01 | Kedatangan
NOTE: JANGAN DIBACA DULU, MASIH PROSES EDIT. BAB DI BAWAH HANYA MERUPAKAN REKAPAN DARI ROLEPLAY. BELUM DILENGKAPI NARASI UTUH.
"Laus tibi, salvator lucis
Anima tua est anima mea
Lux tua lux mea est
Descende ad me
In vase sanctissimo.
et defende me
contra creaturas tenebrarum."
‒ Book of Holy Prayers, Church of Edea.
Sebuah perjalanan panjang dimulai. Fajar menembus sela-sela belikat dan belulang para pejuang yang meniti garis tipis antara kehidupan dan kematian. Benua Hiryn diguyur cahaya Edea untuk kesekian kalinya.
Enam kandidat dari tiga negara telah menapakkan kaki menuju Edealunis. Didampingi para mentor dan pendamping yang menata napas di sela-sela angin musim panas, masing-masing kandidat bergelut dengan pikirannya masing-masing. Mereka menggelar peta dan menyodorkan kompas ke arah empat penjuru mata angin.
Jalan menuju Edealunis masih jauh dari mata, tapi tidak dari telinga. Para saudagar, pujangga, hulubalang, pemacu kuda, pandai besi, dan juru kisah yang mereka temui di perjalanan mengisahkan gegap-gempitanya festival di Edealunis. Mereka bilang, festival kali ini lebih meriah daripada sebelumnya. Banyak pusaka, buku-buku ilegal, dan barang antik. Gadis-gadis penjual buah endemik berkeliaran di antara kios-kios, siap melayani para tamu di bilik-bilik tertutup. Ada tarian purba yang katanya berusia ratusan tahun dan ditampilkan sekali setiap lima tahun. Ada tawaran pekerjaan untuk jadi calo pertandingan dengan upah fantastis. Ada pula kabar burung ... mengenai keberadaan tarikh peninggalan Kekaisaran Daslaenad.
[disalin dari properti Daslaenad Chronicle NPC]
Kereta kuda yang mengantarkan perwakilan Isigalla melambat. Terdengar suara para pengawal mengatur arah hingga roda-roda berhenti bergerak seutuhnya. Pintu kereta dibuka, dan sementara kedua rekannya keluar terlebih dahulu, Isolda mengembuskan napas panjang.
Akhirnya.
Gadis itu membetulkan kunciran rambut agar tertata rapi, lantas turun dengan bantuan tangan seorang pengawal. Selayaknya putri bangsawan, Isolda menyambut uluran tersebut dan menjejak pada hamparan pualam yang berkilau disiram cahaya sore. Aroma udaranya begitu riuh akan wangi-wangi perayaan dan kesucian; lili putih, bunga sendurat dan tetes salju, hingga semanggi yang mendoakan keberkahan empat kali. Semua itu hanyalah awal dari kegagahan gerbang putih yang membentang di hadapan mereka.
Gerbang Victoria. Titik penanda kedatangan para avonturir dan petanding dari berbagai negara di Edealunis.
"Perwakilan dari Isigalla?" pria-pria dan wanita dengan jubah dan tudung keagungan menyambut mereka. Isolda mencermati mereka sementara Archer dan Deon memperkenalkan diri bergantian.
Biarawan yang menyambut pun kini menaruh pandangan pada Isolda. "Ah, dan ini juga peserta turnamen, siapa namamu tadi?"
"Saya belum memperkenalkan diri." Isolda mengambil langkah maju. Dagunya terangkat, tetapi ia segera menekuk lutut dengan hormat. "Isolda Kais. Suatu kebanggaan bagi saya bisa hadir di hadapan Anda sekalian."
Pria tersebut mengangguk. "Terima kasih atas kehadiran kalian," ujarnya sambil memerhatikan satu per satu rombongan. "Saya ucapkan selamat datang di Edealunis. Mari kami antar ke menara tempat kalian bisa beristirahat sebelum dapat bertemu dengan Paus."
Rombongan bergerak melewati gerbang, menyusuri hamparan Festival Edealunis yang diadakan lima tahun sekali. Nyala pelita obor dan api magis yang terperangkap dalam kotak kaca terpantul pada pedagang-pedagang yang menggelar permadani untuk dagangan mereka. Dari sudut mata Isolda, tampak Archer tergiur pada daging-daging domba, sapi, dan kerbau yang dibakar. Isolda akui, aroma rempah-rempah pada desis lemak daging memang menggugah, apalagi didampingi manisnya perasan buah dan tuak, tetapi seketika melewati Gerbang Victoria, perutnya mulas.
Matanya terus terpaku pada Katedral Balerong Pamujen di ujung wawasan pandang. Berdiri geming dan tak terpengaruh oleh riuh festival, bangunan simbol sang Edea—dewa tunggal dalam mitologi benua—suci dan tak lekang oleh waktu. Ke sanalah rombongan Isigalla diarahkan, tepatnya pada salah satu menara yang berdiri menjulang. Salah seorang penyambut menjelaskan bahwa di sanalah tempat para delegasi Isigalla akan tinggal selama Turnamen.
"Silakan. Istirahatlah dulu, nanti kami akan beri tahukan detail selanjutnya."
Gadis itu menggerutu dalam hati. Sungguh, apa perlu beristirahat dan segala tetek-bengek? Apa tidak bisa langsung Turnamen dan selesai? Isolda menghela napas kecil. Untuk apa tergesa-gesa, sih?
Usai para penyambut dari Katedral Edealunis undur diri, Isolda mengambil alih barang bawaannya sendiri ke kamar. Langkahnya terasa berat dan jantungnya berdebar-debar memikirkan besok, sementara Archer melesat bagai bocah kecil yang tak pernah liburan. Disambut dengan interior mewah dan ranjang besar sudah biasa bagi Isolda, tetapi tampaknya berbeda untuk lelaki tampan yang sayangnya udik itu.
Isolda baru saja menaruh tas saat terdengar suara tepukan tangan, disusul panggilan Deon.
"Baiklah, ayo semua berkumpul dulu di ruang tengah!"
Tampaknya si pendamping juga sama tidak sabaran dengannya. Baguslah. Walau Deon menyebalkan, tetapi Isolda suka dengan kesigapannya. Tanpa berlama-lama lagi ia kembali ke ruang tengah.
"Ada apa?" tanya Archer sambil mengambil posisi di sebuah sofa empuk.
Isolda memilih untuk bersandar pada dinding. Tangannya terlipat. Ia tidak mengatakan apa pun. Cukup menatap Deon untuk menanti penuturan selanjutnya.
"Setelah ini aku mau kalian mandi, bebersih, apapun itu karena kita semua bau keringat. Lalu, aku mau kita berkumpul kembali di sini untuk membahas hal penting sebelum turnamen dimulai," kata Deon. "Archer, tahan laparmu, ini belum jam makan malam, jadi"—Deon kembali menepuk tangannya—"mari kita bergegas!"
Isolda mengangguk. Namun, sebelum pergi, ia sempat melirik ke arah Archer. Tiba-tiba muncul hasrat ingin berkomentar—barangkali terpengaruh euforia akan Turnamen besok. Perasaannya sedang baik.
"Kau belum pernah ke tempat mewah atau makan daging?" Ia mendengus geli, nyaris tak bisa menyembunyikan seringai mencemooh, lantas kembali ke kamar.
**
Tidak perlu kirim surat kepada Kakek, kan? Toh dia pasti tahu aku sudah di sini.
Adalah hal pertama yang terlintas di benak Isolda saat menyisir rambut. Ia sudah kembali segar, dan terdengar suara obrolan samar kedua lelaki di luar kamar, tetapi Isolda tidak buru-buru. Ia menggunakan waktu dengan sangat baik; memastikan dirinya rapi di depan kaca, merapikan isi tas, dan memikirkan ulang rencana Turnamen esok—untuk keseribu kali.
Apalagi setelah ini jadwal bertemu Paus. Apakah itu berarti akan ada perwakilan Qasalon juga? Jika benar ... ia tidak tahu apakah bisa tetap menjaga diri. Ujung-ujung jarinya mulai mendingin. Mendengar kata Qasalon saja membuatnya merinding setiap kali.
Qasalon, negeri yang dibenci Kakek. Kebenciannya diwariskan utuh bersama buku ramalan tua yang senantiasa menemani Isolda sejak ditakdirkan sebagai salah satu bidak keluarga bangsawan Isigal.
Sebentar lagi ... sebentar lagi ia akan menjumpai Qasalon. Siapapun perwakilannya, Isolda siap membalaskan dendam.
Dengan tekad ini, ia memutuskan untuk menemui Deon dan Archer. Saat ia membuka pintu, terdengar suara tawa Deon, disusul pertanyaan. "Baiklah, di mana Isolda?"
"Aku di sini," jawab Isolda kaku. Melihat cara Deon tertawa, tampaknya kedua lelaki ini mudah sekali akrab. Begitu berjarak dengan dirinya yang merasa dipisah jurang jauh.
Tentu saja. Selama ini, baginya teman tak lebih dari sarana untuk mendukung hidupnya. Ia hanya berteman dengan murid-murid pintar atau, setidaknya, bermanfaat baginya.
"Oh, duduklah, kalian. Kita bicara santai saja." Deon menunjuk sofa-sofa dengan dagunya.
"Aku hanya ingin tahu kira-kira kelemahan dan kelebihan kalian dalam sihir. Juga ada beberapa hal yang patut diwaspadai."
Archer menyahut. "Diwaspadai?"
Sementara Isolda mengernyit. "Apa itu?"
"Jangan menegang, ini hanya informasi umum. Tapi bisakah kalian menceritakan kelebihan dan kelemahan kalian dulu dalam menggunakan sihir. Archer datang ke toko dengan keadaan tongkat yang terbakar, Isolda juga datang ke toko dengan keadaan beberapa halaman yang robek. Sedikit banyak aku ingin mengetahui apa yang terjadi saat itu," Deon menjawab.
Isolda mendengus. "Tidak ada kekurangan. Aku hanya berlatih terlalu sering dan...." Gadis itu berdeham pelan. "Kurang waktu untuk mengurus buku. Itu saja."
"Dengar, apapun informasi dari kalian akan sangat membantu untuk kita." Alis Deon menyatu mendengar jawabannya. Ia lantas menambahkan komentar tentang tongkat Archer, sebagai penguatan.
"Tepat sekali!" Archer menyahut. "Aku terlalu bersemangat saat menyalurkan kekuatanku, lalu tiba-tiba saja, 'boom!'"—Kedua tangan Archie terbuka—"Dan ya, tongkatku sudah agak usang." Pemuda itu memalingkan wajah.
Isolda menghela napas. Ia mengawasi sang pendamping berhenti sejenak untuk minum. Perhatiannya kembali tertuju pada sang gadis. "Buku sihir adalah buku yang kuat untuk dibuka sampai beribu-ribu kali," Deon melanjutkan. "Menurutmu itu bisa tiba-tiba terlepas begitu saja karena kau kurang mengurusnya?"
Isolda memberenggut. "Duh. Itu buku tua."
Mendengar jawaban Isolda dan Archer, Deon hanya bisa berkerut dan memijit dagunya. Bagusnya—atau buruknya—bel akhirnya berdentang di luar menara mereka. Isolda menegang.
Waktu bertemu Paus. Juga perwakilan Negara Qasalon.
"Sepertinya itu bel untuk misa sore, sekaligus penyambutan. Begini," Deon berdiri. "Isolda, aku pinjam bukumu nanti malam, aku akan menambah benang pengikat supaya ikatannya makin kuat dan sihirnya bisa lebih optimal. Archer juga, aku akan melakukan sesuatu pada tongkatmu malam ini, sekarang ayo kita bersiap untuk ke Katedral."
+ + +
Note: World building dan foto adalah properti dari RP NPC yang dimodifikasi/disalin langsung oleh peserta.
Anyway, sekarang saatnya kenalan dengan Deon anak dari dreaminblue_!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro