Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Siap-siap kesel, sebel tapi ....

.

.

.

Komandan Min mendengus setelah mendengar pertanyaanku sambil menyimpan alat penerangan kecil yang menghasilkan cahaya tidak terlalu terang di tengah gua. Tatapan dinginnya tetap terkunci padaku. "Aku sudah terlalu sering berhadapan dengan kematian sampai rasanya mati di mana pun tak lagi penting. Tapi mati di sini? Bersama musuhku? Itu terlalu menyedihkan bahkan untuk standar hidupku."

Aku tertawa sinis, menatapnya dari ujung kepala sampai kaki dengan ekspresi penuh penghinaan. "Oh, kau bisa memilih di mana kau ingin mati sekarang? Hebat sekali. Kukira seorang pemberontak putus asa sepertimu tidak punya banyak pilihan selain mati seperti anjing liar di sudut jalan."

Komandan Min menaikkan alis, ekspresinya tetap datar, tapi ada sesuatu di matanya yang berkedip sekilas—seperti tantangan. "Hati-hati dengan kata-katamu, Nona Lee. Biasanya, mereka yang terlalu percaya diri yang akhirnya berakhir lebih tragis."

Aku mencondongkan tubuh sedikit, tak ingin kalah. "Bagus. Kalau begitu, kita lihat siapa yang mati duluan."

Mataku menatap tajam. "Kau tahu, aku bukan orang yang takut mati, Komandan. Tapi yang kutakuti justru melihat orang sepertimu—penuh dengan kebanggaan kosong. Kau pikir pemberontakan ini akan mengubah nasib Libera? Itu hanya permainan yang akan kau mainkan sampai akhirnya jatuh dan dipijak oleh kekuasaan yang lebih besar."

Pria itu mengangkat bahu dengan sikap santai, tetapi ada api di matanya yang mulai berkobar. "Kau belum mengerti. Aku tidak berjuang untuk Libera atau kekuasaan. Aku berjuang untuk membuktikan bahwa bahkan seorang pemberontak sepertiku masih bisa mempunyai harga diri. Sementara itu, kau hanya berjuang untuk tetap hidup dengan bangga menjadi boneka negara."

Aku menghadapinya lebih dekat, suaraku bergetar penuh tekanan. "Harga diri? Hanya mereka yang takut kehilangan yang berbicara tentang harga diri. Aku sudah hidup lebih lama dari yang kau kira, Komandan. Aku tahu betul apa yang akan terjadi padaku, dan kau? Kau hanya mencoba memuaskan ego dengan permainan ini. Dan pada akhirnya, kita semua akan mati, tetapi aku akan lebih memilih mati dengan kepala tegak daripada terperangkap dalam impian kosong milik pemberontak sepertimu."

Komandan Min memutar matanya, senyum tipis di bibirnya. "Kau sepertinya lupa, Nona Lee. Hanya karena kau merasa punya prinsip, bukan berarti kau tidak akan mati dalam keadaan memalukan. Ingatlah, mereka yang bertaruh terlalu banyak dengan keyakinan mereka justru akan terjebak dalam kebodohan."

Aku tersenyum sinis, berdiri tegak di hadapannya. "Kebodohan? Teruskan saja, Komandan. Jangan khawatir, aku yakin kebodohanmu akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu keputusan terburuk yang pernah ada."

Setelah percakapan penuh ketegangan itu, suasana di ruangan tiba-tiba jadi hening. Hanya ada suara alat komunikasi rusak yang coba diperbaiki oleh Komandan Min. Aku hanya berdiri di sana, berusaha kelihatan tenang meskipun pikiranku penuh amarah.

Ketenangan itu hanya bertahan sekejap.

Srekk.

Aku menegang. Suara gesekan halus itu terdengar dari sudut gua. Aku menoleh—dan seketika merinding. Seekor kecoa besar merayap di tanah. Hitam, besar, dengan antena yang bergerak pelan, merayap mendekat tanpa ampun. Aku menahan napas, tubuhku kaku seketika. Tidak. Tidak. Asal jangan ke arahku.

Tidak. Tidak. Tidak.

Aku sontak merapat ke dinding, tubuhku membeku dan kepanikan mulai melumpuhkan akal sehatku. Aku bisa menghadapi pemberontak, bisa menahan diri saat ditawan—tapi kecoa? Tidak!

Komandan Min, yang sejak tadi fokus dengan alat komunikasinya, akhirnya menoleh. Tatapannya datar, tapi matanya dengan cepat menangkap perubahan sikapku. "Kau kenapa?" tanyanya, suaranya terdengar malas tapi penuh selidik.

Aku mengangkat tangan, menunjuk ke arah lantai dengan ekspresi putus asa. "Itu..." suaraku tercekat. "Itu kecoa!"

Dia melirik sekilas ke serangga itu, lalu kembali menatapku. Aku tidak percaya dengan reaksinya yang nyaris nihil. Dia hanya menaikkan sebelah alis, seolah baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. "Kau takut?"

Demi Tuhan pertanyaannya itu sangat menyebalkan terdengar di telingaku. Aku menelan ludah, mencoba menjaga wibawa yang tersisa. "Aku... aku tidak takut. Hanya..." Aku bergidik ketika kecoa itu semakin mendekat. "Aku tidak suka dia mendekat seperti itu."

Komandan Min mendengus pelan. "Bersikaplah lebih tenang, Nona Lee. Jangan biarkan kecoa itu mengalahkanmu."

Aku ingin membalas, tapi sialnya, makhluk kecil menjijikkan itu semakin dekat. Langkahnya cepat, antenanya bergerak-gerak, dan aku bisa merasakan teror merayapi tulang belakangku.

Aku mundur terlalu cepat.

"Awas—"

Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terhuyung dan sebelum sempat berpikir, aku terjatuh ke depan—langsung menabrak tubuhnya.

Aku tersentak, dan dalam kepanikan, tanganku secara naluriah mencengkeram kemejanya. Napasku terengah, dan jantungku berdebar kencang. Aku bisa merasakan otot bahunya yang menegang karena benturan mendadak.

Dia tidak bergerak. Aku bisa merasakan tatapannya meneliti wajahku dengan ekspresi sulit dibaca.

"Komandan... tolong aku," bisikku, suara hampir tidak terdengar.

Dia diam selama beberapa detik. Napasku masih memburu. Aku yakin wajahku pasti memanas karena betapa memalukannya ini. Lalu, dengan nada rendah yang terdengar sedikit mengejek, dia berkata,

"Kurasa kau benar-benar butuh pelukan."

Aku sontak mendongak, menatapnya dengan mata membelalak. "A—apa?"

Sudut bibirnya sedikit terangkat, ekspresi yang jarang sekali terlihat. "Kau baru saja melompat ke arahku tanpa ragu, Nona Lee. Kau yakin ini bukan murni karena butuh perlindungan?"

Darahku naik ke wajah. Aku buru-buru mendorongnya, tapi dia tidak bergeming. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi sial, ini terlalu memalukan!

"Aku—aku tidak butuh pelukan!" Aku buru-buru menjauh, wajahku masih terasa panas.

Dia mengangkat bahu ringan, lalu melirik kecoa yang kini menjauh entah ke mana. "Yakin?" katanya dengan nada menggoda tapi tetap dengan wajah datarnya.

Aku memutar mata, merasa harga diriku benar-benar dihancurkan hari ini.

Dia terkekeh. Aku tidak menyangka seorang pemimpin pemberontak bisa menikmati momen sekecil ini.

Aku menghela napas, mencoba mengembalikan ekspresi datar di wajahku, tapi dia masih menatapku dengan pandangan iseng.

"Jadi," katanya akhirnya, nada suaranya terdengar terlalu santai untuk seseorang yang baru saja mengolok-olokku. "Kau bisa menghadapi interogasi, tapi takut pada kecoa?"

Aku mendelik. "Jangan mulai."

Senyumnya tidak langsung hilang. "Kukira putri dari distrik satu tidak akan takut hal remeh seperti itu."

Aku menyilangkan tangan, menatapnya tajam. "Aku tidak takut. Aku hanya... tidak suka."

Dia menaikkan sebelah alis, menunggu.

"...Baiklah," aku mendesah. "Aku takut."

Dia tampak puas, meskipun tidak mengatakan apa pun.

Aku memutar otak untuk membalikkan keadaan. Kalau dia mau mengejekku, aku juga harus menemukan sesuatu tentang dia. "Kau sendiri?" tanyaku, menyipitkan mata curiga. "Kau takut apa?"

Dia menatapku sebentar sebelum mengangkat bahu acuh tak acuh. "Tak ada."

Aku menghela napas panjang, hampir tertawa. "Omong kosong. Semua orang pasti takut sesuatu."

Dia tidak langsung menjawab. Hanya menatapku dengan ekspresi datar khasnya. Aku hampir berpikir dia tidak akan merespons, tapi akhirnya, setelah beberapa detik hening, dia berkata, "Takut mati tanpa meninggalkan jejak."

Aku terdiam. Tidak menyangka jawabannya akan seserius itu.

Min menunduk sedikit, jemarinya bermain di senjata yang ia bawa seolah pikirannya sedang berkelana ke tempat lain. "Jika aku mati besok, atau bahkan hari ini, berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai namaku hilang? Seminggu? Sebulan? Setahun?" Matanya menatapku tajam, tapi ada sesuatu di sana—bukan ancaman, bukan amarah, tapi ketakutan yang begitu dalam hingga nyaris tak terlihat.

Aku menelan ludah. "Kau..."

"Aku tidak ingin dilupakan." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti pengakuan yang tidak seharusnya kudengar. "Tidak ingin hidupku berakhir seperti angin yang berlalu begitu saja, tanpa arti."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat dadaku terasa berat.

"Jadi," suaraku lebih pelan dari yang kuinginkan, "itu sebabnya kau melakukan semua ini?"

Dia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas sebelum menyandarkan punggungnya ke dinding. Seakan, dalam sekejap, semua emosinya tadi telah disembunyikan kembali di balik dinding tebal yang selalu ia bangun.

"Mungkin."

Hening kembali menyelimuti ruangan. Aku masih menatapnya, mencoba memahami makna di balik kata-katanya.

Untuk pertama kalinya, aku melihat sesuatu di balik tatapan dinginnya—sebuah keinginan yang lebih besar dari sekadar pemberontakan atau perang melawan The Centra.

Aku tak menyangka percakapan yang awalnya penuh ketegangan bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Dan sialnya, aku tidak bisa menyangkal bahwa sedikit demi sedikit, aku mulai melihatnya lebih dari sekadar musuh.

.

.

.

Ready for another amused moment of them? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro