22
Ini adalah tabungan part-ku yang terakhir hehe...jadi masih bisa upload...izin rehat dulu after this ya. boleh vote dan komen jika berkenan
.
.
.
Setelah perang ciuman itu, kami tak lagi beradu argumen. Aku memilih berdiam diri di sudut, menjauh dari cahaya alat penerangan yang Komandan Min letakkan di tengah. Dia juga tak lagi bersuara, hanya duduk bersandar di dinding gua dengan ekspresi sulit diterka.
Keheningan ini terasa aneh. Biasanya, dia akan melontarkan komentar jahil atau setidaknya mendesah kesal. Tapi kali ini, dia hanya diam, sesekali memutar alat komunikasinya dengan ujung jari.
Aku menatapnya dari balik bayangan. Mata Komandan Min sedikit menyipit, entah karena lelah atau sedang berpikir keras. Rahangnya mengatup, dan untuk pertama kalinya sejak kami terjebak, dia terlihat sedikit... frustrasi.
Aku mengalihkan pandangan, mencoba tidur meski sia-sia. Tubuhku mulai terasa kaku setelah terlalu lama duduk di lantai. Tapi sebelum aku sempat mengubah posisi, suara 'bip' kecil terdengar.
Komandan Min langsung menegakkan tubuhnya, tapi aku menangkap sesuatu yang aneh—gerakan kecil tangannya yang sempat berhenti di dekat bibirnya, seolah mengingat sesuatu. Tatapan kami bertemu sepersekian detik sebelum dia buru-buru fokus pada alat komunikasinya."
"Komandan? Komandan, apakah kau mendengar?"
Aku langsung menoleh. Itu suara Letnan Jeon.
Mata Komandan Min membulat sesaat, lalu dengan sigap dia mendekatkan bibirnya ke alat itu dan menjawab, "Aku di sini."
Suara dari seberang terdengar sedikit terputus-putus, tapi masih cukup jelas. "Syukurlah. Kami sudah mendeteksi lokasimu, tapi butuh waktu untuk mencapai tempatmu. Apa kondisi kalian baik-baik saja?"
Komandan Min melirikku sekilas sebelum menjawab, "Ya. Kami bertahan."
Aku merasakan dada sedikit lega. Kami akan keluar dari sini. Akhirnya.
"Berapa lama?" tanyanya, suaranya kembali tenang seperti biasa, meski aku menangkap sedikit ketidaksabaran di sana.
"Tergantung medan, bagian yang hancur cukup besar dan aku harus mencari alat agar prosesnya cepat," jawab Jeon. "Mungkin... enam jam."
"Oke, aku tunggu," jawab Komandan Min.
Aku mengerjapkan mata. Enam jam?
Komandan Min tampak menghela napas pelan, lalu menoleh ke arahku. Tatapannya bertemu dengan mataku yang jelas-jelas menunjukkan keputusasaan. Aku sudah bertahan sejauh ini, menahan diri sebaik mungkin, tapi sekarang aku harus bertahan enam jam lagi?
Aku menggigit bibir, tubuhku sedikit bergeser tanpa sadar. Aku bisa merasakan matanya memperhatikanku, menyadari kegelisahan yang aku coba sembunyikan.
"Setidaknya aku tidak lagi tersiksa oleh bau pesing setelah enam jam ke depan," ucapnya tiba-tiba.
Aku langsung menoleh tajam. "Apa maksudmu?"
Dia menatapku malas. "Kau pikir aku tidak dengar suara gemericik tadi? Baunya membuatku bertanya-tanya, kau minum apa sebelumnya?"
Darahku langsung naik ke kepala. "KAU MENDENGARKAN?!"
Dia hanya mengangkat bahu santai, sama sekali tidak merasa bersalah.
"Aku pastikan tadi meminum dari botol yang sama denganmu, mungkin itu yang membuat urinku berbau."
Aku ingin menenggelamkan diriku ke dalam tanah. Rasanya ingin berteriak, tapi aku tahu itu sia-sia. Jadi, sebagai gantinya, aku menyilangkan tangan di dada dan menatapnya tajam.
"Lalu kau sendiri bagaimana? Jangan bilang kau tidak perlu buang air kecil. Kau ini robot atau bagaimana?"
Komandan Min menoleh sekilas sebelum kembali bersandar di dinding gua. "Ada banyak cara."
Aku menyipitkan mata, curiga. "Maksudmu?"
Tanpa menjawab, dia mengangkat botol kosong yang tadi kulihat. Kali ini, ada isinya.
Aku menatapnya dengan horor. "Tunggu... kau—"
Dia mengangkat alis seolah heran kenapa aku kaget. "Ini lebih praktis."
Mulutku menganga. "KAU GILA?!"
Dia menatapku santai. "Apa?"
Aku menunjuk botol itu dengan ekspresi jijik. "KAU BUANG AIR KECIL DI SANA?!"
Dia mengangkat bahu. "Lalu kau pikir aku harus bagaimana? Setidaknya itu tidak membuat tempat ini bau."
Aku merasa otakku baru saja mengalami error. "Kau... kau buang air di situ?! Di sini?! Saat aku ada di sini?!"
Dia terkekeh, jelas menikmati reaksiku. "Bukan aku yang buang air sambil mengancam seseorang untuk tidak menoleh."
Aku merasakan panas menjalar ke seluruh wajahku. "Astaga, aku menyesal bertanya! Kenapa aku harus tahu hal menjijikkan ini?!"
Dia menyeringai kecil. "Aku juga menyesal mendengar gemericik tadi, jadi kita impas."
Aku mengerang frustrasi dan membenamkan wajah di lutut. "Aku benci tempat ini."
Dia tertawa kecil, seolah puas dengan reaksiku. "Bersabarlah, enam jam lagi kau bisa buang air kecil di tempat yang lebih layak."
Aku mendongak dan menatapnya tajam. "KAU PIKIR ITU MASIH MASALAHNYA?!"
Dan saat itu, aku kembali melihatnya tertawa. Bukan tawa remeh seperti biasanya, tapi tawa kecil yang tulus, nyaris hangat dan ... sangat manis ....
Aku tertegun sesaat, lalu langsung membuang muka. Astaga, otakku benar-benar kacau. Kenapa aku malah memikirkan ciuman tadi?!
SADARLAH, LEE KYON!
***
Setelah beberapa waktu dalam diam, aku akhirnya menyerah. Keheningan ini terlalu mencolok. Aku menggeliat sedikit, mencoba mencari posisi yang lebih nyaman.
"Apa makanan yang paling kau rindukan sekarang?" tanyaku tiba-tiba, lebih untuk mengisi kekosongan.
Komandan Min menoleh sedikit, alisnya terangkat tipis. "Kenapa kau bertanya?"
Aku mengangkat bahu. "Hanya ingin bicara tentang sesuatu yang lebih normal. Ayolah, jangan jadi manusia yang membosankan. Anggap saja ini saat-saat terakhir kita terjebak di sini." Aku menatapnya sejenak sebelum menambahkan,
"Dulu, aku selalu berpikir kalian itu monster. Setiap kali melihat kalian di layar berita atau mendengar nama Pemberontak Libera disebut, aku membayangkan sosok tanpa hati yang hanya tahu cara menghancurkan."
Mata Komandan Min sedikit menyipit, ekspresinya tak terbaca. "Dan sekarang?"
Aku menghela napas pelan, menatapnya sekilas sebelum kembali menatap kegelapan di depan. "Sekarang aku tahu... kau masih manusia. Masih bisa merasa lelah, frustrasi, bahkan tertawa. Tapi tetap saja, kau lebih menyebalkan dari yang kubayangkan."
Sejenak, aku bisa melihat sudut bibirnya sedikit terangkat—hampir seperti senyuman, tapi lebih seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu.
"Kue kayu manis buatan ibuku, itulah makanan yang aku rindukan."
Aku menoleh, terkejut. Dari semua kemungkinan, aku tidak menyangka jawabannya sesederhana itu.
"Ibuku selalu membuatnya saat musim dingin, dan saat ulang tahunku," lanjutnya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. Seolah untuk sesaat, perang dan kehancuran di luar sana tidak ada.
Aku memperhatikan cara sudut bibirnya sedikit melunak, tapi hanya sesaat sebelum ekspresi itu kembali menghilang. Seperti seseorang yang sadar dirinya terlalu terbuka."
"Kedengarannya... nyaman," gumamku akhirnya.
Dia tidak menanggapi, hanya memutar botol air di tangannya. Seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Kalau aku ingin jus stroberi," kataku akhirnya.
Dia melirikku. "Hanya itu?"
Aku mengangguk. "Aku suka sesuatu yang segar. Jus stroberi dengan es. Rasanya seperti bisa menghapus semua kepenatan."
Dia mendengus kecil, tapi tidak mengejek. "Sederhana sekali."
Aku mengangkat bahu. "Terkadang, hal sederhana justru yang paling menenangkan." Aku tersenyum kecil. "Jadi itu alasan kau selalu wangi kayu manis?"
Komandan Min yang sedang menuangkan air berhenti sejenak. Ia mengangkat alis, menatapku dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Kau mengendusku?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar, tapi ada ketertarikan samar di dalamnya.
Aku berkedip, menyadari bahwa ucapannya baru saja mengundang perhatian yang tidak seharusnya. Namun, aku menegakkan bahu, menolak terlihat canggung. "Aroma itu terlalu khas untuk tidak disadari, bahkan saat ... saat kita berciuman bau kayu manismu menempel" balasku, seolah itu adalah fakta sederhana yang tidak perlu diperdebatkan.
Komandan Min yang semula tampak tenang mendadak menghentikan gerakan tangannya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup bagi mataku untuk menangkapnya.
Ia menatapku, ekspresinya tetap datar, tapi ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya—seperti seseorang yang baru saja mengingat sesuatu yang tidak ingin diakuinya.
"Hm." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Tapi aku tidak melewatkan cara ujung jarinya perlahan mengetuk lututnya, seolah ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Suara statis dari alat komunikasi kembali terdengar, lalu suara Letnan Jeon menyela. "Komandan, dengarkan baik-baik. Kami menemukan jalur masuk, tapi ada kemungkinan struktur terowongan tidak stabil. Kami perlu memastikan tidak ada reruntuhan tambahan sebelum mengevakuasi kalian."
Komandan Min mengangguk pelan, meski dia tahu Letnan Jeon tak bisa melihatnya. "Seberapa parah kondisinya?"
"Salah satu lorong utama runtuh total akibat ledakan. Kami bisa melewatinya, tapi harus hati-hati. Jika salah langkah, bisa terjadi runtuhan susulan."
Aku menggigit bibir, mataku melirik Komandan Min yang masih tampak tenang. Seolah terperangkap di dalam reruntuhan ini bukan masalah besar baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu.
Jemarinya sedikit mengetuk lutut, gerakan kecil yang hampir tak terlihat. Napasnya terdengar sedikit lebih panjang dari biasanya. Itu pertanda. Dia sedang menghitung, merancang rencana, mencari solusi.
Sebuah suara gemuruh kecil terdengar dari kejauhan, membuat jantungku mencelos. Aku menahan napas.
"Komandan, kondisi lorong semakin tidak stabil. Jika kami bergerak terlalu cepat, bisa terjadi runtuhan tambahan." Suara Letnan Jeon terdengar dari alat komunikasi.
Komandan Min menutup matanya sejenak, sebelum akhirnya membuka kembali. Tatapannya tajam, penuh perhitungan. "Tidak ada pilihan lain. Kau tahu itu, Jeon."
Suara dari seberang terdiam beberapa detik.
"...Baik, Komandan."
"Berapa lama?" tanyanya dengan nada lebih mendesak.
"Kami butuh sekitar tiga puluh menit untuk membuka akses. Bertahanlah."
Saat Jeon mengakhiri komunikasi, keheningan kembali menguasai gua kecil tempat kami terjebak. Aku menarik napas panjang, mencoba mengabaikan ketegangan yang mulai merayapi tubuhku.
Tapi tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanah di bawahku bergetar, dan sebelum aku sempat bereaksi, dinding gua kembali bergemuruh keras.
"SIAL!" Komandan Min langsung meraih lenganku, menarikku mendekat padanya saat serpihan batu mulai berjatuhan. Aku tersentak ketika dia menahanku di bawah tubuhnya, melindungiku dari pecahan batu yang jatuh dari atas.
"Jangan bergerak!" bisiknya tajam di telingaku.
Aku menahan napas, tubuhku membeku di bawah lindungan lengannya. Debu memenuhi udara, membuatku terbatuk kecil. Detik berikutnya, suara Letnan Jeon kembali terdengar dari alat komunikasi.
"Komandan! Ada reruntuhan susulan! Apa kalian baik-baik saja?!"
Komandan Min meraih alat komunikasi dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih menahan tubuhku. "Kami masih hidup. Cepatlah!"
Aku berusaha menyingkir dari pelukannya, tapi dia justru menekan bahuku, menahanku tetap di tempat. "Jangan banyak bergerak, kau mau membuat reruntuhan lain?" gumamnya.
Aku menelan ludah, diam-diam menyadari betapa dekat wajah kami sekarang. Napasku tertahan saat menyadari betapa serius dan fokusnya dia dalam situasi ini.
Beberapa menit berlalu dalam ketegangan. Aku bisa mendengar suara langkah kaki dari kejauhan, suara batu-batu yang digeser. Lalu, tiba-tiba—
"Komandan! Nona Lee! Jawab kalau kalian mendengar suara ini!"
Aku langsung berteriak. "Letnan Jeon! Kami di sini!"
Cahaya dari senter menyusup melalui celah di antara reruntuhan, menyorot wajah kami yang masih dalam posisi tidak ideal ini—aku masih tertahan di bawah tubuh Komandan Min.
"Kami akan segera menarik kalian keluar! Tahan sebentar!"
Suara Letnan Jeon menggema di antara reruntuhan, membawa seberkas harapan di tengah kepungan debu dan kelelahan. Aku nyaris merasa lega. Nyaris.
Tapi sebelum aku bisa menghirup udara dengan tenang, sepasang mata itu menghentikanku.
Tatapan Komandan Min menembus ruang di antara kami, seolah mengunci langkahku sebelum sempat melangkah pergi. Itu bukan sekadar tatapan biasa—ada sesuatu yang lebih dalam di sana. Sesuatu yang menelanjangiku, menelusuri setiap denyut gelisah yang coba kusembunyikan di balik ekspresi datar.
Lalu, dengan suara rendah nyaris berbisik, dia berkata, "Nona Lee, apa yang terjadi di antara kita di sini tetap berada di sini."
Kata-katanya seharusnya ringan, sekadar peringatan singkat. Tapi ada beban tak kasatmata yang terselip di antaranya—sesuatu yang bergetar samar, seolah dia sendiri tak yakin apakah ini perintah atau justru pengingat bagi dirinya sendiri.
Aku mendongak.
Tatapannya masih sama—tajam, menusuk, seakan enggan membiarkanku pergi tanpa meninggalkan sesuatu di antara kami. Tapi kini, ada sesuatu yang berbeda.
Dan sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, tubuhku sudah bergerak lebih dekat.
Jarak di antara kami hampir tak bersisa. Aku bisa merasakan hangat napasnya saat aku sedikit mendongak. Ini gila. Ini tak masuk akal. Tapi detik itu, dunia terasa menyempit hanya untuk kami berdua.
Hanya satu inci lagi.
Tapi di saat bibirku hampir menyentuhnya, kesadaran menghantamku dengan kasar.
Aku mundur seketika, seolah terbakar.
Sorot matanya tetap dingin, tetap tajam. Tapi ada sesuatu yang tertinggal di sana—sesuatu yang tak bisa kudefinisikan, bahkan saat aku melangkah lebih jauh, mencoba menciptakan jarak yang seharusnya sejak awal ada.
Aku menelan ludah. Lalu, dengan suara pelan, aku mengangguk. "Tentu saja."
Tanpa perlawanan, aku membiarkan Letnan Jeon menarikku ke samping, menjauh dari reruntuhan dan... darinya.
Namun ada sesuatu yang tertinggal.
Bukan sekadar sentuhan yang nyaris terjadi.
Tapi perasaan menyesakkan di dadaku—sesuatu yang enggan kuakui keberadaannya. Sesuatu yang terasa salah... tapi tak bisa kutolak.
.
.
.
Nano-nano gak rasanya?
Cek IG Story aku ya ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro