Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 02

Siapa yang tidak senang mendapatkan tiket pesawat dan penginapan mewah di Jeju gratis? Jawabannya adalah ... Aku.

Meskipun Jeju adalah destinasi wisata favorit yang tak gentar dipromosikan oleh Kementerian Pariwisata negaraku, aku benar-benar tak peduli. Untuk orang-orang, berlibur ke Jeju menjadi tak terlupakan karena pemandangan yang menakjubkan dan pengalaman yang tak bisa mereka dapatkan di tempat lain. Mungkin, perjalananku kali ini memenuhi kedua poin di atas, khususnya poin nomor dua. Kapan lagi aku punya pengalaman menjadi 'spy.'

Jangan berpikir terlalu jauh ketika mendengar kata itu! Aku bukan agen rahasia dari NIS–National Intelligence Service– apalagi CIA–Central Intelligence Agency. Code name seperti agen spy yang kalian lihat di series saja, aku tidak punya.

Eits, sepertinya ada satu kesamaan dengan agen-agen itu, kaca mata hitam yang kugunakan selama dua hari berkeliaran di pulau ini.

Hari pertama kuhabiskan dengan mengintai seorang pria dan wanita yang menghabiskan harinya di sebuah resort bintang lima, dekat kaki Hallasan. Sungguh nirfaedah karena keduanya menginap di kamar berbeda untuk menghadiri seminar tentang pembangunan yang sama sekali tidak kupahami. Tadi pagi pun, mereka tidak pergi ke taman hiburan atau pantai, tempat di mana pasangan berkencan. Mereka justru wisata kuliner di Pasar Tradisional Dongmun sebelum mengunjungi kuil kuno di Ara-dong.

Suka tidak suka, sekarang aku juga berada di kuil itu, Gwaneumsa. Suasana di sini masih asri dan tenang. Berulang kali kudengar cuitan burung meskipun sudah menuju siang. Pasalnya, kuil ini berada tepat di kaki Hallasan. Untuk sampai ke sini saja, membutuhkan waktu satu jam dari halte dan melalui hutan. Kalau membawa kendaraan, kudengar ada tempat parkir tak jauh dari kuil ini. Keputusan yang aneh dan buang-buang waktu, bukan?

Drt ... drt ... drt ....

Kuambil ponselku yang bergetar di saku celana. Kemungkinan orang yang menghubungi, kalau tidak ibuku, ya, bibiku. Tidak ada orang lain yang intens menghubungi seminggu ini selain keduanya.

Bibi Seohyung

Sangmin keponakanku, bagaimana hari ini?

Apakah kau mendapatkan informasi baru?

Jawabannya sudah pasti, tidak ada informasi yang Bibi tunggu-tunggu dan hari ini sangat melelahkan. Namun, tak mungkin aku mengirimkan pesan semacam itu kalau tak ingin ia membocorkan rahasiaku pada suaminya.

Sangmin

Mereka seperti rekan kerja yang sedang wisata kuliner pagi ini.

Sekarang, kami sedang ke kuil Gwaneumsa.

Bibi Seohyung

Untuk apa dia ke kuil?

Dia tidak terlihat akan berubah keyakinan atau kawin lari 'kan?

Entah apa yang dipikirkan bibiku. Padahal, kakak sepupuku ini rajin ke gereja setiap minggu. Meskipun, aku sendiri juga bertanya-tanya, bagaimana bisa hamba Tuhan yang taat ikut pergi ke kuil dan masuk dalam barisan peribadatan.

Drt ... drt ... drt ....

"Sangmin, apa kau ingin membuat bibi mati muda karena serangan jantung?"

Kurasa bibiku sudah cukup umur untuk tidak dikategorikan sebagai orang yang akan mati muda. Ya, sudahlah, bukan di situ poinnya.

"Tentu tidak, Keun-eomeoni*. Aku bisa share loc kalau tidak percaya. Jaehyun Hyung memang ke sini dengan rekan kerjanya. Mungkin ada tugas dari kantor."

"Tugas dari kantor apanya? Dia di bawah Direktorat Transportasi, bukan –Direktorat– Infrastruktur. Tidak ada hubungannya dengan pemugaran kuil, kalau itu maksudmu. Coba kau lihat lagi lebih dekat," amuk Bibi Seohyung. Kalau saja Bibi Seohyung bukan istri dari donatur biaya kuliahku selama hampir enam tahun ini. Mana mungkin aku menuruti permintaan gilanya.

"Siapa tahu, akan membuka akses jalan ke kuil ini," jawabku asal.

"Untuk apa, Sangmin? Keun-eomeoni baru saja cek di maps. Ada area parkir di dekat kuil. Kau pikir aku bodoh?"

Sepertinya aku yang bodoh karena gagal menenangkan bibiku yang terlalu pintar ini. Bibiku yang juga sangat sulit didebat ketika mengetahui alasanku belum mendaftar ujian nasional dokter tahun ini. Dari pada aku membuang banyak tenaga untuk mendebat, aku mengiyakan perintahnya dan masuk ke dalam barisan.

***

Aku tak tahu apakah saudara sepupuku itu menyadari keberadaanku atau tidak karena setelah masuk ke dalam kuil, aku justru tak menemukan batang hidungnya ataupun rekan kerjanya. Menurut informasi di internet, Gwanemusa sangat luas jadi aku tak yakin bisa menemukan mereka tanpa menghubungi. Kuputuskan untuk berjalan mengikuti insting-ku ke tempat manapun yang menarik untuk dikunjungi.

Bingo! Aku bisa menemukan keduanya sedang mengambil gambar di undakan yang dipenuhi ratusan patung. Untuk kali ini, aku curiga kalau mereka lebih dari sekedar rekan kerja. Jadi, kuarahkan kamera ponselku untuk membidik keduanya dari kejauhan.

"Apakah kau punya air minum?"

Aku terhenyak ketika kudengar suara tepat di telingaku. Segera kutolehkan kepala dan kudapati seorang pria renta dengan wajah pucat, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Tak pikir panjang, segera kuberikan botol minum di tas yang masih setengah penuh. Sayangnya, ketika aku kembali melihat ke arah undakan, keduanya sudah tak ada lagi di sana. Argh, sial!

Source: https://wanderwithjin.com/

"Terima kasih banyak, anak muda," ucap pria tua yang tak terlalu kuindahkan, "mumpung kau ada di sini, berdoalah di kuil dekat kolam ikan koi. Ini bisa kau bawa saat berdoa. Niscaya doamu akan terkabul."

Tak ingin membuang lebih banyak waktu, kuterima saja saja kayu kecil dengan tulisan pudar yang tak bisa kubaca. Aku membungkukkan badan dan beranjak pergi.

"Moon Sangmin!"

Sepertinya hari ini bisa kunobatkan sebagai hari penuh kejutan karena sekarang kudengar panggilan yang tak asing di telingaku.

"Hi, Hyung! Lama tak jumpa. Apa yang Hyung lakukan di sini?"

Kupikir kondisiku belum sampai tertangkap basah, jadi lebih baik kalau aku berpura-pura berlibur seperti rencana awal.

"Harusnya aku yang bertanya pada mahasiswa sepertimu."

"Ini liburan musim panas, Hyung. Memang salah aku tidak ada di kampus saat liburan?"

"Aku tahu selain –jago– bela diri, kau juga pintar acting. Tapi, ini bukan panggung teater, Sangmin," ujar Jaehyun Hyung dengan nada tegas.

Pria yang tak lebih tinggi dariku itu menatapku sinis. "Appa atau Eomma?"

"Kenapa Hyung bawa-bawa mereka?"

"Kau yang kenapa mengikutiku sejak tadi seperti penguntit? Apa kuliah mahasiswa kedokteran masih kurang sibuk?"

Kalau bibiku tadi susah didebat, saudara sepupuku yang terkenal taat beribadah ini punya mulut setajam silet. Klan Moon sebelah memang tidak ada yang beres.

"Astaga! Kita baru bertemu di sini, Hyung."

"Kaca mata hitammu yang mencolok itu sudah mencuri perhatian sejak di Dongmun."

Argh! Percuma saja aku mengelak seperti apa. Ya, aku memang tak ubahnya dengan seorang penguntit. Jadi, lebih baik kuakhiri misi tak bermoral ini.

***

Sejak pagi, ponselku bergetar puluhan kali. Tak lain dan tak bukan ini karena foto yang kuambil diam-diam setelah berpamitan pada Jaehyung Hyung. Aku tahu, hal ini sangat mengganggu privasinya, tapi aku juga harus mempertahankan biaya kuliahku untuk satu semester ke depan. Kalau sampai paman tahu aku menunda kelulusan untuk kejuaraan kumdo tingkat perguruan tinggi, bisa-bisa ia menghentikan dukungan yang sudah diberikannya semenjak semester satu. Aku sendiri tak akan mampu membayarnya, kecuali berhasil memenangkan kejuaraan kumdo semester depan.

Demi mengambil jalan tengah, setelah sarapan, aku berangkat ke Seogwipo menggunakan bus untuk mengikuti tur 3D 2N agar Jaehyun Hyung bisa lebih nyaman menghabiskan waktu di Jeju. Lagi pula, Bibi Seohyung juga sudah mendapatkan bukti yang tak terelakkan bahwa putra kebanggannya adalah pria normal.

Setelah tiba di Wimi Port, aku mencari minibus dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh agen travel semalam. Tak sulit menemukan kendaraan berwarna silver yang terparkir di samping restoran seafood terkenal di Seogwipo. Aku mengetuk kaca pintu sopir, tapi tidak ada jawaban. Sepertinya mereka semua masih makan. Jadi, kuhubungi nomor tour guide yang diberikan oleh agen travel dan ternyata nomor tersebut tidak aktif.

Iseng-iseng, kubuka pintu minibus itu dan ... tidak terkunci. Wah, buruk sekali pelayanan tur ini. Bisa-bisanya mereka ceroboh meninggalkan barang-barang dalam minibus tak terkunci? Aku masuk ke dalam minibus dan tidur di bangku kosong paling depan–di belakang sopir.

Rasanya baru sekarang aku bisa merasakan tidur nyenyak. Namun, tak lama suara berisik mengganggu tidurku.

"... bangun dari kursiku!"

Samar-samar kudengar suara yang sama sekali tidak nyaring dan menyakiti gendang telingaku.

"Atau, kuminta sopir bus ini untuk menceburkanmu ke laut!"

Kalimat terakhir terdengar begitu jelas dan lugas. Wah, sikap macam apa ini? Bagaimana bisa aku diancam mau diceburkan ke laut. Saking peningnya kepalaku, aku tidak langsung beranjak dan mencoba memahami situasi.

Tampak seorang bocah yang sedang mengomel sambil berkacak pinggang. Benar-benar tidak sopan. Seharusnya tour guide perjalanan ini tidak tinggal diam dan menjauhkan bocah ini dariku.

"Apakah tidak ada bangku lain yang kosong?"

"Tidak," jawabnya ketus.

Kulihat ke bangku lain di belakang dan ternyata semua kursi sudah terisi. Sepertinya dewi fortuna memang belum mengikutiku. Kupersilakan bocah itu untuk duduk di sampingku, tapi tak ditanggapinya. Terserah dia sajalah.

"Maaf, Tuan. Sepertinya Anda salah bus, ini adalah mini bus untuk Tur Seogwipo 3D 2N yang berangkat dari Jeju Airport," ucap bocah itu ketika aku hampir memejamkan mataku lagi.

"Ya, aku tahu."

"Tapi, Anda tidak terdaftar di list kami."

Jadi, bocah ini tour guide-nya? Wah, agen travel macam apa yang mempekerjakan bocah ingusan yang tak becus bekerja.

"Oh, ya? Agen tur yang kuhubungi bilang kalau aku harus menunggu di Wimi Port Raw Fish Center dan naik minibus berwarna silver dengan plat Jeju bernomor 70-2791."

Dia tampak terkejut dan kebingungan ketika kusebutkan dengan jelas identitas kendaraan ini.

Aku tahu sekarang ia sedang menghubungi agen travelnya, tapi aku sedang malas menjelaskan. Jadi, kubiarkan saja ia mencari kebenaran.

Setelah pembicaraan panjangnya, bocah itu menatapku dengan tatapan kesal dan tak berdaya di saat yang bersamaan.

"See? Aku bukan penyelundup. Namaku Moon Sangmin. Untuk selanjutnya, pastikan namaku terdaftar di setiap kegiatan tur ini."

Di luar dugaan, bocah itu membungkuk 90 derajat padaku. Sepertinya, baru sekali ini aku mendapat permohonan maaf sedalam ini.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau Anda adalah salah satu wisatawan. Saya pastikan Anda akan mendapatkan pelayanan terbaik dari kami," ucap bocah itu penuh rasa bersalah.

"Tak perlu berlebihan. Aku baru bisa tidur, jadi jangan ganggu tidurku sampai pukul 3 sore nanti."

"Apa Anda tidak akan ikut pergi snorkeling setelah ini?"

Kali ini ucapannya terdengar jauh lebih pelan. Sungguh bertolak belakang dengan sikapnya tadi.

"Tidak perlu, tubuhku belum fit. Setelah cukup tidur aku akan ikut rombongan berjalan sore di –Pantai– Jungmun Saekdal."

***

Tubuhku terasa lebih segar karena pada akhirnya aku bisa tidur nyenyak tanpa beban di bus ini. Mungkin, aku harus mengucapkan terima kasih pada bocah itu.

"Tuan, kenapa Anda tidak ikut berenang?" tanya pak sopir yang ternyata menemaniku di sini.

"Oh, aku akan menyusul yang lain ke sana."

"Lho, apakah tidak terlalu sore? Ini sudah pukul 4."

Kulihat jam di tanganku yang menunjukkan pukul 4 kurang 15 menit. Sepertinya, aku harus membatalkan niatku pada tour guide cilik itu. Aku 'kan sudah bilang mau ikut ke Jungmun Saekdal. Bisa-bisanya dia meninggalkanku. Cepat-cepat kutanggalkan kemejaku, menyisakan kaus berwarna hitam dan celana kargo selutut. Lalu, kuganti sepatuku dengan sandal karet.

"Kisanim, aku titip barangku, ya."

"Hati-hati, Tuan! Kalau sore lautnya pasang."

Aku tahu hal itu. Karenanya, sekarang aku buru-buru menuju pantai berpasir yang dipenuhi lautan manusia itu agar sempat berenang sebelum langit gelap.

Source: https://jejutourism.wordpress.com/

Rombongan wisatawan yang pergi bersamaku tersebar. Aku melihat beberapa orang berkulit hitam bermain pasir. Beberapa lagi bercengkrama di bawah payung pantai dan yang lainnya tak terlihat, termasuk si Tour guide cilik. Mungkin, mereka sedang berenang jadi tak tertangkap mataku.

Air laut yang tampak mulai pasang membuatku mengurungkan niat untuk berenang. Seingatku masih ada jadwal ke pantai lainnya besok pagi. Akan lebih baik kalau aku melepaskan kesempatan berenang di pantai ini untuk keselamatanku.

"Tolong! Tolong!"

Namun, kudengar teriakan minta tolong dari seorang ibu yang berdiri dekat garis pantai. Ia menunjuk seorang anak yang terombang ambing di tengah laut dan terlepas dari ban pelampung. Parahnya, tak ada satupun baywatch yang tampak bergegas menyelamatkan. Pikiranku kalut, aku segera berenang ke arah bocah itu.

Tak hanya pasang, air laut sore ini begitu dingin hingga menusuk tulang. Ombak-ombak kecil tampak bermunculan sehingga orang-orang mulai menepi. Meskipun terasa menggigil, kupercepat gerakanku agar segera tiba ke tempat anak itu. Sayangnya, aku tak bisa lagi bergerak ketika kurasakan hempasan air berkekuatan besar menggulungku di dalamnya.

***

Catatan kaki:

Keun-eomeoni : Bibi (Isteri saudara laki-laki ayah yang lebih tua)

Gimana-gimana? Udah dapat feelnya? 

Untuk karakter dari kedua tokoh, nggak as is kaya karakter peran keduanya di Under The Queen Umbrella, ya. Pingin vibesnya agak beda. Tapi, kalo dalam keberjalanannya ada yang sama, mohon dimaklumi. Untuk selanjutnya akan ada scene-scene yang aku adaptasi dari Under The Queen Umbrella dengan sudut pandang lain.

Kalau ada feedback terkait alur, tokoh, penulisan, dan lainnya, dipersilakan. Aku suka banget baca komentar pembaca :)

Btw, aku coba baca dari hp, foto-foto yang ku-attach ga muncul. Apa di kalian juga?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro