Day 30 - Senyampang
Elina POV
"Tapi, kalau dipikir-pikir, nggak ada gunanya kita menyesal kayak gini. Lagi pula, semuanya udah terjadi," ucapku kepada Karin, berusaha mengakhiri topik mengenai Glen. Juga tentang rasa penyesalan yang begitu menggebu di masing-masing hati kami. Takut senyampang topik ini akan semakin merambah kemana-mana.
"Iya, El. Aku rasa, masih banyak hal lain yang lebih penting untuk kita bahas, dibanding masalah ini," ucap Karin menyetujui.
"Ngomong-ngomong, kamu udah kepikiran mau kuliah dimana dan jurusan apa nantinya?" tanyaku menyinggung masalah kuliah, mengingat kurang dari setahun lagi kami resmi keluar dari sekolah yang kami tempuh sekarang.
Di saat itu pula, pencarian jati diri sebagai seorang manusia sesungguhnya dimulai. Masa-masa dimana seseorang seperti aku dan Karin mulai memikirkan hal lain seperti wacana untuk melanjutkan pendidikan atau justru memilih melangkah menuju dunia kerja. Tidak serta-merta tentang masalah percintaan atau persahabatan seperti di tingkat SMA. Ya, inilah proses. Proses yang mendewasakan.
"Belum kepikiran, El. Ayah dan ibu memang udah nanya-nanya ke aku. Apa aku mau lanjutin kuliah atau justru langsung kerja. Tapi, aku belum kasih jawaban apa pun ke mereka."
"Memangnya, kamu masih ragu untuk kuliah?"
Selama ini, di antara kami berdua, Karinlah yang paling banyak pertimbangan. Bahkan, saat pertama kali duduk di bangku SMA, ia begitu kesulitan memilih antara jurusan sains dengan sosial. Berbeda denganku yang langsung memilih tanpa berpikir panjang.
"Entahlah, El. Aku masih bingung. Kamu sendiri, gimana? Udah nentuin mau kuliah apa?"
Aku menggelengkan kepalaku. Kali ini, sepertinya aku sama seperti Karin. Aku masih belum menemukan jurusan yang cocok denganku.
"Aku pengin kuliah. Pengin banget. Cuma, ya, masih bingung mau jurusan apa. Soalnya, selama aku sekolah, ibaratnya aku cuma nyicip-nyicip pelajaran yang satu dan yang lainnya, nggak pernah mendalaminya. Jadi, aku bingung harus milih jurusan apa di kuliah nanti."
"Kamu berniat kuliah di luar kota alias ngerantau?"
Aku menggelengkan kepalaku lagi. "Mana mungkin aku bisa hidup jauh-jauhan dari ayah dan bunda. Paling lama aku bertahan, cuma seminggu. Kalau lebih lama dari itu, aku ragu."
Karin menganggukkan kepalanya. "Aku paham, El. Tapi, apa pun pilihan kamu, aku pasti ngedukung."
"Aku juga akan selalu ngedukung semua keputusan kamu. Entah keputusan kamu yang hendak lanjut kuliah atau justru langsung turun ke dunia kerja."
Setelahnya, tidak ada perbincangan lebih lanjut di antara kami.
"Udah, yuk. Berangkat ke sekolah. Nanti keburu telat," ucap Karin setelah kami cukup lama berdiri dan bersandar di pagar rumah gadis itu. Tempat dimana kami sibuk membagi isi pikiran kami. Tentang Glen, penyesalan, juga sedikit mengenai masa depan kami.
***
412 words
©vallenciazhng_
December 30, 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro