Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 12

"Sepertinya, putra mahkota tidak akan kembali, Bin-gung Mama."

"Tapi dia sudah berjanji."

Pria itu sudah mengatakan akan menghampiriku dan Duri sebelum kembali ke istana bersama. Jadi, apapun yang dikatakan Duri, tak akan ku turuti. Kalau aku meninggalkannya sekarang, ia bisa kebingungan mencariku dan buruknya, tak kunjung kembali ke istana. Aku tidak boleh egois.

"Kita sudah menunggu berjam-jam, Bin-gung Mama," ujar Duri memperingatkan.

Aku paham niat baik Duri, tapi sekali lagi, aku sudah berkomitmen.

"Kalau kau—Duri— ingin kembali ke istana, silakan. Aku mau menunggunya di sini."

Pengawal kami tampak terkejut dengan penuturanku. Situasi ini membuatku tak tenang. Aku tahu, aku tak boleh berdiam diri. Hanya saja, aku bingung bagaimana harus melangkah. Hufth.

"Pengawal, aku khawatir terjadi sesuatu dengan putra mahkota, bisakah kalian mencarinya?"

Seorang pengawal maju dan menuruti perintahku. Ia berjanji akan kembali ke istana untuk membawa pasukan yang akan mencari putra mahkota.

Semoga ini keputusan tepat. Kalau sampai terjadi sesuatu pada putra mahkota, aku akan dihantui rasa bersalah seumur hidupku. Aku tak bisa membiarkan insiden yang dialami putra mahkota terulang lagi. Lagi pula, sudah jelas sejak awal kalau putra mahkota selalu menjadi incaran para lawan politiknya.

Melihat langit yang semakin gelap dan pintu-pintu rumah sudah tertutup, tapi batang hidung putra mahkota tak kunjung tampak benar-benar membuatku semakin risau. "Duri, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan putra mahkota? Pikiranku benar-benar tidak tenang."

"Bin-gung Mama, pengawal akan mencarinya. Saya yakin putra mahkota mampu menjaga dirinya. Mohon berhentilah mondar-mandir dan duduklah dengan tenang."

Aku mendengar peringatan Duri, tapi sulit untuk menggubrisnya.

"Bodoh! Seharusnya, aku tak mengizinkannya pergi seorang diri. Ketika kembali dari Jeju yang dijaga oleh belasan pengawal saja ia bisa terluka, bagaimana dengan sekarang? Ia benar-benar sendirian," gumamku.

"Saya rasa hal ini sudah diperhitungkan."

"Dia tidak sepintar itu."

Jantungku berdegup semakin cepat dan nafasku menjadi lebih pendek. Astaga! Pria itu membuatku gila karena memikirkan nasibnya.

Tak berselang lama, kawanan pengawal istana datang menghampiri kami.

"Bin-gung Mama, perintah dari permaisuri untuk Anda kembali," ujar seorang pengawal yang berdiri paling depan.

"Apa? Tapi putra mahkota belum kembali. Aku tidak akan kembali tanpanya. Sampaikan itu pada permaisuri," jawabku ketus pada pengawal tersebut. Ia tidak tahu bagaimana kalutnya pikiranku. Seenaknya saja menyuruhku pulang dengan tangan kosong.

"Kami sudah mengerahkan puluhan pengawal untuk mencarinya atas instruksi permaisuri, Bin-gung Mama."

"Bagus, aku akan menunggu."

Duri melihatku dengan mata berkaca-kaca. Ia seperti tak percaya melihat sikapku yang keras kepala. Lantas, seorang pengawal berbisik padanya dan membuat bola matanya melebar seketika.

"Bin-gung ...."

Kali ini aku meliriknya kesal. "Apalagi, Duri?"

"Informasi dari para pengawal berarti Anda boleh pulang dan beristirahat."

"Lalu, lepas tangan akan apa yang terjadi padanya?"

"Tentu tidak, Bin-gung. Berita ini cepat atau lambat akan menyebar di istana. Kalau Anda tak segera kembali, hal ini bisa dijadikan senjata untuk mengancam putra mahkota."

"Eoh ... bagaimana bisa?"

Tanpa Duri jelaskan, tiba-tiba terbayang wajah ibu suri yang murka dengan segala kata-katanya yang selalu siap menyudutkanku dari berbagai sisi. Bukannya aku takut, tapi aku tak ingin memperburuk keadaan.

"Kalau begitu, aku ikut kalian pulang."

***

"Tarik lebih keras lagi."

Pemandangan di depanku kali ini sungguh tidak biasa, permaisuri meminta dayang istana untuk memijat punggungnya di hadapan orang lain. Entah sebenarnya putri mahkota memang dekat dengan permaisuri atau memang manusia ini memang seabai itu dengan protokoler istana.

"Baik, Mama," ujar dayang istana patuh.

"Bin-gung Mama, menjadi tua akan membuat kita lebih lemah dan membutuhkan banyak perawatan. Tidak hanya tubuh, tapi pikiran."

Aku mengangguk menyetujui. Meskipun sebenarnya aku berpendapat bahwa hal itu tidak hanya diperlukan oleh orang tua, melainkan siapapun.

"Kudengar dari tabib istana, pijatan ringan di punggung bisa melebarkan pembuluh darah sehingga akan meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ. Distribusi darah di dalam tubuh akan semakin lancar. Hal ini baik untuk kesehatan"

"Ya, Mama. Saya pernah mendengarnya," responku sopan, "Tanpa bermaksud menggurui, saya dengar teh ginseng sangat baik untuk imunitas Anda. Melihat banyak hal yang perlu campur tangan Anda, saya sarankan Anda untuk mengkonsumsinya juga."

"Terima kasih, Bin-gung Mama. Tapi sebenarnya, aku kurang suka minuman-minuman itu."

Permaisuri berhenti bicara sejenak dan menunjuk tangannya untuk dipijat.

"Kalau kau ingin meringankan bebanku, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan."

"Maksud Anda?"

"Kau tahu kalau aku mengirimkan beberapa pengawal untuk mengawasimu dan putra mahkota, bukan?"

Aku mengangguk mendengarnya. Mendadak bulu kudukku berdiri. Apakah aku akan mendapat teguran karena membiarkan putra mahkota pergi seorang diri?

"Tak hanya mengawasi kalian, tapi menjaga kalian dan memberikan perlindungan jika kalian terdesak. Aku tak ingin putra-putriku ada yang terluka lagi. Tapi ... sangat disayangkan, kau malah melindungi lawan."

"Maksud Anda?"

"Informanku mengatakan, kalau kau menarik Pangeran Uiseong ketika pengawal melemparkan belati ke arahnya."

Astaga! Jadi, sosok bertudung yang kulihat di kedai itu adalah pengawal istana. Aku kira ia bandit seperti yang mengincar nyawa putra mahkota.

"Pangeran bisa mati, Mama."

"Tenang saja, aku tidak sejahat Selir Hwang. Semua itu hanya sebuah peringatan untuk tak meletakkan tangannya pada putra-putriku lagi."

"Mama ...."

"Kuharap kau tahu pihak yang berada di pihakmu dan tidak, Bin-gung."

"Saya tidak bermaksud begitu ... Saya tidak tahu orang itu suruhan siapa dan akan menyerang siapa. Tapi, kami sama-sama dalam bahaya. Kalau saya hanya menyelamatkan diri sendiri. Lantas, apa bedanya saya dengan mereka?"

Permaisuri tertawa keras, tapi entah kenapa aku tak tersinggung mendengarnya.

"Aku memang tak salah memilihmu. Kau memang pasangan terbaik untuk putraku sekaligus calon permaisuri negeri ini."

Hatiku menghangat mendengarnya. Kalau ibu mertua sepertinya, kurasa menikah akan menjadi hal yang menyenangkan. Kami melanjutkan obrolan ringan soal perjalananku ke Hanyang dan apa saja yang kutemui di sana, kecuali satu hal. Aku tak berani menyinggung ke mana perginya putra mahkota. Entah, permaisuri penuh toleransi pada anak-anaknya atau ia tak peduli. Setelah menghabiskan waktu cukup lama, aku undur diri, sebelum kami kehabisan topik.

Untuk sekarang, aku hanya bisa menghindar dari topik tentang putra mahkota, sampai tahu ke mana Moon Sangmin membawa tubuh putra mahkota.

Aku hampir memekik ketika langkah kakiku menapaki tanah. Meskipun masih kelelahan akibat berada di luar istana seharian, penglihatanku masih bagus. Putra mahkota— Moon Sangmin— berada beberapa meter di sampingku.

Apakah dia buta atau apa? Kenapa ia mengabaikanku? Padahal jelas-jelas kami berpapasan.

Bukankah kalau ada yang ingin marah atas kejadian kemarin, itu adalah aku?

***

Benar kata Duri. Wah, word of mouth in Joseon memang yang terbaik. Secepat itu berita menyebar meskipun tanpa gawai dan internet. Kalaupun aku bisa bebas dari pertanyaan permaisuri, tapi tidak dengan wanita nomor 1 di negeri ini.

"Ke mana perginya putra mahkota?"

"Maaf, Mama?"

"Kalian pergi ke Hanyang bersama, tapi ia tak ikut kembali. Apakah ia kabur?"

Aku rasa ini juga bukan tempatku untuk berbohong terlalu banyak karena wanita ini lebih tahu situasi dibandingkan aku. Kehadiranku di sini seperti hanya akan dijadikan samsak kemarahan atau mungkin sekedar pion untuk pertempurannya.

"Memang benar kami ke Hanyang bersama, Daebu Mama. Tapi ternyata, putra mahkota justru kembali lebih dulu ke istana."

"Bagaimana bisa ia meninggalkan istrinya di Hanyang dan kembali ke istana sendiri?"

"Saya yang memohon padanya agar punya lebih banyak waktu untuk mengenal masyarakat Joseon. Permaisuri meminta saya untuk menghabiskan banyak waktu di tengah-tengah rakyat dan mempelajari permasalahannya."

Kening ibu suri berkerut sebelum kemudian ia menggebrak meja dan berteriak lantang, "Kau tak bisa berlaku seenaknya!"

Darn it! Kapan rasanya sikapku tak menyulut kemarahan nenek ini? Hufth.

"Kau tahu siapa yang harus kau patuhi, bukan? Apa perlu aku menghukum dayang-dayangmu dan mengganti mereka agar kau lebih patuh?"

Seriously? Semakin lama bukannya melunak, ibu suri justru semakin sadis. Yang bermasalah putri mahkota, kenapa yang akan dihukum dayang-dayangnya?

"Maafkan saya, Mama. Saya benar-benar tidak tahu. Sebenarnya, kami berpisah di tengah jalan. Saya sendiri tak bertanya ke mana perginya beliau."

"Dasar tidak becus! Lain kali, kau harus tahu ke mana perginya bocah pembangkang itu."

Makiannya yang terakhir benar-benar membuatku merinding. Semengerikan apapun kakek nenekku—di Seoul—, tak bisa memberikan sensasi lebih horor dari nenek satu ini.

***

Suasana hatiku benar-benar buruk. Kalau saja Moon Sangmin tak menjadi salah satu faktornya, pasti aku mengunjunginya. Berhubung ia sudah tidak menganggapku pagi tadi, kupikir pangeran agung adalah pilihan yang tepat untuk melepas penat. Siapa tahu, aku dapat informasi menarik.

"Setelah mendiang putra mahkota meninggal, kami sempat dihantui oleh taekhyeon*." tutur Pangeran Agung Ilyoung memulai ceritanya.

"Oh, apa itu?" tanyaku penasaran. Biasanya aku masih pernah mendengar istilah-istilah kuno. Tapi, untuk yang kali ini benar-benar asing. Mirip dengan nama anggota boyband veteran sepertinya.

"Hmm... aku tidak suka kita bicarakan itu," keluh Pangeran Agung Muan.

Aku melirik Pangeran Agung Gyeseong untuk meminta penjelasan. Pria itu mengangguk, tapi tak segera menjawab. Seperti menyusun kata-kata.

"Jadi... taekhyeon adalah prosesi pemilihan putra mahkota dari seluruh putra raja untuk mendapatkan sosok terbaik. Bukan berarti ketika kami menjadi pangeran agung, kami otomatis bisa menggantikan mendiang putra mahkota terdahulu sesuai urutan usia kami."

"Kenapa?"

Kali ini Pangeran Agung Muan yang merespon lebih cepat, "Ya, karena ... Anda tahu bagaimana orang-orang istana mengasosiasikan kami dengan berbagai hal negatif."

"Hal itu cukup untuk menjadi dasar ibu suri meragukan kami semua. Termasuk putra mahkota sekarang."

Sebentar, sebentar, apa ini artinya putra mahkota mendapatkan posisinya dari prosesi taekhyeon yang disebut-sebut itu?

"Aku benar-benar bersyukur karena kompetisi itu masih dimenangkan oleh kakakku," ucap pangeran termuda, "kalau tidak, bisa-bisa sekarang kita semua hanya nama seperti rumor para kasim saat itu."

"Ya... ya... ya.... Tanpa bermaksud menakut-nakuti Anda, Bin-gung Mama. Ketika ayah kami dilantik menjadi putra mahkota dari taekhyeon, kudeta dilakukan pada permaisuri terdahulu dan para pangeran agung dibunuh. Benar-benar orang yang serakah."

Aku tak menyangka Pangeran Agung Muan akan menceritakan hal tersebut karena ia tampak paling malas saat adiknya bicara soal taekhyeon ini.

"Kami punya ibu dan kakak yang sangat kuat untuk melindungi kami. Jadi, meskipun wanita tua itu selalu melemparkan berbagai serangan, aku yakin kami semua pasti aman," imbuh pangeran dengan image paling kontroversial itu, "tapi, memang lebih baik kami segera hengkang dari istana ini."

"Itu artinya kita harus menjadi dewasa dan menikah dulu, Hyung."

"Dengan senang hati."

Wah, aku tak bisa membayangkan istana ini tanpa mereka. Mungkin semua akan sangat kaku seperti sederet protokol istana. Setidaknya selama aku berada di masa Joseon, biarlah mereka tetap menemaniku di sini.

"Apa mungkin selain ibu suri ada kekuatan yang mengancam kalian?" tanyaku waspada. Karena selama ini, hanya ibu suri yang kulihat senang melempar panah.

"Mungkin saja, Bin-gung Mama."

Pangeran Agung Gyeseong menautkan kedua tangannya. Ia tampak berpikir serius.

"..."

"Tapi yang paling penting, adalah seberapa jauh hal itu mengancam keselamatan ibu kita."

"Aku setuju. Kami sudah biasa dihukum dan diancam karena ulah kami. Tapi, tidak seharusnya permaisuri yang mendapat perlakuan buruk dari ibu suri," keluh Pangeran Agung Ilyoung menimpali.

"Sudah menjadi risiko ibu kita," sahut Pangeran Agung Muan tiba-tiba, yang mendapat respon pukulan dari kedua saudara laki-lakinya. Aku tahu, ketiganya sangat menyayangi permaisuri dengan cara yang berbeda. Pangeran Agung Muan yang selalu mencari perhatian. Pangeran Agung Gyeseong yang begitu lembut dan peduli. Pangeran Agung Ilyoung yang sangat kekanakan dan manja.

"Tapi sebisa mungkin, kita juga harus punya andil menjaga ibu kita. Tidak membebankan semua hal pada putra mahkota," ujar Pangeran Agung Gyeseong menimpali.

"Huuu, lupakan soal politik kalau kita berkumpul. Nanti makanan kita dingin," potong Pangeran Agung Muan, "Bin-gung Mama, kau tidak boleh telat makan. Bisa-bisa kami ditegur tetua istana."

"Oh, aku belum lapar. Pembicaraan ini masih sangat seru."

"Kita bisa lanjutkan sambil makan. Tidak baik membiarkan makanan dingin di depan mata."

"..."

"Bilang saja kau yang lapar," tegur Pangeran Agung Gyeseong.

"Ya..."

"Makan saja dulu, Daegun," ucapku mempersilakan. Kurasa, ia bisa makan lebih dulu kalau memang lapar karena sejak tadi kami masih asyik berdiskusi.

"Tidak perlu, Bin-gung Mama. Kami akan makan setelah Anda," sergah Pangeran Ilyoung. Oh, aku lupa. Mereka tidak bisa bebas makan lebih dulu seperti dunia modern. Apalagi ada putri mahkota di sana. Kesehatan putri mahkota tentu diutamakan.

"Mari kita makan."

Aku sendiri juga sangat lapar dan aku yakin makanan-makanan ini akan berkontribusi membuat mood-ku lebih baik. Jadi, untuk apa membuat mereka menunggu lebih lama, bukan?

***

Catatan kaki:

Taekhyeon: prosesi pemilihan putra mahkota berdasarkan rapat council, tapi di cerita ini berfokus untuk memilih kandidat terbaik

Wooo, lega juga akhirnya post Chapter ini. Btw, chapter ini selesai duluan dari part sebelumnya. Komen dong yang masih ngikutin cerita ini, pingin tahu :) 

Untuk next, enaknya kapan update lagi, ya? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro