Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Kekhawatiran


Malam itu, Isolda hampir tidak bisa tidur lagi. Padahal besok adalah turnamen terakhir melawan Qasalon.

Akhirnya.

Ada begitu banyak hal yang membuatnya resah. Pertama, pemenang sudah ditentukan. Gadis-gadis kekar dari Qokar itu mampu mengalahkan Qasalon, menjadikan mereka sebagai pemenang secara otomatis. Turnamen esok antara Isigalla dan Qasalon hanya untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pecundang telak.

Isolda tidak mau itu. Meski, menjadi pemenang kedua pun tidak bakal menyelamatkannya dari Kakek. Ia sempat berpikir apakah bakal ada surat yang datang lagi, karena Kakek pasti selalu mengawasi ... lantas ia ingat, Duke Isigalla saat ini saja tidak merespons surat Paus. Bagaimana dengan cucunya sendiri?

Itu kekhawatirannya yang kedua, eh, ketiga.

Apa yang dilakukan para kepala negara sampai-sampai tidak merespons pesan Paus? Apa mereka tidak menganggap peringatan itu sebagai hal penting? Padahal ada ancaman dari dewa asing.

Alasan keempat inilah yang membuat Isolda terjaga. Kabar tentang keberadaan dewa asing membuat rasa kantuknya lenyap. Ia ingin mengganggu Archer sejenak, mengobrol tentang kemungkinan yang bisa terjadi esok, tetapi tampaknya pemuda itu telah terlelap.

Jika stamina Isolda tidak prima besok, setidaknya ada Archer ....

Pada titik ini, sesungguhnya Isolda tidak bisa tidak peduli dengan keberadaan dewa asing dan ancaman-ancamannya. Turnamen tampak remeh, walau Isolda tidak bisa meremehkan kakeknya. Mungkin sebaiknya ia tidak usah pulang ke Isigalla setelah ini.

Jika mendiang Ayah saja bisa meninggalkan mendiang Ibu, membuang Isolda dalam cengkeraman Kakek yang disiplin, mengapa ia tidak bisa mengikutinya? Itulah yang terlintas di benak seorang gadis berusia tujuh belas.

Ini bukan tanpa sebab, yang tiba-tiba muncul.

Selama tujuh belas tahun hidup di dunia, dan sejak Isolda mampu mengingat memori pertamanya, ia telah digariskan untuk menjadi penerus Ayah. Lalu, ketika Ayah berselingkuh dari Ibu, membuat Kakek berang, dan akhirnya meninggalkan dunia, tanggung jawab itu otomatis jatuh pada Isolda.

Di hari yang sama Ayah meninggalkan dunia, Kakek berbisik kepadanya, "Usia tiga puluh nanti, kamu akan menjadi Duchess Isigalla pertama di negeri. Mengerti?" yang kemudian ditambahkan, "Sampai saat itu, Kakek akan terus duduk di sini, meneruskan tanggung jawab dari Duke Isigalla pertama, dan mengambil alih apa yang semestinya menjadi tanggung jawab ayahmu yang tidak becus itu."

Kadang-kadang, di waktu Isolda lelah berlatih, gadis itu bakal merebahkan diri di rerumputan hutan di sisi Akademi, berpikir apakah ia punya pilihan selain menjadi calon Duchess Isigalla.

Apakah ia bisa membelot seperti Ayah? Tapi haruskah ia berselingkuh dari pasangannya dulu dan menikahi seorang Qasalon juga, kaum yang dibenci Kakek?

Ataukah ada cara lain?

Isolda menghela napas. Pada akhirnya, malam itu ditutup dengan dirinya memikirkan kekhawatiran terakhir. Dendam terhadap Qasalon yang turun-temurun diwariskan oleh keluarga terasa sedikit hambar.

***

Seolah menandakan keburukan yang lebih besar akan datang, hari ketiga turnamen disambut oleh langit kelabu.

Kala dirinya dipersiapkan, Isolda sempat mendongak ke angkasa, berpikir apakah dewa asing itu benar-benar bakal hadir. Terasa sangat dekat, terlebih-lebih dengan berbagai kabar dan hal yang disaksikannya kemarin. Isolda bertanya-tanya apakah kerusuhan penyebab festival bubar telah diamankan. Begitu juga para penonton turnamen yang—menurut kesaksikan Archer—seperti dalam pengaruh saat akhir pertandingan lalu.

Ia tidak heran kalau turnamen nanti terasa tidak menggairahkan. Dendam Kakek terhadap Qasalon, yang senantiasa dibakar di dalam dada Isolda, mulai menyusut, digantikan oleh kegelisahan yang tak bisa diraba penyebab aslinya.

"Silakan, delegasi Isigalla," adalah kata terakhir yang diucapkan para pengantarnya. Setelah itu Isolda dan Archer diizinkan masuk ke arena.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam, melangkah, dan membuktikan dugaannya.

Stadion nyaris setengahnya kosong, sementara yang hadir tampak tidak fokus. Tidak ada sorak-sorai ketika perwakilan Isigalla dan Qasalon masuk ke arena. Para penjaga bertampang serius berdiri rapat tanpa ekspresi. Langit mendung seakan memberi pertanda bahkan sang Paus pun tak hadir. Hanya seorang kardinal yang membuka pertandingan terakhir, seakan berharap semuanya segera berakhir.

Isolda merapatkan bibir. Walau sudah menduga, hatinya diremas-remas rasa kecewa juga. Benar, kebenaran yang terkuak semalam membuat keadaan menjadi semakin genting. Saat kebangkitan dewa asing makin dekat, para delegasi tiap negara pun mulai membentuk kesepakatan untuk bekerja sama semalam.

Namun, turnamen tetap harus dilaksanakan walau terasa kehilangan maknanya. Rasanya konyol, masih harus menodong mantra dan menebas pedang kepada satu sama lain. Padahal ancaman dewa asing memaksa mereka untuk semestinya saling bersinergi.

Ironis, sebab Isigalla dan Qasalon mesti mengangkat senjata di tengah ancaman yang sebenarnya. Dan ironis, sebab akhirnya Isolda berhadapan dengan Qasalon seperti yang diidam-idamkan oleh Kakek.

Di hadapan Isolda adalah pemuda Qasalon yang sempat memantik kekesalan di hari pertama kedatangan. Jika kau lupa, pemuda itu yang berbicara tidak sopan pada Paus. kini, ia mampu mengawasi lekat-lekat fitur wajahnya yang ... mengejutkan.

Rambut sang pemuda hitam sepertinya. Begitu pula kedua matanya yang sama-sama kuning cerah, meski warna mata Isolda mengingatkan pada sorot mentari. Alis Isolda berkedut. Pemuda itu, yang ia tahu bernama Einar karena pernah bertikai dengan Archer di hari pertama, tampaknya memang masalah.

Bagus untuk menjadi lawannya. Isolda tidak pernah terpaku pada aturan gadis harus melawan gadis dan pemuda melawan pemuda. Di Isigalla, lawan bukan ditentukan dari hal-hal semacam itu, melainkan perbedaan mantra-mantra yang dikuasai.

"Pertanyaan cepat, mau itu mengaku-ngaku atau bukan sekalipun, jawabannya kuanggap kebenaran," Einar tiba-tiba berkata. "Apakah kalian para Isigalla merasa lebih tahu akan apa yang terjadi disini dibandingkan aku? Bagi yang mau menjawabnya ... Kemarilah."

Mengesampingkan segala masalah, Isolda bergeser, siap untuk melawannya. Bagusnya, pemuda itu selalu berkata-kata dalam nada menjengkelkan sehingga tidak sulit bagi Isolda untuk menumbuhkan tekad melawannya.

Lagi pula, ada dendam titipan Kakek yang mesti dibayar, bukan?

"Untuk menjawab pertanyaanmu," kata Isolda sinis. Tangannya terangkat, siap merapal mantra. "Ada ancaman yang lebih besar mengintai kita, dan tak banyak pilihan yang bisa kita lakukan."

Isolda memanggil bola petir, andalannya seperti biasa. Ia tidak mau berlama-lama. Hantam dan hancurkan Qasalon.

"Orbis fulgur!" serunya, tetapi otaknya mendadak mengira ini waktu yang tepat untuk memikirkan hal lain. Kesampingkan dendam Kakek. Bukankah semua harus bekerja sama?

Lihatlah tribun yang senyap, dan penjagaan ketat di sekeliling mereka itu!

Isolda membeliak. Ini membuat bola petir yang dilontarkannya meleset mengenai Einar. Isolda terbengong-bengong, amarah menggelegak di kepalanya. Sialan! Pikiran-pikiran itu mengganggunya!

Sesuai dugaan, Einar menghindari serangannya dengan tangkas. Ini membuat Isolda geram.

"Jika kau memang sudah tahu, lalu apa yang kamu lakukan disini, hm? Menghibur si ancaman besar?" tanya Einar lagi, nadanya sok halus dan mencekam. Ini membakar semangat Isolda untuk tidak meleset kedua kali, terlebih-lebih dengan Miss Lockhart yang menyaksikan.

"Apa yang kulakukan di sini?" balas Isolda sengit. "Untuk keperluan pribadiku—menghancurkan kalian!"

Merapal mantra yang sama, Isolda meluncurkan bola petir sekali lagi. "Orbis fulgur!" ulangnya dengan marah. Dan, sesuai harapan, sihirnya menyambar Einar dengan keras.

Isolda mendengus, antara jengkel dan lega.

Dendam Kakek atau kepentingan bekerja sama melawan dewa asing, yang menghadapinya duluanlah yang bakal diladeni oleh Isolda.

"Pasti lelah sekali memiliki pemikiran seperti itu," Einar merespons. "Kau mungkin tidak pernah bisa menikmati hidup dengan benar."

Isolda menyipitkan mata. Dia bilang apa? Pintar sekali pemuda itu memantik amarahnya. Tak sekali pun ia mengalihkan pandangan dari Einar, menyaksikan pemuda itu mulai mempersiapkan diri untuk melawan balik Isolda.

Einar menarik kedua bilah pedang yang tajam, aliran listrik sejenis sihir Isolda pun terbentuk dari sana, membuat sang gadis membeliak.

Tunggu—apa? Seorang Qasalon, yang notabene hanyalah para manusia keturunan kesatria, mampu memiliki sihir? Jantungnya berdegup kencang antara tidak percaya dengan kejutan ini, sekaligus bertambah kesal. Terkejut, bukan karena ini pertama kalinya. Melainkan karena ini mengingatkannya pada seseorang.

Seorang Qasalon di masa lampau yang juga bisa menggunakan sihir.

"Kemarilah ...." pancingan Einar menyentak lamunan Isolda.

Gadis itu menggigit bibir. Baiklah jika itu yang Einar mau. Ia juga tidak ragu-ragu untuk menyerang lagi. Namun, kali ini ia memutuskan untuk melempar bola air kepada sang pemuda, tak mau sihir petirnya memperkuat kemampuan sang pemuda.

Sial. Bertambah satu lagi kekhawatiran Isolda: ada yang aneh dengan Einar!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro