02 | Ketegangan
NOTE: JANGAN DIBACA DULU, MASIH PROSES EDIT. BAB DI BAWAH HANYA MERUPAKAN REKAPAN DARI ROLEPLAY. BELUM DILENGKAPI NARASI UTUH.
Isolda dan Archer dijemput oleh misdinar. Dalam sunyi mereka mengekor di belakang para hamba dewa berbaju putih, hingga tiba di sebuah ruangan luas berlangit-langit tinggi dengan pilar-pilar menopang di setiap sudut. Kain merah tua menjuntai dari atas bergerak pelan tertiup angin sore yang lolos dari jendela-jendela tinggi. Inilah aula pertemuan. Tempat Isolda berbagi udara dengan Qasalon.
Ia tidak sudi.
Matanya melirik ke arah dua sosok yang sekiranya perwakilan Qasalon, para muda-mudi dari negeri para kesatria yang angkuh. Isolda tak bisa melihat mereka selain rambut kelam mereka yang sama-sama panjang, hanya si pemuda rambutnya diikat. Isolda mendengus. Anggap saja mereka tidak ada.
Misa sore berjalan setelah Paus hadir di mimbar, hingga doa-doa berakhir. Pria tua beruban tersebut akhirnya menyapa para delegasi.
"Selamat datang di Edealunis. Salam damai dari Edea untuk Benua Hiryn." Suaranya yang lantang mengkhianati umurnya yang terlihat tua. "Semoga damai senantiasa hadir di hati kita semua," ucapnya sebelum mengakhiri acara hari itu.
Dia pun turun dari mimbar untuk menyalami mereka satu per satu. Dimulai dari perwakilan Qasalon, Isigalla, hingga Qokar.
"Senang sekali, turnamen persahabatan ini dapat dilakukan kedua kalinya di Edealunis. Sebuah kehormatan bagi kami mengadakan sebuah acara membangun persahabatan dari pemuda-pemudi yang menjadi masa depan negara."
Isolda merasa gerah ketika satu per satu menyampaikan salam basa-basi, apalagi para pendamping juga. Ia sudah gatal, ingin sekali bertanya tentang—
"Karena Edealunis selalu menginginkan kedamaian. Desas-desus Tarikh Daslaenad juga pasti jadi bagian dari agenda tersebut, kan?" suara seorang delegasi memecah situasi membosankan itu.
Isolda mengangkat alis. Wow, siapa yang cukup berani untuk langsung bertanya kepada Paus? Gadis itu menoleh, tetapi menyadari bahwa yang berbicara mengenakan seragam Qasalon, ia membuang muka lagi. Sudah pasti para kesatria sombong itu. Siapa lagi?
Paus menjawab dengan sendu. "Sepertinya desas-desus itu sudah menyebar di luar Edealunis. Sayang sekali, saya sendiri tidak tahu apa yang dimaksud dengan Tarikh Daslaenad. Walau saat ini kami sedang menyelidiki asal dari kabar itu, belum ada sumber pasti yang bisa menyebutkan kebenarannya."
Itu baru awal. Delegasi Qasalon satunya, gadis dengan suara menjengkelkan, menyahut. "Sayangku, pertanyaanmu bagus sekali."
Bagusnya, suaranya tenggelam di antara kasak-kusuk para delegasi dan pendamping di sekeliling Isolda. Ia tak sempat mendengar gadis Qasalon itu menyebut nama rekannya. Bukannya Isolda ingin tahu juga. Ia tak perlu tahu nama orang-orang yang bakal dikalahkannya dalam Turnamen.
"Tapi, masa Kakek Pope sendiri tidak tahu soal Tarikh? Padahal Tarikh kan ramainya dari Kerajaan Suci?"
"Demi Edea." Isolda mendengar Deon bergumam jengkel di belakangnya. Gadis itu mendesah. Ternyata bukan hanya dia yang jengkel dengan dua perwakilan Qasalon yang tidak sopan tersebut.
"Tarikh Daslaenad," Paus masih menjawab dengan sabar. "Hanyalah kabar angin yang tidak berdasar dan saya rasa, hanya disebarkan untuk merusak kedamaian yang telah dibangun di atas curahan darah orang-orang di medan perang. Kalian adalah utusan kedamaian, bersikaplah demikian. Keberadaan Tarikh hanyalah dongeng bagi mereka yang ingin kembali mengobarkan perang di benua Hiryn yang carut marut."
Obrolan terus mencuat setelah itu, bahkan kian memanas seiring lebih banyak sumbu yang terpantik. Isolda sendiri berusaha mengunci mulut. Kakek pernah bilang bahwa dirinya tak boleh terbawa arus suasana. Ia harus fokus mendengarkan informasi. Namun, sayangnya, seiring banyak pertanyaan yang dilemparkan kepada Paus dan dijawab begitu sabarnya, Isolda menyadari sesuatu.
Jawaban Paus seakan sebuah templat. Tidak tahu. Tidak pasti. Entahlah, semua itu perbuatan orang zaman dahulu. Isolda mengatupkan bibir jengkel. Kenapa demikian ditutup-tutupi informasi tentang Tarikh Daslaenad, peninggalan dari Kekaisaran Daslaenad yang telah punah tersebut?
Mencurigakan.
Pada akhirnya, Paus mengakhiri pertemuan tersebut. "Sayang sekali, saya harus pamit undur diri. Selamat menikmati kunjungan Anda di Edealunis dan yang terbaik yang akan menang di Turnamen. Salam Damai dari Edea senantiasa ada dalam hati."
Paus berlalu bersama dua kardinal. Di sisi lain, Deon menarik Isolda dan Archer kembali ke kenyataan. "Kalau begitu, ayo kita ikut keluar."
Isolda menurut. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia mengekori Deon meninggalkan aula, sementara para delegasi lain masih bertahan dan bertikai semau mereka.
Orang-orang bodoh, batin Isolda. Aku akan kalahkan kalian semua esok.
Arus para penduduk dan pendatang yang berduyun-duyun keluar dari aula membuat Isolda sempat kelabakan. Ia kehilangan Deon, dan kepalanya pening terdesak oleh orang sedemikian banyak. Karena buru-buru ingin membebaskan diri, Isolda menyelinap ke sudut lain, memasuki lorong-lorong rumit yang tidak dipilih oleh para penduduk.
Pikirannya sudah cukup penuh dan kepalanya panas. Kehadiran delegasi Qasalon dan ulah mereka membuatnya gatal ingin melancarkan mantra-mantra mematikan kepada mereka, tetapi Isolda harus menahan diri. Ditambah dengan kesadaran bahwa Turnamen semakin dekat, tubuh gadis itu terasa gemetaran. Ia tidak bisa membedakan apakah ini karena perutnya kosong atau antusiasme yang membuatnya gugup.
Sebab, jika ia tidak berhasil memenangkan Turnamen, Kakek akan mengakhirinya. Membunuhnya.
Apakah ini benar-benar antusiasme, atau justru ketakutan?
Kesadaran ini membuat darahnya berdesir. Dadanya mulai berdebar, dan Isolda buru-buru mengalihkan perhatian. Tidak. Itu bukan ketakutan—itu memang konsekuensi. Setelah apa yang dilakukan mendiang Ayah dan hal-hal lain ... ancaman Kakek itu pantas. Karena pertaruhannya adalah nama keluarga bangsawan Isigal. Negeri mereka.
Gara-gara itu, Isolda menyusuri lorong dengan tidak fokus. Ia hanya sesekali mengangguk sapa saat ada misdinar yang lewat. Pikirannya terpaku pada hal-hal yang belum bisa dijelaskan, tetapi yang jelas, terpaut kepada para peserta Turnamen tadi.
Isolda melangkah begitu lambat melewati setapak demi setapak, tak sadar bahwa ada yang sedang memerhatikannya.
"Isolda!"
Awalnya ia tidak mendengar itu. Suaranya begitu pelan. Jadi Isolda terus melangkah. Namun, saat pundaknya tiba-tiba ditepuk dan suara familiar menyeru, Isolda terperanjat. Ia melompat kaget dan refleks berputar, matanya memelotot.
"Apaan, sih?!"
Archer sontak melonjak dengan kedua tangan terangkat. "A-aku cuma memanggil," balas Archie gagap sambil menurunkan tangan. "Kau dari mana, mau ke mana?"
Melihat respons Archer, Isolda mengatupkan bibir. Emosinya bercampur aduk. Antara kesal karena dikejutkan dan ... entahlah, merasa bersalah? Sebab Archer kini adalah rekannya di Turnamen, seseorang yang mestinya Isolda menjadi kawan, bukan lawan. Ia teringat dengan betapa cepat Archer dan Deon menjadi akrab. Ia semestinya bersikap seperti itu juga kalau ingin rencananya di Turnamen berjalan lancar.
Isolda berdeham. Nadanya melunak, walau canggung. "Oh. Aku, uh, maaf. Kau membuatku terkejut. Aku tadi berniat ke ...."
Ia menoleh, memastikan posisi, lantas tersadar bahwa dirinya juga tidak tahu berada di mana. Tampaknya melamun membuatnya mengambil belokan-belokan di lorong tanpa berpikir dulu. Ini sama sekali bukan seperti dirinya.
Isolda menatap Archer lagi. "Er, di mana kita?"
Alih-alih menjawab, Archer justru bertanya balik. "Apa kau benar-benar Isolda Kais?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro