Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 | Kenyataan


Einar melontarkan diri ke arah Isolda, Kedua ujung pedang digesekkan pada tanah. Isolda mempersiapkan diri, tetapi gerakannya terlalu cepat. Tanpa sang gadis mampu kendalikan, situasi berbalik arah: Einar menunjukkan mengapa dirinya mampu terpilih sebagai perwakilan Qasalon, negeri para kesatria, untuk berada di turnamen itu.

Tepat sebelum Isolda mampu menghindar, punggungnya tersambar sensasi membakar yang perih. Einar menorehkan luka baru di sana. Napas Isolda terputus sesaat, sensasi tajam yang familiar menjalar di sekujur tubuh.

"Isol!" Archer berteriak, suaranya terdengar dari sisi lain arena. Pemuda itu sedang menghadapi gadis petarung Qasalon yang lain. Isolda hanya mampu melirik, tidak ada waktu untuk bercakap-cakap dengan rekan delegasinya.

"Keparat," umpat gadis itu. Beruntung, guru akademi kesayangannya, Hazel Lockhart, cepat tanggap. Segera setelah Einar membuat luka baru, menambah koleksi dari sabetan beruntun gadis-gadis Qokar di turnamen hari pertama, bantuan datang.

"Isolda Kais!" seru Hazel dari arah tribun. Tanpa berlama-lama lagi, ia mengirimkan bola cahaya dengan pesan, "Fokus, Isolda!"

Gadis itu menerima bola cahaya yang dilemparkan Hazel, menyerapnya dengan sempurna. Ia lantas mencoba membalas dengan melempar sihir bola air, tetapi bahkan Isolda pun tahu merapal mantra dengan tubuh terluka lagi hanya memperbesar potensi kegagalan. Sesuai dugaan, bola airnya meleset.

Sial. Kesalahan melawan Qokar kemarin tak boleh terulang.

Mantra-mantra dan sabetan pedang terus bertikai setelah itu. Di sela-sela upaya melukai Isolda kembali, Einar kembali bertanya.

"Ambisimu rasanya begitu familiar. Apakah semua Isigalla memang terobsesi dengan Qasalon?"

Pemuda berkuncir itu kembali menyasar punggungnya, membuat sang penyihir muda menggerung kesakitan. Isolda spontan memutar tubuh. Wajahnya merah padam menahan darah yang mulai merembes dari punggungnya.

Ia menjawab pertanyaan Einar, sementara tangannya merapal mantra. "Ambisiku familiar? Apa maksudmu?" desisnya jengkel. "Dan tidak, tidak semua Isigalla terobsesi dengan Qasalon. Kenyataannya ... cuma kami."

Ia melempar bola air kepada Einar, dan beruntung akhirnya mengenai pemuda itu. Walau tampaknya tidak terlalu mengguncang Einar, sebab keseimbangan Isolda masih goyah.

Einar berusaha menahan serangan itu dengan sebelah tangannya. Meski tidak membuat Einar jatuh, tetapi cukup untuk melucuti pedang di tangan kirinya, bahkan hingga sarung tangannya terlepas.

Pada saat itulah, Isolda melihat sebuah tanda lahir di punggung tangannya.

Tanda lahir yang tidak asing.

"Apa kau keturunan Duke Isigalla?" pertanyaan Einar memecahkan lamunannya.
"Bukankah mereka adalah kalangan pembawa dendam? Kais?"

"Kau berbicara seolah mengenal keluarga kami dengan sangat baik." Isolda menggeram, antara menahan sakit dan amarah. Ia menatap balik kedua mata sang pemuda yang ... begitu mirip dengannya.

Ada gelenyar tidak menyenangkan yang tumbuh di dalam diri Isolda, tetapi itu bukan tentang luka. Mengabaikan perasaan itu, ia mencoba merapal mantra, tetapi berakhir meleset.

"Tidak, sebenarnya," jawab Einar. "Hanya saja kau mirip seseorang yang dulu membuatku ingin membakar Isigalla. Apa ada ... Seorang kakek tua yang membuatmu gila begini?"

Alis Isolda berkedut mendengar pertanyaan Einar. "Seorang kakek—jaga cara bicaramu." Ia merinding. Bagaimana bisa Einar memberikan pertanyaan tepat sasaran?

Namun, kedua matanya ... dan tanda yang sempat terlihat di tangannya tadi ....

Isolda merasa ada sesuatu yang sangat familiar, sesuatu yang lama terkubur di dalam benak. "Bagaimana kau tahu soal Kakek?" tanyanya kesal. "Siapa kau?"

"Karena jika gadis emosian sepertimu benar keturunan Duke Isigalla, kamu pasti akan jadi anak patuh, yang menelan mentah dendam turun menurun itu."

Einar, berjalan ke arahnya, kemudian dengan gerakan cepat menahan serangan Isolda.

"Katakan, apa benar ini maumu juga?" bisik Einar. "Saranku ... Jika kau benar-benar dibuat gila karenanya, kenapa tidak kau bunuh saja?"

Isolda terperangah mendengar kata-kata itu meluncur dari si pemuda dengan tenang. Walau ekspresinya muram, tetap tidak mengurangi pendapat Isolda akan betapa gila isi pikiran Einar.

Gadis itu merasakan gelenyar merinding di sekujur tubuh. Terbayang akan berbagai pertanyaan yang terlontar semalam.

Apa jadinya jika ia tidak mengikuti jalan Kakek, dan membelot macam mendiang Ayah?

Ketika situasi makin memanas di antaranya dan Einar, Archer dan lawan bertarungnya bergerak makin dekat. Pada suatu kesempatan, pedang gadis Qasalon itu pun sempat terarah ke Isolda, walau berhasil ia hindari. Mengganggu saja, pikir Isolda, walau dirinya juga tidak menyangka pertarungan ini bakal berujung pada obrolan tak terduga.

Kepala Isolda memanas. "Katakan, bagaimana kau bisa tahu soal dendam turun-temurun?" sentaknya.

Tidak, sebenarnya ada yang lebih penting. Tanda di tangan Einar itu ... sangat mirip dengan ....

"Menurutmu, kenapa?" Einar menghindari serangan yang Isolda lontarkan. Ia pasti sadar dengan Isolda yang berulang kali melirik ke arah tanda lahir di tangannya. Ia tersenyum. "Ingat sesuatu?"

"Menurutmu?" tanya Isolda balik kepada Einar dengan ketus. "Semua bisa saja terjadi. Orang-orang suka drama, apalagi terkait keluarga tersohor."

Tidak. Sebenarnya Isolda tidak mau menduga-duga lebih jauh. Ia takut. Ia takut, jika pemuda yang ada di hadapannya ini juga mewarisi darah ayahnya.

Alias anak mendiang Ayah dari hasil perselingkuhannya.

"Akan kuserahkan jawabannya padamu saja," tukas Einar. "Tapi mungkin pikiran paling mengganggu milikmu lah yang paling benar."

Darah Isolda berdesir.

Tidak mungkin.

Apakah ada kenyataan sekonyol itu? Dunia mendadak berhenti berputar di sekelilingnya. Jantungnya berdegup begitu kencang sampai-sampai Isolda mampu mendengarnya berdentam-dentam di telinga. Sekujur tubuhnya melemas.

"Tebakanku ...." Suaranya gemetar. "Kau juga keturunan Duke Isigalla?"

Jika benar Einar itu adalah saudara beda ibunya, maka dunia sedang mempermainkan Isolda. Takdir macam apa yang mempertemukan dirinya dengan orang yang telah ia kira lenyap selama bertahun-tahun, sampai terkubur jauh memorinya di dalam benak?

"Kau tidak mungkin bocah itu, kan?" serunya berang.

"Oh, jadi kau ingat parasit yang hidup dibawah rumahmu itu?" Einar tersenyum tipis. "Aku sangat tersanjung."

Ada begitu banyak ironi, tetapi cara Einar berbicara membuatnya sangat jengkel. Isolda mengepalkan tangannya. Ingin sekali ia memukul pemuda itu, tetapi hatinya terlanjur sakit.

Archer, yang bertempur di dekat mereka, menimpali. "Apa Einar saudara kembarmu yang hilang?"

"Bukan saudara kembarku yang hilang!" Isolda menjawab pertanyaan Archer dengan marah. "Dia anak selingkuhan mendiang ayahku yang keparat!"

Hidup memang konyol.

Namun, di puncak penyingkapan itu, tiba-tiba terdengar suara-suara jeritan dan teriakan memenuhi arena.

Isolda menegang, begitu pula ketiga muda-mudi di dekatnya. Mereka langsung menurunkan senjata dan memadamkan sihir, pandangan tertuju pada sekeliling. Orang-orang di tribun pun mulai panik, dan para penjaga di sekeliling mereka siaga.

Sesuatu terjadi tak jauh dari mereka dan tak butuh waktu lama hingga melihat apa yang terjadi.

Massa dari berbagai negara menyerbu arena, beberapa menggunakan alat-alat pertanian, yang lain menggunakan alat dapur, beberapa menggunakan pedang dan tombak. Sebuah kumpulan yang janggal. Mereka saling menyerang satu sama lain sementara beberapa meringsek masuk ke dalam arena.

Mata mereka dipenuhi oleh keinginan untuk melihat darah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro