18
Disarankan follow dan masukan ke librari untuk mengetahui update-an
.
.
.
Kami kembali terjebak dalam keheningan. Komandan Min kini sibuk dengan peta, sesekali menghela napas panjang seolah mencoba menekan rasa frustrasi. Alat komunikasi di tangannya tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Aku bisa melihat garis tegang di rahangnya, tetapi ia tetap tenang, seakan sedang mencari solusi lain di kepalanya.
"Apakah itu berfungsi?" tanyaku akhirnya, memecah kesunyian yang mulai terasa menyesakkan.
Dia mengangkat kepalanya, menatapku sejenak sebelum menjawab. "Tidak untuk saat ini." Suaranya datar, tapi ada sedikit nada kesal yang ia sembunyikan.
Aku menghela napas. Bagaimanapun juga, jika komunikasi mereka dengan markas benar-benar terputus, maka aku juga dalam bahaya. Entah kenapa, pemikiran itu tidak seharusnya membuatku khawatir, tapi ada bagian kecil dari diriku yang merasa cemas.
"Kau berharap seseorang akan datang menyelamatkanmu?" suaranya memecah lamunanku.
Aku mengerutkan kening. "Tentu saja," jawabku tanpa ragu. "Ayahku akan menemukan cara untuk membawaku kembali."
Dia tersenyum tipis, tapi ada kehampaan dalam ekspresinya. "Dan setelah itu?"
Aku terdiam. Setelah itu? Aku akan kembali ke kehidupanku yang semula. Kembali menjadi putri dari seorang menteri pertahanan The Centra, menjadi tunangan Jun dan kembali ke Distrik Satu, kembali ke... kehidupan yang seharusnya nyaman dan aman. Tapi, entah kenapa, kini semua itu terasa samar.
"Aku tidak mengerti pertanyaanmu," elakku, mencoba menghindari perasaan aneh yang merayapi pikiranku.
Komandan Min menatapku dalam-dalam, seakan bisa membaca isi kepalaku. "Kau tahu apa yang akan terjadi, bukan? The Centra tidak akan mengingat kejadian ini sebagai penculikan, tetapi sebagai sebuah pengorbanan. Jika kau kembali, mereka akan menggunakannya sebagai propaganda. Mereka akan menjadikanmu simbol bagaimana seorang warga negara yang baik tetap setia, bahkan setelah diculik oleh 'teroris' seperti kami."
Aku menegang. Itu masuk akal, tapi aku tidak ingin mengakuinya.
"Kau berbicara seolah tahu segalanya tentang The Centra," kataku dengan nada defensif.
Dia menyandarkan punggungnya ke tembok, matanya tetap tertuju padaku. "Cara berpikir The Centra sudah menjadi rahasia umum. Hanya saja, banyak orang seperti dirimu tidak mau mengakuinya."
Aku menggigit bibir, merasa dadaku sedikit sesak. "Aku bukan bagian dari propaganda mereka," sahutku, lebih kepada meyakinkan diri sendiri daripada membantahnya.
"Kau yakin?" tanyanya, suaranya begitu tenang namun mengusik.
Aku ingin mengatakan 'ya', ingin menegaskan bahwa aku tidak akan menjadi alat bagi siapa pun. Tapi kenyataannya? Aku tidak tahu. Aku bisa membayangkan ayahku berdiri di podium, berbicara di depan publik tentang bagaimana aku selamat berkat kekuatan dan perlindungan The Centra. Bisa membayangkan wajahku terpampang di layar-layar distrik dengan pesan tentang ketahanan dan loyalitas.
Aku menelan ludah.
Komandan Min mengamati reaksiku, lalu menghela napas. "Kau tidak perlu menjawab sekarang. Pada akhirnya, kau sendiri yang akan melihatnya."
Aku merasakan gelombang frustrasi melanda diriku. "Jadi, menurutmu, aku harus bagaimana?" Aku menatapnya, menantangnya untuk memberikan jawaban.
Dia tidak langsung menjawab. Ia menatap peta di depannya, seakan sedang menimbang sesuatu, sebelum akhirnya berkata, "Kau punya lebih banyak pilihan daripada yang kau kira, Nona Lee."
Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan sesuatu yang sulit kugambarkan—sebuah kemungkinan yang belum pernah kupikirkan sebelumnya.
Aku mengernyit, tidak puas dengan jawabannya. "Pilihan seperti apa? Aku tidak bisa tetap di sini, dan aku tidak bisa melawan The Centra."
Pria itu tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. "Itulah masalahnya. Kau menganggap dunia hanya hitam dan putih—kau di sini sebagai tawanan atau kau kembali sebagai pion mereka." Ia menatapku, matanya tajam namun tidak menghakimi. "Padahal dunia lebih luas dari yang diajarkan The Centra padamu."
Aku menghela napas, berusaha menahan dorongan untuk membantahnya. "Kalau begitu, jelaskan padaku."
Dia terdiam. Matanya menatapku tajam, seakan menimbang apakah aku pantas mendengar jawabannya. Hening sejenak, sebelum akhirnya suaranya terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan.
"Libera tidak butuh The Centra. Kami tidak ingin dijajah, dikendalikan, atau dijadikan sekadar wilayah yang harus tunduk pada sistem kalian."
Aku mengerutkan kening. "Tapi The Centra bisa membawa kestabilan. Infrastruktur, keamanan, teknologi—semua yang bisa membuat hidup kalian lebih baik."
Dia mendengus, nada sinis terselip di balik suaranya. Tatapannya seolah menelanjangi kepolosanku, membuatku merasa seperti anak kecil yang baru belajar memahami dunia.
"Stabilitas? Dengan harga apa?" Ia bergeser sedikit lebih dekat, sengaja mempersempit jarak di antara kami. Matanya, dingin dan tajam, seakan menembus lapisan kepercayaanku. "Kau tahu berapa banyak desa yang dihancurkan atas nama kestabilan? Berapa banyak keluarga yang kehilangan segalanya karena pemerintahmu memutuskan bahwa mereka 'tidak cocok' dengan sistem?"
Aku membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
"Libera bukan sekadar tanah tanpa hukum seperti yang diajarkan The Centra padamu." Suaranya lebih rendah, tapi sarat ketegasan. "Kami memiliki cara sendiri untuk hidup. Kami membangunnya sedikit demi sedikit, dan mulai mengatur sistem kami sendiri."
Ia menatapku dalam, membuat dadaku sesak.
"Dan kebebasan adalah sesuatu yang tidak bisa kau pahami sampai kau kehilangannya."
Aku menggigit bibir, merasa hatiku mencelos. Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan hanya kemarahan, tapi juga luka yang belum sembuh.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Kau berbicara seolah-olah kau pernah mengalaminya sendiri."
Senyum kecil terukir di sudut bibirnya, tapi tidak sampai ke matanya. Tatapannya redup, seakan dihantui kenangan yang tak ingin diungkap.
"Aku mengalaminya."
Aku menunggu, tidak ingin menyela.
Ia menatap kosong, seakan kembali ke suatu tempat yang jauh di masa lalu. "Aku lahir di Libera," katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. "Bukan di Distrik 16, bukan di bawah kendali The Centra, tapi di tanah yang selalu berusaha mereka renggut. Dan pada ulang tahunku yang ke-9, aku melihat sendiri bagaimana mereka melakukannya."
Aku menahan napas.
Dia mengusap wajahnya sebentar sebelum melanjutkan, nada suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan. "Hari itu, aku hanya ingin meniup lilin seperti anak-anak lainnya. Ibuku memasak sup terbaik yang bisa ia buat, dan membuat kue kayu manis kesukaanku. Adikku yang saat itu berusia 5 tahun berlari-lari kecil dengan gaun cerianya tak mau kalah ingin meniup lilin juga." Ia tersenyum tipis, tapi sorot matanya kosong. "Kemudian, tentara The Centra datang."
Darahku terasa membeku.
"Mereka selalu ada di perbatasan," lanjutnya, suaranya lebih rendah. "Awalnya hanya patroli, hanya mengawasi, katanya. Sampai akhirnya mereka mulai masuk lebih dalam, sedikit demi sedikit. Mereka mengatakan itu demi kestabilan, demi keamanan. Tapi semua itu bohong."
Aku melihat jemarinya mengepal.
"Mereka datang ke desa kami dengan senjata terangkat, mengklaim bahwa seseorang di antara kami menyembunyikan pemberontak." Ia mendengus kecil. "Pemberontak? Kami hanya orang-orang biasa. Tapi mereka tidak peduli. Mereka ingin menjadikan kami contoh."
Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat.
"Ibu menyuruhku bersembunyi di bawah ranjang," katanya pelan, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri. "Ibu memeluk adikku, memohon agar mereka berhenti. Ayahku mencoba berbicara dengan mereka, tapi mereka tidak peduli. Mereka tidak pernah peduli."
Aku tahu bagaimana cerita ini akan berakhir, tapi tetap saja aku merasa dingin menjalar di seluruh tubuhku saat ia berkata, "Mereka menembak keluargaku di depan mataku."
Aku menggigit bibir, mencoba menahan napas yang terasa berat.
Pria itu menghela napas panjang, seakan mencoba mengusir ingatan itu. "Aku bisa saja mati di sana juga. Tapi aku bersembunyi. Aku selamat, sementara keluargaku tidak." Ia menoleh ke arahku, matanya kini gelap dan dalam. "Sejak hari itu, aku tahu bahwa Libera tidak akan pernah aman selama The Centra masih ada."
Aku menelan ludah.
"Libera adalah calon negara yang baik," lanjutnya, suaranya kembali tenang, tapi ada keteguhan yang tak terbantahkan di dalamnya. "Masyarakat kami tertata, kami memiliki cara hidup sendiri. Kami tidak butuh aturan The Centra, kami tidak butuh janji-janji palsu mereka." Ia menatapku tajam. "Jika saja mereka tidak menempatkan tentara di perbatasan Distrik 16, mungkin semuanya tidak akan seperti ini."
Aku mendengarkan tanpa berani menyela.
"Mereka bilang mereka hanya berjaga. Tapi sedikit demi sedikit, mereka mulai masuk. Mengambil sumber daya kami, menghancurkan rumah kami, menculik orang-orang kami. Mereka tidak pernah berniat membiarkan kami berdiri sendiri. Bagi mereka, Libera hanyalah wilayah lain yang harus ditaklukkan."
Aku menunduk, merasa sesak oleh semua yang baru saja kudengar.
Komandan Min mengamati ekspresiku sebelum akhirnya bersandar kembali. "Jadi, kau mengerti sekarang?" tanyanya, suaranya sedikit lebih lembut. "Mengapa kami tidak butuh The Centra? Mengapa kami melawan?"
Aku mengangguk pelan, tetapi kata-kata terasa menguap begitu saja dari pikiranku.
Dia tersenyum tipis—sebuah senyum tanpa kebahagiaan, tanpa kehangatan. "Itulah dunia yang selama ini tidak pernah diajarkan padamu."
Komandan Min menatapku lekat-lekat, sorot matanya tajam, seolah mencari sesuatu dalam ekspresiku. Aku ingin membantahnya. Ingin mengatakan bahwa The Centra tidak seperti yang ia katakan. Bahwa kestabilan yang mereka jaga bukanlah kebohongan. Tapi... ada sesuatu dalam suaranya. Sesuatu dalam caranya bercerita.
Dan itu membuatku ragu.
Dengan nada datar, ia melanjutkan, "Jadi, setelah semua yang kau dengar... masihkah kau berpikir bahwa The Centra membawa kestabilan?"
Aku membuka mulut, ingin menjawab. Tapi tak ada suara yang keluar.
Komandan Min menatapku sejenak, lalu menggeleng pelan. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya kelelahan yang samar. Ia berdiri, meraih kembali alat komunikasinya yang rusak, memeriksanya sekilas, lalu menghela napas panjang.
"Percaya atau tidak, itu urusanmu, Nona Lee Kyon. Tapi suatu hari, kau akan melihatnya sendiri."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro