh oleh tabibnya sendiri."

Pernyataan permaisuri menyuarakan apa yang ada di pikiranku. Kalau akupuntur memang tidak ada potensi menyebabkan kematian, sudah seharusnya Tabib Kwon menuliskannya di rekam medis. Bukan menjadi bagian dari teka-teki.

***

Sore ini, bersama beberapa pejabat istana, aku berjalan di halaman sembari membicarakan beberapa isu di wilayah Joseon yang cenderung jauh dari Hanyang. Sebenarnya, aku tak terlalu suka bicara soal kebijakan publik apalagi politik, tapi karena ini menyangkut kesehatan masyarakat, hatiku terketuk. Bagaimanapun, aku adalah calon tenaga medis yang sudah 6 tahun mengenyam pendidikan.

"Ketika pergi ke Hanyang, aku mendapati tidak banyak fasilitas kesehatan dan tabib yang tersedia."

"Tabib kita tersebar di penjuru Joseon, Joeha. Biasanya tabib-tabib memilih untuk tinggal di kaki gunung agar dekat dengan kuil atau desa terpencil. Sebagian besar dari mereka memilih untuk mengabdikan dirinya," papar seorang pria yang kukenal sebagai Menteri Kesejahteraan Masyarakat.

Wow, aku terkesan dengan penjelasannya, tapi bukan berarti aku percaya. Lagi pula, aku bertanya soal jumlah fasilitas kesehatan bukan alasan persebarannya. Aku belum tahu sebaik apa orang Joseon, tapi logikanya jika fasilitas di kota saja rendah, tentu desa akan berada lebih buruk.

"Aku mengapresiasi seberapa hebat tabib istana dan fasilitasnya. Hanya saja ... perbedaannya terlalu ketara dengan milik rakyat. Aku jadi khawatir, seburuk apa pelayanan di daerah yang Anda-Anda sebutkan tadi."

Terdengar celetukan yang entah berasal dari mana, "Sesuai dengan kelas mereka tentunya."

"Kalau Anda menginginkan perbaikan fasilitas kesehatan, itu artinya rakyat harus membayar pajak lebih," respon tiba-tiba dari salah seorang menteri di belakang.

"Maaf, apa sumber pemasukan kerajaan ini hanya pajak?"

Liberal sekali pemikiran pejabat istana. Padahal, tahun-tahun seperti ini, mereka belum banyak terpapar budaya Barat. Jangan-jangan, itu alasan budaya Barat sukses berasimilasi di Korea Selatan.

"Tentu tidak. Tapi pendapatan terbesar kita ada pada pajak, Joeha," jelas Menteri Perpajakan dengan penuh percaya diri.

"Apakah Anda masih belum paham sistem kerajaan ini setelah beberapa bulan menjadi putra mahkota?"

Sudah jelas siapa yang berani mengejek putra mahkota di depan khalayak. Tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang mendumal sejak tadi. Mulut pria ini tak ada ubahnya dengan cucunya. Sama-sama menyebalkan.

Aku tertawa keras. "Apakah sebuah pertanyaan selalu menjadi indikasi ketidaktahuan? Kalau begitu, tidak akan pernah ada pertanyaan dalam ujian."

Ucapanku berhasil membungkam mulutnya. "Aku tidak minta banyak, tapi tolong mulai inisiasi fasilitas kesehatan yang layak. Fokus di Hanyang dulu. Tidak perlu ada penambahan pajak."

"Tapi dana dari mana? Kita tidak ada alokasi biayanya," sergah Menteri Perpajakan.

"Bukankah kita mulai mengirim hasil tambang ke Cina sejak bulan lalu? Apakah itu tidak termasuk sumber devisa kerajaan kita?"

Sekali lagi aku berhasil membungkam mulut pejabat Joseon. Mereka pikir aku tidak tahu akal bulus mereka untuk menggelapkan pemasukan kerajaan.

Aku melangkah maju beberapa langkah di depan untuk memberikan ruang mereka berdiskusi. Mungkin mereka butuh waktu untuk menyiapkan kalimat balasan. Tapi, langkahku terhenti ketika kulihat siluet yang tak asing.

Mau tak mau, aku harus mengakhiri sesi diskusi kami.

"Aku harap Anda semua bisa melaksanakan permintaan kecilku dan besok sudah ada progres yang bisa dilaporkan," pintaku.

Aku mengambil langkah panjang setelah berpamitan pejabat istana. Lantas, aku pura-pura meninggalkan mereka dan kembali lagi untuk mencari apapun tanaman yang berukuran lebih besar dari tubuhku. Sayangnya, menggunakan jeogori semacam ini cukup menyulitkanku untuk bersembunyi di balik pohon atau semak-semak. Jadi, kucoba berdiri di balik dinding untuk menyembunyikan tubuhku dan menggencarkan aksiku.

"Bin-gung Mama, apakah aku harus mengucapkan selamat atas kehamilanmu?"

Aku mengenali suara itu. Suara sosok yang suka menyulut pertikaian denganku.

"Oh, tentu."

"Kupikir orang sepertimu tak memerlukan ucapan selamat atas sebuah kehamilan. Bukankah itu akan mengurangi mobilitasmu?"

Lancang sekali mulutnya. Terbesit ide untuk mengintervensi, tapi aku ingin tahu juga bagaimana cara bocah itu menangani orang semacam Pangeran Uiseong. Hitung-hitung melatihnya mandiri.

"Jaga bicaramu!"

Wah, dasar sumbu pendek. Sudah mulai emosi dia. Berurusan dengan Pangeran Uiseong memang butuh ketegasan, tapi bukan artian mendahulukan emosi. Sampai sekarang saja, aku masih belum dapat strategi yang tepat.

"Kau tidak akan bebas keluar istana."

"Sudah tahu."

"Kau tidak akan bebas mencoba jajanan dari pasar Hanyang."

"Sudah tahu."

"Kau tidak akan bebas berlarian di istana."

"Tidak peduli."

Terlepas jawaban pendek bocah itu, telingaku ikut panas mendengar ocehan Pangeran Uiseong yang konsisten. Ia seperti tahu-tahu saja aktivitas putri mahkota setiap harinya. Kalau dia tahu putri mahkota hamil, sudah seharusnya dia tidak mencari masalah. Apakah ia mau wajahnya kutonjok mentah-mentah karena membuat onar?

"Aku yang hamil, tapi kenapa kau yang repot, sih?"

"Itu namanya peduli."

Aku benar-benar tak habis pikir dengan mulutnya. Ia terlalu ... cari perhatian, untuk ukuran seorang yang tak menyukai putri mahkota.

"Simpan saja kepedulianmu untuk rakyat Joseon."

Bagus, Yeju! Kau harus menjauhkan putri mahkota dari serigala itu. Putra mahkota tidak akan suka kalau istrinya diganggu pria lain.

"Sayang sekali, padahal kupikir kita berteman setelah kejadian di kedai hari itu."

Sebentar, kedai? Apakah mereka diam-diam bertemu di luar istana?

Aku melongok untuk melihat ekspresi keduanya, lebih tepatnya wajah bocah itu, karena kalau ucapan Pangeran Uiseong salah, ia seharusnya sudah mengelaknya sejak tadi.

"Aku menolak perhatianmu bukan berarti tidak menganggapmu teman. Kita bisa berteman dengan baik, Pangeran Uiseong."

Ucapan Yeju terdengar lembut dan satu lagi, astaga, tatapannya terlalu teduh untuk orang semacam Pangeran Uiseong.

"Benarkah?"

"Dengan catatan, kau tidak menyulut emosiku."

Pangeran Uiseong terlihat sumringah dan rasanya sulit dipercaya. Apakah Yeju gila? Menawarkan persahabatan dengan musuh kita bersama? Cuih. Sepertinya, aku harus mendudukkannya lain kali.

***

Catatan kaki:

Lúnyǔ: Buku Konfusius yang dikenal juga sebagai Analects of Confucius

Lama tunggunya, ya? Maaf, demi kemaslahatan hidup orang banyak, aku harus mengesampingkan kehidupan pribadi dan hobi nulis selama 2 mingguan ini. Jadi, mohon maklum, ya. :')

Harapannya, kemarin pas Sangmin ulang tahun bisa ngejar update, tapi udah kaya zombie. Jadi wae, hari ini.

Btw, Happy Birthday Dedek Moon Sangmin! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro