Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 09

Aku tak menyangka kalau tour guide itu akan sangat kesal setelah menyadari bahwa akulah—Moon Sangmin— yang membersamainya selama menemui permaisuri. Kukira, ia akan girang ketika menemukan fakta tersebut. Bukankah kami adalah 'teman seperantauan' di Joseon?

Sayangnya, ia justru melirikku sengit dengan raut kecewa. Bahkan, ia mogok bicara selama perjalanan kami ke kediaman putri mahkota. Ya, aku yang memintanya untuk mengobrol di sana.

Sepeninggalan para dayang dari kamar tidurnya, bocah itu beranjak dan mondar-mandir di hadapanku seperti orang gila.

"Bisa berhenti? Kau membuat kepalaku pusing."

Langkah kakinya terhenti dan ia kembali menatapku sengit.

"Bagaimana bisa kau berubah dari urakan menjadi ... lebih behave?"

"Maksudmu apa menyebutku urakan?"

Bola mata bocah itu berputar seakan mengindikasikan otaknya yang mencari alasan.

"Ya, perbedaan sikapmu hari ini terlalu mencolok dari sebelumnya. Bagaimana bisa kau berubah secepat itu?"

"..."

Aku sendiri bingung menjelaskan hal ini pada akal sehatku, apa lagi pada bocah dengan rasa ingin tahu yang tinggi ini. Semua terlalu tidak masuk akal. Namun, kalau aku pikir lagi, kedatangan kami ke Joseon saja sudah di luar nalar.

"Kalau kau mau tahu, berhentilah mondar-mandir di depanku dan duduk di sini," perintahku seraya menepuk bantalan duduk di sampingku.

Bukan semata-mata menghentikan kesenangannya, aku hanya tidak ingin ada yang mendengar percakapan kami nantinya. Bocah itu, melirikku lagi beberapa detik. Kurasa ia langsung punya trust issue ketika tahu bahwa aku Moon Sangmin, tapi bukankah seharusnya kebalikannya?

"Mau dengar atau tidak?"

Sedetik kemudian, ia mengangguk dan duduk manis di sampingku dengan pandangan penuh. Seperti seorang murid yang antusias di hari pertama sekolah.

"Sebenarnya, aku mendapat wangsit."

Mata bocah itu mendadak melotot mendengar penuturanku yang tak sepenuhnya asal.

"Malam setelah kedatangan shaman sialan itu, aku sempat terbangun di tengah malam. Kudapati sosok bercadar duduk bersila di hadapanku," ujarku memulai cerita, "tentu aku was-was, tapi ia justru menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiranku di Joseon."

"Apa maksudmu kita sengaja diundang begitu?"

"Koreksi, bukan kita, tapi A-K-U. Sepertinya kedatanganku sudah diantisipasi oleh seseorang atau mungkin sekelompok orang."

Ya, aku ingat, pria dengan pakaian mirip ninja itu tak bicara banyak, hanya menjelaskan sedikit mengapa aku bisa di sini dan clue yang akan membantuku, termasuk caraku bertahan untuk sementara waktu.

Bocah itu mencebik. "Untuk apa?"

"Mungkin kau bisa sedikit bercerita konflik kerajaan ini yang tentunya tak terrangkum dalam buku manapun. Karena ... pria itu memintaku menyelesaikan teka-teki yang sedang dihadapi oleh permaisuri dan putra mahkota sebenarnya."

Tangan bocah itu menutup mulutnya yang kuyakin sudah membentuk huruf 'O' besar. Akupun sama terkejutnya semalam.

"Lalu, kau hanya iya-iya saja?"

"Memang aku harus apa? Menolaknya mentah-mentah?"

"Mungkin. Untuk apa mengikuti instruksi orang tak dikenal? Satu lagi, kau saja tak tahu teka-teki soal apa dan arahnya ke mana."

"Sama saja denganmu yang mengikuti protokol istana tanpa tahu pasti mengapa harus menjalani hidup sebagai putri mahkota, bukan?" tanyaku retoris. Kupikir kami berada pada situasi yang sama dengan posisi yang berbeda. Kalau diibaratkan sebuah lomba lari, aku mulai terlambat, tapi kini aku sudah berada beberapa meter di depan bocah itu karena clue dari pria bercadar semalam.

"Aku tak perlu bantuan pria tak dikenal untuk menjawab teka-tekiku. Bisa jadi itu hanya tipuan," dengusnya sebal. Tanpa ia bicara, aku bisa menebak betapa clueless-nya bocah itu sampai sekarang.

"Aku cukup mengerti untuk tidak sembarangan bersikap bodoh di sini dengan bertindak impulsif menolak tawaran orang Joseon. Lagi pula kau bisa lihat hasilnya, kau saja bisa kubodohi."

Bocah itu mendumal. Samar-samar aku mendengar kata shaman. Sepertinya, ia sedang mengungkit sikap burukku menghadapi shaman provokatif waktu itu. Tapi, ya memang di awal aku belum tahu posisiku di Joseon dan apa yang harus kuhadapi. Jadi, sah-sah sajalah!

"Memang clue-nya apa?"

"Jadi sekarang kau percaya dengan pria bercadar itu?"

"Ya, tahu-tahu saja."

"Buat apa aku katakan kalau kau tak akan percaya."

Aku melihat bola matanya berputar malas. Awalnya, kupikir bocah itu juga 'diundang' oleh pria bercadar, tapi mendengar pria itu tak bicara soal putri mahkota. Aku yakin dia di luar skenario. Lagi pula, semalam aku sempat menolak dan minta dikembalikan ke dunia modern. Alasanku adalah ketidaktahuanku soal sejarah dan bagaimana menjadi pemimpin Joseon. Jadi, ya, mana mungkin aku sempat bertanya soal nasib bocah itu.

Kondisi sebenarnya tak sesederhana ceritaku tadi. Sedikit bocoran, setelah penolakanku, pria itu hanya memberikan 2 pilihan. Menebas leherku malam itu kalau aku tidak kooperatif atau membimbingku menyamar sebagai putra mahkota dan memberikan imbalan yang berarti di masa depan. Ya, karena aku tidak ingin merasakan sensasi meregang nyawa untuk kedua kalinya, aku turuti saja. Lupakan soal imbalan. Memang bagaimana caranya? Aku saja tak tahu nama pria itu.

"Okay, aku tak butuh tahu ceritamu. Lagi pula aku juga bisa-bisa saja beradaptasi di tempat ini tanpa bertindak ceroboh sepertimu."

"Benarkah?" celetukku tak ingin kalah.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Bocah itu tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, seolah mencoba menjawab pertanyaan yang berkeliaran di otaknya.

"Sebagai ibu, memang permaisuri tak curiga padamu?" tanyanya tiba-tiba.

"Oh, itu ... entahlah."

Tadi pagi, setelah kepergian putri mahkota, permaisuri tak menanyakan apapun padaku dan justru menyerahkan segepok rekam medis kuno. Ia memintaku fokus menyelidiki penyebab kematian putra pertamanya. Astaga! Aku bukan dokter spesialis forensik, bahkan aku belum menjadi dokter. Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa yang hanya mempelajari mata kuliah forensik selama 1 semester. Lagi pula, akhir-akhir ini, aku lebih sering berlatih kumdo untuk kejuaraan. Bukan belajar untuk ujian nasional.

Aku tahu jawabanku tak memuaskannya, tapi untuk sekarang, aku tak bisa berlama-lama di sini, mengingat putra mahkota bukan pengangguran. Setidaknya, bocah itu sudah tahu posisiku.

"Lain kali, aku akan mengunjungimu lagi. Ingat, kau hutang cerita soal polemik istana ini."

Sepertinya ia masih sangat kesal karena ia tak menggubris kata-kataku. Sayangnya, aku juga bukan tipe orang yang akan menghibur orang yang sebal padaku. Salahkan saja pikirannya sendiri yang negatif.

"Hei, bocah! Apa yang kukatakan tadi padamu, hanya antara kita. Jangan bicarakan pada siapapun, termasuk dayangmu," ucapku setelah beranjak.

Ia tak mengiyakan perintahku dan justru menatapku malas.

"Katakan iya!"

"Akan kusebarkan ke seluruh pelosok Joseon agar kau dihukum gantung!"

Aku berdecih mendengarnya, "Ancaman yang bodoh."

Bocah itu tampak berpikir sejenak sebelum menyerah untuk mengiyakan permintaanku. Bukan apa-apa. Sebenarnya, aku juga masih berpikir, apakah aman menceritakan semua yang kualami semalam pada bocah ini sekarang.

***

Bicara soal kumdo, sosok bercadar itu benar-benar mengirimkan seorang pelatih pedang sesuai permintaanku. Pria dengan pakaian prajurit berwarna hitam dan merah tersebut, mengaku menerima perintahku untuk melatihku dan adik-adikku. Sebelum latihan, ia menunjukkan kemampuannya di hadapanku dan itu benar-benar membuatku hilang rasa percaya diri. Tebasan pedangnya mampu mematahkan target dengan sempurna. Aku berani bersaksi bahwa ia bisa menjadi atlet kumdo terbaik sepanjang sejarah.

"Putra mahkota!"

Kudengar sapaan nyaring diikuti tepukan di punggungku. Ah, Pangeran Agung Muan rupanya. Ia datang bersama dua adik putra mahkota lainnya.

"Kau sudah sehat sampai mengundang pelatih pedang?"

Aku mengangguk mengiyakan. Padahal, kalian juga tahu siapa yang membuat jagoan itu di sini.

"Terima kasih karena sangat perhatian pada kami, Hyung-nim," ucapnya seraya memelukku

"Ya, jaga bicaramu Muan Daegun! Hyung-nim, hyung-nim? Seja Joeha," koreksi Pangeran Agung Gyeseong.

"Benar, kau harus membiasakan diri. Bagaimanapun kakak kedua kita sudah bukan Pangeran Agung."

"Jangan terlalu kaku! Selama tak ada yang mengawasi, aku tak masalah dipanggil Hyung-nim."

Kupikir entah aku ataupun putra mahkota yang asli, tidak terlalu mementingkan hirarki dalam persaudaraan. Jadi, tidak masalah berkata demikian pada Pangeran Agung Muan. Melihat betapa perhatian dan tulusnya ketiga adik putra mahkota, aku yakin ia adalah orang yang hangat dan mengutamakan keluarga.

Ketiga orang itu membuat latihan pedang hari ini menjadi heboh. Mungkin, kalau aku hanya berdua dengan si Pelatih, aku akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk menyerap ilmu darinya. Namun, keberadaan Pangeran Agung Muan yang mengajak Pangeran Agung Ilyoung berseteru membuat latihan ini sama sekali tak serius. Berkali-kali Pangeran Agung Gyeoseong mengingatkan benda apa yang sedang mereka genggam, tapi keduanya seakan tuli. Konsentrasiku jadi terpecah meskipun aku tak banyak memperingatkan mereka.

"Kalian berdua, hentikan!"

Aku terpaksa berteriak melihat aksi keduanya. Mau bagaimana lagi, Pangeran Agung Ilyoung bisa terhunus pedang yang diacungkan oleh kakaknya kalau caranya seperti itu. Semua akan runyam kalau itu terjadi. Mereka pikir ini mainan pedang-pedangan?

Teriakan seorang putra mahkota benar-benar sakti karena keduanya terdiam dan meletakkan pedang mereka.

"Maaf, kami melihat kalian berlatih dulu saja," ucap Pangeran Agung Ilyoung takut-takut.

Lantas, kedua pangeran itu duduk di tribun yang hanya berjarak satu meter dari tepi lapangan. Namun, hal itu tak menghentikan mulut Pangeran Agung Muan untuk mengoceh.

"Aku bangga pada putra mahkota. Ia baru sembuh tapi sudah bisa sekeren itu. Memang Anda yang terbaik."

Aku menghampirinya, tepat ketika waktu beristirahat. "Terima kasih untuk pujiannya."

"Tapi satu yang kurang ..."

"Apa?"

"Gosip kau impoten!"

"Muan Daegun!" teriak Pangeran Agung Gyeosong dan dan Pangeran Agung Ilyeong bersamaan.

Aku menunjuk wajahku sendiri saking kagetnya. "Siapa yang bilang?"

"Rumornya dari istana ibu suri. Itu semua 'kan bermula dari putra mahkota sendiri yang meninggalkan kakak ipar. Karena sekarang kakak ipar belum mengandung, rumor itu menyebar lagi."

"Lalu, apa yang harus kulakukan?"

Pangeran Agung Muan berkedip padaku, "Tentu sering menemui putri mahkota."

"Oh, aku baru saja menemuinya kemarin. Aku akan bertemu dengannya lagi lain waktu."

"Hyung-nim, jangan buatku kesal! Tentu kunjungi istrimu di malam hari dan jalankan tugasmu sebagai penghasil keturunan kerajaan! Apa aku harus meminjami buku-bukuku?"

Bisa ditebak siapa yang menceramahiku barusan. Tentu, Pangeran Agung Muan. Ia membuat bibirku terkatup dan ... bingung.

"..."

"Abaikan saja ucapannya. Rumor tentangmu tak akan pernah berhenti. Fokus saja untuk membantu ibu," ujar Pangeran Agung Gyeoseong.

***

Tumpukan rekam medis yang diserahkan permaisuri membuat kepalaku hampir meledak. Sekalipun dokumen ini tebal, banyak sekali pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal dan tidak berkorelasi. Apakah tabib yang membuat ini sedang bercanda. Dilihat dari riwayat penyakit yang diderita, putra mahkota terdahulu memang mengidap hemofilia, tapi ia tidak tertusuk apapun. Informasi dari Kasim Cho, selama setahun belakangan juga tidak ada perang atau latihan pedang yang membuatnya bisa terluka. Pergi berburu pun tidak pernah. Aku yakin, ada hal lain yang membuat hidup pria itu berakhir.

Kenapa aku tidak datang sebelum mendiang putra mahkota meninggal? Aku bisa melakukan diagnosis dan anamnesis secara langsung. Teka-teki itu tidak akan menjadi sekompleks sekarang. Selain itu, aku tak perlu terbebani dengan pernikahan dengan tour guide berkedok putri mahkota dan kewajiban untuk menghasilkan keturunan. Aku benar-benar tidak menyangka, gulungan ombak bisa mengubah nasibku.

"Seja Joeha, bagaimana kalau Anda menemui Putri Mahkota Min dan putranya? Mungkin ada informasi yang bisa Anda peroleh," saran Kasim Cho. Sepertinya karena melihatku pening dengan informasi yang kubaca saat ini, pria setengah baya itu memberikan saran.

"Putri Mahkota Min?"

"Ah, saya tidak bermaksud begitu. Tentu putri mahkota adalah pendamping Anda sekarang. Maksud saya adalah istri mendiang putra mahkota sebelumnya. Bukankah Anda juga berjanji untuk mendatangi keponakan Anda sesekali."

Aku mengangguk setuju. Tidak ada salahnya mengunjungi mereka. Mungkin ada titik terang yang bisa kuperoleh.

***

Aku baru menapaki sebuah rumah di kota kecil dekat Hanyang ketika matahari mulai turun ke Barat. Rumah ini tampak tua, tapi terawat dengan baik. Kudengar, ini adalah salah satu aset keluarga permaisuri yang digunakan sebagai suaka 'orang-orang'-nya.

Ketika kakiku melangkah memasuki gerbang, tampak seorang wanita berdiri dengan anggunnya menghadap hamparan bunga yang biasanya kulihat di istana. Meskipun hanya mengenakan hanbok dan aksesoris sederhana, aku yakin ia bukan orang biasa. Gesture-nya menunjukkan bahwa ia adalah seorang bangsawan yang membuatku segan dari jarak 10 meter seperti ini. Aku rasa siapapun yang melihatnya akan terpukau sepertiku.

Namun, jika kuamati lebih serius, tatapannya tampak kosong seolah keindahan di sekitar tak mampu melipur laranya. Kedatanganku pun sama sekali tak membuatnya berkutik. Hal itu turut menjadikanku terpaku di tempatku berdiri sekarang.

"Maaf, Seja Joeha. Sebaiknya Anda menyapa kakak ipar Anda terdahulu sebelum ia kembali masuk dan beristirahat," bisik Kasim Cho padaku.

Ucapan Kasim Cho menyadarkanku untuk kembali berpijak di bumi. Aku menoleh ke sekitar dan tak ada wanita lain di sana selain wanita tadi. Ah, aku baru mengerti.

"Selamat sore, Bin-gung Mama," sapaku canggung ketika jarak kami menjadi lebih dekat.

Wanita itu menoleh cepat dan aku bisa melihat dengan jelas iris mata berwarna madu miliknya. Dalam jarak ini, pesonanya benar-benar tak terelakkan.

"Maaf, aku tak menyadari kehadiran Anda," ucapnya dengan nada terkejut, "kudengar Anda sudah dilantik. Selamat, Seja Joeha."

Astaga! Baru sekali ini aku menemukan wanita cantik yang sangat anggun. Moon Sangmin, jangan gila! Dia kakak ipar putra mahkota. Bisa-bisanya kau tertarik padanya!

"Terima kasih, Bin-gung Mama."

"Jangan panggil aku seperti itu lagi. Aku sudah bukan siapa-siapa."

Sepertinya memang kurang tepat menyebutnya begitu, tapi aku juga tak menemukan panggilan yang cocok.

"Samchoon!"

Panggilan itu terasa familiar sekalipun aku — Moon Sangmin — tak pernah mendapat panggilan itu dari siapapun. Aku refleks menoleh dan kudapati bocah setinggi pinggangku sedang berlari ke arah kami. Ia memeluk lututku erat hingga aku hanya bisa menaruh kedua tanganku di pundaknya.

"Samchoon, ke mana? Aku merindukanmu! Katanya mau sering berkunjung," ujarnya menagih janji, tanpa melepaskan pelukan.

"Maafkan, Samchoon," ucapku yang kuyakin terpengaruh oleh insting putra mahkota. Tanganku mengusap kepalanya yang tak mengenakan apapun. Kurasakan bajuku yang mulai basah sehingga kujauhkan tubuh bocah kecil itu dan kuangkat dalam gendonganku. Di luar dugaan, ternyata wajah imutnya sudah penuh dengan air mata. Aku jadi tak tega. Tanganku pun beralih mengusap pipinya yang basah.

Ia menatapku dalam sebelum kembali menenggelamkan wajahnya pada dadaku.

"Maafkan, Wonson. Ia merindukan ayahnya dan paman-pamannya di istana. Hampir setiap hari ia menanyakan kapan bisa bertemu dengan kalian," tutur kakak ipar putra mahkota dengan lembut, "aku hanya bisa menjawab, kalau ia sudah pintar membaca kalian pasti akan mengunjunginya. Karena aku sendiri, tak tahu bagaimana semua akan berlanjut."

Nada bicara wanita itu terdengar begitu putus asa. Aku tak bisa membayangkan, tapi rentetan permasalahan yang dihadapi oleh seorang ibu dengan dua anak ini begitu berat. Aku jadi sadar betapa pentingnya menyelesaikan misi putra mahkota. Setidaknya, untuk mendapatkan keadilan bagi keluarga kecil kakaknya yang 'dibuang' dari istana.

"Tapi, Seja Joeha tak perlu khawatir, kami sudah mulai beradaptasi. Lagi pula, tempat ini terlalu indah untuk dilewatkan. Benar begitu 'kan?"

Aku mengangguk setuju. Sekalipun kuyakin ini hanya basa-basi dari wanita itu. Pandanganku kembali jatuh pada bunga-bunga bewarna merah jambu yang bermekaran.

"Bunga peony ini kurasa juga bisa mengatasi kerinduan Anda pada istana."

"Sayangnya, aku menanam bunga itu bukan untuk mengingatkanku pada istana. Tempat itu terlalu kejam."

"..."

Ucapannya membuatku berpikir. Mungkin, hanya Wonson yang merindukan istana, tapi tidak dengan ibunya. Aku sempat dengar dari Kasim Cho, sepeninggalan putra mahkota sebelumnya, tersebar rumor bahwa jiwa istrinya terguncang dan mengakibatkan wanita itu mengalami anxiety disorder.

"Kalau Seja Joeha ingat, dulunya halaman ini ditumbuhi oleh Bunga Hortensia. Sedikit banyak, hal itu mengingatkanku pada mendiang suamiku. Hampir setiap hari, tabib membuatkan racikan bunga segar itu sebagai vitamin. Kurasa bunga itu melambangkan harapan dan kini aku telah kehilangannya— harapan."

Sekali lagi, keputusasaan wanita ini menyayat hatiku.

"Oh, Seja Joeha. Tanganmu terluka."

Ucapan wanita itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh pada luka kecil pada punggung tanganku. Sepertinya tergores sesuatu di perjalanan.

"Tidak apa-apa."

"Bagaimana kalau kukompres?"

"Tidak usah. Ini hanya luka kecil."

"Jangan sering neremehkan luka kecil seperti mendiang kakakmu."

Aku terhenyak sesaat. Apakah putra mahkota terdahulu sering terluka tanpa sepengetahuan Kasim Cho?

Ada yang masih nunggu? Kalau ada, jangan lupa like dan comment, ya. ✌️

Maaf baru update. Banyak banget target RL awal tahun yang harus diselesaikan. Walaupun, sebenarnya sekarang juga belum selesai. Mumpung lagi kangen mereka, jadi wae aku tulis.

See you when I see you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro