6
Sorry for the delay in updating, I've been super busy...
yang nungguin ... boleh isi presensi vote dan komennya ya
.
.
.
"Ikut aku sekarang!" Komandan Min membuka pintu selku, tangannya memutar kunci dengan cekatan. Dia menatapku dengan mata tajam yang tak menyisakan ruang untuk perdebatan.
Aku hanya bisa mengangguk. Tubuhku terasa kaku, tapi aku tahu menolak bukanlah pilihan. Pilihan itu lenyap bersama suara langkah pemberontak lain yang membawa Minji menjauh ke lorong berlawanan.
"Ayo cepat. Kita harus pergi sebelum mereka menyadari posisi kita," katanya dingin, menarik tanganku tanpa ampun. Sentuhannya kokoh, dingin, hampir seperti borgol hidup.
Aku mengikuti langkahnya dengan enggan, tetapi di tengah semua ini, aku mendapati diriku mendengus. Entah kenapa, kemarahan yang kubendung malah keluar sebagai tawa samar.
Dia berhenti, sekilas menatapku dengan alis terangkat, seakan aku baru saja membuat lelucon yang tidak lucu.
"Kau takut, ya?" Aku menyisipkan nada mengejek dalam suaraku, menatapnya dengan sedikit lebih berani dari yang seharusnya. "Sudah kubilang, The Centra akan segera menemukanku. Jadi, sebaiknya kau berlari lebih cepat—atau, mungkin, kau ingin aku memberitahu mereka di mana kita sekarang?"
Dia tidak langsung menjawab. Aku menahan napas, bertanya-tanya apakah aku baru saja membuat kesalahan besar. Tatapannya tetap dingin, tapi rahangnya sedikit mengencang. Saat dia mulai menarikku lebih cepat, cengkeramannya semakin kuat, dan rasa sakit di pergelangan tanganku membuatku sadar: dia tidak main-main.
Langkahnya kini tergesa, dan aku harus berusaha keras untuk mengikuti. Sarkasme tadi seketika terasa seperti keputusan yang bodoh. Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Apa yang sebenarnya kulakukan? Kenapa aku memprovokasi seseorang yang jelas-jelas bisa menghancurkanku tanpa usaha berarti?
Aku menelan ludah, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di udara. "Apa yang akan kalian lakukan pada Minji?" tanyaku, mencoba mengalihkan fokus. Aku merasa perlu mengatakan sesuatu—apa pun—untuk menghentikan pikiranku yang terus-menerus melompat ke skenario terburuk.
Dia tetap berjalan tanpa menoleh. "Dia aman. Itu saja yang perlu kau tahu, " jawabnya datar.
"Tapi—"
"Kau terlalu banyak bicara." Dia memotongku, nadanya seperti cambuk. "Ikuti saja aku jika kau masih ingin hidup."
Aku mengepalkan tangan, berusaha menenangkan gejolak di dada. Sarkasme yang tadi terasa seperti senjata, kini berubah menjadi rasa pahit di tenggorokanku. Untuk saat ini, aku harus diam—aku harus berpikir.
Terowongan ini seperti labirin gelap yang tak berujung, hanya diterangi oleh cahaya dari bohlam kecil yang temaram. Aku harus mengingat setiap jalan, setiap belokan. Kalau aku bisa kabur ....
"Apa kau benar-benar berpikir akan bisa melarikan diri dari sini?" Suaranya yang dingin mengejutkanku. Seolah dia bisa membaca pikiranku setelah kami beberapa saat berjalan.
Aku berhenti sejenak, menatap punggungnya dengan curiga. "Apa maksudmu?"
Dia berbalik lagi, kali ini dengan seringai kecil di sudut bibirnya. "Matamu berbicara lebih banyak daripada mulutmu. Kau mencatat jalan, bukan? Sia-sia saja. Kami yang membangun tempat ini. Tak ada yang bisa keluar tanpa izin kami."
Aku menelan ludah. Dia benar-benar tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan dirinya merasa menang begitu saja.
"Kalau begitu, kenapa kau tidak mengikat atau menutup mataku saja? Bukankah lebih mudah untukmu?" tantangku, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasai.
Dia mendekat, jaraknya sekarang hanya beberapa inci dariku. "Karena aku ingin tahu sejauh mana keberanianmu bertahan. Tapi ingat ini, Nona Lee Kyon—satu langkah yang salah, dan aku tidak akan ragu mengambil tindakan."
Tatapan kami bertemu, dan untuk sesaat, aku tidak tahu siapa yang sedang mendominasi siapa. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang bukan hanya kemarahan, tapi juga kelelahan yang mendalam. Apakah dia juga manusia yang lelah dengan perang ini?
Kami masih saling beradu tatap, saat suara ledakan keras tiba-tiba mengguncang terowongan.
Langit-langit di atas kami bergetar, serpihan batu jatuh, dan aku terlonjak, hampir kehilangan keseimbangan. Debu tebal memenuhi udara, membuatku terbatuk. Sebelum aku sempat bereaksi lebih jauh, Komandan Min sudah menarikku ke pelukannya, melindungi tubuhku dari reruntuhan kecil yang jatuh.
Untuk beberapa saat, aku hanya bisa mendengar detak jantungku sendiri—cepat dan kacau. Dekapannya kokoh, yang sialannya terasa sedikit nyaman. Bau rempah itu kini tercium kembali—kayu manis, menguar lembut seperti rahasia kecil dari dirinya.
"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu, suaranya kini sedikit lebih lembut. Hanya sedikit, tapi cukup untuk membuyarkan otakku yang terus melenceng pada pikiran-pikiran aneh.
Reaksiku tentu saja bertentangan dengan otak anehku. Aku mendorongnya kuat. "Menjauh dariku, kau menyentuhku tanpa izin!"
Dia terkekeh, tapi kali ini tawa itu terasa lebih hangat, hampir seperti melucuti. "Kalau begitu, jangan buat dirimu perlu kutolong lagi, Nona Lee."
***
Aku tidak tahu berapa lama kami berjalan. Rasanya, kami sudah jauh menembus dasar bumi. Langkahku berat, napasku tersengal-sengal, tapi aku menolak menyerah. Terlalu gengsi untuk meminta pria itu berhenti meski paru-paruku seolah terbakar. Aku hanya bisa menggigit bibir, memaksa diriku tetap bertahan.
Akhirnya, ketika dadaku terasa seperti akan meledak, kami tiba di depan sebuah pintu besi besar. Komandan Min membukanya tanpa ragu, dan suasana di balik pintu itu langsung berbeda. Lorong panjang yang diterangi bohlam redup terlihat lebih bersih dan rapi, meski tetap sederhana. Beberapa orang berjaga di ujung lorong, memandangku dengan waspada.
"Komandan Min, apa yang terjadi?" tanya seorang pria bertubuh gempal, suaranya berat dan penuh ketegangan.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan panjang lebar," jawab Komandan Min dingin. Tangannya masih mencengkeram lenganku, seolah takut aku melarikan diri. "Siapa petugas medis yang bertugas di sini?"
"Eunbi," jawab pria lain.
"Ah, rupanya dia sudah bergerak kemari lebih cepat, bagus sekali."
"Kami sudah mengumpulkan semua orang di aula, sesuai perintah."
Komandan Min mengangguk, matanya menyiratkan kepuasan. Tapi sebelum dia sempat melangkah lagi, suara kecil yang nyaring memecah ketegangan.
"Komandan Min!"
Kami berdua menoleh, dan kulihat seorang anak laki-laki berlari ke arah kami. Tubuhnya kurus, pakaiannya kebesaran, tapi wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tak tergoyahkan. Senyumnya lebar, seolah dunia yang suram ini tidak pernah menyentuhnya.
"Jihoon," gumam Komandan Min, suaranya berubah. Lembut, hampir hangat. Dia berjongkok, merentangkan tangannya untuk menyambut anak itu. Jihoon memeluknya erat, menenggelamkan wajahnya di bahu pria itu.
"Apakah kau baik-baik saja, Komandan? Mereka tidak jahat padamu, kan?" tanya Jihoon polos, suaranya bergetar meski senyumnya tetap menghiasi wajahnya.
Komandan Min mengusap kepala anak itu. "Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu? Teman-temanmu?"
"Kami semua baik, tapi kami merindukanmu! Kau lama sekali," rengeknya, menciptakan kontras yang mencengangkan dengan sosok dingin di hadapanku tadi.
"Aku harus bekerja, Jihoon," jawabnya sabar, sambil berdiri. "Kau melihat Eunbi Noona?"
Jihoon mengangguk cepat. "Ayo, aku tunjukkan!"
Kami mengikuti langkah kecil Jihoon, memasuki ruangan yang lebih luas. Di kejauhan, sekumpulan anak-anak lain tampak mengintip dari sudut ruangan, sebelum melambai riang kepada Komandan Min dan menghilang. Aku berdiri terpaku, merasa seperti terseret ke dunia yang tak kumengerti.
"Kau tidak perlu memasang wajah seperti itu," ucapnya tiba-tiba, tanpa menoleh.
"Seperti apa?" Aku berusaha terdengar netral.
"Seolah kau melihat sesuatu yang tak mungkin terjadi."
"Itu justru masalahnya," balasku lirih. "Kau... tidak terlihat seperti seseorang yang peduli pada anak-anak."
Dia berhenti, berbalik menatapku. Untuk pertama kalinya, matanya tidak sedingin es. Ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang tak bisa kugambarkan. "Kalau begitu, mungkin kau tidak mengenalku sebaik yang kau pikir."
Aku kehilangan kata-kata. Siapa sebenarnya pria ini? Sosok yang mampu menyeimbangkan kekejaman dengan kelembutan seperti ini terasa mustahil, namun nyata di hadapanku.
Ketika kami tiba di aula, suasana berubah lagi. Ruangan itu hangat, penuh kehidupan. Anak-anak, wanita, dan orang tua duduk di meja panjang, bercakap dengan suara lembut. Dinding yang dicat putih dan lampu terang memberi kesan lebih manusiawi dibandingkan lorong gelap sebelumnya.
Seorang wanita tua mendekati kami, membawa mangkuk kayu berisi sup. "Komandan, kau kembali. Sudah makan?"
Komandan Min menggeleng pelan. "Ini tidak perlu, Bu Jung. Berikan pada yang lain."
"Tentu saja perlu. Kau harus makan agar tetap kuat, aku menyimpannya untukmu," jawab wanita itu tegas.
Dengan anggukan kecil, dia menyerah, menyeruput sup itu perlahan. Wajahnya yang tadi keras kini tampak lebih tenang. Pemandangan ini mengguncangku. Komandan Min, yang menarikku tanpa ampun, sekarang menjadi pusat dunia kecil ini. Semua orang memandangnya dengan hormat, bahkan cinta.
"Apa kau selalu seperti ini?" tanyaku tiba-tiba.
"Seperti apa?"
"Menjadi... dua orang yang berbeda."
Tatapannya berubah, seperti ombak yang menghantam karang sebelum surut kembali. Dia menunduk, memandangi mangkuk di tangannya. "Ketika kau memimpin mereka yang tidak punya apa-apa, kau belajar menjadi apa pun yang mereka butuhkan. Pemimpin, teman, pelindung. Tapi jangan salah paham, Nona Lee. Aku tetaplah musuhmu."
Kata-katanya menusuk. Aku tahu seharusnya aku membencinya lebih dalam, tapi rasa penasaran yang aneh justru semakin mengikatku.
"Bawa Nona Lee ke ruang medis, periksa dan pastikan dia tidak berkeliaran tanpa pengawasan," perintahnya kepada seorang wanita bernama Eunbi yang baru saja menghampiri pria itu dengan wajah berseri.
Tentu saja aku tau wanita ini, si wanita dingin tak berperasaan yang menemparku tempo hari. Aku langsung tidak menyukai wanita itu, terlebih saat cengkeraman tangannya kali ini terasa semakin kasar saja.
Aku membuka mulut untuk membantah, tapi tatapan tajam Komandan Min membungkamku. Tanpa kata, aku mengikuti langkah Eunbi, masih menyimpan ribuan pertanyaan tentang pria yang mengaku musuhku, tapi terlihat seperti pahlawan di mata semua orang di sini.
.
.
.
Kamu penasaran juga ga sih sama Komandan Min ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro