Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Yang kemarin bilang mau Komandan's side cuman 6 orang. Jadi aku ga akan kasih part itu di wattpad ya, buat yang mau-mau aja ... Free kok ga dijual (Venyda, lilyoonbee, hoonxiy, jihan, anggrainy, nurdwiratn dm aku di IG ranesta13 ya nanti aku kirim). Thanks.

.

.

.

Seakan tidak ada waktu untuk sedikit saja bernapas lega. Tubuhku kini sudah diseret ke ruangan lain. Penyesalan memenuhi pikiranku—mengapa aku terlalu bodoh kemarin? Mengapa aku sempat memeluknya? Seseorang yang ternyata tidak lebih dari tembok dingin yang hanya tahu cara mengintimidasi. Sikapnya kini menjadi jauh lebih keras, lebih tak terjangkau, seperti tak ada celah bagiku untuk kembali mengerti apa yang dipikirkannya.

"Kau duduk di sana," tunjuk Hana pada sebuah kursi yang ada di tengah ruangan.

Aku memandangi kursi kayu kasar di depanku, sementara kamera tua dengan lensa berkilat gelap sudah berdiri di atas tripod. Di sebelah kamera, seorang pria muda dengan headphone menggantung di lehernya sedang memeriksa mikrofon. Dia tidak melirikku sedikit pun, seolah ini hanyalah tugas biasa yang tak perlu dia pikirkan dua kali.

Tenggorokanku kering. Jantungku berdetak cepat saat aku melirik Komandan Min, mencoba membaca apa yang dia pikirkan, tapi wajahnya seperti tembok—tidak ada yang bisa kutebak dari sana.

"Kenapa aku harus melakukannya?" tanyaku pelan, mencoba mempertahankan suara agar tetap tegas meskipun getarannya terasa jelas.

Aku memutar otak, memikirkan dengan cepat tanda-tanda yang mungkin dapat dianalisis oleh ahli mikro jika mereka melihat rekaman ini. Apakah rambutku cukup kusut untuk menandakan kelelahan? Apakah ada cukup memar di lenganku untuk membuktikan aku tidak diperlakukan dengan baik?

Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi, lipatan tangannya menonjolkan otot-otot di lengan yang tergulung, seperti sengaja mengintimidasi walau kulihat perban di tangannya yang terluka tampak mengeluarkan darah. Tapi aku tak peduli lagi karena sikapnya saat membuatku merasa semakin kecil di bawah tatapannya.

"Karena jika tidak," katanya pelan, namun tajam, "mereka akan berpikir kau sudah mati. Dan kau tahu apa yang akan mereka lakukan jika itu yang mereka pikirkan?"

Aku menelan ludah, menahan lidahku untuk tidak menyahut balik. Dia benar—aku tahu dia benar. Jika Appa dan Jun mengira aku sudah tiada, mereka mungkin akan meluncurkan bom karpet terus-menerus tanpa peduli siapa yang berada di Libera. Pikiran itu membuat dadaku sesak. Tapi itu bukan berarti aku setuju menjadi alat mereka.

Mataku menyapu ruangan, mencoba mencari sesuatu—apa saja—yang bisa membantu. Lampu redup yang memantul di dinding beton, pria di belakang kamera dengan wajah tak terbaca, dan pria di depanku yang tak henti-hentinya memojokkanku dengan kata-katanya.

"Apa yang harus aku katakan?" tanyaku akhirnya, menyerah pada tekanan yang menguasai ruangan. Suaraku terdengar lebih lemah daripada yang kuharapkan.

"Sederhana saja," jawanya, sambil menyeringai kecil yang membuat bulu kudukku meremang. "Katakan kau masih hidup, dan kau meminta The Centra mundur dari Libera."

Aku mengepalkan tangan. Kata-katanya terasa seperti racun yang perlahan menjalari seluruh tubuhku. Aku ingin membalas—ingin berteriak bahwa aku bukan boneka mereka. Tapi aku tahu, di tempat ini, aku tidak punya kekuatan. Dengan berat hati, aku duduk di kursi itu.

Pria di belakang kamera memberi isyarat kecil dengan jari. Cahaya terang dari lampu menyilaukan wajahku, membuatku setengah memejamkan mata. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Suasana di ruangan itu tiba-tiba terasa semakin mencekik. Setiap detik berjalan lambat, dan aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungku.

Kenangan dari pelukan kemarin kembali menghantui pikiranku, seperti hantaman kecil yang terus-menerus. Saat itu aku pikir, ada sisi manusia di dalam dirinya—ada harapan kecil yang aku genggam. Tapi kenyataan hari ini memukulku keras. Harapan itu hanyalah ilusi. Dia tetap dingin, tetap tak peduli, tetap seseorang yang tidak akan ragu menjadikanku alat demi tujuannya. Penyesalan itu menancap dalam, tapi tidak ada gunanya lagi sekarang.

Jika ini adalah caraku bertahan, aku harus melakukannya. Tapi aku bersumpah, aku akan menemukan jalan keluar dari permainan ini.

Cahaya itu menusuk mataku, membuat semuanya terasa lebih dingin. Aku menegakkan punggung, mencoba menarik napas panjang. Kamera mulai merekam.

"Halo, Appa, halo Jun ...." Suaraku bergetar, nyaris tak bisa kudengar sendiri di tengah keheningan yang mencekam. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan gemuruh di dadaku.

"Ini aku, Kyon," lanjutku, memaksakan suara agar tetap stabil, meski terasa seperti ada yang mencekik tenggorokanku. "Aku masih hidup."

Aku menarik napas dalam, membiarkan kata-kata selanjutnya bergulir, meskipun terasa berat seperti batu. "Tolong... jangan lakukan apa pun yang membahayakan diriku atau mereka yang ada di sini. The Centra..." Aku berhenti sejenak, memandang ke arah kamera dengan tatapan yang bercampur antara marah, takut, dan putus asa. "The Centra harus mundur dari Libera. Jika tidak, darah yang mengalir di tanah ini tidak akan pernah berhenti—dan itu akan ada di tangan kalian."

Aku mengepalkan tangan di bawah meja, berharap tekanan di jari-jariku mampu menahan tubuhku yang gemetar. Aku tahu, kata-kataku berisiko. Tapi jika ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa, maka aku harus melakukannya.

"Jangan paksa aku menjadi saksi lebih banyak kehancuran," lanjutku, suaraku merendah, hampir seperti bisikan. "Aku memohon, hentikan ini. Jika kalian peduli... jika kalian peduli, mundurlah."

Cahaya dari lampu kamera masih menyilaukan, membuat mataku perih. Aku bisa merasakan pandangan pria di belakang kamera dan tatapan tajam Komandan Min yang mengawasi setiap kata yang keluar dari mulutku. Ini bukan hanya tentang menyampaikan pesan. Ini adalah pertaruhan nyawaku dan orang-orang yang tak bersalah di sini.

Aku menutup mata, membiarkan keheningan menggantung sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, suaraku terdengar lebih tegas, meski aku hampir kehabisan tenaga. "Aku masih di sini. Dan aku akan bertahan, tidak peduli apa pun yang terjadi."

Suaraku melemah di akhir kalimat itu, dan aku menatap Komandan Min dengan tatapan penuh kebencian. Dia hanya mengangguk kecil pada pria di belakang kamera, yang segera mematikan rekaman.

"Bagus," katanya singkat.

"Bagus?" Aku melompat dari kursiku, emosi menguasai diriku. "Kalian pikir aku ini boneka?! Apa kalian pikir ini akan membuat Ayahku menyerah?! Dia tidak akan mundur begitu saja, Komandan! Kau tidak mengerti siapa yang kau hadapi!"

Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli pada tatapan dingin pria itu, atau bagaimana orang-orang di ruangan ini menatapku seperti aku gila. Aku merasa hancur—seolah semua yang aku percayai runtuh begitu saja.

Komandan Min berdiri perlahan, tubuhnya menjulang tinggi di depanku. Dia mendekat, dan aku bisa merasakan aura dingin yang menyelimuti dirinya. "Kau selesai, Nona Lee Kyon. Sekarang kau bisa kembali ke selmu."

Dia pergi, setelah berbicara, lagi-lagi meninggalkan perasaan campur aduk yang berkecamuk dalam diriku.

"Terima kasih atas kerja samanya, Nona Lee," ucap Hana ceria, "ayo saatnya kembali ke selmu."

Perjalanan ke selku cukup lama, aku menyusuri terowongan kecil yang hanya cukup dilalui orang dewasa yang saling berdempetan. Bau lembap bercampur debu memenuhi udara, membuatku merasa sesak. Hana masih dengan ocehan cerianya di belakangku, tentu sambil menekan ujung laras senapannya ke punggungku dengan santai.
"Oh, ini seperti labirin, bukan?" ujarnya riang. "Kau tahu, dulu aku sering tersesat di sini waktu baru bergabung. Tapi jangan coba-coba untuk kabur, ya. Jalurnya terlalu rumit untuk diingat."

Aku hanya diam, memfokuskan perhatian pada setiap belokan dan tanda kecil di dinding, mencoba membaca jalur tanpa terlihat mencurigakan. Namun, Hana tampaknya terlalu sibuk mengoceh untuk menyadarinya.

"Oh astaga, sepertinya aku menambahkan terlalu banyak pedas di masakan Bu Jung pagi tadi. Perutku sakit sekali," keluh Hana tiba-tiba, suaranya berubah dari ceria menjadi kesakitan.

Aku berbalik dengan alis terangkat, memperhatikan Hana yang kini memegangi perutnya dengan wajah sedikit pucat. Dia terlihat benar-benar tidak nyaman, bahkan langkahnya mulai melambat.

"Kau tunjukkan saja jalan ke selku. Aku bisa berjalan sendiri," kataku, mencoba memanfaatkan situasi.

Hana mendengus pelan, meski wajahnya semakin menegang karena rasa sakit. "Jangan sok pintar, kau pikir aku akan mempercayaimu begitu saja? Jangan coba-coba melarikan diri, atau aku akan memastikan kau menyesal."

Aku mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. "Kau pikir aku bisa melarikan diri di labirin seperti ini? Aku bahkan tidak tahu jalan keluar."

Hana memutar matanya, tapi tangannya terus memegangi perutnya. "Ini... oh, ini tidak tertahankan," gumamnya sambil melirik ke salah satu lorong kecil di sisi kanan.

"Aku akan ke toilet sebentar. Kau berdiri di sini. Jangan bergerak, atau—" Dia mengacungkan senapannya, memberi ancaman yang jelas meski raut wajahnya terlihat benar-benar tertekan oleh rasa sakit.

Aku mengangguk patuh, menahan senyum tipis yang hampir muncul di bibirku. Saat Hana akhirnya bergegas ke lorong kecil, aku menyadari ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mempelajari rute lebih jauh—atau bahkan menemukan sesuatu yang bisa membantuku nanti.

Aku segera berlari menjauh, memasuki lorong dengan penerangan yang sangat minim. Dinding batu yang kasar dan udara lembap mengelilingiku, sementara bayangan dari obor yang tergantung di beberapa sudut menciptakan permainan cahaya dan kegelapan yang mengaburkan pandanganku. Napasku berat, dadaku bergemuruh, tapi aku tidak punya pilihan selain terus bergerak. Jika aku berhenti, aku pasti tertangkap.

Langkah kakiku teredam oleh tanah basah di bawah, tapi gema langkahku masih terasa seperti pengkhianatan di telingaku. Aku harus bergerak lebih hati-hati. Ketika lorong di depanku bercabang menjadi tiga, aku terdiam, mencoba mengingat peta jalur yang kulihat sebelumnya di dinding terowongan.

Ke kanan... ya, aku yakin ke kanan.

Aku mengambil belokan dengan cepat, namun tiba-tiba mendengar suara langkah kaki dari arah depan. Aku memutar otak secepat mungkin. Tidak ada waktu untuk bersembunyi. Mataku menangkap bayangan dua pemberontak yang sedang berjalan ke arahku, obrolan santai mereka bergema di lorong sempit ini.

Aku segera menunduk dan mengambil langkah mundur ke sudut gelap, menempelkan tubuhku ke dinding batu. Jantungku berpacu lebih kencang, hampir terlalu keras hingga aku takut mereka bisa mendengarnya. Napasku kutahan, mencoba mengendalikan suara sekecil apa pun.

"Kurasa kita harus memeriksa lorong selatan," salah satu dari mereka berkata, suaranya rendah dan santai.

"Ah, setelah ini. Perutku masih kenyang karena masakan Bu Jung tadi pagi," sahut yang lain sambil tertawa kecil.

Mereka berjalan semakin dekat, aku menunduk lebih dalam, melipat tubuhku agar tidak terlihat. Saat mereka tepat di depanku, aku menundukkan wajah mencoba menyembunyikan wajahku sebisa mungkin.

"Kau lihat itu?" salah satu dari mereka menunjuk ke arahku dengan sedikit rasa penasaran.

Aku segera bereaksi, menunduk lebih dalam dan berbisik, "Komandan Min menyuruhku memeriksa sesuatu di lorong barat. Tidak ada waktu untuk berbincang." Nada suaraku dingin, hampir memerintah.

Mereka saling melirik, kebingungan tercetak di wajah mereka. "Dia suruh kau sendirian?"

"Aku tidak akan melawan perintahnya, dan aku sarankan kau juga tidak." Aku menggigit lidahku dalam ketegangan, mencoba meniru nada dingin yang biasa digunakan Komandan Min saat memberikan perintah.

Pemberontak itu akhirnya mengangkat bahu, terlihat enggan untuk bertanya lebih jauh. "Baiklah. Jangan sampai kau tersesat."

Aku menahan napas saat mereka berlalu, tubuhku hampir gemetar karena ketegangan. Begitu langkah mereka mulai menjauh, aku segera melangkah kembali, kali ini dengan lebih waspada.

Terowongan itu terasa seperti labirin tanpa akhir. Kegelapan melingkupi setiap sudut, hanya diterangi oleh cahaya bohlam kecil yang menggantung jarang-jarang di sepanjang dinding. Napasku memburu, langkah kakiku berderap cepat, memantul di sepanjang lorong sempit yang dingin.

Aku tidak tahu ke mana aku pergi, tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa berhenti. Langkahku semakin cepat, tanganku meraba dinding untuk menjaga keseimbangan. Detak jantungku terdengar lebih keras daripada langkah kakiku.

Aku berbelok ke kiri, lalu kanan, berharap menemukan pintu keluar, atau setidaknya, celah untuk bersembunyi. Namun, yang kutemukan hanyalah lorong-lorong gelap lain yang terus menyempit.

Dan tiba-tiba aku mendengar seseorang berkata, "Wah, wah, wah... apa aku baru saja menangkap seekor kelinci liar yang tersesat?"

.

.

.

Siapa yang menemukan Kyon? Apakah bakalan ada cast baru? 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro