Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog: Sebelum Turnamen


Demikianlah isi surat tersebut.

Beberapa menit lalu, Isolda Kais masih terlelap di ranjang asrama yang empuk, hingga seekor merpati mengetuk-ketuk kaca jendela yang tebal. Isolda bangkit dengan malas, membuka gulungan surat dengan setengah sadar, dan darahnya berdesir seketika membaca isi.

Bukan karena berita dirinya sebagai peserta Turnamen, melainkan Kakek. Apa kau sudah membaca isi suratnya? Begitu dingin, singkat, dan Turnamen, itulah khasnya. Bukannya ia membenci jadi peserta. Justru ini momen yang dinanti-nantikan bahkan sebelum masuk Akademi. Ia menghabiskan waktu senggang setiap hari memimpikan Turnamen, membayangkan dirinya keluar sebagai pemenang gemilang yang bisa membebaskan beban di pundaknya.

Sayangnya, surat Kakek justru memadamkan mimpi-mimpi itu, memadatkannya menjadi hamparan kenyataan yang tinggal sejengkal lagi. Isolda menelan ludah. Ia sudah diterima sebagai peserta Turnamen mewakilkan Akademi ... tidak, Negeri Isigalla, malah. Kemenangan itu di depan mata, tetapi, begitu pula rintangannya.

***

Hari ini harus latihan lebih keras lagi.

Usai sarapan, gadis itu bergegas menuju daerah hutan di dekat Akademi, tempat favoritnya berlatih selama ini. Ia melangkah tegas melewati lorong. Berbagai macam rencana telah terpikirkan. Setelah ini dia akan latihan sampai siang, kemudian makan siang dan dilanjutkan—

Langkah Isolda terhenti. Sayang, kekacauan sudah duluan terjadi di hutan.

Sebagian hutan telah terbakar. Pelakunya pun masih ada di sana—seorang murid lelaki yang tampak panik. Mengganggu pemandangan saja. Kalau begini, dengan dirinya yang sudah terlanjur berada di sini, Isolda harus memastikan bahwa dirinya tidak dianggap terseret oleh kebodohan murid lelaki tersebut.

Rambutnya yang dikuncir kuda berayun saat langkahnya tegas menuruni tangga. Keletak sepatu haknya tenggelam seketika menginjak tanah berumput.

"Minggir," ujarnya ketus. "Kau tidak becus."

Isolda refleks mendengus melihat pemuda itu mundur teratur. Ia tidak tahu namanya, dan takkan repot-repot berkenalan. Tak ada gunanya mengingat nama orang bodoh.

Satu tangannya membuka lembaran buku di tangan dengan cepat, seolah sudah hapal mantra mana di halaman mana. Satu tangannya lagi teracung, menunjuk dengan cepat sudut-sudut yang telah dikacaukan pemuda tersebut.

Serentetan mantra meluncur dari mulutnya dengan cepat, "Tunas bertumbuh. Hidupkan jiwa baru. Mekarlah subur. Vireo!"

Dalam sekejap, muncul rerumputan baru dari tanah yang sempat menghitam, berikut batang-batang pohon gosong yang kembali menumbuhkan diri. Dahan-dahan menyeruak bagai jari-jari lentik yang memekarkan dedaunan segar.

Isolda tidak berhenti hanya di situ. Matanya yang pucat mengerling tajam kepada pemuda di dekatnya. "Apa yang kau lakukan di situ? Pergi. Aku mau latihan."

Tidak butuh waktu lama hingga murid tersebut menyingkir. Isolda menghela napas, entah untuk keberapa kalinya hari ini. Ia pun mengangkat satu tangan, sementara tangan yang lain membuka-buka lembaran dengan cepat, bersiap merapal mantra.

Namun, lagi-lagi, sesuatu terjadi di luar kehendak; selembar ... .tidak, dua .. tiga ... empat lembar tiba-tiba terlepas, semata-mata karena Isolda terlalu cepat membolak-balik halaman. Jantungnya nyaris copot. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera pergi.

Satu-satunya tujuan yang terlintas di benak Isolda adalah toko yang pernah direkomendasikan gurunya. Pintu dijeblak terbuka kala ia datang dengan langkah tergesa. Alisnya bertaut dan tertuju langsung pada seorang lelaki dengan penutup mata yang menoleh dengan siaga. Apakah itu pemilik toko? Ada gurat-gurat kecemasan yang bersaing dengan amarah di wajahnya.

"Apa kau pemilik toko?" Isolda mengatur napas sambil mengacungkan buku mantra. "Perekatnya hampir lepas, ada kertas yang mau rusak! Tolong betulkan!"

Walau sudah memanggilnya sebagai pemilik toko, Isolda masih agak ragu-ragu saat lelaki berpenutup mata itu mengulurkan tangan. Memangnya ia bisa melihat? Pada akhirnya, ia tak punya pilihan selain menyerahkan buku mantra kesayangan.

Sial. Terlalu banyak rintangan pagi ini.

"Hati-hati," ujarnya. "Kalau bukuku lebih rusak daripada sebelumnya, aku tidak akan memaafkanmu."

Si lelaki pemilik toko tampaknya jengkel dengan ucapan Isolda, tetapi gadis itu tidak peduli. Jantungnya berdentam-dentam panik melihat kondisi bukunya.

"Ini bisa selesai hari ini, Nona Kecil yang Tidak Tahu Sopan Santun."

Wajah Isolda seketika berubah merah padam saat mendengar itu. Amarah dan malu bercampur menjadi satu. Apa? Ia disebut tidak tahu sopan santun? Seumur hidup, sopan santun adalah makanan yang dijejalkan oleh Kakek kepadanya, sampai ia muak sendiri. Diingatkan tentang sopan santun oleh orang lain membuat kepalanya mendidih.

Isolda diam saja sambil menunggu bukunya diperbaiki. Tangannya mengepal hingga gemetar, menahan emosi yang nyaris meledak. Sebenarnya, ia sudah emosi sejak pagi dimulai, yang kemudian berujung pada seseorang membakar sebagian hutan, dan tahu-tahu lembar-lembar bukunya nyaris copot saat dirinya butuh berlatih. Apalagi diingatkan soal sopan santun.

Bagusnya, ia tak perlu menunggu lama. Pemilik toko tadi kembali, bahkan dengan senyum. "Bukumu sudah selesai, Nona. Totalnya 10 koin emas."

Saat Isolda sedang merogoh saku untuk mencari uang, ia mendengar penjual tadi juga berbicara pada seseorang. Namun, yang membuat sang gadis terpantik adalah ucapan penjual itu. "Bonus elixir yang tidak jadi kau ambil tadi, gratis."

Ia disebut tidak sopan, dan orang lain ditawari elixir gratis? Wah ... menyebalkan. Isolda mengeluarkan sepuluh keping emas sambil melirik pada seseorang di sampingnya, yang ternyata adalah seseorang pembakar sebagian hutan tadi. Murid laki-laki yang disebutnya bodoh.

Matanya melebar. Alisnya berkedut. Ia nyaris mengucapkan sesuatu, tetapi menahan diri. Tidak, ketika ia baru saja dipermalukan dengan disebut tidak sopan, dan lelaki yang disebutnya bodoh itu malah mendapat gratisan.

Isolda ingin cepat-cepat beranjak dari toko itu, tetapi si pemilik toko kembali disibukkan hal lain. Seekor merpati melesat masuk. Ada pesan yang diantarkan kepada si pemilik toko, yang dengan lihainya mampu mengambil tabung di kaki merpati, ketika kedua matanya tertutup.

Gadis itu menghela napas. Ini bakal jadi lama, rasanya, saat melihat lelaki tersebut meraba-raba permukaan surat. Ia berpikir untuk menaruh uangnya saja dan pergi. Namun, ia dikejutkan dengan pekikan girang si pemilik toko, berkata bahwa dirinya terpilih untuk mendampingi perwakilan peserta turnamen ....

Isolda berhenti melangkah. Tunggu, apa?

"Nama perwakilannya ... Isolda Kais dan Archer Lancaster. Hei," tahu-tahu, si pemilik toko memanggilnya lagi. Isolda menoleh. "berhubung kalian dari akademi, apakah kalian mengenal nama ini? Pilihan Duke tentu saja bukan para pelajar yang remeh, begitu?"

Tentu saja bukan. Isolda mendengus. Ia baru saja akan menjawab, tetapi si Bodoh di sisinya menyahut dengan penuh kepercayaan diri. "Aku Archer Lancaster!"

Isolda tidak tahu apakah hari ini bisa menjadi lebih buruk lagi. Raut wajahnya begitu jujur saat memasang ekspresi bengong setengah tidak percaya. "Kau Archer Lancaster?" pekik Isolda.

Ia lantas menatap kepada si pemilik toko. Perutnya mendadak sangat mulas. "Dan kau ditugaskan untuk apa? Mendampingi kami?" ujarnya skeptis. "Yang benar saja. Kenapa kalian?"

Namun, serealistis kenyataan bahwa dirinya pun telah terpilih sebagai peserta Turnamen, Isolda sadar bahwa ini bukan mimpi. Ini sungguhan. Mendadak, beban di pundaknya terasa sangat berat, dan ia mampu melihat awan kelabu menaungi masa depannya. Ia melipat tangan, suatu sikap defensif dengan cara dunia memperlakukannya sekarang.

"Aku Isolda Kais," katanya dengan getir. "Peserta Turnamen."

Archer Lancaster jelas-jelas gugup karena dia berkata, "Jadi ... Karena kita sepertinya akan bersama terus dari sekarang sampai turnamen berakhir, mungkin ada baiknya kita saling berkenalan dengan lebih baik?" Matanya mengawasi waswas ke arah Isolda dan pria pemilik toko bergantian. "Kalian bisa mengawalinya dengan memanggiku Archie, kalau mau."

Isolda menghela napas. Haruskah?

Di sisi lain, pemilik toko itu meneruskan ceracauan kepada staf lain yang ada di toko itu, menyebut Isolda si nona yang tidak tahu sopan santun dan Archer yang baru saja membakar tongkatnya sendiri sebagai kabar buruk sekaligus. Isolda nyaris saja menyambar, meminta pemilik toko itu untuk bersikap selayaknya kepadanya, tetapi lelaki tersebut sudah menyela duluan.

Ia menatap Isolda dan Archer. "Baiklah, baca surat susulan untuk kalian, informasi pendamping ada di sana, dan," ia mengembuskan napas, "panggil aku Deon. Sekarang pulang ke asrama kalian dan beristirahat! Jangan rusak alat sihir kalian! Paham?"

Deon. Deon si Kurang Ajar, batin Isolda. Gadis itu hanya menggumamkan persetujuan, semata-mata karena enggan dan tak punya pilihan lain. Tanpa berlama-lama lagi Isolda melangkah pergi, menyambut udara segar setelah menghirup pengapnya toko dan penatnya situasi.

Tanpa disuruh-suruh Deon pun Isolda sudah pasti bakal pulang. Ia tidak sabar untuk membaca surat yang ditujukan untuk peserta Turnamen.

Sekaligus menyempurnakan rencana yang sudah dibuatnya lama bersama Kakek. Alisnya berkedut dan langkahnya semakin tegap saat memikirkan ini.

Turnamen. Memperebutkan Tarikh Daslaenad. Dendam. Isolda semakin dekat dengan semuanya.

***

Persiapan menuju lokasi Turnamen, yang terletak di Edealunis, terasa begitu singkat. Apalagi kalau Isolda menghabiskan mayoritas waktu berlatih dan terkapar. Tahu-tahu siang berganti malam, dan siang kembali muncul.

Dan kini, ia sudah duduk di dalam kereta kuda bersama kedua lelaki menyebalkan lainnya. Archer Lancaster si Murid Bodoh dan Deon Si Kurang Ajar, lelaki berpenutup mata yang tampaknya juga punya minat aneh terhadap lelaki tampan. Kekesalan Isolda masih bertahan karena ia betah untuk mengunci mulut sepanjang perjalanan, membiarkan ketegangan mengambang di dalam kereta kuda.

Hingga, sang kusir mengumumkan bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di Edealunis, tempat perwakilan ketiga negara akan bertemu. Memikirkan ini, Isolda mengepalkan tangan. Tidak hanya dirinya dan Archer sebagai perwakilan Isigalla, akan ada perwakilan dari Qasalon dan Qokar juga.

Qasalon.

Siapapun yang akan menjadi perwakilan Qasalon ... Isolda sudah memiliki tujuan tersendiri kepada mereka. Tentu saja, selain Tarikh Daslaenad.

Isolda melirik kepada Archer. Lelaki itu tampak bersemangat saat melongok keluar jendela. Cahaya mentari menyorot wajahnya yang sebenarnya tampan, tetapi sang gadis terlalu tegang untuk mencerna ini semua.

Namun, satu pasti yang jelas, Archer pasti berpikir bahwa mereka akan memenangkan Turnamen ini. Sudah gamblang terpatri di wajahnya. Isolda setuju soal itu.

Ya, mereka akan menang. Mereka harus menang.

Atau Isolda terancam mati.


+ + +

Note:

Archer Lancaster ditulis oleh  rafpieces pada karyanya yang berjudul An Ode of Dawn and Moon~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro