Chapter 14
Aku tidak bisa membuka mataku lebar-lebar karena cahaya yang terlalu menyilaukan untuk ukuran penerangan Joseon. Tapi, mengapa suasana ini terasa familier?
"Denyutnya normal. Bagaimana dengan tekanan darahnya?"
"Tekanannya normal, Dok."
Oh, my God! Pantas saja semua tak asing, sekarang aku ada di rumah sakit. Ini Korea Selatan bukan Joseon!
"Nona Oh Yeju, apakah kau bisa mendengar suaraku?"
Bagaimana jiwaku tiba-tiba kembali ke tubuhku? Rasanya, baru beberapa hari lalu, aku kesal karena Moon Sangmin mengabaikanku. Tapi, kini, aku telah kembali ke duniaku. Aku harus merayakannya! Tak ada kata yang bisa kukatakan selain rasa terima kasihku pada Tuhan.
Aku benar-benar bisa kembali ternyata.
Sebentar, aku ingin merespon pertanyaan dokter. Tapi ... kenapa tubuhku sulit digerakkan?
"Sudah hampir seminggu Nona Oh Yeju mendapat perawatan intensif di ICU, saya yakin regimen obat dan pilihan terapi yang digunakan sudah sesuai untuk memulihkan kondisinya. Hanya saja, belum ada perkembangan yang signifikan pada kesadarannya."
Hampir seminggu? Seingatku, aku sudah lebih dari sebulan di Joseon. Wah, ini bukti waktu di dunia paralel berlangsung lebih cepat dari dunia nyata.
"Meski antidot sudah diberikan sejak hari pertama pasien dirawat di Jeju, sepertinya toksin tersebut bekerja lebih cepat dari yang tenaga medis itu —di Jeju— kira. Tolong tetap pantau terus kondisinya."
Jadi, sekarang aku sudah tidak lagi di Jeju. Apa mungkin aku sudah pulang ke Seoul?
Terlepas di mana aku sekarang, alasan aku bisa terbaring jauh membuatku penasaran dan aku butuh penjelasan. "Dokter, tolong bantu aku."
"Perawat, bisa bantu aku duduk dulu?"
Tidak mungkin kalau keduanya punya gangguan pendengaran, kan? Tapi, kenapa tak seorang pun meresponku?
***
Meskipun merasa lega kembali ke dunia modern, aku tak sepenuhnya bahagia. Terbujur kaku seperti mayat hidup benar-benar menyiksaku. Sekalipun menangis, tak ada yang menghiraukanku. Satu jam pun terasa seperti seminggu.
"Oh Yeju, putriku! Apa benar kau sudah siuman?"
Kudengar suara ibuku yang panik mendekat. Ini bukan Nyonya Yoon, tapi ibu kandungku, Nyonya Oh. Rasanya aku ingin menangis lagi. Aku benar-benar merindukannya dan ayahku.
"Nyonya, pasien sempat mengalami henti jantung. Namun, setelah diberikan resusitasi—jantung paru*, kesadarannya telah kembali," ujar perawat yang menjagaku sejak tadi.
"Yeju-ya, kau bisa mendengar suara Eomma?"
Iya, Eomma. Aku tak suka mengatakannya, tapi mereka bilang responku belum bisa lebih dari kedipan mata.
Hatiku menghangat saat merasakan belaian tangan ibuku dan mendapati air mata ibuku mengalir. Bagaimana bisa aku membuatnya sesedih ini?
"Maaf, baru Eomma yang mengunjungimu sekarang. Appa akan segera datang sebentar lagi. Ia masih berupaya menuntut keadilan untukmu dan mengusahakan alternatif ... demi kesembuhanmu," tutur Eomma seraya mengusap keningku.
"Nyonya, tanpa bermaksud lancang. Sebaiknya Anda bersabar, rumah sakit memang belum bisa menjanjikan perubahan yang besar, tapi tim medis sedang berupaya yang terbaik.
"Sampai kapan?" ucap ibuku yang terdengar intimidatif.
Kalau aku hanya mendengar perkataannya barusan, mungkin aku sebal. Tapi, aku tadi mendengar sendiri kalau aku mengalami cerebral edema*. Awalnya aku tidak paham, tapi dari percakapan perawat dan dokter, aku mengalami semacam cedera otak akibat keracunan sesuatu. Hal itu bisa membuatku lumpuh dalam waktu lama. Ibu mana yang bisa sabar menerima kondisi anaknya begini?
"..."
"Saya harap rumah sakit ini tidak hanya bisa berjanji. Jika, sampai persidangan putri kami selesai nanti, belum ada perkembangan berarti, kami akan segera membawanya ke Jerman."
Kepalaku pening mencerna semua informasi yang kuperoleh barusan. Kenapa aku merasa kalau kondisiku ada kaitannya dengan tindak pidana. Apa seseorang mencoba meracuniku? Untuk apa?
Aku perlu dapat jawabannya dan itu artinya aku harus segera pulih. Akan kubuat perhitungan dengan orang yang mencelakaiku.
***
"Bin-gung Mama...."
Samar-samar, kudengar suara seorang wanita yang lebih mirip dengan tangisan.
"Kenapa Anda masih belum sadar?"
Aku sadar, kok. Sayangnya, tubuhku masih belum bisa bergerak saja. Rasa, otot-otoku sangat kaku dan tubuhku tak berdaya. Bahkan, sekarang membuka kelopak mata pun aku belum sanggup.
"Uhuk...."
Akhirnya ada sedikit yang bisa keluar dari mulutku.
"Syukurlah, Anda tersadar."
Kali ini, suara itu terdengar lebih jelas. Meskipun pandanganku masih buram, suasana ini berbeda dengan yang kulihat beberapa waktu lalu. Oh, my God! Aku sudah tak lagi di ruang rawat. Apakah aku kembali ke Joseon?
"Anda pingsan seharian dan hal ini membuat kami semua khawatir."
"..."
Tak hanya Duri, aku sendiri juga khawatir dengan nasibku. Bukankah aku harus membuat perhitungan dengan orang yang mencelakaiku? Kalau aku kembali ke Joseon, apa sesuatu terjadi dengan tubuhku di sana? Sial!
"Kalau sesuatu terjadi dengan Anda, saya tidak yakin masih bisa hidup."
Pikiranku masih linglung dan lidahku kelu. Sulit rasanya merespon racauan Duri barusan.
Duri membantuku untuk duduk. Kemudian, ia pergi untuk memanggil tabib. Di satu sisi, ada perasaan senang, aku bisa kembali bergerak, tapi aku masih merindukan ayah ibuku.
"Bin-gung Mama, silakan."
Aku melirik mangkuk kecil di atas meja kecil yang Duri hidangkan di hadapanku. Well, aku yakin ini bukan minuman selamat atau sejenisnya. Aku kenal baik aroma ini dan ... aku membencinya.
"Tidak."
"Tabib meminta Anda meminumnya setelah sadar. Semua demi kesehatan Anda."
Keningku mengernyit. Yang benar saja? Memiliki kakek-nenek yang punya pemikiran kolot mengharuskanku mengkonsumsi ramuan-ramuan aneh yang tidak bersahabat dengan lidah sampai usia 12 tahun. Entah sebagai suplemen ataupun dengan tujuan penyembuhan. Sekali lagi, itu sangat menyiksaku. Butuh waktu yang panjang, sampai aku bisa mengenal tablet dan bersikukuh kalau obat dengan teknologi tinggi lebih mujarab.
Lalu, sekarang aku diminta minum larutan yang mirip dengan kobokan ini? Iuuuh.
"Aku tidak bisa," tolakku tegas.
"Mungkin rasanya akan sedikit pahit, saya akan membantu Anda."
"Itu sangat pahit. Aku tahu."
Aku membuang muka dan memberengut. Lebih baik aku tak melihat wajah melas Duri dari pada aku berubah pikiran. Dia tidak tahu saja, beban hidup apa yang baru kualami.
"Bin-gung Mama, apa Anda tidak sayang pada calon penerus kerajaan ini?"
"Pertanyaan macam apa itu?" ketusku, "pilihanku tidak ada hubungannya dengan putra mahkota."
Duri berdeham, ia tampak malu-malu bicara. "Bukan putra mahkota maksud saya, tapi janin di perut Anda."
"Janin siapa?"
Mataku mengerjap cepat. Apa aku tidak salah dengar?
"Siapa yang hamil?"
"Tentu Anda, Bin-gung Mama."
Jantungku terasa ditikam saat itu juga.
Duri mengulum senyumnya dan hal itu membuat rasa kasihanku hilang.
"Aku?" ulangku memastikan.
Ia mengangguk pasti. Astaga! Seingatku, aku tidak pernah menghabiskan malam dengan pria manapun. Atau, ada pria yang berani menyentuhku diam-diam? Rasanya bulu kudukku berdiri membayangkan hal itu. Kalaupun iya, dengan posisiku sekarang, hanya pria gila yang berani mendekati putri mahkota.
"Siapa yang menghamiliku?"
Aku menatap raut Duri yang berubah kaget seketika. Namun, tak lama ia tertawa terpingkal.
"Tentu Putra Mahkota tahu jawabannya," jawab Duri diikuti dengan kedipan yang membuatku tak habis pikir.
Oh, my God! Untung saja bukan pria asing. Aku mengenalnya dengan baik, sangat baik bahkan. Hmmm, tapi sebentar ... Berani-beraninya Moon Sangmin melakukannya padaku?
"Argh!"
***
Kepalaku benar-benar penuh sekarang. Mulai dari pertanyaan motif orang yang meracuniku sampai bagaimana aku bisa hamil. Abaikan saja soal perasaan bahagia tiba-tiba, yang tak jelas asalnya!
Hmm, tapi ... sebenarnya, semenjak mendengar pernyataan Duri, tubuhku yang mulanya lemas jadi lebih berenergi. Dalam waktu yang hampir bersamaan hatiku membuncah seperti seorang anak mendapatkan gula kapas. Duri saja mengatakan kalau wajahku sangat cerah. Sama sekali tidak seperti orang yang baru pingsan.
Dengan banyaknya energi, pikiranku menjadi sangat liar. Apakah aku punya musuh yang mengikutiku ke Jeju? Atau, keracunanku adalah ulah Moon Sangmin yang tersinggung atas perilakuku? Tidak. Tidak. Itu berlebihan. Kalau dia mau membunuhku, dia sudah melakukannya juga di sini. Nanti, akan kuceritakan hal ini padanya.
Lalu, aku melirik perutku yang tampak datar. Bagaimana bisa ada janin di dalamnya? Spontan, aku membayangkan bagaimana ... Ah, aku tidak bisa menjelaskan. Satu hal yang pasti, aku terjaga selama lebih dari sepertiga malam karena imajinasiku sendiri. Aku yakin, Sangmin yang punya semua jawaban pertanyaanku. The idea did not come out of the blue.
Segera kukenakan chima dan dangui-ku sendiri. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah menuju kediaman putra mahkota, tanpa pendampingan siapapun. Aku sendiri tidak berniat untuk melewati para penjaga karena ada pintu lain yang lebih aman. Mengabaikan dinginnya malam yang menusuk tulang, aku melewati tepi bangunan yang minim penjagaan.
Tap tap.
Suara langkah kaki cepat namun pelan terdengar oleh telingaku. Kuyakin ini bukan langkah kaki para penjaga yang berpatroli. Was-was dengan adanya penyusup, aku berhenti berjalan dan bersembunyi di balik tembok. Ya, pengalaman buruk dalam menguntit membuatku lebih hati-hati.
Mataku melotot kala kudapati sosok berpakaian hitam dengan tubuh menjulang, lengkap dengan cadar gelap yang menutup sebagian wajahnya. Astaga! Bagaimana bisa penjagaan istana selemah ini? Kalau sampai ada orang asing yang masuk, keselamatan keluarga kerajaan dalam bahaya.
Tubuhku bergetar, ketika kuingat cerita Sangmin akan sosok yang mendatanginya malam-malam. Bahkan, setelah penyusup itu hilang dari pandanganku, aku belum bisa menghilangkannya. Buru-buru aku setengah berlari menuju kediaman putra mahkota. Kugeser dinding yang sebelumnya pernah aku gunakan untuk masuk.
Pikiranku semakin kalut, ketika kudapati kediaman putra mahkota yang begitu senyap.
"Seja Joeha."
Panggilan sopan itu tak mendapat jawaban untuk beberapa saat. Kulayangkan pandanganku ke segala arah sampai ekor mataku menyapu ke segala penjuru ruang. Tak ada siapapun di sana. Bahkan, yo* yang berada di tengah ruangan masih tertata rapi. Seperti belum tersentuh.
Pendengaran Sangmin cukup sensitif, setahuku. Seharusnya, ia sudah menyadari kedatanganku.
"Moon Sangmin," panggilku kali ini dengan nama aslinya. Namun, nihil.
Tiba-tiba, kepanikanku berubah menjadi rasa curiga tatkala kutemukan jeogori-nya berserakan di lantai. Terlintas siluet penyusup tadi di otakku.
"Jangan-jangan selama ini ...."
Catatan kaki:
Cerebral edema: Penumpukan cairan otak yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dapat terjadi karena penyakit tertentu maupun cedera.
Resusitasi: prosedur medis darurat jika pernapasan atau detak jantung seseorang berhenti.
Yo: Tempat tidur tradisional Korea dengan heater pada lapisan bawah
Eh, roh Yeju main bentar ke Korea Selatan. Kalo kalian pernah nonton Mr.Queen, bagian awalnya akan ngingetin ke scene Jang Bong-hwan pas balik lagi ke tubuh aslinya. Yeju di sini balik buat dapat jawaban kenapa dia bisa masuk ke dunia paralel. Meskipun, belum terjawab kenapa harus di Joseon, tahun 1468. Hehehe.
Menurut kalian, nih, ya, Yeju curiga apa pas nemu jeogori putra mahkota?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro