Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

Kalian pasti pada keteteran ya bacanya aku gas update gini...gapapalah ya aku update buat yang exciting dan selalu ngevote ajalah. Sehat-sehat ya kalian


Karena notifikasi update ga pernah muncul. Follow aja atuh biar tau kalau aku announce. Buat penulis julid yang nengok2 tulisanku dan berniat plagiat...JAUH-JAUH KAU 

.

.

.

Di tengah kegelapan terowongan yang seakan hidup dengan labirin belokan tanpa petunjuk, aku mulai merasa pusing. Rute yang dibangun oleh Libera benar-benar rumit, seolah sengaja dirancang untuk mengelabui siapa pun yang mencoba menelusurinya. Setiap tikungan membawa harapan baru sekaligus kecemasan yang semakin dalam, membuat langkah kami terasa semakin berat. Aku mencoba mengingat setiap sudut, setiap retakan kecil di dinding, setiap jejak samar yang mungkin bisa menjadi petunjuk, tapi semakin aku berusaha, semakin aku merasa tersesat. Seolah terowongan ini memiliki nyawa sendiri, mengawasi kami dalam diam, menunggu kami kehilangan arah dan menyerah.

Dari posisi di belakangku, Letnan Jeon mulai berbicara dengan nada santainya yang khas. "Hei, kau tahu? Video yang kau buat kemarin ternyata membawa hasil yang lumayan," katanya, mencoba mencairkan suasana. "The Sun sudah menghubungi The Centra. Sepertinya, mereka mulai mempertimbangkan syarat-syarat yang diajukan Libera atas pembebasanmu nanti."

Aku menoleh sedikit, mendengarkan meski kepalaku masih terasa berat.

"Jadi, sebagai antisipasi, kau harus benar-benar dijaga. Makanya, di sinilah kita sekarang," lanjutnya dengan nada yang hampir terdengar seperti keluhan, meski aku tahu itu hanya gaya bicara khasnya.

Aku menghela napas panjang. Kelelahan menjalar dari ujung kakiku hingga ke seluruh tubuh. Kakiku terasa seperti ditarik oleh gravitasi yang lebih berat dari biasanya. Setiap langkah yang kuambil terasa lamban, seperti berjalan di dalam air yang pekat dan tak berujung. Punggungku terasa kaku, dan rasa pegal menjalar di bahu karena perjalanan panjang tanpa henti.

Letnan Jeon tampaknya menyadari kondisiku, tetapi bukannya menawarkan bantuan, dia justru melanjutkan obrolannya dengan nada lebih ringan. "Kau tahu, kalau kita sedang dalam situasi seperti ini di film-film, pasti ada momen heroik di mana kita tiba-tiba menemukan jalan keluar atau ada cahaya terang di ujung lorong," katanya sambil tertawa kecil. "Tapi, sayangnya, ini bukan film. Dan kita masih harus berjalan tanpa tahu kapan akan sampai."

Aku meliriknya sekilas, terlalu lelah untuk membalas dengan sarkasme seperti biasanya. Komandan Min, yang sejak tadi berjalan paling depan dengan langkah mantap, sama sekali tidak menanggapi ocehan Jeon. Sosoknya tetap fokus, nyaris seperti bayangan yang menyatu dengan gelapnya terowongan. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya, tapi aura ketegangan yang menyelimutinya cukup untuk membuatku sadar bahwa meskipun perundingan tengah berjalan, perang di luar sana masih jauh dari kata selesai.

Sesekali, suara gemuruh samar terdengar dari atas—mungkin suara tembakan, mungkin ledakan lain yang menghancurkan permukaan. Peperangan terus berlanjut, tak peduli ada negosiasi atau tidak. Namun, meskipun situasi begitu genting, aku melihat sesuatu yang aneh dalam mata para pemberontak Libera yang kami temui di sepanjang jalan. Mereka tidak tampak putus asa. Bahkan di antara luka-luka yang belum sembuh dan kelelahan yang jelas terlihat di wajah mereka, ada sorot tekad yang begitu kuat. Seolah-olah, selama mereka masih bisa berdiri, mereka akan terus berjuang.

Dan di tengah semua itu, aku di sini. Berjalan bersama mereka, menyusuri lorong-lorong sempit yang seolah tak ada habisnya. Cahaya temaram dari lampu-lampu kecil yang terpasang di dinding menciptakan bayangan panjang yang bergerak mengikuti langkah kami. Suara gemuruh dari kejauhan masih terdengar samar—peperangan di atas sana terus berlanjut, tanpa jeda, tanpa kepastian kapan akan berakhir.

Kelelahan yang kurasakan mungkin tidak sebanding dengan apa yang mereka hadapi. Para pemberontak ini—orang-orang yang sudah kehilangan banyak hal, yang terus berjuang meskipun nyawa mereka bisa saja berakhir kapan saja—tetap melangkah tanpa ragu. Namun, tubuhku sendiri mulai kehilangan tenaga. Setiap tarikan napas terasa berat, setiap langkah seolah menarik seluruh bobot dunia bersamaku. Aku ingin berhenti. Aku ingin sekadar duduk dan menarik napas tanpa merasa ada bahaya yang terus mengejar dari segala arah.

Tapi aku tidak bisa.

Tiba-tiba, kakiku tersandung batu yang tak terlihat dalam kegelapan. Aku kehilangan keseimbangan, tubuhku terhuyung ke depan, nyaris jatuh ke lantai terowongan yang keras. Namun, sebelum tubuhku benar-benar menghantam tanah, sebuah tangan kuat menarik lenganku dengan sigap.

Komandan Min.

Refleksnya begitu cepat, seolah dia sudah memperkirakan aku akan tumbang kapan saja. Dia tidak menatapku, tetapi tangannya mencengkeram pergelanganku cukup lama, menahanku dengan mudah sebelum aku jatuh sepenuhnya. Aku ingin segera melepaskan diri, ingin menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya, terutama di hadapan dua pria ini.

Tapi tubuhku tak lagi bisa diajak berkompromi.

Dan yang lebih parah—mulutku juga tidak.

Sebelum aku sempat menahan diri, aku sudah terisak. Dadaku berguncang hebat, suaraku pecah dalam isakan yang terdengar seperti anak kecil yang kehilangan arah. Aku bahkan tidak bisa menahan tangis yang keluar begitu saja, seolah semua kelelahan dan ketakutan yang selama ini kutekan tiba-tiba meledak tanpa bisa dikendalikan.

"Aku lelah... aku benar-benar lelah..." suaraku bergetar, memalukan, tapi aku tidak bisa berhenti terisak.

Tangisku menggema pelan di dalam lorong sempit itu, bercampur dengan suara napas beratku yang tak beraturan. Aku tidak tahu apakah ini karena kelelahan fisik atau karena beban mental yang tak lagi bisa kutahan. Mungkin keduanya.

Komandan Min tetap diam, tidak berkata apa-apa. Tapi cengkeraman di tanganku tidak langsung dilepaskannya. Dia tidak mendorongku menjauh, tidak juga menunjukkan ekspresi terganggu seperti yang kuharapkan. Dia hanya menatapku, dan di balik tatapan tajamnya yang selalu dingin itu, ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang samar, tapi cukup nyata untuk membuatku merasa... sedikit lebih tenang. Entahlah.

Di belakang kami, Letnan Jeon menghela napas panjang, lalu menepuk pundakku dengan ringan. "Kalau kau menangis seperti itu, kita bisa tersesat lebih lama, kau tahu?" katanya dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana. "Tapi hei, setidaknya sekarang aku tahu bahwa kau manusia biasa juga."

Aku terisak pelan, masih tidak bisa menghentikan air mataku, tapi bibirku sedikit bergetar, hampir membentuk senyum kecil. Aku masih lelah, masih merasa hancur, tapi untuk sesaat... beban yang menyesakkan dadaku terasa sedikit lebih ringan.

Di tengah tangisku yang belum sepenuhnya reda, Komandan Min tiba-tiba bergerak. Tanpa sepatah kata pun, dia mengambil botol air dari ranselnya dan mengulurkannya padaku. Gerakannya sederhana, nyaris tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu dalam caranya—seolah ini bukan sekadar tindakan otomatis dari seorang pemimpin, melainkan sesuatu yang... entah kenapa, terasa lebih dari itu.

Astaga kenapa sejak tadi aku seolah berasumsi yang tidak-tidak?

Aku menatap botol di tangannya selama beberapa detik, ragu untuk menerimanya. Sebagian dari diriku ingin tetap keras kepala, tidak ingin menunjukkan bahwa aku memang selemah ini di hadapan mereka. Tapi tubuhku berbicara lebih dulu dari egoku. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, aku mengambil botol itu dan membukanya dengan cepat.

Air dingin menyentuh bibirku, melewati tenggorokan yang terasa kering dan tegang karena menangis. Aku meneguknya perlahan, membiarkan sensasi dinginnya sedikit mengembalikan kesadaranku. Untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir, aku merasakan sesuatu yang bukan hanya rasa takut, cemas, atau lelah yang berkecamuk di tubuhku.

Komandan Min tetap diam, hanya menatapku sesaat sebelum kembali mengalihkan perhatiannya ke depan. Seolah memberiku ruang untuk menangis, untuk meredakan emosiku tanpa merasa diawasi.

Sementara itu, Letnan Jeon, yang sepertinya tidak bisa membiarkan suasana serius bertahan terlalu lama, bersiul pelan sebelum berseru, "Baiklah, kalau sesi drama sudah selesai, bolehkah kita lanjut sebelum aku yang menangis karena kaki pegal?"

Aku menelan air yang tersisa di mulutku dan menutup botolnya, mencoba menenangkan napasku. Lalu, dengan suara serak dan pelan, aku berbisik, "Terima kasih..."

Aku tidak yakin kata-kata itu ditujukan untuk siapa. Untuk Komandan Min yang memberiku air? Untuk Letnan Jeon yang mencoba menghiburku? Atau mungkin, untuk diriku sendiri—karena meskipun tubuhku ingin menyerah, aku masih bisa berdiri dan melanjutkan perjalanan ini.

Namun, sebelum pikiranku bisa terus mengembara dalam kelelahan yang menggantung di tubuhku, suara gemuruh dari atas mulai terdengar semakin keras. Suara dentuman yang sebelumnya samar kini terasa lebih dekat, lebih nyata—seperti badai yang sedang merayap turun menuju tempat kami berdiri. Aku menegang, napasku yang baru saja stabil kembali terasa berat.

Aku menoleh ke arah Komandan Min dan Letnan Jeon, dan saat itu juga aku menyadari sesuatu yang membuat dadaku semakin sesak. Mereka berdua saling bertukar pandang, tatapan yang sekilas tampak tenang, tapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang tidak kumengerti.

Tatapan itu bukan sekadar komunikasi biasa. Ada sesuatu yang tersirat dalam kedalaman mata mereka, sesuatu yang tidak diucapkan tetapi jelas terasa.

Aku menelan ludah, mencoba mencari tahu dari ekspresi mereka apakah ini pertanda bahaya. Apakah pasukan The Centra mulai mendekat? Apakah pertempuran di luar telah sampai pada titik kritis? Ataukah ada sesuatu yang lebih buruk yang tidak kuketahui?

Letnan Jeon akhirnya mendengus pelan, lalu menggelengkan kepalanya sebelum berkata dengan nada yang sedikit lebih rendah dari biasanya, "Sepertinya keadaan di atas tidak berjalan sesuai harapan."

Komandan Min tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam, seolah sedang menyusun strategi dalam pikirannya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, otot rahangnya menegang samar. Lalu, akhirnya, ia berucap dengan suara yang dalam dan terkontrol, "Kita harus segera sampai di titik aman. Jika situasi memburuk, aku tidak mau ada yang terjebak di sini."

Jantungku berdetak lebih cepat mendengar kata-katanya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat udara di sekitar kami terasa lebih berat. Seolah, apa pun yang sedang terjadi di atas sana... bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk dalam hitungan menit.

Aku ingin bertanya, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi melihat ekspresi mereka, aku tahu bahwa mungkin aku tidak akan mendapatkan jawaban yang bisa menenangkan hatiku.

Satu hal yang pasti—aku tidak punya pilihan selain terus melangkah. Karena kali ini, aku bukan satu-satunya yang berusaha bertahan hidup.

Letnan Jeon kini memimpin di depan. Langkahku semakin berat saat kami memasuki bagian terowongan yang lebih kasar. Lantai yang sebelumnya tersusun dari beton kini berganti menjadi tanah keras dengan permukaan yang tidak rata, seolah jalur ini belum sepenuhnya selesai digali. Debu tipis beterbangan setiap kali kakiku menjejak, menciptakan aroma tanah basah yang samar namun menusuk.

Di sisi terjauh sebelah kananku, terbentang ruang gelap yang menyerupai lubang besar—terlalu pekat untuk bisa melihat ke dalamnya. Aku menelan ludah, berusaha mengabaikan rasa takut yang merayap. Tidak ada yang tahu apa yang tersembunyi di dalam sana. Gelapnya begitu pekat hingga pikiranku mulai berkhayal liar—membayangkan sosok-sosok tak kasat mata yang mungkin bersembunyi di sana, menunggu untuk mencengkeram siapa pun yang melangkah terlalu dekat.

Ledakan kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Getarannya terasa hingga ke dalam rongga dadaku, membuat napasku tercekat seketika. Aku menoleh panik ke arah Komandan Min, yang masih melangkah dengan ekspresi tak terbaca. Di depan kami, Letnan Jeon tiba-tiba berhenti, dan sebelum aku sempat bertanya, Komandan Min memberinya isyarat halus.

Letnan Jeon mengangguk, untuk pertama kalinya sejak kami mulai berjalan, aku melihat ekspresinya berubah. Bukan lagi santai atau bercanda. Tapi serius. Tegang. Lalu tanpa berkata apa pun, ia mundur dengan cepat ke arah yang berlawanan. Aku menatap kepergiannya dengan alis berkerut, tetapi sebelum aku bisa mengajukan pertanyaan, Komandan Min sudah lebih dulu melanjutkan langkahnya, seolah apa yang baru saja terjadi hanyalah bagian dari rencana yang sudah ia siapkan sejak awal.

Sekarang, hanya ada aku dan dia di tengah terowongan ini.

Kami berjalan dalam diam, hanya ditemani suara napas dan gema langkah kaki di sepanjang dinding batu. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berjalan tanpa Letnan Jeon, tetapi ada perasaan aneh yang mulai merayap dalam diriku. Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, seperti firasat buruk yang perlahan menguasai setiap inci tubuhku.

Dan firasat itu terbukti benar.

Sebuah ledakan besar tiba-tiba mengguncang udara, menggetarkan seluruh dinding terowongan dengan kekuatan dahsyat. Suaranya memekakkan telinga, membuat dadaku bergetar hebat. Aku tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan saat gelombang panas dari ledakan itu menghantam tubuhku.

Lalu, tanpa peringatan, dinding terowongan di sisi kami runtuh.

Aku tidak bisa melihat apa-apa selain kilatan cahaya dari ledakan dan debu tebal yang membubung di udara, menyelimuti sekeliling dalam kabut abu pekat. Napasku tersengal-sengal, paru-paruku terasa dipenuhi oleh debu yang masuk terlalu cepat.

"Komandan!" Aku berusaha berteriak di antara gemuruh runtuhan, tetapi suara ledakan berikutnya menggulung kata-kataku, menelan suaraku dalam hiruk-pikuk kehancuran.

Tubuhku tiba-tiba tertarik ke belakang dengan kasar. Aku terbatuk keras, mencoba mencari udara di tengah kepulan debu yang menyesakkan. Sesuatu yang kuat mencengkeram lenganku, lalu dengan cepat mendorongku ke samping, menjauh dari puing-puing yang berjatuhan.

Komandan Min.

Aku merasakan tubuhku didorong ke arah yang lebih aman, tapi sebelum aku bisa mengucapkan apa pun, bunyi gemuruh lain menyusul. Batu-batu besar jatuh lebih cepat dari yang bisa kami hindari. Aku mendengar suara Letnan Jeon berteriak dari kejauhan, suaranya nyaris tenggelam di antara suara reruntuhan.

Lalu semuanya berhenti.

Debu yang tebal masih memenuhi udara, membuat tenggorokanku terasa terbakar. Aku terbatuk keras, mencoba menyesuaikan napasku. Aku menoleh ke belakang, tapi yang kulihat hanyalah dinding batu yang baru terbentuk—memisahkan kami dari jalur sebelumnya.

Aku membeku.

Kami terjebak.

Dan yang lebih buruk lagi—kami terpisah dari Letnan Jeon.

Aku masih terbatuk, paru-paruku terasa seperti terbakar. Sisa-sisa debu memenuhi udara, menyelinap masuk ke tenggorokanku dengan setiap tarikan napas. Aku mencoba mengangkat tangan untuk menghalangi debu, tetapi jariku terasa lemah, seperti tidak bisa digerakkan dengan benar.

Aku menelan ludah, mencoba menahan kepanikan yang perlahan merayap ke seluruh tubuhku.

"Tidak ada jalan."

Suaranya terdengar tenang, terlalu tenang, hingga terasa seperti ancaman.

Aku menoleh ke arah Komandan Min, yang kini berdiri di sebelahku, menatap reruntuhan dengan ekspresi tak terbaca. Tidak ada kemarahan, tidak ada kepanikan, hanya mata tajam yang tampak seperti sedang menganalisis situasi dalam diam.

"Tidak mungkin," gumamku, tanganku masih menekan batu yang dingin. Aku mencoba menggesernya, mencoba mencari celah, tapi batu itu tak bergerak sedikit pun.

Aku menggigit bibir, sesuatu dalam diriku ingin menangis lagi—tetapi aku tahu itu bukan pilihan yang bisa kuambil sekarang.

Hanya aku dan dia.

Di dalam kegelapan ini.

.

.

.

LANJUT JANGAN??????????

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro