15
Setelah part 10 yang bagi-bagi Komandan's side, vote menurun, kayaknya pada alergi berinteraksi ya? Atau pada keteteran soalnya aku terlalu ngegas update?
.
.
.
Aku panik, meraba-raba dinding batu yang baru saja menutup jalan kami, tanah kembali berguncang dan kakiku nyaris kehilangan keseimbangan saat tanah di bawahku berguncang hebat. Serpihan batu dari langit-langit runtuh, jatuh hanya beberapa senti dari tempatku berdiri. Aku tersentak, napasku tercekat di tenggorokan.
Dan sebelum aku sempat bereaksi, sebuah tangan besar menarikku dengan kasar, tubuhku terhentak ke dada seseorang—keras, kokoh, dan hangat.
Aku tersadar beberapa detik kemudian, terjebak dalam dekapan erat Komandan Min.
Sial.
Jantungku berdetak kencang, bukan karena takut, tapi karena posisi kami yang terlalu dekat. Napasku masih tersengal saat aku menyadari lengannya yang kuat melingkari pinggangku, menekan tubuhku agar tetap diam di sisinya. Aku bisa merasakan detak jantungnya—tenang, stabil, seolah seluruh dunia bisa runtuh dan dia tetap tidak akan kehilangan kendali.
Pria itu mendengus pelan, masih tidak melepaskanku. "Apa kau berniat mati begitu saja, Nona Lee?"
Aku menegakkan kepala, mencoba memberontak, tapi cengkeramannya semakin kuat. "Lepaskan aku."
Dia menatapku sekilas, lalu menghela napas pendek. "Aku akan melepaskanmu kalau kau bisa berdiri tanpa berlagak seperti anak rusa baru lahir."
Aku mendesis kesal, tapi tidak bisa menyangkal bahwa kakiku memang masih gemetar. Komandan Min pasti merasakannya, karena dia tiba-tiba mengecilkan jarak di antara kami, mendekatkan wajahnya hingga aku bisa melihat warna gelap di matanya yang dalam—meskipun cahaya minim, samar-samar masih bisa kutangkap kilatan tajam itu.
"Tsk." Dia menggeleng kecil, suaranya terdengar seperti ejekan. "The Centra pasti bangga punya gadis yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri."
Darahku mendidih. Aku meronta, tapi lagi-lagi, dia menahanku dengan mudah. "Aku tidak selemah itu!"
Min menaikkan sebelah alis, lalu—dengan penuh perhitungan—melepas genggamannya begitu saja.
Aku langsung kehilangan keseimbangan.
Refleks, aku meraih lengannya untuk mencegah diri jatuh, dan sialnya, dia membiarkanku berjuang sebentar sebelum akhirnya menarikku kembali dengan satu tangan. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang panjang, seperti seseorang yang sedang menghadapi masalah yang terlalu merepotkan.
"Aku tidak punya waktu untuk menangkapmu dua kali," gumamnya, masih dengan nada santai yang menyebalkan. "Jadi kalau kau ingin tetap hidup, berdirilah dengan benar, Nona Lee Kyon."
Aku menggigit bibir, gengsi untuk mengakui bahwa tubuhku masih lemas. Panas di wajahku makin menyebar karena dia masih menatapku dengan ekspresi sok tahu yang menyebalkan itu.
Aku menegakkan bahu, mengangkat dagu. "Aku bisa berdiri sendiri."
"Bagus." Min menyeringai kecil, lalu berbalik, tapi bukan sebelum jari-jarinya dengan sangat ringan menyentuh pergelangan tanganku—sebentar, hampir seperti sesuatu yang tidak disengaja, sebelum dia melepaskannya lagi.
Aku membeku sejenak.
Gerakan itu kecil, hampir tidak berarti. Tapi anehnya, justru itu yang membuatku semakin salah tingkah.
Sialan.
Kenapa aku merasa bahwa... dia sengaja melakukan itu?
Pria itu berjalan mendahuluiku, tanpa menoleh, tapi aku tahu dia pasti tahu efeknya pada pikiranku sekarang.
Aku mendengus, mengepalkan tangan.
Brengsek, kenapa aku malah jadi ingin mendorongnya ke dinding!?
Kaki-kakiku masih terasa goyah, setiap langkah seperti ujian bagi tubuhku yang lemah. Komandan Min, yang berada tidak jauh dariku, tampak sibuk memeriksa dinding yang menutupi jalan kami, lalu memutar tubuhnya, menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca. Di bawah cahaya redup dari alat komunikasi yang dia keluarkan, aku merasa sedikit lega, meskipun aku tahu itu hanya sebentar.
Namun legaku tidak berlangsung lama saat dia mendekat lagi—seperti predator yang tahu kapan waktunya menyerang.
Dia berhenti di hadapanku, menatapku dengan ekspresi yang terlalu tenang. "Aku cuma mau pastikan kau tidak jatuh lagi," katanya, suara rendah yang seolah menenangkan, padahal jelas-jelas dia cuma mau ngeganggu.
Aku membakar dirinya dengan tatapan tajam, merasa darahku mulai mendidih lagi. "Jangan ganggu aku," aku berkata, sambil berusaha menahan emosiku yang mulai terkendali.
Namun Min tetap mendekat, mengamati gerak-gerikku dengan cara yang makin mengguncang ketenanganku. Aku merasa seolah dia menikmati semua ini, setiap detik yang mempermalukan diriku.
Aku tidak tahan lagi. Dengan satu gerakan cepat, aku mencoba mendorongnya, ingin menunjukkan bahwa aku tidak perlu dilindungi, apalagi dihinakan seperti ini. Tapi entah bagaimana, justru aku yang kehilangan keseimbangan, tubuhku terhuyung, dan dalam hitungan detik, dia sudah di sampingku lagi, tangannya yang kuat menangkap tubuhku dan dengan mudah, menahan jatuhku.
Aku terdiam sejenak, kejadian yang hampir sama terulang, deja vu yang lebih memalukan daripada sebelumnya. Dia cuma melirik, tidak ada perubahan ekspresi.
"Yah, jadi kau ternyata memang butuh pelukan," dia berkata, nada suaranya mengandung ejekan yang jelas terasa di tiap kata. "Hati-hati, Nona Lee, kalau kau terus seperti ini, aku bisa mulai berpikir kau sengaja jatuh ke pelukanku."
Aku merasa pipiku memanas, mulutku terasa kering. Min membiarkanku untuk berdiri lagi, tapi aku tahu dia sudah melihat kekurangan dalam diriku—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar fisik.
Dengan langkah tenang, dia kembali bergerak ke depanku, seolah tidak ada yang terjadi. Tapi aku tahu—setiap gerakan yang dia buat hanya untuk lebih mengguncangku lagi.
Sialan, kenapa aku merasa semakin terseret ke dalam permainannya?
Aku memilih duduk di sudut ruangan. Komandan Min tengah sibuk dengan tas ranselnya, mengeluarkan peta dan membacanya dengan penerangan dari alat komunikasinya. Meskipun alat itu hanya memberikan cahaya yang terbatas, cukup untuk menerangi peta dan wajahnya yang serius, aku masih merasa canggung dengan jarak di antara kami.
Namun, meski hanya dengan sedikit cahaya, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas—tapi entah mengapa, itu malah membuatku semakin cemas. Wajahnya yang datar, tatapan mata yang tajam, dan setiap gerakannya yang penuh perhitungan. Dia seolah tahu segala hal, bahkan sebelum aku sempat mengerti apa yang harus kulakukan.
Dia melirikku sejenak, mungkin merasakan keberadaanku yang duduk dengan hati-hati. "Kita terjebak di sini. Tidak ada jalan keluar dalam waktu dekat."
Aku mengangguk pelan, meski itu tidak begitu meyakinkanku.
Min tidak membalas, hanya melanjutkan pekerjaannya dengan peta itu, memindahkan beberapa potongan batu yang menghalangi jalannya. Penerangan dari alat komunikasi di tangannya memberi nuansa dingin di ruangan yang sempit ini, tapi entah kenapa aku merasa semakin terikat dalam ketegangan yang ada.
Aku merasakan ketidaknyamanan di antara kami, semakin dalam, seolah ruang sempit itu memaksa aku untuk terus memperhatikan gerak-geriknya yang terlalu fokus dan tenang.
Aku tidak bisa menahan perasaan bahwa dia, dalam caranya yang tidak terlihat, sedang mengendalikan segala sesuatu yang ada di sekitar kami.
Aku meringis pelan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti alurnya.
"Ada yang luka?" tiba-tiba saja dia bertanya dan aku baru menyadari bahwa tampaknya kakiku keseleo dan itulah alasan kenapa aku tidak bisa berdiri dengan benar.
Aku mengerutkan dahi, mencoba menahan rasa sakit yang mulai merambat di pergelangan kaki kananku. Sial, kenapa aku tidak menyadarinya lebih awal?
Aku mengangkat kepala, mencoba memberi kesan seolah-olah tidak ada yang terjadi. "Tidak ada. Hanya sedikit terkilir."
Dia mendekat tanpa menjawab, memandangiku dengan tatapan yang tak bisa kutebak. Ketika dia akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih rendah dan serius.
"Tidak ada yang 'sedikit' dalam keadaan ini, Nona Lee."
Aku terdiam, merasa sedikit kesal dengan cara dia memandangiku, seperti aku ini terlalu lemah untuk menangani apapun sendiri. Tapi sebelum aku sempat merespons, dia sudah berjongkok di depanku, matanya tetap terkunci padaku.
"Berhenti sok kuat. Kita tidak punya waktu untuk itu."
Aku ingin menjawab, tapi malah terdiam saat dia meraih kakiku dengan hati-hati. Napasku sedikit terhenti saat dia menyentuh pergelangan kaki yang terasa sakit itu.
Dia melirikku sebentar, memeriksa dengan teliti, dan mengernyit. "Keseleo. Tidak akan mudah jika kita terjebak terlalu lama di sini."
Aku membuka mulut untuk bicara, mencoba menenangkan dirinya, tapi dia sudah berdiri, meluruskan kakinya. Tanpa berkata apa-apa, dia merogoh tas ranselnya lagi, kali ini mengeluarkan beberapa alat medis dasar. "Kita harus tangani ini dulu, supaya kau tidak semakin kesulitan nanti."
Aku hanya bisa diam, meskipun rasa canggung melanda diriku. Kenapa harus dia yang merawatku?
Setelah beberapa saat, dia berhasil membalut kakinya dengan cepat. Alat komunikasi di tangannya masih menyala, memberikan sedikit cahaya yang membuatnya terlihat lebih fokus. Wajahnya kembali tanpa ekspresi, seolah dia sedang melakukan pekerjaan biasa—meskipun aku tahu, di dalam situasi ini, tak ada yang benar-benar biasa.
"Kau lebih beruntung daripada yang kau kira," katanya, akhirnya mengalihkan perhatian dariku. "Kaki seperti ini bisa membuat kita terjebak lebih lama jika tidak segera diperhatikan."
Komandan Min memperhatikan kakiku dengan cermat, tanpa banyak bicara. Tanpa peringatan, dia mendekat, dan aku merasakan sejuknya udara dari dekat tubuhnya.
"Lepaskan saja. Aku baik-baik saja," kataku, berusaha terdengar tenang meskipun nyeri di kakiku semakin jelas.
"Bohong," jawabnya singkat, suaranya masih tenang namun terdengar penuh perhitungan. "Kau butuh bantuan."
Aku tidak sempat membantah, karena dalam sekejap tangannya yang kuat sudah menggenggam pergelangan kakinya dengan hati-hati. Aku mendesis pelan, berusaha untuk tidak menampilkan kelemahanku, meski nyeri itu membuatku tak bisa mengabaikan rasa sakitnya.
Dengan gerakan perlahan, Komandan Min mulai memijat kaki kiriku. Sentuhan jarinya terasa tajam dan berfokus, meskipun rasa sakit itu lebih terasa seperti aliran yang terus mengalir. Setiap gerakan diikuti dengan rasa sakit yang hampir tak tertahankan, namun aku tahu ini untuk melancarkan peredaran darah yang kaku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku, namun aku berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahanku lebih jauh lagi.
Komandan Min tetap diam, seolah tak ada yang aneh dengan momen ini. Aku bisa merasakan napasnya yang stabil, seolah tak terganggu oleh betapa canggungnya aku dengan perawatan ini.
"Kenapa kau begitu keras kepala?" suara Komandan Min terdengar dekat, tepat di atas kepalaku. Aku hanya bisa mendengus, tidak tahu harus berkata apa. Sesekali aku merasakan gerakan jarinya yang cukup tegas, seolah dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan, meskipun rasanya begitu menyakitkan.
Aku menggigit bibir bawahku, berusaha tidak menunjukkan bahwa aku merasa kesal—atau mungkin lebih tepatnya, merasa canggung dengan kedekatan ini. "Aku tidak butuh bantuanmu," kataku dengan suara sedikit serak, berusaha sekuat tenaga agar tidak terdengar lemah.
Komandan Min hanya mengangkat alisnya, tidak terpengaruh oleh perlawanan kecilku. "Kau pikir bisa bertahan di sini sendirian?" katanya dengan nada datar. "Kau butuh bantuan, Nona Lee."
Setelah beberapa detik, dia berhenti dan menarik tangannya dari kakiku. Aku bisa merasakan perbedaannya—rasa sakitnya mulai sedikit mereda, meski tidak hilang sepenuhnya. Tapi ketegangan itu tetap ada, seperti sesuatu yang menggantung di antara kami berdua. Komandan Min tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menatapku sekilas sebelum berdiri dan melangkah mundur.
Aku masih merasa canggung, jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. "Terima kasih," kataku pelan, hampir tidak terdengar. Komandan Min hanya mengangguk tanpa banyak bicara, namun aku bisa merasakan bahwa perasaan di antara kami—meskipun penuh ketegangan—telah berubah sedikit.
Aku terdiam, mataku terpaku pada tanah dingin yang ada di bawahku. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadaku, dan napasku terasa semakin berat. Seperti ada tangan yang menekan keras, memaksaku untuk tetap berada di tempat ini, terjebak dalam kenyataan yang semakin tak bisa kupahami.
Kenapa ini harus terjadi padaku? Pertanyaan itu terus berputar-putar dalam pikiranku, tanpa henti, seperti sebuah suara yang tak pernah berhenti berbisik. Aku merasa lelah, tapi bukan hanya secara fisik. Pikiranku terlalu penuh dengan kebingungannya. Frustrasi mulai menyelimuti hatiku, menyesakkan, hampir membuatku tersedak. Aku ingin berteriak, ingin menghentikan semuanya, tapi mulutku terasa terkunci rapat. Ada ketakutan yang menyelusup, tak ingin aku terlihat lemah, tak ingin mereka tahu bahwa aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa.
Semua yang selama ini kurasakan—keamanan, kepastian—seperti runtuh begitu saja. Dulu, hidupku begitu terencana, tak ada celah untuk keraguan. Semua sudah disusun dengan rapi, setiap langkahku sudah ditentukan. Tapi sekarang, aku merasa seperti tersesat di dalamnya, tak tahu arah, tak tahu apa yang harus aku pilih. Apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itu tak berhenti menyerang, semakin memerangkapku dalam kebingungan.
Dan sekarang, kekecewaan itu datang. Aku kecewa, sangat kecewa pada The Centra, pada ayahku, pada Jun. Mereka semua yang mengatakan ingin menyelamatkanku, yang berjanji akan melindungiku. Tapi buktinya? Mereka nyaris membuatku terbunuh. Semua yang mereka lakukan, semua kata-kata manis itu terasa seperti dusta yang melukai lebih dalam dari apapun. Ayahku, yang dulu selalu mengajarkan tentang kewajiban dan pengorbanan demi negara, kini malah menyiksaku dengan jalan yang tak pernah kuinginkan. Jun, tunanganku yang seharusnya menjadi pelindungku, malah menjadi bagian dari rencana ini. Bagaimana bisa aku begitu bodoh? Menaruh harapan pada mereka yang jelas-jelas hanya menganggapku sebagai pion dalam permainan mereka.
Kini, aku terjebak di sini, dalam ketegangan yang semakin tak terkendali. Komandan Min... dia jelas-jelas bukan sekadar seorang pemberontak. Dia lebih dari itu—seorang musuh yang begitu tenang, begitu penuh perhitungan. Aku tahu, jika aku tidak bisa keluar dari sini, mungkin inilah akhirnya. Aku akan mati di sini, terperangkap dalam permainan ini, tanpa ada yang peduli. Bahkan mereka yang mengklaim ingin menyelamatkanku pun tak mampu menyelamatkan diriku. Aku hanya bisa terjatuh lebih dalam, terperangkap dalam labirin yang tak pernah kubuat, dengan tak ada jalan keluar.
Aku menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan wajahku. Malu. Marah. Kebingungan itu semakin menghimpit, dan semakin lama aku merasa semakin jauh dari diriku yang dulu. Apa yang harus aku pilih? Aku ingin lari dari sini, tapi tak ada tempat untuk pergi. Bahkan tatapan Komandan Min yang tajam itu terasa begitu dalam, seperti menuntut aku untuk memilih. Tapi aku tidak tahu jawabannya. Aku hanya bisa berdiam, merasakan keterasingan yang semakin dalam.
Setelah keheningan yang terasa selamanya. Tiba-tiba saja mulutku berkata, "Komandan, bagaimana kalau kita mati di sini?"
.
.
.
Gimana, gemes apa sebel sama Aa Komandan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro