Mision Alpha: Earther Planet
Suasana taman kala itu lengang. Aku duduk sendirian di salah satu bangku, menikmati sepoi-sepoi angin sore. Kupejamkan mataku, memfokuskan diri pada suara merdu alam.
Benar-benar orkestra musik yang indah. Suara daun yang bergesekan dengan angin, burung berkicau terbang rendah, aliran air yang tenang, sahutan para jangkrik, dan bisikan angin. Semuanya terdengar harmonis.
Perlahan tapi pasti, muncul butiran warna-warni di sekitarku. Dengan gerakan yang terstruktur, butiran itu melebur, membentuk kupu-kupu. Butiran-butiran lainnya juga bekerja sama, membentuk sebuah kerajaan di atas awan. Bagaikan hologram, namun terasa begitu nyata.
Perlahan aku membuka mata, lalu mengulurkan tangan. Seekor kupu-kupu mendarat di atasnya, berubah menjadi peri kecil dengan sepasang sayap yang begitu indah. Aku tersenyum, lantas membiarkan peri itu pergi.
Setelahnya, aku kembali mengumpulkan butiran warna-warni di sekitarku. Dengannya, kubuat begitu banyak hal yang indah. Benar-benar memanjakan mata.
Tiba-tiba, ketenangan itu buyar saat datang seorang laki-laki dan perempuan seumuranku. Aku tersenyum, lantas bangkit dari dudukku diiringi dengan hilangnya butiran warna-warni tadi. Aku pergi menghampiri mereka.
"Sudah sampai? Wah, sepertinya kau berhasil membujuknya kali ini," ujarku sambil menatap mereka. Tanpa dikomando, tawa kecil terdengar di antara kami.
"Yah, begitulah. Ngomong-ngomong, maaf terlambat. Kau tahu kan, betapa susahnya membuat si biang kerok ini menurut," jawab anak perempuan itu sambil terus menyeret si anak laki-laki.
"Aku kan sudah bilang, aku ada janji hari ini, Ira. Seharusnya kau meminta maaf karena membuatku melewatkan janji penting," jawab anak laki-laki itu tanpa rasa bersalah.
Aku tertawa mendengar jawaban asal itu, anak ini benar-benar pembuat masalah. Bahkan, Ira yang mendengar jawaban itu justru semakin marah.
"Sudahlah, hentikan. Jika kau tidak berulah, kita bisa segera menyelesaikan tugas ini, dan kau tidak akan terlambat dengan janjimu, Andri."
"Mana mungkin sempat? Waktu janjiannya sama, tahu."
Aku tersenyum kecil menengahi mereka. Andri berjalan menuju bangku taman, melempar tas sekolahnya sembarangan. Ira mengomel melihat Andri, tapi Andri tetap acuh tak acuh dan memilih untuk duduk di tempatku tadi. Melihat itu, aku kembali tertawa.
Kami mengerjakan proyek IPA. Satu jam berlalu, dan hasilnya nihil. Percobaan itu gagal, dan malah menciptakan ledakan keras. Beruntung Andri sempat menendangnya sebelum benar-benar meledak di hadapan kami.
Aku menelan ludah melihat ledakan itu. Aku dan Ira saling tatap, lantas berlari menuju tempat ledakan tadi. Sedangkan Andri, reaksinya berkebalikan. Bukannya terkejut, wajahnya justru terlihat sangat antusias.
Ia segera berlari menuju tempat ledakan itu persis setelah ledakan berhenti. Sampai di tempat ledakan tadi, aku menatap tak percaya. Di depan kami kini menganga sebuah lubang besar, dengan dasar berbentuk lingkaran yang dipenuhi garis-garis rumit dan simbol-simbol aneh.
Ini tidak bisa kumengerti. Aku menatap Ira, tapi dia malah menutup mulutnya tak percaya. Sedangkan Andri, si biang kerok itu semakin antuasis. Seperti melihat benda kuno di museum.
"A–apa, apa yang terjadi?"
Ira masih sangat terkejut dengan kejadian barusan. Pertanyaan gagapnya cukup menjadi bukti. Namun, aku juga tidak tahu harus berkata apa. Terlalu banyak keanehan.
"Formasi Bintang," Andri berkata pendek, membuat Aku dan Ira menoleh.
"Aku pernah membacanya, dan aku yakin ini benar-benar ada. Formasi bintang yang bisa membuatmu melintasi ruang yang sangat jauh, portal teleportasi." Andri melanjutkan kalimatnya, membuat Aku dan Ira tertegun. Kami masih berusaha mencerna kalimat Andri.
"Hei, jangan bercanda." Aku bertanya tak percaya. Bisa-bisanya Andri mengkhayal di saat seperti ini.
"Aku tidak bercanda." Andri menatap kami serius. "Aku akan membuktikannya. Formasi bintang itu."
Tepat setelah menyelesaikan kalimatnya, Andri menarik tangan kami, lantas melompat ke dalam lubang itu. Seketika Formasi Bintang itu bercahaya, menyinari tubuh kami yang tengah menginjaknya. Sedetik kemudian, cahaya itu meredup, dan tubuh kami hilang ditelan sinar.
Aku terbangun di tempat yang tidak kukenal. Aku segera berdiri, menghampiri Ira. Sebelum sempat bertanya, tiba-tiba terdengar suara dengan bahasa yang tidak kukenali.
"Kwezz Yel Un Tress, Djilo Nersew Kleent."
Aku mengernyitkan dahi. Apa yang sedang mereka bicarakan? Namun kemudian, suara itu berubah menggunakan bahasa yang kukenal.
"Oh, maafkan aku. Seharusnya aku menggunakan bahasa yang dimengarti manusia Bumi. Baiklah, karena tidak ada waktu untuk menjelaskan lagi, silahkan ikuti tanda di lantai. Aku menunggu kalian."
Persis setelah suara itu berhenti, lantai itu mengeluarkan tanda panah. Andri sekali lagi, tanpa meminta persetujuan, menarik tangan kami, mengikuti tanda itu tanpa curiga. Aku hendak membantah, tapi kalah tenaga.
Si Biang Kerok ini sama sekali tidak memikirkan resiko yang akan terjadi. Manusia Bumi? Itu sudah sangat menjelaskan bahwa kita sedang tidak berada di Bumi.
Kami tiba di sebuah ruangan. Pintu ruangan itu terbuka otomatis. Di dalamnya, tampak seorang lelaki. Ia memperkenalkan dirinya, Felioce. Itu nama yang unik.
"Kalian berasal dari Bumi bukan? Bagaimana bisa kalian sampai di sini?" Felioce bertanya heran.
Kami bertiga saling bertatapan. Lantas Andri menceritakan semua kejadian itu. Yang berlangsung sangat cepat. Yang membuat kami berada di sini. Termasuk tentang Formasi Bintang itu.
"Tidak salah lagi, itu Formasi Bintang. Lebih tepatnya, formasi bintang portal teleportasi." Kami semua terkejut mendengar pengakuan itu.
Felioce menghela napas. "Sebenarnya, aku dalam perjalanan menuju Planet Earther, kampung halamanku. Kabarnya, planet itu diserang penduduk Bumi. Aku mendapat misi untuk menyelidikinya. Tapi, dilihat dari reaksi kalian, sepertinya kalian bukan mata-mata atau sejenisnya," Lanjut Felioce, yang langsung dijawab anggukan mantap Andri.
Beberapa saat kemudian, tampak sebuah planet yang sangat mirip dengan Bumi. Hanya saja kondisi planet satu ini jauh lebih mengenaskan. Tidak ada satupun tumbuhan yang hidup. Tanah terlihat kering dengan retakan dimana-mana, seakan siap terbelah kapanpun. Di lautan juga tidak ditemukan air, hanya lahar panas bak lautan magma.
"Kita terlambat." Felioce terlihat kecewa. "Planet ini akan segera hancur. Sepertinya Misi Alpha kali ini akan gagal."
"Kalau begitu, kita tinggal menyelamatkannya." Andri berkata santai.
Aduh, mulai lagi, deh. Andir benar-benar tidak paham apa yang sedang dia perbuat rupanya.
"Bagaimana mungkin? Kondisinya sudah seperti itu, Andri." Ira menatap prihatin Planet Earther.
"Kita memang tidak bisa melawannya sekarang, ini sudah sangat terlambat. Tapi kita kita bisa menghalang mereka sebelum hal ini terjadi, kan?" Andri menjelaskan maksudnya.
"Bagaimana caranya?" Aku menatap Andri gemas. Tidak bisakah dia menggunakan bahasa yang lebih kami mengerti? Tidak semua orang sejenius dia. Sedangkan Felioce, sepertinya sudah mengerti arah pembicaraan Andri.
Andri mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Formasi Bintang yang kita lewati tadi memiliki kecepatan melebihi kecepatan cahaya." Andri menunjuk angka pada alat aneh itu.
"Ingat teori Einstein? Jika kecepatan cahaya terlampaui, maka waktu menjadi relatif. Kita bisa kembali ke masa lalu dan mengalahkan mereka sebelum hal ini terjadi."
Sebelum ada yang sempat berkomentar dengan ide Andri—yang belum tentu berhasil—terdengar suara dentuman meriam dari arah Planet Earther. Satu serangan itu membuat seluruh sistemnya mati.
Felioce segera menekan sebuah tombol, dan seketika datang sebuah kapal angkasa yang kali ini terlihat sangat menakjubkan, berlayar di ruang angkasa. Kapal itu mengeluarkan cahaya ke arah kapal Felioce.
"Semuanya, lari!" Felioce berteriak. Tanpa disuruh dua kali, kami segera mengikuti Felioce. Begitu tiba di berkas cahaya tadi, tubuh kami tersedot masuk ke dalam kapal.
"Wah, Felioce. Siapa anak-anak ini?" tanya seseorang dari dalam kapal.
Felioce tampak berbincang sebentar dengan, hei! Aku baru menyadarinya. Dia adalah manusia, namun lebih mirip kera. Dengan bulu hampir di sekujur tubuhnya.
"Bumi? Bagaimana keadaan kampung halamanku itu?" Aku menoleh cepat. Manusia kera itu berasal dari Bumi?
"Perkenalkan, aku Matana." Manusia kera itu memperkenalkan diri.
"Aku adalah manusia pertama yang dikirim ke luar angkasa. Misiku, menemukan peradaban lain di luar angkasa. Jika kalian berpikir jutaan tahun silam manusia masih sangat primitif dan baru mengenal api, kalian salah. Dulu, kami sudah memiliki teknologi yang sangat maju, lebih maju dari Planet Bumi hari ini." Matana memulai penjelasannya. Aku dan Ira mengernyitkan dahi.
"Lantas, kemana semua teknologi itu?" tanyaku memberanikan diri.
"Beberapa tahun setelahnya, terjadi bencana alam yang sangat besar. Yang terhapus dari sejarah. Badai dari kutub menghantam ganas, membekukan semua ilmuwan terbaik kami. Gunung-gunung meletus, mengeluarkan lahar panas. Menyapu bersih seluruh kehidupan. Pada akhirnya, kehidupan kembali lagi ke titik nol, sebelum manusia mengenal api. Nah, mulai masa itulah sejarah yang baru dicatat. Jadi di mata manusia sekarang, manusia jaman dulu sangat primitif."
Aku henda bertanya lagi, tapi Matana menyela. "Jika kalian penasaran, bagaimana bisa aku masih tetap hidup? Sejujurnya, aku sedang beruntung saat itu karena tengah berada di luar angkasa. Sambungan komunikasiku terputus, tapi aku masih sempat melihat kejadian itu. Menjadi satu-satunya saksi mata kejadian alam itu. Perputaran roda kehidupan. Memutar kembali siklus hidup manusia."
"Aku tidak punya pilihan lain. Aku membekukan tubuhku, menghentikan seluruh aktivitas organ yang ada. Itu sebabnya aku masih berbentuk setengah kera begini. Terlihat sedikit menyeramkan, ya? Tapi lihatlah, hari ini aku bertemu kembali dengan penduduk Bumi, yang telah jauh berevolusi."
Matana tersenyum simpul. "Mari ikuti aku. Ada hal yang ingin aku tunjukkan."
Aku segera mengikuti Felioce yang sudah berjalan duluan, dikuti Ira. Aku mendelik tajam ke arah Andri. Anak itu pasti sedang menyusun ratusan atau bahkan ribuan pertanyaan. Tanpa harus diberitahu lagi, Andri segera berjalan cepat didepanku dan Ira, berusaha menyejajari langkah tegap Felioce.
Kami sampai di sebuah ruangan dengan pintu kayu. Daun pintunya dipenuhi ukiran. Tampak seperti berbagai hewan yang sedang bermain bersama di sela-sela dedaunan dan tanaman liar. Matana mendorong pelan gagang pintunya.
Ruangan itu pengap, seperti lama tidak digunakan. Debu tebal menempel di setiap perabot. Di sudut-sudut ruangan, tampak beberapa jaring laba-laba. Di tengah ruangan itu, tampak sebuah lingkaran yang amat kukenali.
"Formasi Bintang!" Andri berseru senang. Kini ia mempercepat langkahnya, berusaha menyejajari langkah Matana.
"Kalian berdua, kemarilah." Matana tersenyum melihat kami yang masih ragu-ragu. Sementara Andri, ia sudah berdiri di atas Formasi Bintang itu, persis diantara Matana dan Felioce.
Andri tersenyum pada kami, mengangguk. Baiklah. Aku menarik tangan Ira, berjalan keatas Formasi Bintang. Beberapa saat kemudian, kami telah berdiri di samping Matana.
"Kalian siap?" tanya Matana. "Kita akan segera berangkat."
Aku mengangguk mantap, mulai terbiasa dengan semua hal di luar nalar ini. Ira mengangguk sambil menggenggam erat tanganku. Sedangkan Andri, yang sejak tadi seakan sudah menunggu pertanyaan itu, mengagguk lebih yakin dariku, siap dengan petualangan barunya.
Matana tertawa melihat ekspresi kami. "Kalian memang menarik. Baiklah, kita berangkat."
Persis setelah kalimat itu selesai, Formasi Bintang yang kami pijaki bercahaya, membungkus tubuh kami. Sama seperti sebelumnya, tubuh kami menghilang. Namun kali ini, kami tidak mendarat di kapal angkasa Felioce, melainkan di sebuah lorong.
"Kita harus bergegas, lorong ini tidak akan bertahan lama. Jika terlambat, kita akan terjebak disini selamanya." Matana berseru tegas.
"Aw!" Ira menjerit kesakitan. Kakinya terhantam sesuatu, entah apa. Yang aku tahu, kakinya tampak mulai membiru.
"Tunggu sebentar!" Aku berteriak, menghentikan Matana dan Felioce yang tinggal beberapa langkah dari mulut lorong.
"Ira butuh istirahat." Aku berkata pelan.
"Tidak ada waktu, Matsi. Kita harus bergegas," jawab Felioce.
Akan tetapi, Andri malah berlari kencang kearah kami. Melihat itu, Matana dan Felioce mengejarnya. Pada akhirnya, kami terjebak di lorong dimensi ruang dan waktu.
Sementara Andri dan Ira sibuk bertengkar, Matana dan Felioce tampak serius berdiskusi. Aku terdiam. Bagaimana mungkin kami terjebak? Saat itulah, aku tiba tiba teringat sesuatu.
"Kita masih punya cara." Kalimatku menarik atensi mereka, membuat semuanya terdiam.
"Aku tahu ini terdengar tidak masuk akal, tapi dengan kekuatanku dan Matana, kita bisa keluar dari sini," ujarku berusaha terdengar meyakinkan.
"Kekuatan? Kau? Jangan bergurau, Matsi." Ira beseru pelan.
Melihat itu, aku langsung menjelaskan kekuatanku. Baiklah, akan aku jelaskan semuanya. Semua yang aku simpan sendiri sejak kecil. Kemampuanku mengendalikan gelombang suara di sekitar, lantas mengubahnya sesuai keinginan. Aku juga mempraktekkan beberapa. Dan sebelum Andri sempat menanyakan banyak hal, aku meneruskan kalimatku.
"Aku akan menggunakan kekuatanku, membayangkan sebuah portal. Sedangkan Matana, sebagai manusia yang telah lama kenal dengan alam, pasti mewarisi kebijakan alam. Elemen pembentuk Bumi. Ia bisa mengarahkan portal ke Bumi, kemudian kita berangkat dari sana," ujarku berusaha menjelaskan sebaik mungkin.
Ideku disetujui. Aku segera mengumpulkan semua suara yang ada. Di sekitarku, kini dipenuhi butiran warna-warni. Seperti ada yang sengaja menumpahkan glitter di sini. Aku berusaha fokus, membayangkan sebuah portal seperti yang sering kulihat di film action.
Matana menembakkan sesuatu ke empat sisi portal. Tampak empat bola kristal mulai mengelilingi portal. Merah, biru kuning, dan putih. Perlahan menyatu membentuk sebuah bulatan, Planet Bumi kecil. Angin bertiup keras membuat suasana menegangkan.
"Lompat sekarang!" teriakku berusaha mengalahkan suara angin.
Felioce, Andri, Ira, dan Matana segera melompat. Aku yang terakhir, diikuti menutupnya portal. Kini kami mendarat di taman. Namun, Formasi Bintang tadi sudah pecah menjadi kepingan raksasa.
"Bagaimana ini?" Ira menatap sedih kepingan Formasi Bintang. Ia merasa bersalah membuat kami terjebak tadi.
"Masih ada cara. Kita gunakan elemen kita. Karena sesungguhnya, itulah kekuatan terbesar di dunia ini." Matana mulai mendekatkan kepingan Formasi Bintang.
"Felioce mewakili kepercayaan. Andri mewakili keberanian. Ira mewakili kejujuran. Aku mewakili harapan. Dan Matsi—," Matana menggantung kalimatnya. "—dia mewakili dua elemen sekaligus, keharmonisan dan kehidupan. Elemen-elemen itulah yang membuat kehidupan berjalan harmonis."
Aku menatap tak percaya. Bagaimana mungkin aku? Tapi begitu melihat Matana, tatapannya solah berkata, tidak ada waktu untuk menjelaskan, Matsi. Bagaimanapun kau pemegang dua elemen kuat pembentuk kehidupan.
Benar, tidak ada waktu untuk perkelahian tidak perlu. Atas dasar itulah, aku mengangguk.
Felioce segera memasang perisai ilusi tak kasat mata supaya tidak ada yang dapat melihat kami. Matana mengangkat telapak tangannya kedepan. Dan dalam gerak yang indah, telapak tangannya mengeluarkan cahaya. Kami bisa melihat harapan besar Matana di situ. Harapan untuk tetap hidup. Harapan untuk menyelamatkan Planet Earther.
Felioce segera mengikuti. Cahayanya tampak sangat meyakinkan, seolah menggambarkan dirinya yang penuh kepercayaan. Andri menyusul. Dia yang sejak tadi menganggap ini hanyalah petualangan di wahana fantasi, mengeluarkan cahaya terang yang berani menyinari seluruh tempat di dunia ini.
Ira juga tidak tinggal diam, melakukan hal yang sama. Walaupun masih susah mencerna semua kejadian ini, ia mengeluarkan cahaya bersih, tak ada setitik kebohongan disitu.
Terakhir, Aku mengangkat kedua tanganku sekaligus. Muncul cahaya yang memperlihatkan ketentraman hidup. Aku tersenyum, menatap keenam cahaya yang tengah berpilin, lantas membungkus Formasi Bintang. Perlahan retakannya tertutup hingga menjadi utuh kembali.
"Sudah cukup." Matana menurunkan tangannya, diikuti kami semua.
"Aku tidak pernah melihat orang yang mengeluarkan dua elemen kuat sekaligus. Aku benar-benar beruntung." Felioce menambahkan. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban.
"Baiklah, terima kasih bantuannya. Sebaiknya kalian pulang," ujar Felioce. "Ini akan sangat berbahaya."
"Tidak!" bantah Ira.
"Aku yang menyebabkan kita terjebak di lorong dimensi ruang dan waktu. Lagi pula, kami sudah terlanjur terlibat. Aku akan ikut." Ira berkata tegas diikuti anggukanku dan Andri.
"Baiklah jika kalian memaksa. Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu." Matana menanggapi.
"Semuanya bersiap, kita berangkat."
Matana mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lantas tubuh kami—sekali lagi—terbungkus cahaya, dan kini berada di tengah angkasa. Felioce segera menembakkan gelembung udara ke kepala kami, membuat kami tetap bisa bernapas. Kami segera bersembunyi di balik salah satu asteroid.
"Itu rombongan Profesor Oc!" Felioce berseru tertahan.
Sepertinya pasukan lawan memiliki radar suara. Itu terbukti dari datangnya hujan peluru tepat setelah Felioce berujar. Kami susah payah bergerak menghindar, berlindung di antara banyak asteroid yang beredar di sabuknya.
Tanpa sengaja, satu tembakan mengenai pipi Felioce, membuatnya mendapat luka kecil. Kekesalan anak itu memuncak, membuatnya kehilangan kendali.
Dalam sekali gerakan, Felioce melepas tinju ke arah pasukan lawan. Tiga kapal angkasa langsung terpelanting jauh. Felioce melepas tinju lagi. Kali ini hanya bayangan, namun lebih dari cukup untuk menjatuhkan tiga kapal angkasa lainnya.
Kami bertiga menatap Felioce takjub. Bahkan Andri, yang biasanya tak pernah peduli pada apapun, hampir tak berkedip menyaksikan Felioce. Gerakannya begitu lincah dan meyakinkan. Ia seakan menari diantara ratusan peluru.
"Kalian boleh ikut setelah memahami cara kerja kekuatan kalian. Aku menunggunya." Matana tersenyum, lantas terbang menuju Felioce, masuk dalam medan perang.
Aku menatap Andri. Dia tampak bersemangat seperti biasa. Namun kali ini, semangat benar-benar telah membakar dirinya. Lihatlah, tubuh Andri kini sempurna diselimuti api. Ia mengarahkan tangannya ke depan, seketika muncul alat penembak.
Andri tersenyum sumringah. Ia menembak kapal angkasa lain. Kapal itu terbakar habis seketika. Andri kemudian mengangkat tangan satunya, muncul sebuah gadget canggih. Andri mengetikkan sesuatu ke layar hologramnya, lantas melemparnya.
Astaga, itu granat EMP! Tidak mengherankan jika salah satu kapal induk jatuh tak berdaya.
Aku menoleh kearah Ira. Dia tampaknya berusaha menenangkan diri. Di sekelilingnya mulai ditumbuhi tanaman rambat yang indah. Dia memetik setangkai bunga, mengelusnya dengan lembut, lantas menerbangkan bunga kecil itu.
Aku salah. Kupikir Ira hanya sedang bermain-main. Namun, lihatlah! Begitu bunga kecil itu menempel di salah satu kapal, kapal itu langsung meledak. Hancur berkeping-keping.
Ira menerbangkan lebih banyak bunga, diikuti lebih banyak ledakan. Kemudian ia mengarahkan beberapa serangga ke arah kapal, mereka terbang, mengisap energi kapal itu. Kini sekeliling Ira telah berubah menjadi padang bunga yang sangat indah, tapi mematikan.
Andri dan Ira telah terbang dengan leluasa, meninggalkanku yang masih tidak tahu harus berbuat apa. Melihat itu, Matana berteriak, menghubungiku lewat gelembung udara. "Jangan terlalu memaksa, kau akan menekan dirimu. Dengarkan sekitar berbicara padamu."
Aku tersadar. bukankah selama ini aku juga begitu, mendengarkan suara alam. Tapi ini berbeda, aku berada di ruang angkasa. Baiklah, aku mencoba menutup mataku. Sayup-sayup kudengar suara asteroid yang melintas.
Aku berkonsentrasi penuh. Terdengar suara planet yang mengelilingi bintangnya, suara lubang hitam, bahkan suara debu angkasa yang beterbangan bebas. Aku segera mengumpulkan semua suara itu, lantas mengubahnya menjadi sebuah pistol.
Ini keren! Aku menaiki haverboard lalu bergerak bebas di angkasa, bergabung dengan yang lainnya.
"Wah, sepertinya kau kembali, Felioce." Seorang lelaki gagah dan menyeramkan keluar dari pintu salah satu kapal induk. "Tapi kali ini jelas tidak akan mudah."
Persis setelah orang itu—Profesor Oc—menyelesaikan kalimatnya, semua kapal bangun kembali dan membelah menjadi dua kapal angkasa. Pasukan Profesor Oc menyerang tanpa ampun, membuat kami mulai kewalahan.
Serangga Ira mati satu per satu. Api di tangan Andri mulai meredup. Gerakan Felioce juga tak selincah sebelumnya. Kami benar-benar terdesak. Satu per satu, mereka mulai kelelahan, jatuh ke atas asteroid uang mengambang di sekitar.
Kini, tersisa Aku dan Matana di medan pertempuran. Aku berkali-kali berusaha menciptakan senjata baru. Namun, susah untuk berimajinasi ditengah kekacauan seperti ini.
"AKU TIDAK AKAN MELEPASKANMU KALI INI!" Matana berseru penuh amarah.
Persis setelahnya, aku menerima pesan suara dari Matana. "Bayangkan dimensi hitam, yang tidak terletak dimanapun dan kapanpun. Kau hanya punya waktu satu menit dari sekarang." Pesan itu pun berakhir. Aku menelan ludah. Ini sulit. Sementara itu Matana tidak peduli, terus bertarung dengan Profesor Oc.
"Jangan buang-buang waktu!" teriakan Matana membuyarkan lamunanku. Aku berusaha berkonsentrasi.
Sepuluh.
Sembilan.
Delapan.
"CEPAT!" Matana berteriak keras. Aku hanya meringis, masih berusaha berkonsentrasi.
Tujuh.
Enam.
Lima.
Waktuku semakin menipis.
Empat.
Tiga.
Dua.
Aku semakin terdesak. Matana sudah berada di ujung teneganya. Aku memfokuskan diri, berusaha membuat dimensi hitam.
Satu.
Persis sebelum hitungan ke satu, aku berteriak keras, berusaha membuat dimensi hitam. Portal itu terbuka. "Kau berhasil, Matsi. Kau memang istimewa." Matana berbisik pelan.
Persis setelah kalimat itu keluar, Matana kembali mengeluarkan empat bola kristal, seperti saat berada dalam lorong dimensi ruang dan waktu. Namun kali ini jauh lebih besar, kuat, dan indah. Kemudian Matana mengeluarkan sebuah jaring perak raksasa yang membungkus Profesor Oc dan pasukannya. Mereka berusaha bergerak, namun jaring itu menyegel gerakan mereka.
"Tutup portalnya setelah aku memasukkan mereka. Aku akan menyegelnya!" teriak Matana. Aku mengangguk patah-patah, bersiap menutup portal.
Matana melempar jaring peraknya ke dalam portal.
"SEKARANG!"
Teriakan Matana terdengar jelas di telingaku. Tanganku bergetar, mengarah ke portal. Aku memejamkan mata, berusaha fokus. Perlahan, portal itu menutup. Matana mengarahkan keempat bola kristal ke portal, lantas menyegelnya dengan seluruh tenaga terakhirnya.
"Aku beruntung bertemu anak yang baik hati seperti kalian. Kini, aku tidak menyesal setelah hidup jutaan tahun. Tolong titipkan salamku untuk Felioce." Matana berbisik lembut, tersenyum untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya jatuh tak berdaya.
Aku segera terbang menangkapnya. Aku menangis, jatuh terduduk di atas salah satu asteroid kecil yang mengambang. Seisi angkasa lengang, sakan ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Semua telah berakhir.
Felioce, Andri, dan Ira yang sudah siuman terbang mendekat bertanya apa yang terjadi. Aku menenagkan diri, berusaha menjelaskan dengan baik. Felioce menitikkan air matanya. Ira sudah menangis tersedu-sedu. Sedangkan Andri menyeka ujung matanya. Semua benar-benar telah berakhir.
Felioce memanggil kapal Matana, memindahkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke dalam kapal. Lantas menyuruh kami masuk. Aku mengangguk, kami harus segera pulang. Aku berpamitan pada Felioce. Dia memberi kami tiga benda berbeda. Liontin dengan batu permata hijau untuk Ira, sebuah gadget canggih berbentuk gelang pada Andri, dan sebuah cincin berhiaskan bulan sabit untukku. Kami tersenyum, berterima kasih. Lantas berlari menuju ke ruang Formasi Bintang. Kami melambaikan tangan dan tubuh kami diselimuti cahaya.
Kini kami telah berada di taman. Tiba-tiba, terdengar suara benda pecah. Perisai ilusi Felioce hancur, berubah menjadi butiran kelap-kelip, jatuh berguguran. Menghiasi langit yang berangsur merah. Bersiap menyambut malam.
Kami terdiam beberapa menit di bangku, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ini hari yang panjang, butuh waktu bagi kami untuk mencerna semuanya.
"Hari yang menyenangkan." Ira berbisik pelan.
Aku dan Andri mengangguk. Ira benar. Meski di luar nalar dan penuh ancaman, ini sangat menyenangkan.
"Sampai jumpa besok, jangan lupakan proyek IPA kita," aku tertawa kecil, berusaha bergurau.
"Yah, sepertinya aku ada urusan besok." Andri mengangkat bahu, tampak tidak peduli.
Ira sudah berdiri, siap memarahi andri habis-habisan. Andri segera berlari, disusul Ira yang mengomel di belakangnya.
Aku tertawa melihat mereka. Lantas menatap langit sore, mengingat petualangan kami. Pertemuan dan perpisahan yang cepat, tapi sangat berarti.
Apa Planet Earther baik-baik saja?
Aku berjalan pulang sambil tersenyum, menyimpan jutaan pertanyaan. Berjalan meninggalkan taman, bersama dengan matahari yang terbenam di barat, menutup cerita panjang nan penuh petualangan hari ini.
3500 kata
26 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro