Epilog
NOTE: JANGAN DIBACA DULU, MASIH PROSES EDIT. BAB DI BAWAH HANYA MERUPAKAN REKAPAN DARI ROLEPLAY. BELUM DILENGKAPI NARASI UTUH.
Di penghujung malam yang sama, Isolda sempat ragu untuk mengunjungi menara delegasi Isigalla. Ia ingin Hazel untuk beristirahat, tetapi ia tahu betapa gigihnya sang guru. Ia khawatir Hazel tidak tidur karena menanti janjinya yang akan berkunjung lagi.
Semoga Archer setidaknya sudah terlelap.
Maka Isolda mengetuk pintu menara delegasi dengan jantung berdegup, mempersiapkan diri untuk menghadapi Hazel Lockhart.
Akhirnya, terdengar sahutan Hazel dari dalam. "Ya, siapa?"
Isolda menelan ludah. Lega karena bukan Archer yang menjawab, dan tetap tegang karena bakal menghadapi gurunya lagi. Perut Isolda mulas.
"Isolda, Miss ... bisakah kita mengobrol sebentar?"
"Masuklah," kata Hazel, dan Isolda pun membuka pintu menara. Suara keriut tipisnya nyaris mengganggu ketenangan malam.
Ia menutup pintu kembali dan menghadap Hazel.
"Miss, belum tidur?"
"Belum. Ada beberapa hal yang perlu saya urus," jawab Hazel sembari mencondongkan tubuh.
"Kau pergi ke sini sendirian, Isolda?"
Gadis itu menggeleng pelan. "Ada penjaga keamanan katedral yang mengantar saya ke sini, Miss. Dia menunggu di luar, jadi ... saya tak bisa berlama-lama di sini."
Isolda menghela napas kecil, mengumpulkan tenaga untuk berbicara. "Miss? Saya, mungkin, tidak akan ikut pulang ke Isigalla."
Hazel seketika melotot dan menyergah, "Apa maksudmu?"
Isolda tidak goyah. "Saya akan mengembangkan diri ... memperluad wawasan saya di Negeri Qasalon." Ia menelengkan kepala sejenak. "Saya mulai disadarkan kalau urusan pribadi keluarga kerajaan dengan Qasalon itu hanya berdasar emosi semata, padahal Kakek bilang emosi itu pembawa petaka. Jadi, karena saya tak mau munafik seperti beliau, saya akan mengenal Qasalon dengan mata kepala saya sendiri, bukan sekadar kata-kata penguasa."
Isolda tersenyum tipis, senang karena bisa mengutarakan alasan yang disiapkannya dari tadi. "Lagi pula, jika saya benar-benar akan menggantikan Kakek menjadi Duchess suatu saat, saya mesti belajar lebih jauh mulai sekarang."
Namun, senyumnya menghilang secepat itu muncul. "Itu rencananya ... jika Kakek tidak berambisi membunuh saya karena sudah gagal."
Mendengar jawabannya, Hazel memijit pangkal hidung.
"Saya tidak tahu apa yang membuatmu seyakin itu, Isolda Kais, tapi saya tahu gagasan pergi ke Qasalon baru muncul di tempat ini." Hazel menghela napas panjang. "Memperluas wawasan bisa dilakukan saat persiapanmu lebih matang. Menjadi gegabah bukan pilihan, Isolda. Perkara Duke, saya sudah menyiapkan siasat demi keamananmu—kalau itu yang membuatmu yakin mengambil keputusan ini."
Isolda mengatupkan bibir, paham bahwa alasannya takkan diterima begitu saja.
"Miss," katanya muram, "Anda mau saya mati?"
"Tentu saja tidak!" Suara Hazel meninggi. Menyadari hal itu, ia kembali menurunkan volumenya. "Isolda Kais, saya tahu bagaimana hubunganmu dengan Duke Isigalla. Saya juga tahu konsekuensi kekalahan turnamen ini—walau rasanya tak ada yang bisa dibilang kalah setelah semua kekacauan yang terjadi."
Sang guru berhenti sejenak.
"Saya sudah pernah mengatakan ini, dan saya akan menegaskan sekali lagi: saya rela mempertaruhkan segalanya untuk anak didik saya—bahkan jika itu artinya menukarkan keselamatan kalian dengan nyawa saya." Hazel menghela napas. "Dan saya tidak sebodoh itu merelakan nyawa begitu saja, jadi tentu saya juga sudah menyiapkan strategi agar hal itu tidak terjadi. Kau harus ikut pulang, Isolda."
Isolda menghela napas. Ia tahu betapa gigih sang guru, jadi melawan terus-menerus dengan cara yang sama tak ada gunanya. Ia mesti menggunakan jalan lain. Dengan senyum kalut, Isolda bertanya, "Boleh saya dengar siasat Anda, Miss?"
Hening menggantung beberapa saat. Hanya suara ketukan pena Hazel beradu dengan meja yang terdengar.
"Saya tengah menanti kabar dari kerajaan terkait kondisi di sana," ujar Hazel beberapa saat kemudian. "Dengan kondisi saat ini, seharusnya kabar kekalahan Nyog-sothep—atau entitas gelap Edea apalah itu—tiba. Saya akan menyampaikan kabar itu lebih dulu, juga pengkhianatan Deonyco yang menyebabkan kau dan Archie tidak bisa bertarung sebagaimana mestinya. Lalu ...."
Keraguan sang guru makin tampak jelas. Isolda tebak, siasat itu belum matang karena memang tak banyak waktu yang tersedia.
Tidak bisa. Alasan apapun tidak akan membuat keputusan Kakek goyah. Isolda mencoba menghormati sang guru dengan membiarkannya mengutarakan siasat, tetapi melihat keraguan yang terbayang di wajah ayu Hazel membuat Isolda tidak bisa bersabar lagi.
"Miss," panggilnya. "Terima kasih atas siasat Anda, tapi ... sebagaimana kematian calon Duke Isigalla IV dulu menggemparkan negeri, sedingin itu pula kakek saya mampu membunuh ayah saya sendiri--putranya, sekaligus calon raja."
Isolda mengangkat bahu. Membicarakan kematian ayahnya senormal menceritakan dongeng-dongeng lama. Ia melanjutkan, "Tidak ada yang bisa menghalangi Kakek, kecuali campur tangan dewa, mungkin. Tapi Nyog-Sothep saja mampu dikalahkan, jadi saya tidak tahu apa lagi selain berdoa kepada Edea tiap jam dan memikirkan berbagai rencana."
Gadis itu lantas tersenyum lemah. "Saya sangat menghormati Anda, Miss. Anda tahu kalau Anda guru favorit saya di Akademi? Karena itulah, saya tak bisa membiarkan Anda berbuat sejauh mempertaruhkan nyawa untuk urusan keluarga saya."
"Kau yakin kau bisa menyelamatkan dirimu sendiri di Qasalon?" Ketika Hazel menunjukkan tanda-tanda mulai menyerah pada kegigihan Isolda, sang putri mulai lega.
"Saya sedang menyusun banyak rencana," kata Isolda. "Walau saya pernah mengenal Einar di masa lampau, tetapi pertemuan kami tak lebih dari tatap muka sekilas dan makan roti bersama. Itu tidak memberi jaminan bahwa saya bisa memercayai Einar seutuhnya sekarang ... pun tuan Yates yang tampak begitu baik, tetapi kaumnya sebenarnya adalah warga Isigalla yang dulu diusir Kakek. Saya tetap akan berhati-hati dengan mereka."
Isolda menghela napas saat menumpu kedua tangan di pangkuannya. "Saya punya bekal ratusan mantra dan sejumlah emas. Juga pelajaran-pelajaran dari kerajaan maupun akademi tentang Qasalon. Selebihnya, semua tergantung situasi dan kondisi."
"Itu artinya, jalan manapun yang kau pilih, kemungkinan mati terbunuh tetap sama." Hazel melipat tangan. "Kalau kau pulang ke Isigalla, ada saya yang bisa kau percayai, juga rekan-rekan saya yang bersedia membantu. Di Qasalon sana? Tidak ada!"
"Benar, Miss. Tapi ada hal yang Anda lewatkan," kata Isolda tenang. "Jika Anda dan yang lain membantu saya, maka Kakek bisa menganggap Anda membela hal yang salah. Bagaimana jika Anda ikut dibunuh bersama saya? Apakah itu sempat Anda pikirkan?"
Isolda menambahkan, "Jika saya ikut Qasalon dan Kakek berhasil memburu saya, setidaknya yang ikut mati bersama saya bukan Anda, melainkan orang lain." Senyum kalut terbit di bibirnya. "Dan itu juga saya ragukan, sebab jika Kakek gegabah membunuh warga Qasalon yang melindungi saya, pasti bakal menimbulkan ketegangan antar kedua negara. Sementara, Anda adalah warga Isigalla sendiri—Kakek lebih berhak melakukan sesuatu pada Anda daripada warga negara lain yang melindungi saya."
"Ini tentang nyawamu, Isolda Kais."
Ternyata gurunya masih gigih juga. Isolda tidak heran, justru itulah yang membuat Hazel menjadi guru favoritnya.
"Saya guru di akademi. Apabila kerajaan berani macam-macam dengan para pengajar, rakyat bisa mengamuk dan negara jadi kacau. Kalau kau lupa, peran akademi sangat berpengaruh dalam kerajaan—itu sebabnya delegasi yang dipilih adalah orang-orang terbaik dari akademi."
"Benar sekali," kata Isolda. "Apalagi Anda adalah guru kesayangan saya dan Kakek tahu itu .... Tapi pada akhirnya Kakek bakal selalu bilang bahwa ini adalah urusan keluarga. Anda tidak bisa ikut campur lagi kalau begitu."
Gadis itu mengakhiri ucapan dengan helaan napas. Semakin dibicarakan, semakin terlihat betapa Duke Isigalla III tidak pantas menjadi panutannya lagi seperti dulu. Isolda merasa berbagai kejadian di Edealunis telah membukakan matanya tentang kenyataan.
"Dan soal delegasi adalah orang terbaik di akademi ... justru itu masalahnya, kan, Miss? Kenyataannya kami kalah dari Qokar, dan saya bahkan sempat berkhianat. Baiklah, kekalahan di turnamen itu mungkin bisa mendapat kesempatan dimaafkan oleh Duke, tetapi pengkhianatan saya tidak. Bukankah Anda juga merasa terkhianati dengan perbuatan saya?"
Hazel yang terdiam sejenak membuat Isolda yakin bahwa sang guru memang kecewa. Siapa yang tidak?
"Saya kecewa, benar. Akan tetapi, saya percaya kau bisa begitu karena pikiranmu sudah dikuasai dewa kegelapan di bawah sana." Hazel mengangkat bahu. "Bagi saya, kau tetap anak dan tanggung jawab saya. Setidaknya, sampai kau lulus dengan benar, Isolda Kais. Jadi, kau ikut pulang dengan kami."
Meski Isolda telah mempersiapkan diri, tetap saja mendengar kenyataan membuat hatinya serasa diremas-remas.
"Tidak, Miss." Dan masih saja ia mengeyel. Harus. "Lebih baik saya menjadi pengecut sekalian dengan pergi ke negeri lain, daripada saya mati cepat. Kalau pun Kakek tidak membunuh saya, masih banyak hal lain yang menanti saya. Para menteri tukang menghakimi, para pelayan penggosip, orang-orang yang menaruh kepercayaan pada saya ... belum lagi murid-murid di akademi yang mungkin bakal merundung saya."
Pelupuk Isolda mulai basah. Ia pun mengalihkan pandangan ke arah jendela, mengerjapkan air mata kecil hingga lenyap dari pipi. Kegelapan langit di luar sana mengingatkannya pada petugas keamanan yang mengantarnya tadi.
"Saya harus kembali ke menara Qasalon—untuk membicarakan banyak rencana bersama Einar," katanya, masih tak jujur jika berniat tidur di sana. "Terima kasih atas waktu Anda, Miss. Anda sebaiknya beristirahat sekarang. Anda mesti mempersiapkan kepulangan dan perjalanan yang panjang."
Hazel menarik napas seraya memejamkan mata. Malam memang sudah sangat larut.
"Kau juga harus istirahat. Saya harap, kita bisa berdiskusi dengan kepala yang lebih jernih esok pagi, dan kau bisa mempertimbangkan keputusanmu matang-matang." Hazel menatap Isolda lekat. "Yang jelas, saya tidak pernah menganggap anak-anak saya pengecut, Isolda Kais. Terutama kau."
Isolda tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih banyak, Miss. Saya ... senang mendengarnya."
Ia pun mengangguk hormat sebelum pamit dari menara delegasi Isigalla.
***
Jauh di luar dinding Edealunis, orang-orang masih kebingungan. Mereka mencampuradukkan air mata dengan darah, tidak menyangka bahwa seorang anak telah membunuh bapaknya, seorang ibu telah menghabisi anaknya, dua saudara saling menikam satu sama lain, bahkan hingga anggota tubuh bergelimpangan layaknya ranting-ranting pohon kemarau yang telah membusuk sejak lama. Jasad-jasad digotong satu per satu, dihimpun, dan dijajakan layaknya barang dagangan dalam bungkusan kain, menanti ada wajah yang meratap atau tangan yang memeluk tubuh dingin mereka.
Di tengah kekacauan, sang Paus tak lupa menepati janjinya untuk memberikan penghargaan kepada para pejuang, terlepas dari asal mereka, disertai dengan pengumuman bahwa Qokar menjadi pemenang dari Turnamen Perdamaian Kedua.
Walau tidak ada sorak gempita di tengah suasana duka, Edealunis memberikan pengetahuan dan benih-benih tanaman obat untuk dibawa pulang kepada para pemenang serta memberikan hak istimewa untuk meminta bantuan para penyembuh selama lima tahun ke depan, berkeliling di seluruh bentangan aliansi Qokar untuk menjamah yang terluka dan sakit.
Sienna, ditunjuk menjadi pemimpin rombongan, agar dia dapat melihat dunia yang tidak tercabik oleh perang dan dewa asing. Gelar saintess telah dia lepaskan, karena sudah tak ada lagi ancaman dan tugasnya telah selesai. Kini dia menjadi manusia fana yang ikut menjejak tanah, menyebarkan ajaran dan kebaikan Edea melebihi tembok katedral.
Atas beberapa pertimbangan, Paus memutuskan menyimpan rapat pengkhianatan Deon, sang mentor Isigalla, biarlah Edea yang menghakimi apakah dia layak mendapatkan kasih karunia atau tidak. Nama Nyog-Sothep menjadi hal yang dihindari karena merujuk pada Hari Berdarah di mana seluruh benua jatuh dalam kekacauan, walau bisik-bisik tentangnya masih terdengar.
"Hari ini, tidak ada lagi Qokar. Tidak ada lagi Qasalon. Tidak ada Isigalla. Pun juga Edealunis. Yang ada adalah penduduk Hiryn, bersatu untuk memulihkan dunia, bekerja sama dalam kedamaian."
Sang Paus berkata di antara delegasi di balai pertemuan, melepas para pejuang yang telah memberi kedamaian pada Hiryn.
Kalau begitu, batin Isolda, tidak masalah jika aku pergi ke Qasalon, bukan?
Meski gadis itu yakin, seiring ucapan Paus yang menyatakan bahwa batasan antar negeri mulai memudar, maka akan semakin mudah bagi Kakek untuk mengejarnya.
Isolda mengepalkan tangan.
Ia siap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro