21
Ekhem just in case ada yang nanya ... Jadi kisah Kyon dan Komandan terjebak ini aku bikin beberapa part bukan berarti dihitung satu part 1 hari ya, aku sengaja bikin beberapa part biar mereka banyak intimate scene.
Adegan ini kan yang kalian inginkan??? AYO NGAKUUUU
.
.
.
Aku seharusnya mendorongnya. Aku seharusnya benar-benar mendorongnya.
Tapi yang kulakukan justru berlawanan.
Tanganku mencengkeram bajunya, menariknya lebih dekat seolah aku tak mau kalah dalam permainan ini. Jika dia pikir dia bisa mendominasi, dia jelas salah besar. Aku tidak akan membiarkannya menang begitu saja.
Ciuman kami tadi lebih mirip medan perang daripada adegan romansa. Tidak ada kelembutan, tidak ada bisikan manis—hanya api yang saling membakar, hanya dua orang keras kepala yang enggan menyerah.
Aku merasakan helaan napasnya di antara bibirku, lalu ia menarik diri sedikit, menatapku dengan tatapan yang entah kenapa membuat dadaku terasa sesak.
"Jadi," katanya dengan suara serak, "kau memang mencoba membuatku jatuh cinta?"
Aku terkesiap, napas masih sedikit tersengal. "Jangan bodoh, ciuman ini bukan apa-apa," geramku.
Dia hanya tertawa rendah, dan demi apa pun, suara itu lebih berbahaya daripada yang seharusnya. "Sayangnya, itu mungkin sudah terlambat."
Jantungku berdebar keras. Aku tidak tahu apakah itu karena kemarahan, keterkejutan, atau—sial, aku tidak ingin tahu.
Aku memukul dadanya—tidak keras, tapi cukup untuk menyalurkan kekesalanku. Mataku masih menantangnya, meski aku bisa merasakan panas menjalar di wajahku. Sial. Aku tidak boleh terlihat goyah.
Dia tidak menurut. "Kenapa? Takut mengakuinya?"
Aku mendesis, lalu dengan satu tarikan napas, aku menatapnya tajam dan berkata, "Kau bukan siapa-siapa, Komandan Min. Jangan terlalu percaya diri."
Alih-alih tersinggung, dia malah menyeringai, ekspresinya seakan mengatakan bahwa aku baru saja memberikan tantangan baru untuknya.
"Baiklah," gumamnya, suaranya nyaris seperti bisikan. "Kita lihat nanti."
Dan, sialnya, aku tahu aku baru saja membuat semuanya jauh lebih rumit daripada sebelumnya.
Aku mengerjapkan mata, mencoba meredam gejolak dalam dadaku. Aku seharusnya marah. Seharusnya menghentikan semua ini. Seharusnya tidak membiarkan dia bersikap seolah dia sudah memenangkan sesuatu.
Tapi aku juga bukan tipe yang mundur begitu saja.
Aku melipat tangan di dada, mencoba memasang ekspresi setenang mungkin meskipun tubuhku masih terasa panas akibat ciuman barusan. "Kau terlalu banyak bicara, Komandan Min."
Dia menyeringai, dan aku benci bahwa itu membuat perutku bergejolak dengan cara yang tidak kumengerti. "Dan kau terlalu banyak menyangkal, Nona Lee."
Mataku menyipit. "Apa kau pikir aku akan langsung terjatuh di pelukanmu hanya karena sebuah ciuman?" Aku mendengus sinis. "Maaf mengecewakanmu, tapi aku tidak mudah terpengaruh oleh permainan murahan semacam ini."
"Apa kau yakin itu permainan?" Dia memiringkan kepalanya, seolah benar-benar menikmati pertarungan verbal ini.
Aku menegakkan punggungku. "Kalau bukan, lalu apa?"
Dia tidak langsung menjawab. Alih-alih, dia kembali mendekatkan wajahnya—terlalu dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, bisa mencium aroma samar dari pakaiannya yang kini bercampur dengan napasku sendiri. "Mungkin aku hanya ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan tanpa akhirnya mengakui sesuatu yang sudah jelas."
Aku menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk tidak mundur. Aku tidak akan kalah.
Jadi, aku menegakkan daguku dan menatapnya tajam. "Kau terlalu percaya diri, Komandan."
Dia tersenyum kecil. "Dan kau terlalu keras kepala, Nona Lee."
Detik berikutnya, aku menarik bajunya sekali lagi dan kami kembali berciuman.
Kali ini, aku yang mendominasi. Jika dia mengira dia satu-satunya yang bisa bermain dalam ketegangan ini, maka dia salah besar. Aku menuangkan semua rasa frustrasi, kebingungan, dan kemarahanku ke dalam ciuman itu—bukan sekadar kelembutan atau kasih sayang, tapi perang.
Aku bisa merasakan bagaimana napasnya tercekat sesaat sebelum dia membalas dengan intensitas yang sama. Tangannya mencengkeram pinggangku, menarikku lebih dekat seolah menantangku untuk melanjutkan.
Aku tahu ini gila. Aku tahu ini berbahaya. Tapi, di saat yang sama, aku tidak peduli.
Ketika aku akhirnya menarik diri, napasku berat dan wajahku panas. Aku menatapnya—napasnya masih sedikit terputus, ekspresinya sedikit berubah, entah karena terkejut atau terganggu. Aku bisa merasakan denyut di dadaku sendiri, tapi aku tidak akan mundur. Tidak kali ini. Aku menyeringai, menahan rasa puas yang mulai menjalar.
"Bagaimana rasanya kalah, Komandan?"
Dia mengerjapkan mata sebelum akhirnya tertawa—rendah dan dalam. "Kau benar-benar menarik, Nona Lee Kyon."
Aku mendengus. "Dan kau benar-benar menyebalkan."
Dia hanya tersenyum kecil, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuatku yakin—ini belum selesai.
"Jangan salah paham, Komandan. Sekali lagi aku pastikan ciuman ini bukan apa-apa."
Dia menatapku sejenak, lalu mengangkat alis, seolah menungguku melanjutkan.
Aku mendengus. "Jangan sampai kau berpikir aku melakukan itu karena aku menginginkanmu. Kau tidak perlu terbawa perasaan."
Dia terkekeh pelan, nada rendahnya terlalu santai, terlalu menantang. "Terbawa perasaan?" Dia mengulang kata-kataku seakan menikmatinya. "Lee Kyon, kau benar-benar menarik."
Aku menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
Alih-alih menjawab, dia mendekatkan lagi wajahnya, membuat tubuhku otomatis menegang.
"Kau bilang itu bukan apa-apa." Tatapannya menelusuri ekspresiku. "Tapi wajahmu masih panas, napasmu masih belum stabil."
Aku menggertakkan gigi, menolak untuk mundur.
Dia berbisik, "Kalau itu benar-benar bukan apa-apa, kenapa kau masih berdiri di sini?"
Sial. Aku tidak suka caranya membaca reaksi tubuhku.
Aku menarik napas panjang, menatapnya dengan sorot mata paling tajam yang bisa kuberikan. "Jangan terlalu percaya diri, Komandan. Aku bisa mencium siapa saja kalau aku mau."
Dia tersenyum kecil, seolah aku baru saja mengatakan sesuatu yang lucu. "Oh, tentu. Aku yakin kau bisa."
Tanganku mengepal. Kenapa dia selalu bisa membalikkan keadaan?
Aku menegakkan punggung, menatap matanya tanpa gentar. "Dengar baik-baik, Komandan. Aku tidak peduli padamu."
Sekilas, ada kilatan aneh di matanya, tapi itu lenyap begitu cepat hingga aku tidak yakin melihatnya. Senyum tipisnya masih bertahan, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di sana.
Dia mengangguk pelan. "Tentu, aku akan mengingatnya."
Kali ini dia yang menjauh dan aku pun kembali ke tempatku. Ciuman ini benar-benar mengacaukan pikiranku.
Aku tidak ingin memikirkannya. Tidak ingin mengingat bagaimana bibirnya terasa memunculkan riak-riak di tubuhku yang aku enggan mengakuitnya, bagaimana panas tubuhnya menyatu dengan milikku, bagaimana dia menatapku setelahnya.
Sial. Ini hanya sebuah ciuman agar aku tidak kalah. Tidak lebih.
Tapi...
Dadaku terasa sesak.
Ini ciuman pertamaku.
Dan sialnya ciuman kedua juga.
Jun tidak pernah menciumku. Tidak pernah sekalipun melanggar batas sopan santun yang seharusnya membuatku merasa dihargai. Semua interaksi kami selalu terukur, selalu penuh kesadaran bahwa kami adalah pasangan yang dipilihkan oleh negara, bukan karena cinta atau ketertarikan.
Seharusnya ciuman pertamaku adalah sesuatu yang lebih lembut, sesuatu yang lebih bermakna—bukan sesuatu yang meledak seperti perang, bukan sesuatu yang dipenuhi tantangan dan kesombongan seperti tadi.
Aku menggigit bibir, mencoba menekan perasaan aneh yang muncul di dadaku.
Kenapa aku merasa seolah-olah aku kehilangan sesuatu yang berharga?
Dan yang lebih buruk... kenapa aku merasa bersalah?
Jun mungkin tidak pernah menciumku, tapi dia selalu bersikap baik, selalu ada. Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya, tidak pernah terlalu peduli pada perasaan kami yang terasa hambar. Tapi sekarang, setelah semua ini, aku merasa seperti telah mengkhianatinya.
Aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahku di kegelapan gua ini. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan pria ini.
Tapi air mataku jatuh juga. Diam-diam, tanpa suara.
Maaf, Jun. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku meminta maaf. Untuk ciuman yang bukan apa-apa? Untuk sesuatu yang bahkan aku tidak inginkan sejak awal?
Atau...
Aku menarik napas panjang, menelan isakan yang hampir lolos. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan pikiranku mengembara lebih jauh. Ini bukan apa-apa. Aku hanya kelelahan. Terjebak di tempat ini terlalu lama. Itu saja.
Aku harus percaya itu.
Tapi saat aku mendongak, mataku bertemu dengan sepasang mata gelap yang menatapku dalam diam.
Komandan Min.
Aku tercekat. Sejak kapan dia berdiri di sana?
Aku buru-buru menghapus sisa air mata di pipiku, tapi sudah terlambat. Dia melihatnya. Aku bisa tahu dari cara matanya sedikit menyipit, seolah sedang menimbang sesuatu. Raut wajahnya berbeda dari biasanya—tidak ada ejekan, tidak ada sinisme yang biasa dia lemparkan padaku. Hanya... diam.
Aku tidak tahu harus berkata apa, dan dia pun tidak bicara.
Aku berharap dia mengabaikan ini, seperti biasanya dia mengabaikan banyak hal yang tidak penting. Tapi tatapannya bertahan terlalu lama, cukup lama hingga membuatku semakin gelisah.
Aku mengalihkan wajah, berpura-pura tidak peduli, meskipun aku bisa merasakan panas di tengkukku.
Dan saat itulah aku menyadari sesuatu yang lebih buruk.
Sejak pertama kali kami terjebak, kekhawatiran ini sudah menghantuiku. Aku mencoba mengabaikannya, berusaha meyakinkan diri bahwa aku akan segera keluar, bahwa bantuan akan datang. Tapi semakin waktu berlalu, semakin nyata ketakutanku.
Aku sudah mengatur semuanya sejak awal—makan lebih sedikit, minum seteguk saja jika benar-benar perlu. Aku pikir itu cukup untuk menghindari hal memalukan yang tidak ingin kubayangkan. Namun, setelah dua atau tiga hari, tubuhku akhirnya menyerah.
Keinginan itu datang pelan, seperti gelombang kecil yang perlahan menyapu ketenanganku. Aku masih bisa mengendalikannya, masih bisa berpura-pura baik-baik saja. Tapi seiring waktu, gelombang itu berubah menjadi badai yang tak tertahankan.
Aku menggigit bibir, berusaha mengalihkan pikiran dari desakan ini. Tetapi semakin aku mencoba menahannya, semakin tubuhku memberontak. Aku menekan kedua paha dengan tangan, napasku mulai berat, dan aku tahu aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Komandan Min duduk bersandar di dinding gua yang gelap ini, matanya sesekali melirik ke arahku. Aku tidak tahu apakah dia menyadari kegelisahanku atau tidak. Tapi di sela-sela tatapan tajamnya, ada sekilas sesuatu yang berbeda.
Aku ingin berkata sesuatu—entah itu meminta solusi atau sekadar mengalihkan pikirannya dariku. Namun, harga diri menahanku. Aku hanya bisa berharap keajaiban terjadi sebelum rasa malu benar-benar menghancurkanku.
Komandan Min mengamati dalam diam. Tatapannya tidak setajam biasanya—ada sesuatu di sana, seolah dia menyadari kegelisahanku tapi memilih untuk tidak berkomentar. Namun, aku bisa melihat sudut bibirnya bergerak sedikit, seperti menahan sesuatu.
Aku berpura-pura tidak peduli, mengalihkan wajahku ke arah dinding gua yang lembap. Tapi tubuhku sendiri mulai memberontak. Kakiku bergerak gelisah, jari-jariku mencengkeram pakaian dengan erat.
"Kenapa kau begitu resah?" Suaranya terdengar malas, tapi aku bisa menangkap nada menggoda di sana.
Aku menghela napas, mencoba menahan ekspresi panik. "Bukan urusanmu," sahutku cepat, mungkin terlalu cepat.
Dia menaikkan sebelah alisnya. "Oh? Tapi wajahmu berkata lain."
Aku menutup mata, berharap dia berhenti memperhatikanku. Tapi tentu saja, harapan itu terlalu tinggi.
"Jangan bilang..." Nada suaranya berubah, kini terdengar penuh dengan hiburan. "Nona Lee, apa kau—"
"Diam." Aku memotongnya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan ancaman. Wajahku memanas, seluruh tubuhku menegang.
Komandan Min terkekeh pelan. "Jadi benar."
Aku meremas kain bajuku semakin erat. Ini memalukan. Ini lebih buruk dari mimpi buruk.
Dia mendekat, bersandar ke arahku seolah menikmati setiap detik ini. "Kalau kau mau, aku bisa menutup mata dan pura-pura tidak tahu," katanya ringan. "Atau... aku bisa membantumu?"
Kepalaku langsung menoleh, menatapnya tajam. "Jangan bercanda!"
Tapi dia justru semakin tersenyum, ekspresinya seperti kucing yang baru saja menemukan tikus kecil untuk dipermainkan. "Siapa yang bercanda?" katanya, bahunya terangkat santai. "Aku hanya menawarkan bantuan."
Aku benar-benar ingin meninju wajahnya sekarang. Namun lebih dari itu, aku ingin lubang di tanah terbuka dan menelanku hidup-hidup.
"BALIKKAN BADANMU SEKARANG DAN JANGAN COBA-COBA MENGINTIP."
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro