Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19

9 feb jam 22.22

Ada yang masih melek?
.
.
.

Sepertinya aku ketiduran. Entah sejak kapan, tubuhku sudah berbaring di atas alas yang disiapkan oleh Komandan Min. Tanpa banyak berpikir, aku menurut begitu saja saat dia menyuruhku tidur, dan tanpa kusadari, lelah menyeretku ke dalam mimpi yang begitu dalam. Aku tak ingat kapan dia melepas kemejanya dan menyelimutiku.

Perlakuan yang cukup manis untuk seseorang sepertinya. Sesaat, aku mengalihkan pandanganku ke arahnya. Tidak jauh dariku, dia duduk bersandar pada dinding gua dengan posisi yang terlihat kurang nyaman. Hanya mengenakan kaos putih, sementara tangannya yang masih terbalut perban dibiarkan terkulai di pangkuannya. Luka itu—luka yang kemarin aku obati.

Matanya terpejam, napasnya teratur, tetapi aku ragu dia benar-benar tidur. Ada sesuatu dari cara dia duduk, dari bahunya yang tetap menegang, yang membuatku yakin bahwa kewaspadaannya tidak pernah benar-benar padam. Aku diam-diam menghela napas, menatap kemejanya yang membungkus tubuhku. Hangatnya masih tersisa di sana.

Aku berusaha bangkit tanpa menimbulkan suara. Kemeja itu masih menyelimuti tubuhku, menghangatkan kulitku dengan sisa suhu tubuhnya. Tapi Aku tidak suka berhutang budi, sudah kukatakan sebelumnya.

Dengan hati-hati, aku meraih kemejanya, berniat mengembalikannya. Aku bergerak pelan, memastikan setiap gerakan tidak mengganggu keheningan yang menyelimuti gua ini. Saat jarakku dengannya semakin dekat, aku membentangkan kemeja itu, hendak menyelimutinya. Namun, sebelum aku sempat melakukannya, sesuatu menghentikan gerakanku.

Cengkeraman kuat melingkari pergelangan tanganku dalam sekejap, membuat tubuhku menegang. Kulitnya terasa sedikit kasar di bawah jemariku, menciptakan sensasi hangat yang kontras dengan udara dingin di sekitar kami.

"Hati-hati dengan pergerakanmu, Nona Lee," suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan. Tatapannya tajam meski matanya masih setengah terpejam. "Apalagi bergerak terlalu dekat seperti ini."

Aku menelan ludah, baru menyadari betapa dekatnya wajah kami. Hanya beberapa inci yang memisahkan kami—aku bisa melihat jelas garis tajam rahangnya, napasnya yang teratur, dan sorot matanya yang tajam menembus langsung ke dalamku.

Jantungku berdebar tak karuan. Aku tidak tahu apakah ini karena keterkejutan... atau ada alasan lain yang lebih sulit kuakui.

"A-Aku..." Suaraku nyaris tidak keluar, tercekat di tenggorokan. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya tetap kokoh, membuatku semakin canggung. "A-Aku hanya... hanya mau..."

Alisku berkerut frustrasi. Kenapa aku malah gagap seperti ini?

Komandan Min masih menatapku, satu sudut bibirnya terangkat samar—nyaris seperti mengejek. "Kau cuma mau apa?" tanyanya, nada suaranya terdengar ringan, tetapi aku bisa merasakan permainan halus dalam nada itu.

Aku mengerjap cepat, berusaha menguasai diri. "Hanya... mau mengembalikan pakaianmu," jawabku akhirnya, meski suaraku masih terdengar sedikit goyah.

Dia tidak segera merespons, hanya menatapku dalam diam, seolah menimbang sesuatu. Keheningan itu membuat dadaku semakin sesak. Aku benar-benar bisa mendengar detak jantungku sendiri.

Aku menarik napas dalam, mencoba mengendalikan debaran jantungku yang masih berantakan. Wajahku masih terasa panas. Sial, kenapa aku bereaksi seperti ini hanya karena dia terlalu dekat?

Tiba-tiba, seolah naluriku menolak perasaan aneh yang mulai merayap, aku menggenggam erat kemeja itu dan dengan gerakan cepat, melemparkannya kembali padanya.

"Yak! Aku tak suka berhutang budi padamu."

Lemparanku kasar, tapi dia hanya menoleh sekilas sebelum menangkapnya dengan mudah. Wajahnya tetap datar, nyaris tak terganggu, sementara aku buru-buru kembali ke tempatku, membelakanginya.

"Tidak perlu sok perhatian seperti itu," lanjutku, suaraku terdengar lebih tajam dari yang kubayangkan. Aku memeluk lututku, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang bergejolak di dalam dada. "Aku tidak akan jatuh cinta pada orang sepertimu, hanya karena perhatian kecil seperti itu."

Begitu kalimat itu meluncur dari bibirku, aku langsung menyesalinya. Kenapa aku membicarakan cinta di saat seperti ini? Seolah aku benar-benar ingin menyangkal sesuatu yang bahkan belum terjadi.

Dari belakangku, aku bisa merasakan tatapan Komandan Min tetap terarah padaku. Hening. Lalu, suara napasnya yang teratur terdengar di antara kesunyian gua.

"Lucu."

Satu kata itu terucap begitu datar, tapi entah kenapa terasa menusuk. Aku menoleh sedikit, cukup untuk melihatnya menyandarkan kepala ke dinding, kemejanya kini tergenggam longgar di tangannya.

"Apa?" tanyaku refleks.

Dia tidak menjawab. Tapi aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat samar, seolah sedang menahan tawa.

Aku menggigit bibir, menyadari sesuatu yang lebih menggangguku daripada tatapannya barusan.

Bibirku mengatup rapat. Aku benci melihat seringai kecil di wajahnya—karena aku tahu, dia menang.

Aku menghela napas, mencoba mengatur kembali ritme jantungku yang masih berantakan. Tapi saat aku pikir semuanya sudah selesai, suaranya kembali terdengar—pelan, tapi cukup jelas untuk membuatku merinding.

"Atau..." dia berhenti sejenak, seolah sengaja membiarkan jeda untuk menggantung di udara. "Kau justru takut akan benar-benar jatuh cinta padaku?"

Mataku membesar. Aku menoleh, antara syok dan geram. "Apa?!"

Dia menoleh sekilas, sudut bibirnya tertarik dalam seringai kecil yang menyebalkan. "Kenapa terkejut? Bukankah tadi kau sendiri yang membawa-bawa soal cinta?"

Aku ingin melempar sesuatu ke arahnya, tapi sialnya, tak ada apa pun di dekatku yang bisa kujadikan senjata.

"Kau...!" Aku menggigit bibir, berusaha menahan emosi.

"Hm?" Dia mengangkat alisnya, pura-pura polos.

Aku mengerang frustrasi, membuang muka, kali ini benar-benar membelakanginya.

"Menyebalkan," gumamku pelan, lebih pada diri sendiri.

Dia tertawa kecil, suara rendahnya terdengar jelas di antara keheningan gua. "Tenang saja, Nona Lee. Aku tidak tertarik pada gadis yang mudah panik hanya karena wajahnya didekati."

Darahku langsung naik ke wajah. Aku berbalik tajam. "Aku tidak panik!"

Dia hanya mendengus pelan sebelum akhirnya merebahkan diri, kembali ke posisinya semula. "Tentu saja."

Nada suaranya penuh kepuasan, seolah dia baru saja memenangkan sesuatu.

Aku menggertakkan gigi, menarik napas dalam, lalu membenamkan wajahku ke lutut.
Sial. Ini bahkan lebih buruk daripada kalah.

Namun, saat aku pikir semuanya sudah selesai, suaranya kembali terdengar—pelan, malas, tapi cukup jelas untuk menusuk langsung ke dalam kepalaku.

"Kalau kau tidak ingin jatuh cinta padaku, sebaiknya jangan menatapku terlalu lama."

Jantungku mencelos. Aku langsung mengangkat wajah, menatapnya dengan mata membelalak. Apa?!

Dia masih bersandar santai di dinding, mata setengah terpejam, seolah sudah bosan dengan percakapan ini. Tapi aku bisa melihatnya—seringaian kecil itu.

Sialan. Dia sengaja.

Aku ingin membalas, tapi aku tahu, kalau aku merespons sekarang, itu hanya akan membuatnya semakin puas.

Jadi, aku memilih diam.

Memeluk lutut lebih erat, menatap ke arah lain, berpura-pura tidak peduli. Namun pipiku yang panas dan dadaku yang terasa sesak sudah lebih dari cukup untuk mengkhianatiku.

Dari sudut mataku, aku bisa melihatnya masih tersenyum tipis. Aku masih mendengar suara tawa rendahnya, nada penuh kepuasan yang menyebalkan. Kesabaranku nyaris habis. Bagaimana mungkin dia bisa selalu berada di atas angin seperti ini?

Tidak. Aku harus membalikkan keadaan.

Aku menarik napas dalam. Lalu, perlahan, aku menoleh ke arahnya—tatapan datar, bibir terangkat dalam senyum yang terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja diolok-olok.

"Aku tidak panik," ulangku, kali ini dengan nada santai. "Tapi kau terdengar sangat percaya diri. Seolah-olah kau berharap aku benar-benar jatuh cinta padamu, Komandan Min."

Dia, yang awalnya terlihat santai, tiba-tiba mengangkat alis. Sekilas ekspresinya berubah, tapi dengan cepat dia menyembunyikannya di balik senyum tipisnya.

"Oh?" Dia sedikit mencondongkan tubuh ke depan, nadanya tetap rendah dan terkendali. "Jadi, kau pikir aku menginginkannya?"

Aku berpura-pura mengabaikannya, lalu dengan gerakan santai, aku mencondongkan tubuh ke arahnya, cukup dekat untuk membuat suasana sedikit berubah.

"Justru aku yang penasaran..." aku meliriknya dengan tatapan penuh arti, "... apa kau yang sebenarnya takut jatuh cinta padaku?"

Sebuah jeda tipis.

Sekilas, aku menangkap sesuatu di matanya—bukan keterkejutan, bukan kebingungan, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih terukur.

Tapi kemudian, dia hanya terkekeh pelan. "Kau terlalu percaya diri, Nona Lee."

"Begitukah?" Aku menyeringai kecil. "Biasanya kau langsung membalas dengan cepat. Apa aku baru saja menang?"

Dia menghela napas panjang, seolah-olah aku adalah anak kecil yang keras kepala. "Menang?" ulangnya. Lalu dia mendekat sedikit—tidak cukup untuk menyentuh, tapi cukup untuk membuat jarak di antara kami menghilang.

Tatapan kami masih terkunci. Waktu seolah melambat, dan aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.

Dia tidak bergerak. Aku juga tidak.

Tapi kemudian...

Dengan gerakan tiba-tiba, Min mengulurkan tangan. Sekejap, aku kira dia akan menarikku—atau melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan. Tapi yang terjadi justru lebih mengganggu.

Dia menurunkan wajahnya sedikit, lalu berhenti tepat di sisi telingaku.

"Kau benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?" bisiknya pelan, suara beratnya terasa di kulit leherku.

Aku hampir tersentak, tapi menahan diri. Aku tidak mau kalah.

Dengan nada setenang mungkin, aku menjawab, "Mungkin aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau bisa menahan diri."

Hening.

Lalu, tiba-tiba Dia tertawa kecil—suara yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Dalam satu gerakan halus, dia menarik diri, kembali ke tempatnya semula, meninggalkan aku dengan detak jantung yang masih berantakan.

Matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Berhati-hatilah, Lee Kyon. Kau tidak akan suka jika aku benar-benar berhenti menahan diri."

Aku mengangkat daguku sedikit. "Mungkin aku tidak keberatan."

Dia menyipitkan mata, menatapku beberapa detik lebih lama, lalu akhirnya berdiri dari tempat duduknya.

"Kau bermain di tempat yang berbahaya,  Nona Kyon." Suaranya terdengar nyaris seperti peringatan terakhir sebelum badai.

Aku hanya tersenyum kecil. "Aku tahu."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Dia berbalik.

Aku tetap di tempatku, mencoba mengatur napas yang terasa sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Aku tidak tahu siapa yang menang kali ini.

Tapi yang jelas, aku sudah menemukan kelemahan kecil di balik kendali sempurna Komandan Min.

Dan aku akan menggunakannya lagi nanti.

.
.
.

Dah ngomongin cinta aja mereka nih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro