Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#4


"Ada perlu apa om memanggil kami?" tanya Dewa setelah mereka bertiga duduk di sofa, di dalam ruang kerja Pak Prasojo.

"Aku minta tolong pada kalian, untuk mendatangi rumah sahabatku, dia punya tunggakan yang lumayan besar, 1 M lebih, awalnya dia katakan padaku mau meminjam untuk modal usaha, ya aku berikan sekitar 1,5 M, lah nama ya sahabat kan nggak mungkin lah bohongi aku, nah sekaramg dia sudah mulai sukses, tapi tidak juga berniat membayar padaku, awalnya ya bayar, 100 juta, lalu bayar lagi, 100 juta, 150 juta, nah setelah itu dia seperti menghindar dariku, aku ya jelas marah, tapi anehnya saat aku ke rumahnya aku jadi luluh, kadang aku merasakan ketakutan yang tak biasa, tak wajarlah, takut tapi nggak tahu takut karena apa, jadi maksudku, kalianlah mewakili aku, aku sudah bilang padanya bahwa hari ini aku mengutus dua orang kepercayaanku untuk mengambil uangnya, aku tahu kau punya kemampuan melihat hal yang tak kami lihat Dewa, aku merasakan hal tak wajar saat berada di rumahnya, akan aku beri alamat rumahnya, nama sahabatku Rustamaji," ujar Pak Prasojo panjang lebar.

"Baiklah om, kebetulan Neira juga seperti saya, jadi bisa membantu saya," sahut Dewa dan mata Pak Prasojo terbelalak kaget.

"Oh yaa?"

****

"Kayaknya di sini rumahnya, berhenti Pak Pur," ujar Dewa pada sopir perusahaan yang membawa mereka.

"Pak, kok saya jadi gak enak perasaan, orang ini kayak banyak pasang pagar ya?"  ujar Neira.

"Iyah lah, tuh di depan pagar rumahnya ada dua," kata Dewa dan Neira menajamkan pandangannya.

"Wah lebih tajam Bapak ternyata, ia bener Pak,  besar item dua, biar aja, nggak akan ganggu kita kayaknya Pak, dia cuman mau bikin keder aja orang yang mau masuk," sahut Neira dengan suara bergetar.

"Maap Pak, Bu, dari tadi ngomong apa ya?  Kagak ngarti saya, pasang pagar? Itu pan memang pagar di depan rumah, dan dua besar item apaan ya Pak ya? Kok Bu Neira bilang gitu?" tanya Pak Pur.

"Nggak papa kami turun dulu ya Pak, tunggu kami di sini aja ya, ayok Nei kita turun, bawa tas mu jangan lupa"

Berdua mereka turun, Dewa melihat rumah di depannya, ia tersenyum miring dan membetulkan jasnya.

"Paak tungguuu," ujar Neira

"Napa?  Takut?" tanya Dewa seperti mengejek.

"Mulai dah, Bapak jangan ngejek saya, saya biasa lihat mukak-mukak aneh Pak, mukak Bapak iya juga masuk katagori itu," sahut Neira kesal.

"Muuukak, wajah gitu,  sama bos gak ada sopan-sopannya kamu Ne," ujar Dewa tak kalah kesal.

Berdua mereka masuk, sempat menatap tubuh tinggi besar menghitam dan berbulu lebat, mata merah menyala, tingginya hampir melebihi pagar rumah itu yang memang didesain sangat tinggi dan kokoh.

Setelah itu mereka ditanya oleh dua orang yang sepertinya bertugas bagian keamanan di rumah itu, setelah diijinkan mereka masuk berdua melewati pagar.

Tak lama pintu besar terbuka dengan sendirinya dan mereka masuk melewati lorong dan Dewa yakin akan ada hal-hal aneh.

"Ih, kamu kok deket-deket sih, takut apa cari kesempatan biar bisa nempel ke aku, cinta ya?" tanya Dewa dengan wajah jengkel sambil menoleh menatap Neira yang berada di belakangnya.

"Ya Allah Paaak, ge er banget, catet ya caaateeeeet, saya nggak akan pernah jatuh cinta sama orang kayak blBapak dah kege-eran, nyebelin, ih, saya jalan duluan aja," ujar Neira melangkah maju.

"Brisik, Hamid pusing denger suara kamu," ujar Dewa yang masih terlihat jengkel.

Neira menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Hamid? Memang dia ikut?"

"Ya ela, dari tadi dia ngikut," ujar Dewa sambil melangkah meninggalkan Neira.

Neira memejamkan matanya mencoba berkonsentrasi, ada rasa jengkel dalam hatinya, dia selalu saja begini, radarnya tak begitu aktif bekerja saat dekat dengan Dewa. Neira membuka matanya dan berteriak sekencangnya saat tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat makhluk tinggi besar berwarna merah darah, dengan mata besar dan lidah yang terjulur hingga ke kakinya.

"Paaaak iiiih," Neira memeluk lengan Dewa dengan erat. Dia tetap menatap makhluk yang juga menatapnya, namun tak urung badannya jadi gemetar.

Dewa kaget dan reflek ia mendekap Neira. Ada desir aneh yang ia rasakan, seumur-umur baru sekarang ia memeluk lawan jenis, lalu ia lepaskan dekapannya dan melepaskan tangan Neira yang masih saja memegang lengannya.

"Maaf," kata Neira berusaha menjauh dari Dewa.

"Kamu gimana sih,  kan dah biasa lihat model begituan sejak kecil, kok masih takut aja, cari kesempatan meluk aku, kamu ini ya, diketawain Hamid tuh," ujar Dewa.

"Ih Bapak, yang ini nyeremin, lagian saya memang takut kalau gak kenal, kalau yang di kantor kan dah tiga tahun saya tahu mereka yang di sana" ujar Neira berkilah.

"Ayuk ah kita jalan, kayaknya kita ditunggu di ruang yang terbuka lebar itu, kalau masih takut, pegang tanganku," ujar Dewa mengulurkan tangannya.

"Nggak," sahut Neira sambil tetap mengiringi langkah Dewa.

"Yaudah, di depan ada lagi tuh," sahut Dewa menakut-nakuti Neira.

"Iya dah, saya pegang tangan Bapak," ujar Neira akhirnya menyerah.

"Kenapa kok banyak Pak penjaga rumah ini ya Pak?" tanya Neira.

"Pertama agar kita tidak jadi masuk, aku melihat ada orang berjubah hitam di ruangan depan itu yang tahu jika kita punya kemampuan, dia bisa membaca kita, tapi aku punya kemampuan sama dengan dia, nggak usah takut, kedua dia berusaha agar kita jadi luluh dan kasihan pada sabahat omku hingga kita pulang dengan tangan hampa, aku merasakan hawa aneh mulai menyerang kita, mereka mau bikin kita kapok ke sini lagi, tapi aku akan membuat mereka kapok telah mempermainkan kita, dia tahu jika kamu merasa takut, percayalah Ne bahwa manusia lebih tinggi kedudukannya dari pada makhluk-makhluk tak jelas ini,"

Dewa melangkah masuk diiringi Neira yang mulai melepaskan tangannya dan melihat seorang laki-laki seumuran Pak Prasojo yang berdiri menyambut mereka, yang ia yakini pasti itulah Pak Rustamaji. Tak jauh dari Pak Rustamaji, berdiri laki-laki berjubah hitam menatap Dewa dengan tatapan tajam. Dewa sempat melirik dan tersenyum miring.

"Ah mari silakan duduk, yang mana keponakan Prasojo? Tadi dia menelpon bahwa dia sedang sibuk dan mengutus keponakannya ke sini," ujar Pak Rustamaji berusaha ramah.

"Saya Pak, saya Dewa, keponakan om Prasojo," sahut Dewa lalu semuanya duduk dan laki-laki berjubah hitam itu terlihat memejamkan matanya.

Dewa merasa ia dibuat tak nyaman, ia genggam erat tangan kanannya, dan memukulkan genggaman tangannya pada lututnya, meski terlihat pelan namun kekuatan tenaga dalamnya ia kerahkan.

Dewa melirik dan tersenyum miring melihat laki-laki itu terdorong beberapa langkah dan napasnya terlihat tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat.

Pak Rustamaji menoleh dan terlihat kaget.

"Ada apa Suro?" tanyanya kawatir. Ia melihat darah mengalir dari sudut bibir Suro.

"Saya... pulang...Pak, saya...bantu Bapak.. dari rumah," sahut Suro sambil berjalan terhuyung dan ke luar dari ruangan itu.

Dewa menghela napas dan menatap wajah gugup Pak Rustamaji, ia meminta map yang ada dalam tas Neira.

Dewa membuka map, memperlihatkan dokumen yang bermeterai itu.

"Ini Pak, dokumen yang Bapak buat sendiri, semua poin Bapak ketik sendiri, berapa Bapak meminjam pada om saya, kapan akan mulai membayar dan melunasinya, namun Bapak selalu ingkar, jika saya mau, saya bisa membawanya pada jalur hukum, dan juga sampaikan salam saya pada teman Bapak tadi, saya bertamu ke sini, tapi dia mau menyerang saya, jadi saya kembalikan apa yang dia kirim pada saya, semoga teman Bapak baik-baik saja, jadi kapan Bapak akan membayar?" tanya Dewa dengan wajah dingin.

"Iiii..iya saya transfer sekarang," sahut Pak Rustamaji dengan wajah ketakutan.

"Saya tunggu, hingga transaksi berhasil, karena ini dalam jumlah besar,"

Wajah Dewa terlihat menakutkan, Neira baru kali ini melihat aura mengerikan pada wajah Dewa, orang yang ia kenal menyebalkan dan terkadang konyol, ternyata dia salah duga, ada hal tersembunyi yang mulai ia rasakan.

*****

2 Januari 2020 (20.50)

Feel better? I hope so 😑😑

Just relax in...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro