17 | Kesimpulan, Kedua
Setibanya di taman, pendamping Qasalon yang jangkung itu mulai bersikap melindungi, memosisikan dirinya di depan Isolda dan Einar seolah tahu bahwa dua bersaudara ini bisa memancing emosi orang lain.
Dari balik punggung lelaki itu, Isolda menyapukan pandangan. Ia menghela napas melihat hingar-bingar di taman, walau kekacauan kecil ini lebih baik dari segala hal yang sudah terjadi.
Sementara orang-orang meributkan kepala Deon di tangan Esmeralda, fokus Isolda terpaku pada Miss Lockhart, dan memilih untuk mengabaikan Archer.
Einar tampaknya merasakan apa yang Isolda alami, sebab pemuda itu ikut berdiri protektif di sisinya.
Meski begitu, Isolda tak bisa bersembunyi terus. Kala Miss Lockhart berseru marah pada Archer, "Dan mana Isolda?!" Isolda harus segera muncul.
Ia menepuk bahu Einar dan memberi anggukan pada René serta Esmeralda, lalu melangkah mendekati Hazel Lockhart.
"Miss," sapanya tenang. "Senang melihat Anda baik-baik saja."
Ucapan Isolda itu justru disambut oleh kerlingan Archer. Tentu saja itu tidak luput dari wawasan pandang Isolda. Apalagi Einar tahu-tahu menggertak.
"Matamu itu sempat berlabuh ke mana?"
Ia menoleh kepada Einar. Isolda tak bicara banyak, tetapi tatapannya yang sembap sarat akan ucapan terima kasih.
Dan mungkin ... kepercayaan, meski itu diawali dari rasa ketidakberdayaan karena tak tahu harus percaya pada siapa lagi, tetapi gestur Einar barusan membuat Isolda semakin percaya.
Dan, gadis itu, berpikir bahwa masa depannya akan berubah drastis dalam sekejap, memutuskan untuk menatap Archer.
Ada nyeri yang berkeriap di hatinya.
"Archer, aku meminta maaf," katanya. "Kau boleh membenciku setelah ini, menganggapku tak pernah ada, atau menjelek-jelekkan namaku sepuasmu ... jika itu bisa membuatmu lebih baik. Aku juga tidak memaksamu untuk memaafkan aku, sebab itu hakmu."
Isolda menarik napas dalam-dalam, merasakan sengat nyeri di matanya, pertanda air mata lain siap tumpah.
"Semoga kau, em, selalu terhindar dari bahaya."
"Meskipun aku memaafkanmu, belum tentu dengan Raja Isigalla."
Isolda menghela napas. Ia sudah tahu, tak perlu diingatkan bahwa langit berwarna biru dan air laut rasanya asin. Bagaimanapun Duke Isigalla III adalah kakeknya sendiri, Isolda memahaminya lebih dari siapapun di sini.
Hazel, yang akhirnya terbebas dari kesibukan, langsung menghampirinya. "Isolda Kais!" Hazel menepuk pipi gadis yang tampak pucat itu. "Seharusnya saya yang bilang begitu! Syukurlah kalian berdua baik-baik saja ...."
Namun, sang guru tampaknya menyadari ada yang aneh di antara Isolda dan Archer, sebab ia kembali bertanya. "Kalian kenapa?"
Isolda terperangah ditepuk Hazel seperti itu. Melihat reaksi sang guru, tampaknya Hazel belum mendengar apa yang terjadi tadi.
Air mata sang gadis kembali tumpah. Mengaku pada René berbeda rasanya dengan menyatakannya langsung di depan Miss Lockhart, guru yang menemaninya selama ini.
"Uh.. M-Miss.. aku.. maafkan aku." Bahunya gemetaran dan Isolda menunduk malu. "Aku.. aku sempat terpengaruh ajakan Deon, dan.. dan aku menyerang Archer berkali-kali.."
"Tetapi, itu bukan masalah besar. Teman yang dia serang ini bahkan sekarang sudah sembuh total. Adapun prihal kemurungannya karena kecewa ... Itu tanggung jawabnya sendiri," Einar menimpali. Sikapnya sudah seperti saudara kembar sang gadis sendiri.
Einar kembali memusatkan perhatian pada Archer. "Perasaanmu itu, bukan tanggung jawab orang lain. Benahilah sendiri."
"Ya, ya," Archer akhirnya menjawab. "Memang bukan urusan kalian untuk memikirkan perasaan orang lain. Orang sepertiku memang dari awal tidak pantas untuk dipercaya. Dari awal ...." Archer menekankan suaranya. "Dari awal orang sudah meremehkanku karena aku lemah." Pemuda itu mengambil napas dalam. "Aku tidak perlu simpati kalian."
Isolda sesenggukan kala Hazel menyeka air matanya. Ia menatap Hazel. "Anda mungkin berpikir saya takkan melakukan hal-hal seperti itu. Tapi saya melakukannya, Miss. Anda tahu kalau seseorang bisa melakukan apa saja saat berada di ambang kematian, kan?"
"Isolda ... sejujurnya, saya mungkin bisa sedikit paham. Yang penting sekarang kau selamat." Hazel menatap kedua muridnya bergantian.
"Kalian berdua, kalau ada apa-apa dengan kalian, saya sudah berjanji pada kerajaan kalau diri saya jadi jaminan. Kurang percaya apalagi saya sama kalian?"
Isolda, yang mendengar perdebatan tanpa henti Einar dan Archer, menghela napas. Ia menyentuh lengan Einar. "Sudahlah, biarkan saja," katanya pelan. Selain tak ingin mendengar perdebatan itu lebih jauh, ia tak ingin Einar memojokkan Archer terus-menerus.
Lalu, ia menatap Hazel kembali, yang berbicara padanya. "Dan Isolda ... sejujurnya, saya mungkin bisa sedikit paham. Yang penting sekarang kau selamat." Hazel pun menoleh kepada Archer juga. "Kalian berdua, kalau ada apa-apa dengan kalian, saya sudah berjanji pada kerajaan kalau diri saya jadi jaminan. Kurang percaya apalagi saya sama kalian?"
Isolda merasa kian pening. "Saya percaya pada Anda, Miss Lockhart, dan saya meminta maaf karena telah merusak kepercayaan itu."
Namun, Hazel Lockhart sepertinya terlalu lelah menghadapi semua ini. Setelah berusaha di taman, disambut dengan kejutan Deon, dan kini perdebatan kedua muridnya ... sang guru tiba-tiba tumbang.
Isolda memekik kaget. Namun, seolah itu belum cukup, René pun mengomeli ketiga remaja yang bertikai dari tadi.
"Sudahi dulu pertikaian ini. Sekarang saatnya kalian istirahat dan mendinginkan kepala. Besok, setelah kalian sedikit lebih waras, dan tidak merepotkan Edealunis, silakan lanjutkan. Bila perlu, ambil senjata masing-masing!"
Isolda mendesah kesal. Ia berlutut di samping Hazel dan berkata kepada orang-orang di sekitarnya, "Adakah yang bisa membantu saya membawa Miss Hazel ke menara?"
"Kau, Isolda dari Isigalla." René memanggilnya. "Bila pulang ke menara Isigalla terasa berat. Bisa menginap sementara di tempat Qasalon atau meminta pada pihak Edealunis untuk tempat menginap terpisah."
Isolda baru saja akan menjawab, tetapi Einar menambahkan, setelah berbicara pada Esmeralda, "... Sementara aku akan pergi mencari tempat lain untuk Isolda."
Pemuda itu pergi begitu saja. Isolda, yang kebingungan, hanya bisa berterima kasih dalam hati dengan kebaikan Einar di luar tingkah ajaibnya. Ditambah dengan pendamping Qasalon yang tak keberatan untuk menampungnya di menara mereka, Isolda berpikir ia akan menerima tawaran itu. Nanti, setelah semua beres. Semoga pihak Edealunis tidak keberatan.
Dan, Archer akhirnya merespons lagi, tetapi ia hanya berbicara kepada René Yates. "Aku bisa bantu," ujarnya. Sudah pasti ia tak ingin membopong Miss Hazel bersama Isolda, tapi mana mungkin gadis itu akan membiarkan gurunya begitu saja?
"Nona Isolda, bisa tolong bantu gurumu meminum obat ini?" René menoleh kepadanya, memutuskan untuk memberi obat terlebih dahulu kepada Hazel.
Isolda tidak berpikir panjang lagi. "Tentu, serahkan obatnya pada saya."
Isolda sadar betul dengan keengganan Archer untuk menatapnya. Memang menyakitkan, tetapi gadis itu tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia sudah berusaha semampunya untuk saat ini. Isolda pun fokus meminumkan ramuan pada Hazel, berhati-hati agar ramuannya tidak tumpah dan gurunya tidak tersedak.
"Pelan-pelan, Miss ... sedikit lagi, ya, begitu," ujarnya lega saat ramuannya hampir diteguk seutuhnya oleh Hazel, dan kini Isolda berharap sang guru bisa berangsur pulih dengan cepat.
"Terima kasih, Isolda Kais." Suara Hazel sudah mulai lebih bertenaga. Ia menoleh pada Archer dan tersenyum tipis. "Terima kasih juga, Archer Lancaster .... Uh, sepertinya saya masih lemas walau sudah lebih baik. Archer, Isolda, kalian bisa menuntun saya sampai menara, kan?"
"Jangan terlalu memaksan diri, Nona Hazel," ucap René. "Dan tolong tidak usah memaksa kedua anak ini berbaikan. Mereka butuh waktu. Terutama Tuan Archer."
"Saya tidak memaksa, kok." Hazel menggeleng. "Kalau mereka tidak bisa, ya sudah. Mungkin saya duduk di sini dulu sampai cukup kuat untuk jalan sendiri."
"Tidak bisa begitu, Nona," desah René seraya melihat ke sekeliling.
Mendengar kedua pendamping yang saling menumpuk upaya mendamaikan mereka, Isolda merasa ini akan menjadi awal dari perdebatan lain yang tiada ujung. Ia memutuskan untuk melingkarkan tangan Hazel yang bebas di pundaknya.
"Kalau masih bingung berdebat, saya bawa saja Miss Lockhart sekarang. Sampai kapan mau di sini?" tanyanya. "Mari, Miss."
Meski begitu, Isolda tahu ia tak bisa membawa Miss Lockhart sendirian. Tangan satunya sang guru masih dibopong oleh Archer.
"Tidak, Nona Isolda," tegas René. "Anda ke menara Qasalon saja dulu, menemui Einar. Dia akan membantu Anda menentukan pilihan. Dan Anda, Tuan Archer, bantu saya memapah Nona Hazel ke menara Isigalla."
Hazel menggeleng pelan. "Saya sudah cukup merepotkan Anda, Tuan Rene. Lebih baik saya merepotkan murid-murid saya sendiri."
"Tidak, Nona Hazel. Pendapat pasien seperti Anda saat ini saya abaikan."
"Isolda," panggil Archie tegas, barangkali paham perdebatan itu harus ditengahi. "Lebih baik kau ke menara Qasalon dan bicarakan sesuatu dengan Einar. Aku dan Tuan Yates akan membawa Miss Hazel kembali ke kamarnya. Lebih baik dengan kekuatan dua pria karena aku dan kau belum tentu bisa membawa Miss Hazel dengan selamat."
Walau Isolda sudah menduga Archer akan mengatakan itu, tetap saja ada sesuatu yang padam di dalam dirinya. Gadis itu langsung kehilangan keinginan untuk mengupayakan apa pun.
Meski enggan, Isolda melepaskan tangan Hazel dari dirinya. Ia menatap sang guru dan meremas tangannya lembut, memberi isyarat bahwa Isolda akan datang lagi jika Hazel menginginkannya. "Beristirahatlah dengan baik, Miss. Jangan pikirkan apa-apa, oke? Saya pergi ke menara Qasalon karena ada urusan dengan Einar, tenang saja."
Ia tidak akan menceritakan seutuhnya bahwa Isolda berniat bermalam di sana.
Lalu, Isolda menoleh pada sang pendamping Qasalon. "Saya akan pergi ke menara Qasalon dulu, kalau begitu. Saya mohon bantuan Anda. Terima kasih banyak."
Dengan begitu, Isolda beranjak. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar taman menuju menara Qasalon.
Namun, saat Isolda berjalan ke arah luar, ia melihat sosok seorang nenek tak asing yang masih duduk lemas di taman. Napasnya tercekat. Bukankah itu pendamping Qasalon juga? Kenapa para lelaki tadi sibuk mengurus Hazel sementara nenek tersebut diabaikan? Dasar.
Isolda pun menghampirinya. "Nyonya ... Avalonce, bukan?" sapanya, mengingat nama yang sering disebut Esmeralda. "Anda masih kuat berdiri? Saya berniat ke menara Qasalon. Mari, kita pergi ke sana bersama."
"Wah, terimakasih. Kau baik sekali."
Wina tersenyum lembut. Ia pun lanjut berbicara, "Isol, beberapa tahun lagi, bila kau gundah, mari kita minum bersama. Nenek ini yang traktir sampai kau puas. Mungkin nenek sudah kaya lagi saat itu."
Lalu ia menambahkan, "Atau berani bertaruh dengan Nenek? Kompensasi apa yang akan diberikan Edealunis pada kita semua? Nanti kamu bisa ambil separuh punya nenek."
Wina beranjak dari acaranya duduk di taman dengan lemas seperti itu. Ia berjalan di samping Isolda menuju menara Qasalon.
Isolda mengerjap bingung dengan tawaran tiba-tiba sang nenek. "Ah ... minum? Bertaruh? Haha.." Ia memaksakan tawa agar bisa ikut meringankan suasana. Bagaimanapun ia merasa bertanggung jawab juga atas kekacauan yang ada.
"Kalau kompensasi, saya tidak tahu. Tapi kalau soal minum, sebenarnya saya tertarik. Apakah Anda punya kedai? Atau Anda mau mengajarkan saya berbagai jenis minuman ... nanti kalau usia saya sudah cukup?"
Dan, begitulah, Isolda justru berakhir mengobrol soal minuman dan taruhan dengan pendamping Qasalon yang ditemuinya. Bukan akhir hari yang diduganya, tetapi ini lebih baik daripada kemungkinan lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro