Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 9 - Menjengit

Karin POV

Aku mengembuskan napasku kasar ketika melihat Elina yang tidak bisa diam. Sedari tadi, gadis itu menjengit di kursinya.

“Karin,” panggilnya sembari mencuri-curi waktu di tengah jam pelajaran matematika. “Kamu mau tahu, nggak?”

Aku tidak menghiraukan Elina. Memilih untuk tetap fokus memperhatikan penjelasan guru. Namun, gadis itu tetap berusaha memecah kefokusanku.

“Karin, kamu bakal nyesel setelah dengar cerita aku,” ucapnya. “Kemarin pas kamu udah pergi, tetangga ganteng pulang. Sumpah, walaupun dia pakai helm dan masker, aura kegantengan dia gak pudar, Rin. Kamu pasti nyesel banget.”

Kalimat lanjutan Elina hanya kubalas dengan gelengan kecil. Sedari tadi, aku memang mendengarnya, tanpa sedikit pun memindahkan pusat utama fokusku dari penjelasan guru.

Dan, apa katanya tadi? Menyesal? Kurasa, tidak sama sekali. Lagi pula, aku tidak begitu yakin dengan kadar kegantengan si tetangga baru yang selalu digadang-gadang oleh Elina itu. Sebab, terakhir kali ia menilai seseorang ganteng, seleranya benar-benar rendah. Iya, dia Mang Ujang, satpam baru sekolah kami yang bagiku—juga bagi teman-teman sekelasku—terlihat biasa-biasa saja. Tidak jelek, namun tidak juga ganteng.

Berbeda dengan pandangan Elina. “Gila, mata kalian itu kenapa, sih? Mang Ujang itu ganteng, loh. Alisnya itu tebel pakai buangets.

Iya. Semua lelaki beralis tebal masuk ke dalam kategori ganteng bagi Elina. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan itu. Sebab, kriteria ganteng atau cantik bagi setiap orang itu berbeda. Namun, bagiku Elina cukup berlebihan. Setiap ia melihat cowok ganteng, ia akan mendekatinya dan berusaha menggodanya. Termasuk, Mang Ujang yang sudah berusia 30 tahunan akhir.

“Karin, kamu dengerin aku gak—”

“ELINA!”

Aku yang tadi sibuk mencatat, seketika tersentak mendengar suara menggelegar dari Bu Fitri.

Aku menoleh ke sebelah dan melihat perubahan raut wajah Elina yang seketika menjadi tegang.

“I-iya, Bu,” ujar Elina.

“Kenapa kamu ngomong di kelas saya?”

“Eh, anu, Bu ....”

“Istirahat nanti, temui saya di kantor!”

***

Elina yang bertingkah, aku yang susah. Gadis itu memintaku menemaninya ke kantor guru. Alasannya, karena aku adalah penyebab dirinya dimarahi Bu Fitri.

Hei, yang benar saja. Lagi pula, siapa yang memintanya berbicara denganku? Dirinya sendiri, bukan?

Tetapi, sebagai sahabat yang baik, aku memilih untuk menemaninya. Walau sekarang, aku harus duduk sendirian di kursi depan kantor guru, sembari menunggu Elina menyelesaikan urusannya dengan Bu Fitri.

Aku menautkan jemariku untuk mengusir kebosanan. Sudah sepuluh menit berlalu, namun Elina masih belum keluar. Jika begini caranya, lebih baik aku mengendap di dalam kelas.

“Hai,” sapa seseorang yang membuatku menoleh. Alangkah terkejutnya aku ketika menyadari siapa lelaki yang baru saja menyapaku tersebut.

“Kamu?”

“Loh, kamu yang kemarin di toko buku itu, kan?” tanyanya.

Aku lantas menganggukkan kepala dan tersenyum. “Kamu ngapain di sini?”

“Oh, ini, mau ketemu Pak Andrian buat urus perizinan observasi di sekolah ini,” katanya. Pak Andrian adalah kepala sekolah kami.

“Observasi sekolah? Kamu kuliah pendidikan?”

“Iya.”

“Jurusan apa?”

Mathematics education,” jawabnya yang membuat aku menganga.

“Matematika? Wah, keren banget,” pujiku. Perbincangan kami lalu berlanjut, aku menanyakan perihal alasannya memilih jurusan tersebut. Namun, sejauh perbincangan kami berlangsung, aku masih tidak mengetahui namanya.

By the way, nama kamu siapa?” tanyanya mendahului

“Karin Widya Atmaja. Panggil aja Karin. Kalau kamu, nama kamu siapa?”

“Glen Aldrin.”

“Oh, oke, Bang Glen,” ujarku kembali melafalkan namanya.

“Panggil aja Glen. Gak perlu embel-embel 'bang', kok. Aku bukan tipikal orang yang menjunjung tinggi gelar senioritas atau bahkan alumni,” katanya lantas tersenyum kecil.

Untuk sesaat, aku menikmati senyum tersebut. Aku yakin, jika Elina yang berada di posisiku sekarang, ia sudah akan jungkir balik melihat senyuman Glen yang begitu manis.

“Oh iya, aku duluan, ya, Karin. Temanku ngabarin, katanya Pak Andrian udah ada di ruangan.” Ia berpamitan kepadaku.

Selepas kepergiannya, pintu kantor guru terbuka menampilkan wajah Elina yang tampak begitu kusut.

Ah, jika saja, Glen belum pergi. Tentunya, aku akan mengenalkan Glen kepada Elina. Niscaya, wajah kusutnya akan kembali rapi.

***

618 words
©vallenciazhng_
December 9, 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro