2. Birthday Surprise
~~~~~
Kembali melangkah ke jendela, aku mengambil apel yang diberikan Alson tadi, dan ketika memerhatikan garis-garis cerah di atas apel itu, aku menyadari kalau ini bukan jenis apel yang ditanam di kebun Ayah. Aku mendongakkan kepalaku ke luar jendela, berharap kalau Alson masih bersembunyi di atap. Tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya ada bulan purnama yang mendiami langit cerah, ditemani oleh bintang-bintang yang bersinar indah–
Tunggu. Langit cerah malam ini. Lalu suara gemuruh dan petir tadi itu apa?
~~~~~
Ulang tahun ke-17 merupakan saat yang paling penting bagi para gadis di desa ini. Keluarga si gadis akan mengundang satu desa–juga beberapa orang dari luar desa, jika kau kaya dan punya banyak koneksi–dan mengadakan pesta besar-besaran, sebagai tanda kalau anak gadis mereka telah tumbuh dewasa dan siap menikah. Kemudian si gadis akan bertemu dengan banyak pria di pesta dan memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi pasangan dansanya di akhir pesta, sekaligus pasangan hidupnya.
Semua gadis di desaku selalu menantikan saat-saat ini menghampiri mereka. Tapi aku tidak.
Aku memang tidak keberatan dengan gaun-gaun, tapi korset yang kupakai agar perutku tidak menyembul dari balik gaun merah muda ketat berlapis renda ini benar-benar menyiksaku.
"Jangan memasang tampang seperti itu di hari spesialmu, Clare," tegur Ibu ketika ia mulai menyisir rambutku di depan cermin.
"Aku tidak bisa bernapas," keluhku. "Bu, Jonathan sedang mencoba membunuhku dengan gaun ini!"
Ibu hanya menghela napas lelah. "Jangan bercanda. Beberapa pengorbanan memang harus dilakukan untuk tampil cantik, dan itu adalah hal yang wajar. Dulu Ibu juga sepertimu."
Ia mulai menjalin helaian rambutku menjadi ikatan-ikatan rumit, sementara aku masih menatap cemberut ke pantulan wajahku di cermin. Apakah dulu Ibu juga terlihat persis denganku?
Kurasa tidak. Mataku jauh lebih besar, dan bibirku terlalu tipis hingga Ibu harus mengoleskan pemerah bibir yang cukup tebal agar bibirku tampak lebih bervolume. Dan rambut ibuku berwarna pirang, sedangkan punyaku berwarna coklat gelap.
Aku memang tidak melanjutkan SMA-ku–kau tidak akan membutuhkan ijazah SMA jika kau adalah gadis desa ini–sehingga aku tidak mempelajari genetika seperti Chester, tapi setidaknya aku yakin kalau orang tua berambut pirang tidak mungkin menghasilkan seorang putri berambut coklat. Ketika aku menanyakan ini pada Ibu, ia mengatakan kalau dulu ibunya juga berambut coklat, jadi hal ini sudah bukan merupakan suatu keanehan lagi baginya.
Tentu saja aku tidak percaya. Tapi aku memutuskan untuk tidak mengungkitnya lagi sejak Ibu memutuskan untuk diam seharian setelah aku melontarkan pertanyaan itu.
"Senyum, Clare. Kau akan tampak jauh lebih cantik jika tersenyum." Ibu menekan kedua bawah pipiku dengan sebelah tangannya, lalu menariknya ke atas sehingga wajahku malah tampak aneh.
"Tidak jika Ibu belum mengusir mereka," kataku dengan pipi yang masih ditekan.
Ibu melepaskan jarinya dari pipiku sambil mendesah. "Jonathan adalah pria yang baik dan tampan."
"Dan kaya," tambahku dengan sarkastis.
"Terkadang kau memang tidak bisa selamanya bersama dengan orang yang kau cintai. Ini adalah realita kehidupan, Clare," ucapnya sambil menjepit ikatan rambutku ke belakang telinga.
Mendadak pintu kamarku di buka. Melalui pantulan cermin, aku menatap Chester dan Olive, kakak iparku, memasuki ruangan dengan bingkisan besar di tangannya.
"Chester!" Aku berlari menghampiri abangku dan memeluknya.
"Clare, rambutmu belum selesai," seru Ibu tidak senang.
"Selamat ulang tahun, Clare! Aku tidak menyangka akhirnya adik kecilku tumbuh menjadi gadis," kekeh Chester.
"Yeah, kau tampak cantik sekali. Selamat ulang tahun, Clare." Kini giliran Olive yang memelukku.
"Trims." Aku tersenyum lebar ketika Cheseter memberikan bingkisan itu padaku."Apa ini?"
"Kau-tahu-apa," bisik Chester sambil mengedipkan mata.
Aku meraba bingkisan yang terasa berat itu, lalu melebarkan mataku. "Astaga."
Chester memberiku hadiah busur dan panah, hal yang paling kuinginkan sejak dulu, tapi tidak pernah disetujui Ayah. Yeah, karena aku perempuan, dan selain melompat-lompat di atas pohon apel, perempuan juga dilarang menyentuh busur.
"Sst. Jangan beritahu Ibu dan Ayah," tambahnya.
Tentu saja.
"Kau adalah abang terbaik di dunia." Aku memeluknya lagi, sampai Ibu menarik bahuku dari belakang dengan tidak sabar.
"Simpan percakapan kalian yang penuh rindu itu setelah rambutmu rapi, Clare," kata Ibu sambil mendudukkanku kembali ke kursi depan cermin.
"Marissa, kita punya tamu." Tiba-tiba Ayah muncul di pintu kamarku tepat ketika Ibu menjepitkan manik-manik terakhirnya di rambutku. Bisa kulihat raut wajah Ayah yang menegang saat bertatapan dengan Ibu, seolah ia ingin menyampaikan suatu pesan.
Aku baru saja ingin mengikuti mereka keluar ketika Ayah menahanku dan berkata dengan pucat, "Kalian semua tunggu di sini dulu. Terutama kau, Clare."
"Kalian semua tunggu di sini dulu?" Chester mengulang perkataan Ayah. "Hei, aku bukan anak kecil lagi." Tapi ia tetap berada di kamar, walaupun kepalanya berusaha mengintip ke luar pintu.
"Sepertinya terjadi sesuatu. Kurasa bukan hal yang bagus, jika melihat ekspresi Ayah tadi," gumam Olive cemas.
Sikap Ayah tadi membuatku penasaran dengan tamu spesial itu, karena Ayah jarang sekali menunjukkan kegelisahannya. Sejujurnya tidak ada yang pernah benar-benar mengganggu pikiran Ayah selain cuaca buruk yang mempengaruhi hasil panennya, penjualan apel yang menurun, dan Alson.
Hm, Alson. Aku tidak bisa menahan diri untuk membayangkan Alson yang menemui orang tuaku, lalu mengancam mereka kalau ia akan membawaku kabur jika mereka memaksaku memilih Jonathan.
Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat.
Tapi tunggu, Alson kan tidak tahu soal Jonathan.
"Aku harus melihatnya," kataku sambil menggeser Chester dari pintu kamar.
Chester menahanku. "Tidak. Aku saja, Ayah lebih melarangmu dibanding aku."
Belum sempat aku membalasnya, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebih lebar, dan Ibu menatapku dengan wajah yang jauh lebih pucat dari Ayah.
"Clare, Ibu ingin bicara sebentar."
Ibu membawaku keluar kamar, melewati pintu belakang yang berhubungan langsung dengan kebun apel, tempat pesta diadakan. Apa pesta dimulai lebih awal?
"Ada apa, Bu?" tanyaku kebingungan saat yang kudapati hanya tenda-tenda pink dan meja-meja yang kosong.
"Ada sesuatu yang harus Ibu sampaikan padamu, Nak. Dan Ibu tahu kau pasti akan sulit sekali menerimanya," kata Ibu tergagap, tidak berani menatap mataku. Raut wajahnya menunjukkan kegelisahan, ketakutan, bercampur dengan kesedihan. Belum pernah aku melihat Ibu sekalut ini.
"Apa?" tanyaku penasaran. Rasanya aku tidak asing dengan situasi seperti ini. Seperti yang terjadi di drama-drama pertunjukan tahunan, di mana sang ibu akan mengatakan kepada anaknya kalau ia bukanlah anak kandungnya atau semacamnya. Lalu si anak akan meraung-raung pada sang ibu dan berteriak pada langit.
"Sebenarnya kau bukan anak kandung kami, Clare." Suara Ibu pecah, terdengar seperti bisikan.
Dan kami sedang memerankan drama itu... Tapi aku tidak akan berteriak pada langit.
"Aku tidak mengerti," kataku sambil mengerjap, berharap kalau Ibu akan tertawa dan mengatakan kalau ia sengaja mengerjaiku di hari ulang tahunku. Sesungguhnya aku tidak tahu kalau ternyata Ibu terobsesi pada drama-drama itu.
Ibu menarik napas yang panjang, kemudian menghembuskannya dengan pelan. "Setelah Chester lahir, Ibu dan Ayah ingin sekali memiliki seorang anak perempuan. Tapi kata dokter Ibu tidak akan bisa hamil lagi. Bertahun-tahun Ibu berdoa kepada Tuhan agar terjadi sebuah keajaiban. Dan keajaiban benar-benar terjadi.
"Malam itu petir bergemuruh terus-menerus, tapi hujan tidak turun sama sekali. Kemudian terdengar suara petir yang memekakkan telinga dari kebun apel ayahmu. Ibu pikir Ibu akan melihat pohon-pohon apel yang terbakar, tapi ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik tergeletak di tengah kebun tersebut.
"Kami sangat bahagia waktu itu, berpikir kau pastilah anugerah yang Tuhan berikan pada kami setelah mendengar doa kami selama bertahun-tahun," jelasnya sambil menerawang jauh menuju kebun apel yang terletak beberapa puluh meter di depan kami, seolah mengenang kembali masa itu.
Kupikir Ibu akan bercerita tentang seseorang yang mengetuk pintu diam-diam, kemudian saat sang pemilik rumah membuka pintu, ia tidak akan melihat siapapun kecuali sekeranjang bayi yang tergeletak di depan pintu.
Tapi aku tidak menyangka Ibu lebih kreatif dari itu.
"Aku tahu Ibu ingin menghiburku karena masalah semalam. Oke, sekarang aku sudah cukup terhibur, Bu. Itu cerita yang hebat," ucapku sambil tersenyum.
"Aku tidak bercanda, Clare." Ibu menatapku sedih. "Sekarang mereka datang menjemputmu. Keluargamu yang sebenarnya," lanjutnya dengan suara nyaris seperti bisikan.
"Hentikan." Aku mulai tertawa. "Tertawa dengan mengenakan gaun ini benar-benar sulit," gelakku sambil menekan perutku.
"Clarice," panggilnya dengan suara keras. "Jangan begitu."
"Ayolah, Bu. Apa setelah ini kau akan mengatakan kalau aku adalah keturunan bangsawan yang hilang?" Aku menatapnya sambil tersenyum geli.
"Tidak, Clare." Ibu menyentuh pundakku dengan wajah serius. "Tapi kau adalah keturunan dewa."
-------------------------------------------
Lol katanya update tiap hari Minggu. Tapi kupercepat karena mau ngejar deadline kontes ahayy XD
Revisi cerita itu jauh lebih susah dari yang dibayangkan .____.
Aku baru sadar kalau cerita ini ternyata... ah, pokoknya aku lega dulu gak sempat dikirimkan ke penerbit #HAHA
Kritik dan saran sangat diharapkan btw. Aku gak baperan.
Thanks yang udah baca!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro