Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Thunderbolts


~~~~~

"Ayolah, Bu. Apa setelah ini kau akan mengatakan kalau aku adalah keturunan bangsawan yang hilang?" Aku menatapnya sambil tersenyum geli.

"Tidak, Clare." Ibu menyentuh pundakku dengan wajah serius. "Tapi kau adalah keturunan dewa."

~~~~~

Biasanya keluarga-keluarga yang lebih kaya dan humoris akan menyiapkan kejutan atau drama kecil di hari ulang tahun anak mereka. Olive pernah bercerita, ketika ia terbangun di hari ulang tahunnya yang ke-17 kemarin, seorang peri biru–yang diperankan oleh ibunya sendiri– duduk di atas tempat tidurnya dan membawanya keliling kota seharian hingga hingga berakhir pada pesta mewah di rumahnya.

Tapi kami bukan jenis keluarga yang seperti itu. Dan kalau pun iya, tidak mungkin Ibu menyewa dua wanita yang sangat mirip denganku.

"Tidak mungkin," gumamku tidak percaya ketika seorang wanita bergaun hijau lembut menghampiriku dengan berseri-seri ketika aku memasuki ruang tamu. Ia memiliki mata yang besar, bibir tipis, dan rambut coklat lurus persis sepertiku. Rasanya aku seperti melihat bayangan masa depanku.

Tiba-tiba wanita itu menghambur ke pelukanku sebelum aku sempat menyadarinya. Aku hanya bisa berdiri mematung ketika mencium bau khas daun dan rerumputan yang samar dari tubuhnya. "Clarice, putriku yang cantik," bisik wanita itu.

"Aku ibu kandungmu. Dan ini Lily, kakakmu," lanjut wanita sambil menunjuk wanita bergaun hijau tua yang kini berdiri di samping kami. Dengan bulu mata lentik, bibir yang jauh lebih penuh, rambut coklat bergelombang, dan gaun ketat yang memperlihatkan lekukan tubuhnya, Lily tampak seperti diriku versi... (apa seksi merupakan kata yang tepat?)

"Tidak mungkin," ulangku lagi. Wanita itu terlalu muda untuk menjadi ibuku.

Aku melirik keluargaku–maksudku keluargaku yang selama ini kukenal–yang berdiri di sudut ruangan, menonton dengan wajah tegang dan pucat. Bisa kulihat mata Ibu mulai berkaca-kaca.

"Dan apa tujuan kalian ke mari?" Aku menatap kedua wanita itu tidak senang. "Apa kalian bermaksud mengatakan kalau kalian menitipkanku di sini ketika bayi, lalu sekarang saatnya untuk menjemputku?"

"Memang begitu," sahut Lily.

"Ini gila!" teriakku. "Apa kalian tidak memikirkan bagaimana nasib orang tua yang merawatku?"

"Aku mengerti perasaanmu. Kau pasti terkejut, marah, dan kecewa pada kami karena merasa telah ditelantarkan," kata Lily. "Dulu aku juga sepertimu. Menyalahkan orang tua kandung kita dan sebagainya. Tapi sebelum kau mengamuk—"

"Sebelum aku mengamuk? Aku sedang mengamuk sekarang!" Petir bergemuruh di luar hingga lampu gantung di atap ruang tamu sedikit bergetar. "Aku tidak peduli kalian bangsa dewa atau apa, tapi kalian tidak berhak melakukan ini padaku, apalagi pada orang tuaku." Aku menekan kata terakhir sambil melirik Ibu yang mulai terisak sekarang.

"Clare," panggil si Wanita-'Aku-Ibu-Kandungmu' dengan cemas (aku tahu panggilan ini tidak sopan, tapi aku masih sulit menerimanya). "Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Semua ini ada maksudnya."

"Jadi apa?" tanyaku tak sabar. Aku sudah bosan dengan kata-kata semacam 'semuanya demi kebaikanmu', seolah mereka selalu benar dan aku hanya anak kecil yang mengamuk tidak jelas.

"Clare, dengarkan kata ibu kandungmu. Kau harus kembali pada keluargamu yang sebenarnya." Ibu mendekatiku dan berbisik dengan suara serak.

Aku menatap Ibu tidak setuju.

Si Wanita-'Aku-Ibu-Kandungmu' tersebut menatapku dengan gelisah. "Kami akan menjelaskannya nanti, setelah kau pulang ke rumah."

"Ini," aku menunjuk lantai tempatku berdiri, "adalah rumahku." Suara gemuruh petir kembali terdengar di luar.

"Kau tidak akan bisa hidup jika kau tetap berada di sini, Clare," sergah Lily. "Karena ini bukan duniamu. Rumahmu ada di Godios."

Aku menarik napas frustrasi. "Lalu bagaimana dengan pesta? Aku tidak bisa meninggalkan pesta." Sebenarnya bukan ini yang ingin kukatakan. Tapi tidak mungkin aku menyebut nama orang itu sekarang, di depan seluruh keluargaku, terutama Ayah.

"Aku sudah membahasnya dengan Mrs. Alteron," ucap si Wanita-'Aku-Ibu-Kandungmu' sambil tersenyum, "kalau kami akan membawamu pulang setelah pesta ulang tahunmu selesai."

Jadi di sinilah aku sekarang, menyaksikan penduduk desa yang bernyanyi, menari, dan tertawa bahagia, sedangkan aku sendiri duduk di atas kursi berlapis satin dengan gelisah.

"Apa kau ingin agar-agar? Kau tampak pucat sekali." Jonathan yang sedari tadi menempel di sampingku sejak pesta menatapku dengan cemas. Sedari tadi ia terus meminta maaf kalau telah pergi berkeliling desa seharian tanpa memberitahu dan mengajakku, walaupun aku sudah mengatakan padanya kalau aku tidak bisa lebih senang lagi ketika menyadari ia tidak berada di dalam rumahku. Tapi Jonathan–dengan kulit tebalnya–berkeras kalau tindakannya yang pergi tanpa pamit adalah tindakan yang tidak terhormat, dan terus menerus menawariku dengan makanan.

Aku menghela napas dengan lelah. "Bagaimana jika kau mengambil kue ceri di sana?" kataku sambil menunjuk sekumpulan kue kecil berwarna merah muda yang disusun bertingkat di meja yang paling jauh dari kami, yang dikerumuni paling banyak gadis-gadis cekikikan.

"Baiklah. Kau tunggu di sini." Jonathan tersenyum padaku.

Aku membalas senyumannya, bukan karena ia terlihat tampan dengan lesung pipit di pipi kirinya. Tapi karena sebentar lagi aku tidak akan melihat wajah itu untuk selamanya.

Saat Jonathan sudah menjauh, kepalaku menoleh-noleh dengan liar dan mataku menyapu ke segala arah, mencari sosok tinggi kekar berambut gelap acak-acakan. Ketika pandanganku tertuju pada Ibu, Ayah, dan Chester yang sedang berbicara serius pada ibu kandungku—kurasa aku harus mulai memanggilnya dengan sebutan yang pantas—dengan wajah serius, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang.

Aku sudah ingin melayangkan pandangan malas saat kupikir itu adalah Jonathan, tapi senyumku langsung mengembang ketika melihat sosok yang kucari-cari itu berdiri di depanku. Di saat yang sama, sebuah kenyataan kalau aku tidak akan bertemu dengan sosok ini lagi menghantamku, hingga senyuman ini mulai meredup.

"Selamat ulang tahun," katanya sambil menyeringai. Alson memakai pakaian terbaiknya hari ini. Pakaian longgar pudar biasanya digantikan dengan kemeja lengan panjang biru muda bersih berbalut rompi cokelat, dipadukan dengan celana gelap berbahan katun.

Ia tersenyum gugup menatapku selama beberapa saat sebelum mengatakan, "Kau, um, tampak berbeda."

"Trims." Aku berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaanku. Ada apa dengan kata 'cantik' dan 'mempesona'?

"Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu." Alson menyambar pergelangan tanganku dan menarikku keluar dari kerumunan sebelum sebuah tangan besar lain mencengkram bahunya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Jonathan dengan sepiring kue ceri di tangannya. Ia menatap Alson dengan waspada.

"Membawa kabur Sang Putri yang berulangtahun." Alson menyeringai sambil melayangkan tinju ke hidung Jonathan secara tiba-tiba hingga kuenya terjatuh.

Jantungku berdetak lebih cepat ketika mendengar perkataan Alson. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebar dengan wajah memanas.

"Tunggu, Clare!" seru Jonathan ketika ia masih mengejar kami.

"Hei," ucapku sambil menatapnya tidak senang, "beri kami sedikit privasi, oke?"

Jonathan tidak mengejar kami lagi ketika Alson membawaku lebih jauh ke dalam kebun apel. Kerumunan pesta mulai tidak terlihat, tapi aku masih mendengar suara samar-samar alunan musik dari kejauhan.

"Siapa dia? Menyebalkan sekali," gerutunya ketika ia memperlambat langkahnya.

"Seseorang yang tidak penting," jawabku tak acuh. "Apa kau benar-benar berniat menculikku?" Aku menatapnya dengan alis terangkat geli, tapi wajahku masih terasa panas. Untungah langit mulai gelap sekarang.

"Yeah, sebelum kau mulai berdansa dengan salah seorang gadis," kekehnya. "Bercanda, bercanda! Kau benar-benar tampak sangat manis hari ini sampai aku sulit mengenalimu," tambahnya ketika aku meninju kuat lengannya.

Sesaat aku kesulitan melangkah ketika Alson menyebutku manis. Apakah ini adalah sedikit pertanda kalau ia juga menyukaiku, dan akan mengatakan perasaannya setelah ini?

Jantungku baru saja melompat senang, ketika aku teringat lagi kalau ini adalah pertemuan terakhir kami. Aku berusaha menepiskan kenyataan itu jauh-jauh, tidak membiarkannya merusak suasanaku.

"Kalau saja bukan otot lenganmu yang menyembul," tambahnya lagi. "Soalnya, mana ada gadis yang berotot." Ia terkekeh lagi.

Kenapa ia tidak bisa memujiku tanpa meledekku di saat yang bersamaan?

"Whoops!" serunya sambil menahan tinjuku dengan telapak tangan besarnya. "Kita sudah sampai."

"Apa?" tanyaku kebingungan ketika kami tiba di bawah salah satu pohon. Aku menengadah menatap pohon ini sejenak, kemudian menyadari kalau ini adalah pohon tempat kami pertama bertemu.

Saat itu aku masih berusia tujuh tahun ketika pertama kali memergoki Alson kecil yang sedang mencuri apel. Aku berteriak dan mengancamnya, tapi ia hanya tertawa dan menantangku untuk menangkapnya. Kemudian aku benar-benar memanjat pohon tersebut, dan ketika aku hampir terjatuh, Alson menangkap lenganku. Sejak saat itu kami mulai bersahabat.

"Apa kau membawaku ke sini untuk bernostalgia?" Aku mengerutkan dahiku, karena ini bukan gaya Alson yang biasanya.

Alson tertawa terbahak-bahak. "Mana mungkin, bodoh. Lihat ketapel itu," katanya sambil menunjuk sesuatu yang menggantung di puncak pohon sambil menyeringai lebar. "Itu hadiahku darimu."

Ini baru Alson.

"Kau menyuruhku memanjat pohon dengan gaun ini?" ucapku dengan nada tinggi. Bukannya aku tidak berani, tapi aku tidak pernah memanjat dengan gaun sebelumnya.

"Apa perlu kugendong agar gaun cantikmu tetap mulus?" godanya.

Sebenarnya aku tidak menolak gagasan itu. Tapi aku hanya mendengus, lalu melepaskan kedua sepatuku dan berkata, "Tidak perlu. Aku akan mengambilnya sendiri. Siapa takut?"

Bodoh, Clare. Bodoh.

"Tunggu!" Sebuah suara lain menghentikanku ketika tanganku sudah menyentuh batang pohon yang kasar. Aku dan Alson menoleh ke sumber suara tersebut, dan mendapati Jonathan yang berjalan menghampiri kami dengan sebelah tangan menutupi hidung. Tapi aku masih bisa melihat cairan gelap yang mengalir melewati bibirnya.

Sialan, ternyata dia diam-diam mengikuti kami.

"Clare tidak boleh memanjat pohon itu," katanya.

"Kenapa? Kau takut gaun ini rusak? Jangan khawatir, aku akan menggantinya," cemoohku.

"Tidak." Jonathan menatapku tajam. "Itu terlalu berbahaya. Kau tidak boleh melakukannya."

"Bisakah kau pergi, lap ingus bodohmu, dan tinggalkan kami di sini?" Alson menatap Jonathan, tampak terganggu oleh kehadirannya.

"Tidak jika Clare tidak ikut denganku," katanya tegas. Kemudian ia kembali melirikku dengan khawatir. "Para tamu sudah menunggumu, Clare

"Tidak perlu sok cemas. Aku akan kembali dalam waktu singkat." Entah kenapa aku malah semakin ingin melakukannya ketika Jonathan melarangku. Jadi aku hanya tersenyum miring padanya, lalu mengedikkan bahuku dengan cuek dan mulai menaikkan sebelah kakiku ke permukaan batang pohon yang kasar.

"Clarice Alteron!" teriak Jonathan marah sambil berusaha memanjat dengan susah payah.

"Hei, bung, apa kau harus mengganggu acara kami? Menyebalkan." Aku melihat Alson menarik belakang kerah Jonathan ketika aku sudah setengah sampai ke puncak. Mau tidak mau aku tertawa kecil.

Sambil mendaratkan kaki telanjangku ke dahan pohon yang lebih tinggi, dalam hati aku berjanji akan segera mengambil ketapel itu dan melemparkan serangan pertama ke kepala Jonathan. Aku sudah hampir mencapai ketapel yang digantung tersebut ketika terdengar gemuruh panjang dan pohon yang kupanjat mulai sedikit bergetar.

"Tapi malam ini cerah!" gerutuku sambil menggenggam dahan pohon yang masih bergetar di atas kepalaku.

Tepat ketika aku menarik tubuhku ke atas, tiba-tiba dahan pohon yang kugenggam patah. Kemudian aku kehilangan keseimbangan dan kedua kakiku terjatuh ke udara kosong.

"Clare!" Aku mendengar suara teriakan dari bawah. Tidak yakin itu suara siapa, karena perhatianku kini teralihkan pada sebuah kilat menyambar dari langit. Menuju tepat ke arahku.

Hal terakhir yang kuingat adalah cahaya silau dan bunyi petir yang memekakkan telinga sebelum semuanya mendadak menjadi gelap.

--------------------

T.T

Why. Rasanya revisi jauh lebih susah dari nulis cerita baru. T.T

Aku yakin entar pasti revisi lagi. T.T

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro