Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

STORY #11 - PESONA SANG KETUA

Hati-hati! Bisa saja orang yang kamu benci kelak yang membuatmu jatuh hati.

STATISTIKA pendaftar klub Einscience total sejumlah 59 siswa dari 298 jumlah siswa yang masuk kelas X SMA Harapan Bunda. Seleksi tahap pertama telah menggugurkan 20 calon anggota klub hingga tersisa 39 siswa yang akan melaju seleksi tahap kedua yaitu wawancara panel dan tes tertulis. Dari seleksi kedua ini akan diambil 25 besar nilai tertinggi untuk lanjut ke seleksi akhir: proyek sains dan presentasi. Hanya 20 siswa sajalah yang akhirnya akan naik kasta menjadi anggota Einscience dengan segudang privilege-nya.

Setelah dinyatakan lolos seleksi pertama, Glenta bertekad akan membuat kacau di seleksi kedua. Dia ingin mempermalukan ayahnya dan Kakek, agar tidak diterima menjadi anggota Einscience. Satu-satunya cara adalah dia harus tampak bodoh dalam bidang sains saat diwawancara, dan harus mendapat nilai yang rendah ketika ujian tertulis. Hal ini memang berisiko; kemurkaan Papa jika dia tahu, dan dia akan dikenal dengan perempuan bodoh dalam bidang sains. Glenta tidak ambil pusing, asalkan dia bisa lepas dari paksaan menjadi anggota Einscience, dan masuk ke klub jurnalistik untuk menyelidiki kasus-kasus yang terjadi dan sengaja dibungkam di Einscience. Lagian, ini juga salah satu bentuk perlawanannya. Menjadi tampak bodoh akan membuat Papa dan kakeknya kesal, dan itu akan menyenangkan!

Glenta datang ke Sekolah lebih awal untuk bertemu dengan Gre. Mereka telah sepakat untuk menyelidiki alasan Diandra bunuh diri seusai Glenta menjalani tes kedua Einscience. Sesuai kesepakatan sebelumnya, Gre telah mendapatkan alamat Diandra, dan Glenta sudah menelaah semua media sosial milik Diandra. Di parkir SMA Harapan Bunda, tempat pertemuan mereka, Glenta meminta Gre untuk masuk mobilnya.

"Katanya kita berdua saja?" tanya Gre protes sambil melirik ke arah kursi Pak B.

"Kalau cowok-cewek berduaan kan yang ketiga setan, Mas. Biar nggak ada setan, saya yang gantikan," jawab Pak B dari kursi kemudi datar dan penuh lirikan tajam.

Glenta mendengkus keras mendengar kata-kata Pak B. "Kenalin, Kak, Pak B, driver dan bodyguard gue. Gue ajak Pak B ikut karena gue yakin akan membutuhkannya."

"Siap, Non," jawab Pak B bangga.

"Saya Gre, Pak B. Mohon bantuannya," sapa Gre ramah tapi tak cukup untuk bisa membuat Pak B ramah juga. Pak B hanya mengangguk dengan ekspresi dingin. "Jadi, gimana hasil analisis lo tentang medsos Diandra?" lanjut Gre tidak peduli dengan Pak B.

"Gue yakin Diandra dirisak. Sebagai anak beasiswa, dia tampak tertekan dengan curhatan di Twitter dengan kata yang hampir semua sama: ingin keluar."

"Pasti dia ingin keluar dari klub," seru Gre yakin.

"Memangnya setelah masuk, anggota nggak bisa keluar dari Einscience? Kenapa nggak keluar begitu saja dan malah memilih bertahan?"

"Kalau kasus keluar atas keinginan sendiri, belum ada. Ya, mana ada yang mau keluar dari fasilitas dan jaminan masa depan cerah lewat Einscience."

"Kalau kasus dikeluarkan ada?" lanjut Glenta serius.

Gre mengangguk, lalu melanjutkan dugaannya. "Atau Diandra memang punya alasan untuk tetap bertahan di klub, walau toksik?"

Glenta mulai berpikir dan mengangguk, "Seperti apa yang lo bilang, Kak, mana ada yang ingin melepaskan fasilitas dan masa depan cerah. Apalagi Diandra adalah anak beasiswa, pasti dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya."

"Diandra pernah bilang ke gue saat pengumuman akhir pemilihan anggota klub. Dia harus masuk Einscience demi adik-adiknya yang masih kecil. Dia harus sukses buat membantu orang tuanya," lanjut Gre.

"Nah, bisa jadi itu motivasi yang kuat Diandra untuk bertahan, walau dia harus dirisak. Tapi, kenapa dia harus memutuskan untuk bunuh diri?"

Tiba-tiba Pak B yang diam-diam mendengarkan angkat suara. "Mungkin dia terjebak, Non. Ingin keluar tapi tak bisa, ingin bertahan juga amat berat. Makanya dia memutuskan hal keji itu untuk dirinya sendiri," katanya menyahut obrolan Glenta dan Gre.

"Gue juga merasa aneh, kenapa orang tua Diandra bersedia menutup kasus ini," timpal Gre masih tidak percaya tragedi itu telah ditutup dan seperti tidak terjadi apa-apa. Apalagi, atas izin orang tua Diandra sendiri.

Pak B bergumam. "Yah, pasti orang tua dia ada salah," ujarnya yang sudah tampak lebih ramah kepada Gre.

"Maksud Pak B?" balas Gre mengernyit penasaran.

"Ada beberapa motif orang tua tidak ingin tragedi yang menimpa anaknya diselidiki dan menjadi berita besar. Pertama, mereka malu akan tragedi itu. Kedua, mereka punya peran atas terjadinya tragedi itu, dan yang ketiga mereka punya pilihan yang lebih baik ketimbang menyelidiki dan membuatnya berita besar," terang Pak B sambil tersenyum aneh.

"Masuk akal," timpal Glenta. "Untuk memastikannya, kita harus ke rumah Diandra, Pak B. Kita konfirmasi semua dugaan kita dengan informasi dari orang tuanya," perintah Glenta yang langsung dijawab siap oleh Pak B.

Glenta mengenakan kacamata hitamnya dan keluar mobil saat siswa-siswa calon anggota Einscience telah datang. Gre dan Pak B memilih untuk nongkrong di kafe dekat parkiran dan mengisi darah mereka dengan kafein.

*

Tiga puluh sembilan siswa menunggu di auditorium untuk diwawancara satu per satu di ruang belajar basecamp Einscience, sekaligus mengambil soal untuk dikerjakan setelahnya. Tidak ada batasan waktu pengerjaan soal. Namun, semakin cepat menyelesaikan soal, siswa akan semakin mendapat skor tinggi.

Glenta kembali duduk bersebelahan dengan Lamiya yang juga lolos di tahap kedua. Mata Lamiya yang polos dan bulat mengingatkannya akan Diandra. Jantung Glenta tiba-tiba berdebar memikirkan perisakan yang terjadi di klub ini. Dugaan sementara, mereka hanya mengincar anak-anak beasiswa. Dan jika Lamiya lolos, kemungkinan besar dia akan menjadi sasaran empuk untuk disakiti seperti Diandra.

"Gue harus bisa masuk, Gle. Ini demi Ibu, biar Ibu nggak terlalu lelah bekerja," ujar Lamiya kepada Glenta saat mereka menunggu giliran dipanggil di ruang wawancara.

"Bapak lo nggak kerja, Mi?" balas Glenta tanpa basa-basi.

Lamiya menggeleng sedih. "Bapak stroke. Jadi, selain mencari uang buat hidup, Ibu juga masih harus ngurus Bapak."

Glenta menatap Lamiya tajam. "Memangnya Einscience bisa jadi jalan keluar?"

Mata Lamiya membelalak tak percaya dengan ucapan Glenta. "Gle, kalau gue masuk, gue bisa sekolah gratis selama tiga tahun, bisa dapat banyak fasilitas, ikut OSN, dan melanjutkan kuliah dengan bantuan sponsor. Apakah itu nggak surga namanya?!" jawab Lamiya dengan mata berbinar penuh harapan.

Namun, mata Glenta justru mendadak terasa panas mendengar harapan Lamiya itu. Dia kembali teringat akan mayat Diandra dengan kepala pecah, kaki dan tangan patah.

"Pernah kepikir nggak sih, Mi, kenapa sekolah atau klub ini begitu royal dengan anggotanya? Emangnya kita ngasih apa?" tanya Glenta mencoba mengusir bayangan mengerikan kondisi Diandra, dan kembali fokus.

Lamiya lalu menunjuk kepalanya sendiri. "Otak orang pinter itu mahal, Gle," jawabnya tampak percaya diri ketika membahas kecerdasan otak.

Glenta pun memasang wajah sedih. Sesuai rencananya yang harus ditolak oleh Einscience, maka dia tidak boleh tampak pintar, karena ternyata hanya itu satu-satunya syarat bisa menjadi anggota.

"Yah, gue jadi yakin nggak bakal lanjut ke tahap tiga. Otak gue pas-pasan soalnya Mi," jawab Glenta mulai menjalankan misinya untuk menjadi siswa biasa-biasa saja.

Lamiya tampak menyesal, "Maaf, Gle, kalau masalah itu, gue nggak bisa bantu. Andai gue bisa nyontekin lo biar bisa masuk bareng ke Einscience," kata Lamiya naif.

"Jadi maksudnya lo nggak mau jadi temen gue lagi kalau gue nggak lolos gitu?" Glenta pura-pura marah.

"Nggak gitu!" teriak Lamiya yang langsung memancing perhatian. Dia tampak gugup dan cemas. Napasnya tiba-tiba terdengar cepat. "Mau lo nggak lolos Einscience, mau lo bodoh, mau lo nggak jago sains, gue akan tetep jadi temen lo."

"Nah, gitu dong," jawab Glenta tersenyum tulus.

Giliran Glenta untuk masuk ke ruang wawancara telah tiba. Dia mendapatkan nomor urut kedelapan setelah menunggu Azalia, Albert, Christian, Cindy, Elvira, Endrew, Floren yang sepertinya tidak terlalu lama diwawancara.

Glenta masuk di ruangan belajar dan langsung mengawasi sekitar. Cukup aneh penataan ruangan ini; di depan ruangan dibentuk panel setengah lingkaran dari meja-meja pewawancara, dan berdiri satu kursi tepat di tengah untuk calon anggota. Di belakangnya, berjajar rapi kubikel-kubikel meja belajar dengan kursi yang pas untuk satu orang. Glenta melihat Azalia, Albert, Christian, Cindy, Elvira, Endrew, dan Floren sedang fokus mengerjakan soal di sana. Glenta jadi penasaran, apa tim seleksi sengaja membuat seperti ini? Dengan wawancara ini sebagai distraction agent untuk para peserta yang sedang mengerjakan soal.

Satu lagi keanehan seleksi ini, yaitu waktu. Tidak ada batasan waktu mengerjakan soal. Namun, di lembar jawaban jelas terdapat kolom waktu mulai dan waktu selesai mengerjakan.

"Silakan duduk, Glenta," sapa ketua Einscience baru, Mahardika Sabeth, dengan ramah, tapi tetap tegas.

Glenta membatin, setelah menjadi penjaga pendaftaran anggota baru, guide acara visitour basecamp, kini cowok menarik itu menjadi salah satu panelis yang mewawancarainya. Sayang, dia harus tampak bodoh di hadapannya kini.

Glenta duduk di kursi yang disediakan, berhadapan para juri panel seleksi tahap dua anggota Einscience.

"Glenta Paramitha Widjaja, apa benar selama SMP kamu memilih homeschooling?" tanya salah satu panelis laki-laki berkacamata dengan rambut disisir sangat rapi dan licin. Wajahnya angkuh dengan rahang yang kokoh. Di depan mejanya terdapat papan nama bertuliskan SUMON, guru eksak.

"Saya menulis CV saya dengan penuh kesadaran, Pak," jawab Glenta tenang.

Pak Sumon tampak tidak puas dengan jawaban Glenta. "Pertanyaan saya hanya butuh jawaban benar atau tidak!"

"Benar atau tidak bisa saja hanya opini dan itu nggak penting lagi ketika sudah ada bukti nyata dan jelas terpampang di depan Bapak. Ini pertanyaan paling tidak berbobot yang pernah saya dengar. Atau basa-basi? Sekelas klub Einscience masih butuh basa-basi semacam ini?" debat Glenta yang justru membuat Sabeth menahan senyumnya.

Pak Sumon tidak terima. "Panelis yang saya hormati, baru saja terbukti, bahwa murid homeschooling minim kecerdasan sosial. Ini disebabkan karena interaksi sosial dengan sebaya tidak pernah didapatkan dalam sistem pendidikan mandiri di rumah. Glenta mungkin selama ini merasa terpenjara, dan sangat sulit beradaptasi dengan tingkat sosial di sekolah formal seperti Harapan Bunda. Jadi, tidak ada rasa hormat kepada calon gurunya seperti ini. Mohon dipertimbangkan," ujarnya dengan berapi-api memberikan nilai buruk terhadap sikap Glenta.

Glenta justru mengembuskan napas lega mendapat kesan yang buruk. Meskipun apa yang dikatakan alumni ini benar, setidaknya kesempatannya ditolak akan semakin lebar. Glenta tanpa sadar tersenyum, membuat Sabeth mengernyitkan dahi.

Kepala sekolah yang tampak terawat, baik tubuh maupun wajahnya itu berusaha memberikan pertimbangan lain. "Tapi, Pak Sumon, melihat nilai, prestasi, dan pencapaian Glenta, Einscience sangat membutuhkan murid sepertinya," timpal Kepala Sekolah dengan bijak. Matanya yang kecil dan licik berkali-kali menatap antara Glenta dan data-data nilai di depan mejanya.

Senyum Glenta langsung menghilang mendengar pendapat Kepala Sekolah. Perubahan emosi dari wajahnya ternyata diperhatikan dengan cermat oleh Sabeth. Glenta pun sadar, cowok itu melihatnya tanpa berpaling.

Pak Sumon kembali menyerang, "Saya justru curiga dengan nilai-nilai yang lahir dari sekolah di rumah. Bisa saja ini settingan, kan? Ingat, sekolah formal adalah standar pendidikan nasional," bantah Pak Sumon sengit, membuat senyum Glenta semakin lebar. Namun, justru itu dianggap penghinaan bagi Pak Sumon. "Kamu ngetawain saya, ha?"

"Iya, Pak. Bapak lucu," jawab Glenta tanpa takut.

"Kurang ajar. Panelis yang terhormat, apakah murid yang tidak sopan seperti ini masih berhak ada di sini?" bentak Pak Sumon emosi dan tak bisa menahan diri.

Satu panelis lain pun angkat suara, "Kerja sama dan sosialisasi sangat penting dan dibutuhkan tidak hanya di lingkup kecil seperti klub Einscience, tetapi juga di dalam semua lapisan masyarakat. Glenta sepertinya masih harus belajar itu. Dan dengan mencoba masuk klub Einscience, justru itu menjadi tempat yang cocok buat dia mengasah lebih kemampuan ini," ujar salah satu guru sains bernama Reyhan tetap ingin mempertahankan Glenta.

"Kita lihat saja nilai tes tertulisnya! Saya sudah buat soal dengan tingkat kerumitan tinggi. Kalau nilainya bagus, saya baru bisa mempercayai nilai-nilai di kertas ini," putus Pak Sumon sambil menatap tajam Glenta.

Rasanya Glenta ingin teriak YES! Dia tak menyangka Pak Sumon membuka peluang yang besar untuk misinya ditolak Einscience. Dengan dia mengerjakan soal asal dengan waktu yang lama, sudah pasti dia akan mendapatkan nilai yang mengenaskan.

Sabeth yang sedari tadi menyimak, kini angkat tangan dengan sopan. Dan setelah dipersilakan oleh kepala sekolah, dia mulai mengutarakan pendapatnya. Jantung Glenta berdetak lebih cepat saat mencoba menganalisis apa yang kira-kira Sabeth katakan.

Apakah dia akan menolaknya seperti Pak Sumon, atau mencoba menerimanya seperti kepala sekolah dan Pak Reyhan? Meski Glenta merasa keduanya sama saja. Namun, dia ingin Sabeth percaya bahwa nilai-nilainya selama homeschooling bukan settingan. Di sisi lain, dia juga ingin Sabeth menolaknya masuk Einscience. Glenta tak mengerti, kenapa reputasinya mendadak terasa penting di depan Sabeth.

"Maaf, jika saya menyela para panelis yang terhormat. Mungkin, hal paling penting saat ini adalah mendengarkan Glenta. Jangan sampai lupa hakikat forum ini adalah untuk mewawancarai calon anggota Einscience, mengenalnya lebih dalam, mengetahui apa yang sebenarnya dia inginkan? Apa motivasinya? Apa yang melandasi dirinya untuk ikut seleksi? Kita malah lebih sibuk menilai, sebelum mendengarkan," ujar Sabeth dengan hati-hati.

Wajahnya yang putih bersih itu memang tampak datar dan tanpa ekspresi, tapi Glenta bisa melihat sorot mata hangat itu lurus tertuju kepadanya. Dan entah kenapa, hati Glenta menghangat dengan apa yang dikatakan Sabeth. Ya, hanya cowok itu yang seolah tahu apa yang dia inginkan, apa yang dia sembunyikan. Dari semua panelis di depannya, Glenta tak menyangka panelis paling muda yang ternyata paling bijaksana.

Pak Sumon langsung menanggapi dengan acuh tak acuh, "Silakan, Glenta. Sebelum forum ini ditutup, kamu bisa ngomong apa saja."

"Glenta, tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur," tanya Sabeth dengan suara yang terdengar lebih lembut.

Glenta seperti terhipnotis dan sepersekian detik kehilangan fokusnya. "Iya," jawabnya singkat dan dia mengutuk dirinya sendiri kenapa bisa menjawab sesuatu yang tidak perlu jawaban!

"Apakah kamu benar-benar ingin masuk Einscience, Glenta?" lanjut Sabeth sambil menatapnya lembut. Glenta berpikir, kalau saja tidak menatap mata Sabeth, dia tidak akan pernah tahu di dalam wajahnya yang datar dan dingin, tersimpan kehangatan dan kebaikan.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Kak?" Glenta balik bertanya karena hanya ingin mendengarkan suara Sabeth.

"Saya sudah lima kali membaca esai motivasi yang kamu kirim. Dari semua narasi yang kamu berikan, memberikan ruang dalam kepala saya untuk bertanya, apakah kamu benar-benar ingin masuk Einscience? Atau semua itu hanya karena orang tua?"

Glenta tampak mencoba bertahan dari pesona Sabeth. Dia kini merasa seperti akan tenggelam dalam ketenangannya.

"Apa yang akan kamu katakan, Kak, jika ternyata saya mengatakan hal terburuk dari pertanyaanmu?"

"Buruk untuk siapa? Dirimu atau diri saya? Yang saya tahu, tidak pernah ada yang buruk untuk mengikuti kata hati dan mimpimu, Glenta," pungkas Sabeth tegas dan jelas membuat Glenta mematung. Dia seperti dimengerti, dipahami, dan merasa tidak sendiri. Tanpa terasa matanya basah. Sial! Sial! Glenta sekuat tenaga menahan air mata yang datang tak diundang itu agar tidak jatuh. Mengusapnya pun akan membuatnya semakin tampak jelas telah menangis.

Pak Sumon lagi-lagi menyelamatkannya dari perasaan lemah Glenta. "Perlu diingat, anggota Einscience harus fokus pada satu klub. Jadi kamu tidak akan bisa memilih dua klub seperti esai yang kamu tulis. Pilih Einscience atau M'nM?" tanya Pak Sumon dengan sangat menggebu-gebu.

"Bukankah Bapak bilang tergantung hasil tes hari ini?" lawan Glenta dengan senyum sadis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro