01 [Edited Ver.]
Sebagai keturunan Duke Isigalla, Isolda Kais harus siap dinobatkan sebagai Duchess Isigalla pertama kelak. Memimpin kerajaan para penyihir, dan mempertahankan pengibaran panji-panji keluarganya. Itu pernah menjadi simbol kebebasan dari suatu kekaisaran. Kita bicarakan nanti.
Sejak ia mampu diberi tanggung jawab serius—lebih dari dipercaya menghabiskan makanan sendiri pada usia empat dan mengembalikan buku di perpustakaan kerajaan pada usia lima—Isolda terus disuap afirmasi yang sama oleh Kakek, Duke Isigalla keempat. Sampai kapan pun, afirmasi itu tak pernah padam.
"Kau harus bisa membuat keputusan-keputusan besar," kata Kakek. "Itulah yang membuat Isigalla menjadi negeri para penyihir sekarang: kakek moyangmu, Duke Isigalla pertama, memberontak dari kekaisaran yang pernah menaunginya."
Di lain waktu, Kakek akan berkata, "Kadang-kadang, kau harus membuat keputusan kontroversial untuk kepentingan yang lebih baik. Seperti pemberontakan. Tapi ingat, Isolda! Keputusan itu harus disertai kebijakan yang sama besarnya juga. Kau harus tahu kepentingan apa yang perlu kau perjuangkan, bukan semata-mata karena emosi. Tunjukkan bahwa para penyihir Isigalla itu cerdas dan terhormat."
Diwejangi rutin hingga usia tujuh belas tahun, memangnya ia tidak muak? Tentu saja. Namun Isolda juga diajari agar tidak membantah. Terakhir kali mendiang Ayah membantah, beliau diusir dari kerajaan dan dihukum mati. Otomatis batal menjadi Duke Isigalla IV. Terakhir kali mendiang ibu Isolda ikut membantah, beliau ikut menyusul Ayah ke alam kematian, meski Isolda yakin Ibu ogah bertemu Ayah kembali.
Tanpa diwanti-wanti Kakek pun, gadis itu juga tidak mau berakhir mati karena membantah. Pada akhirnya ia selalu menjadi cucu yang patuh, serta tak pernah meledak-ledak.
Bukankah Kakek pernah bilang? Orang emosional itu tidak bijak. Karena emosi, Ayah membelot dari Kakek. Karena emosi, Ibu menyusul Ayah. Tanpa emosi, Kakek selalu bisa berpikir jernih untuk menjaga kesucian dan kestabilan kerajaan.
Begitulah urutannya.
Sebagai satu-satunya panutan, Isolda berusaha meniru Kakek, walau rasanya kadang-kadang ingin menangis karena tidak kuat.
Acap kali Kakek menangkap basah, beliau akan berkata, "Ingat, Isolda. Kau boleh menangis, tetapi waktu terus berputar. Dunia tidak menunggumu. Menurutmu, apa yang bisa kau lakukan saat kau menangis sesenggukan selama satu atau dua jam di kamar?"
Isolda menegang. Terlebih-lebih saat nasihat serupa diberikan menjelang dirinya masuk ke Akademi Isigalla. Kala itu, ia menjawab, "Dengan ... menghafal mantra?"
"Benar, berlatih lebih baik." Duke Isigalla III tersenyum tipis dari singgasananya. "Jika kau ingin melepas rasa frustrasimu, mengapa tidak memfokuskannya pada latihan saja?"
Saran itu, yang juga menjadi saran terakhir Kakek sebelum Isolda masuk akademi, menjadi ucapan yang membekas. Menancap dalam di hati dan pikirannya, menutup segala emosi yang meluap-luap.
Dan di sinilah, Isolda, setelah bertahun-tahun di Akademi, memegang teguh saran itu sampai ke tulang sumsum. Hasilnya tidak sia-sia: calon Duchess Negeri Isigalla menjadi murid tercerdas di angkatannya dalam sekejap.
***
Pagi itu senyap seperti biasa bagi Isolda Kais.
Dimulai dari merapikan ranjang, berbilas, dan berpakaian, Isolda belum bersuara sama sekali. Rekan satu asramanya, gadis yang sama-sama pendiam, sudah lama pergi untuk belajar subuh.
Beberapa waktu sebelumnya, saat Isolda memberitahu bahwa dirinya terpilih sebagai peserta turnamen, si teman hanya mengangguk dan berkata, "Memang seharusnya begitu."
Reaksinya datar-datar saja, tetapi setidaknya lebih baik daripada surat Kakek. Terlebih, mendapat pengakuan dari seorang gadis apatis sudah cukup membuat Isolda bangga.
Sewaktu turun untuk sarapan, ia melewati lorong-lorong yang belum cukup ramai. Beberapa murid, yang sekiranya memang rajin untuk bangun awal, terlihat mengerumuni beberapa sudut. Mereka duduk di pagar rendah yang menghadap taman atau bersandar pada pilar, bercengkerama selepas sarapan. Keletak sepatu sang gadis tegas kala melintas, menarik berpasang-pasang mata untuk memerhatikannya.
Sejak dulu Isolda memang menarik perhatian. Terlepas dari statusnya sebagai putri Kerajaan Isigalla, penyematan status murid unggulan telah melambungkan namanya, mencapai telinga-telinga para murid yang tak peduli dengan dunia intrik kerajaan.
Mereka saling berbisik, beberapa bahkan tidak repot-repot memelankan suara saat menyebut kata "turnamen internasional" dan "si putri angkuh".
Isolda terus melangkah. Ia tidak mau peduli. Sudah biasa dibicarakan, gadis itu menganggap gosip-gosip yang menyebar sebagai perayaannya terpilih sebagai peserta turnamen kelak. Walau, tak ada yang benar-benar menghampirinya untuk memberi selamat.
Hanya teman sekamarnya: si gadis yang tidak heboh tersebut. Gadis yang sengaja Isolda pilih sebagai teman sekamar karena sama-sama tenang, tidak emosional, dan sibuk belajar. Pemilihan rekan asrama Isolda juga bukan tanpa campur tangan Kakek. Di awal kedatangan, ia sempat berbagi kamar dengan gadis periang yang agak bodoh. Benar, Isolda dibuat tertawa karena candaannya, tetapi waktu sang putri juga tersita karena harus mengajari si kawan. Isolda sebenarnya tidak keberatan karena menurutnya mengajar sama dengan belajar, tetapi tidak dalam pandangan Kakek. Ketika Isolda hanya menguasai dua ratus mantra alih-alih tiga ratus, Kakek mengirim surat pada orang tua si gadis periang agar memberi pendidikan tambahan bagi putrinya.
Kabar itu, tentu saja, tidak luput dari telinga para murid. Orang-orang berhenti meminta pertolongan padanya—kecuali yang benar-benar mengotot ingin dianggap kawan si cucu Duke. Sisanya memilih untuk menjauh dari Isolda, khawatir bakal ditegur pihak kerajaan langsung karena mengganggu waktu sang putri. Gosip-gosip mulai bermunculan, tetapi, ah! Apakah mereka tahu kalau sebenarnya Isolda juga diperingatkan keras oleh Kakek?
Teguran beliau bahkan lebih keras daripada yang pernah Isolda terima selama ini. Ia ingat, pada liburan sekolah pertamanya, Kakek memanggil Isolda untuk menghadap langsung. Di hadapan para menteri dan pengawal, Kakek bertanya, "Apa kau tahu apa yang membawa ayah dan ibumu pada kematian?"
Isolda menegang. Reaksi normal setiap kali Kakek menyidangnya di kerajaan. Otaknya berputar cepat untuk mengingat kesalahan-kesalahan mendiang Ayah dan Ibu. "Pembelotan, emosi ...."
"Kegagalan."
Isolda tersentak.
Kakek, Duke angkuh nan gagah dengan rambut seputih salju, menatap Isolda dengan kedua mata emas yang tajam. Warna yang senada dengan salah satu simbol Isigalla—matahari, yang menandakan bahwa kecerdasan dalam hidup selaiknya matahari yang menyinari dunia.
"Ayahmu gagal mempertahankan kehormatan, tanggung jawab, dan segala hal yang tidak lagi membuatnya pantas menjadi calon raja. Apalagi untuk tetap hidup." Kakek menyipitkan mata. "Dan ibumu—"
"Jangan."
Untuk pertama kalinya, Isolda menyela Kakek. Bahkan sang putri terkejut dengan tingkahnya sendiri. Berpasang-pasang mata menteri yang semula tertuju pada dokumen kini tertuju padanya. Kakek sama sekali tak berkedip saat menuntut penjelasan.
"Isolda?" suara Duke Isigalla III meninggi.
Gadis itu bergegas menekuk lutut, tetapi kepalanya tidak menunduk sama sekali. Napasnya memberat. "Kakek silakan berbicara mengenai segala kesalahan Ayah, tetapi tidak dengan Ibu." Ia berusaha menahan agar suaranya tidak gemetar. "Setidaknya, Ibu berusaha."
Keheningan masih menyelimuti aula selama sesaat, hingga Kakek menghela napas dan bersandar pada punggung kursi. "Benar," katanya. "Namun apa artinya jika sama saja berakhir gagal?"
Sang raja mengacungkan jari sebagai isyarat. "Kegagalan kecil masih bisa diterima, tetapi kegagalan yang merusak kerajaan tidak bisa ditolerir. Bagaimanapun, kau juga tahu bahwa salah satu tujuan Duke Isigalla pertama membebaskan diri dari Kekaisaran adalah agar kita tidak diperlakukan semena-mena, tidak dipandang sebelah mata oleh manusia-manusia rendahan lainnya." Tangan Kakek mengepal. "Seisi dunia—jagat semesta, jika perlu—harus diingatkan setiap saat bahwa kaum penyihir bukanlah rakyat kelas dua. Dan jika kau melakukan sesuatu yang merusak itu, maka itulah kegagalan besar. Kau mengerti?"
Isolda menahan diri agar tidak mengembuskan napas penuh beban. "Aku tidak akan mengecewakan Kakek."
"Sekali lagi."
Suaranya mulai gemetar. "Aku tidak akan mengecewakan Kakek seperti mendiang kedua orang tuaku."
Duke Isigalla III mengangguk. Topik pun berganti begitu saja. "Aku telah mendapat seluruh daftar nama murid perempuan di akademimu. Lusa, kau bisa memilih salah satu dari sejumlah nama terbaik."
Dengan anggukan tanpa sanggahan, Isolda mengucapkan terima kasih dan pamit.
Pada semester baru, kala sang putri akhirnya mendapatkan teman sekamar baru—gadis kutu buku yang tidak minat pada apa pun selain belajar—Isolda harus merasa puas. Tidak ada candaan yang bisa ditertawakan lagi, dan gadis kutu buku itu sudah cukup cerdas sehingga tak membutuhkan bantuan Isolda. Obrolan yang sangat minim telah membiasakan sang putri pada kebiasaan baru.
Diam, atau latihan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro