16 | Kesimpulan
Isolda tak banyak bereaksi ketika Nyog-Sothep hancur. Pandangannya kosong, sehampa isi pikirannya, kala memikirkan bahwa ancaman sebenarnya memanglah Kakek. Entah situasi apapun yang tengah dialaminya, pada akhirnya Isolda akan kembali pada lingkar setan ini.
Einar, yang menjajarinya, mengusik ruang kosong Isolda dengan bertanya pada yang lain. "Jika kalian sudah tenang, bisakah kita menyamakan persepsi tentang apa yang akan kita katakan pada orang-orang di atas?"
Pemuda itu mengangkat sebelah tangannya ke arah samping bak perlindungan, menunjukkan bilah pedangnya yang telah hancur macam Nyog-Sothep, menyisakan sekadar gagang saja.
"Antara pembelotnya hanya ada satu, yaitu salah satu pendamping Isigalla. Atau ... tetap dua dengan lainnya adalah seorang keturunan Duke Isigalla ... yang mewakili Qasalon. Cerita mana yang akan kalian pilih?"
"Kamu masih ingin menganggap dirimu keturunan darah tidak berguna itu, Einar sayang? Rasanya pembelot atau bukan itu tidak jadi hal penting sekarang," si putri Qasalon membalas. "Esme tidak peduli kalian mau cerita apa nanti pada orang-orang."
Isolda mengembuskan napas tipis. Matanya refleks mencari pemuda lain. Archer Lancaster, yang sama sekali tidak menatapnya. Kedua mata Archer tertuju hanya pada Einar, seolah menolak mengakui eksistensi Isolda di sana.
Tidak masalah. Gadis itu berusaha menyakinkan dirinya. Bukankah dia biasa dijauhi? Sambil memikirkan ini, Isolda mencoba menekan emosinya sekuat tenaga, tetapi tubuhnya justru gemetaran hebat.
"Benar, semua tergantung Raja Isigalla untuk menghukum pengkhianat," jawab Archer. "Dan juga bukan pilihanmu apakah kau akan dikambinghitamkan atau tidak, Einar. Jadi, biarkan semua mengalir apa adanya tanpa penambahan atau pengurangan, karena kebohongan adalah salah satu sumber kegelapan. Kau tidak ingin Nyog-Sothep kembali karena satu kebohongan kecil, bukan?"
Tangan Archer mengepal, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik.
"Mungkin maksudmu perpecahan? Kebohongan agaknya tidak jadi bagian dari energi yang dia butuhkan jika aku tidak salah," balas Einar kepada Archer, meski si pemuda Isigalla sudah beranjak keluar ruangan.
Einar pun berputar menghadap Isolda. "Jangan jauh-jauh dariku. Apapun yang kau pikirkan, jangan lakukan. Kita akan tunda pembicaraan ini nanti."
Isolda menggigit bibir kuat-kuat sampai terasa besi di ujung lidahnya. "Sudahlah," ujarnya getir. "Nasibku sudah digariskan Kakek sejak lama. Jika aku gagal, aku akan mati. Dia tak pernah membahas tentangmu, kau pun barangkali sudah mati di matanya ...."
Saat mengatakan itu, Isolda terdiam. Dengan Einar tampil di turnamen, semestinya Kakek juga tahu, bukan? Gadis itu mengatupkan bibir. Apakah yang dalam bahaya sebenarnya bukan hanya Isolda saja, melainkan Einar juga?
Isolda, yang masih linglung, dihampiri seseorang familiar. Pendamping Qasalon yang bertubuh jangkung itu baru turun dari taman.
"Nona ... Muda Isigalla, saya René Yates, pendamping dari Qasalon. Boleh saya menanyakan tentang apa yang tadi terjadi di sini?"
"Anda tak perlu menjawab terlalu detil bila tak mau. Cukup sedikit penjelasan umum saja. Karena saya sungguh tidak memahami kalimat Anda tadi."
Bahunya melesak. "Anda ingin tahu apa yang ada di sini?" Pertanyaan bagus. Isolda barangkali bisa menegaskan kembali apa yang sebenarnya terjadi tadi.
"Ada dewa asing. Deon, pendamping kami, ternyata kerasukan dia. Dan aku sempat membelanya, karena aku pikir dewa asing itu bisa menolongku seperti menolong Deon." Isolda tersenyum lemah. "Tapi dewa asingnya kalah, sebab anak-anak didikmu dan para delegasi lain sangat hebat. Sekian."
"Begitu, rupanya. Entitas tak dikenal datang dengan niat yang tak selaras lalu sosok di sana membantunya entah karena apa dan berakhir dengan kegagalan," René menyimpulkan, memastikan bahwa tidak salah memahami penjelasan sang gadis yang begitu padat dan singkat.
"Kalau benar demikian, apa kaitannya Anda sempat membela mereka dengan kematian Anda, Nona ... muda Isigalla?"
Isolda mengepalkan tangan. "Isolda, nama saya," jawabnya, lantas menatap René lurus ke kedua matanya, melawan segala emosi dan keinginan untuk membuang muka dan bersembunyi.
"Terserah Anda ingin mengatakan bahwa saya tak lebih dari remaja labil, tetapi saya sempat terbersit keinginan untuk ... bertahan hidup." Saat mengatakan ini pun, air mata berkumpul di pelupuknya. "Sebab saya gagal memenangkan turnamen, dan kakek saya mengancam saya harus mati jika gagal. Saya pikir ... jika Nyog-Sothep memang sekuat itu ... ia bisa membantu saya terlepas dari ancaman Kakek jika saya membelanya. Saya keliru."
"Nona Isolda, ya. Menurut saya, tidak ada yang salah dari keinginan bertahan hidup," kata René. "Kesalahanmu mungkin ada pada mengkhianati kepercayaan orang yang menganggapmu rekan."
Gadis itu terperangah. Lelaki ini ... bilang apa? Apa Isolda sempat salah dengar?
"Ya. Kalian hanya berselisih kepentingan saja," ujar René lagi, seolah ingin meyakinkan Isolda. Tatapannya mendorong air mata di pelupuk sang gadis untuk tumpah.
Namun, ia masih ingin bertahan ... ia tidak boleh emosi .... Sayangnya, ia juga sadar bahwa tak ada gunanya menahan tangisnya lebih lama lagi. Mau ia emosi atau tidak, ia tetap sudah gagal memenuhi permintaan Kakek. Apa gunanya menahan diri jika takdirnya sudah digariskan oleh Kakek? Apa pun reaksinya, tetap takkan mengubah keputusan sang duke.
"Nah, kembali pada pertanyaan saya semula, Nona Isolda." René mengalihkan perhatiannya lagi. "Apa yang bisa dilakukan oleh seorang kakek atas nyawa cucu yang bahkan tidak berada di negara yang sama dengannya?"
Isolda menelan ludah. "Masih ... banyak yang bisa dilakukan Kakek," jawabnya, air mata pertama menetes saat membayangkan skenario yang diberikan René. Ia menundukkan pandangan, sebab lebih banyak air mata bercucuran. "Kakek adalah raja, jadi ... di mana pun saya berada ... Kakek masih punya kuasa atas saya, selama saya masih cucunya."
"Orang yang sama juga menggariskanku untuk mati sebagai sampah di perbatasan negara. Tetapi, sampai sekarang aku masih hidup dan memiliki kebebasan," Einar menyahut di sisinya sambil menghela napas. "Tetaplah pulang dengan berani, aku akan ikut bersamamu untuk membereskannya."
Kala Isolda menatapnya, Einar melanjutkan, "... Juga, ini semua bukan tentangku. Bukan juga hanya tentangmu. Jika orang sepertinya terus hidup, keturunan duke Isigalla yang lain mungkin hanya akan tumbuh sebagai ambisius dan obsesi mereka juga akan terus hidup."
Pemuda itu ikut menatapnya yakin. "Ayo, akhiri saja dendam turun menurun itu. Semua ini melelahkan, bahkan untuk penonton yang sudah lama disingkirkan sepertiku ... akan ku bantu."
Isolda menelan ludah. Meski penawaran Einar sangat menggiurkan, dan ia juga sudah membuktikan diri mampu bertahan hidup hingga kini, tetap saja sisi rasional di Isolda masih memberontak. Atau, daripada sisi rasional, lebih tepatnya pengalaman hidup bersama Kakek selama tujuh belas tahun yang mempengaruhi cara pandangnya.
"Kau menyarankan kita membunuh Kakek? Kau sinting atau apa?"
Meski, Isolda juga tak bisa memikirkan cara lain. Kabur hingga ke ujung dunia sekalipun, Kakek pasti masih bisa menemukannya, kan? Beliau seorang penyihir sepuh. Orang paling menakutkan di hidup Isolda. Jika ada orang yang lebih hebat daripada Kakek, maka ia tidak tahu siapa itu.
"Ah, Raja itu lagi," gerutu René pelan, menarik perhatian sang gadis.
"Anda kenal?" tanya Isolda heran. "Kakek saya .. atau barangkali buyut atau moyang saya? Kakek saya adalah Duke Isigalla III, keturunan dari Duke Isigalla pertama yang memecah diri dari kekaisaran."
Di sisi lain, Einar membalas pertanyaannya dengan anggukan. "Tidak dalam waktu dekat juga tidak apa-apa. Satu tahun, dua tahun, lima tahun sekalipun," jawabnya sembari melihat ke kejauhan.
"Tidak perlu kekuatan, manusia pada umumnya mudah ditebak ... Aku yakin bahkan untuk penyihir sekalipun, mereka tetaplah manusia. Hanya lebih berbakat saja." Einar kembali menatap Isolda. "Untuk sementara ikut saja denganku. Di pondok guru, bahkan nyamuk sekalipun tidak bisa masuk begitu saja. Ahli sihir dan Alkemis kurang lebih sama, mereka bermain di ranah yang tidak normal. Selanjutnya kita rencanakan di sana."
Gadis itu terperangah, tak menyangka dengan tawaran-tawaran perlindungan dari kedua lelaki di hadapannya. Saking tak percayanya, air mata sampai berhenti mengalir, sebab otaknya kembali disibukkan dengan berbagai dugaan dan prasangka ....
Dan juga harapan.
"Kalian serius ... menawarkan ini padaku?" tanya Isolda kebingungan.
René tersenyum.
"Tidak secara pribadi. Hanya saja ... Ibu saya--tidak, tepatnya, kaum Ibu saya terusir dari tempat mereka di hutan-hutan Isigalla, oleh Raja yang sedang berkuasa saat itu, mungkin masih berkuasa hingga sekarang bila mendengar cerita Anda, Nona Isolda," jawabnya dengan senyum berubah getir.
"Setidaknya Raja itu mengambil keputusan tepat dengan tidak mengerahkan pasukan untuk mengejar kaum ibu saya," tambahnya dengan ringan.
Jadi begitu rupanya ... pasti itu perbuatan Kakek. Keturunan Duke Isigalla yang dingin dan tak kenal ampun.
Einar pun menjawab pertanyaan Isolda, "Sudah kubilang ini bukan hanya tentangmu. Jika aku menawarkan sesuatu, tentu pada akhirnya akulah yang paling untung. Aku tidak punya kepentingan untuk terlihat baik dimata siapapun, aku akan melakukan apapun yang ingin kulakukan. Tidak ada yang memiliki hak untuk mencampurinya, bahkan standar moral manusia sekalipun," katanya. "Selain itu, aku juga ingin mencoba sesuatu yang menarik dengan kekuatan sihir. René, kau mau bantu, kan?"
Isolda mengangguk. "Kalau ... kalau memang begitu, lebih baik. Aku tidak peduli dengan kepentingan lain yang menguntungkanmu, tapi ... kuakui aku tidak punya pilihan lain."
"Tergantung bantuan macam apa dulu," René menjawab. "Apabila Anda sekalian--termasuk kau juga Einar, membutuhkan tempat mengungsi sampai dengan punya cukup kekuatan untuk melaksanan apa yang kalian rencanakan, saya rasa di kampung halaman masih banyak tempat. Ibu dan ayah saya akan senang menerima kalian."
Ia menelan ludah. "Saya tidak yakin orang tua Anda mau menerima saya, mengingat kaum Anda sekalian diusir oleh Kakek. Tapi, jika ada tempat yang mau menampung saya dan juga Einar, saya akan menerimanya ... seperti apa pun juga."
"Saya mengerti apabila Anda merasa ragu, Nona Isolda. Tetapi kaum ibu saya tak mudah untuk menyimpan dendam turun-temurun," René kembali menjelaskan. "Sama seperti kami tak bisa menyerahkan kesetiaan sembarangan, benci juga tak bisa kami berikan dengan mutlak. Apa yang membuat kami tak menyukai Raja Isigalla III, tidak akan membuat kami serta-merta langsung membenci keturunannya."
Einar menimpali, "Yang pasti, tambahan orang diperlukan untuk meloloskannya dari pulang ke Isigalla, terutama tentang mengatasi pendamping lain. Tidak perlu ikut dengan rombongan Qasalon sampai ke kota, Esmeralda mungkin tidak menginginkannya. Kami bisa pergi dengan kereta berbeda." Einar berhenti sejenak sebelum mengatakan, "Terima kasih untuk tawarannya, kami akan mengunjungimu nanti setelah kau selesai bertugas."
Isolda mengangguk. Barangkali René Yates berpikir dirinya berada di titik terendah karena mau menerima situasi apa saja sekarang, tapi itu memang benar.
"Saya berterima kasih atas tawaran Anda, Tuan René... untuk saat ini, saya akan melihat situasi dulu," katanya, membenarkan ucapan Einar sekaligus.
Masalah kepulangan nanti, Isolda tidak tahu bakal seperti apa. Jika ia bisa pergi langsung tanpa ikut rombongan Isigalla, maka itu lebih baik.
"Sebaiknya kita pergi ke atas sekarang, wakil Edea itu mungkin juga ingin bertemu para Jemaatnya di atas," usul Einar. "Nona Sienna, anda juga akan kembali ke atas bersama kami, kan?"
Ia ikut menoleh kepada Sienna, menanti keputusan sang Saintess. Sejujurnya, ia juga malu menghadapi wanita tersebut karena tingkahnya, tetapi kebaikan René membuat Isolda berharap setengah mati bahwa Sienna pun mau memaafkannya.
"Mari, Nona Isolda, kita kembali ke atas," ajak Sienna lembut pada remaja yang tampak kalut itu. "Setiap orang bisa melakukan kesalahan, selama Anda masih hidup, Anda selalu bisa menebus dan menjalani hidup dengan lebih baik."
Si gadis menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban Sienna. "Terima kasih banyak, Sienna," jawabnya. "Saya ... akan berusaha."
Mungkin itu hanya janji kosong untuk sementara waktu, tetapi Isolda membutuhkannya. Maka, setelah memberi anggukan hormat pada sang Saintess, ia mengekori rombongan Qasalon ke atas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro