15. Echo
~~~~~
"Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan ramalan. Jangan membiarkan itu membebanimu. Kau bukannya dilatih untuk persiapan perang atau semacamnya. Kau hanya Sang Pertanda, perempuan keren yang memiliki kekuatan, titik," lanjut Papa sambil menepuk pundakku santai. Sepertinya ia salah menangkap ekspresiku. Padahal aku sendiri nyaris melupakan sajak ramalan itu. Rasanya seperti sudah berabad-abad yang lalu.
Tapi entah kenapa, setelah Papa mengatakannya, mau tidak mau aku jadi memikirkan itu. Apa bakal ada perang?
~~~~~
Kami menaiki mobil---jenis kendaraan bermesin yang dikendalikan dengan pikiran---ke sekolah. Aku pernah melihat kendaraan semacam ini sebelumnya, di Bumi. Tapi mobil di Godios tampak lebih tipis, dengan atap bening berbentuk setengah lingkaran, dan nyaris tidak bersuara. Walaupun beberapa kali menaiki kendaraan ini selama satu bulan tur kemarin, aku tetap lebih menyukai unicorn.
Naik mobil itu membosankan.
Jadi, karena tidak tahu apa yang harus kulakukan selama Mama dan Lily membahas jenis gaun yang tepat untuk pesta-entah-apalah, aku hanya bisa menyenderkan kepalaku ke kaca setengah lingkaran, dan menatap pemandangan sekitar jalan.
Pohon-pohon di tepi jalan tampak seolah bergerak mendekatiku, dari sebuah titik kecil yang lama-lama membesar hingga membentuk batang kokoh dengan daun-daun tajam berwarna hijau dan jingga. Sebelum aku sempat mengamatinya lebih jelas, pohon itu sudah melesat dengan cepat ke belakang dan menghilang, kemudian digantikan dengan pohon lain di depan.
Seperti setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku. Datang tiba-tiba, dan belum sempat otakku memproses semuanya, muncul kejadian lain lagi.
Rasanya kemarin Alson baru saja menghadiahiku apel—yang bahkan belum sempat kumakan—di malam sebelum ulang tahunku. Tapi kemudian ternyata aku adalah bangsa dewa dan harus kembali ke Godios. Lalu tiba-tiba saja aku adalah Sang Pertanda. Dan sekarang, aku harus bersekolah di Godios selama enam bulan.
Aku bahkan belum menyebut soal Dewa Cinta yang mengatur cinta sejatiku dengan Fos dan suara-suara Alson di kepalaku.
Bertelepati dengan manusia yang kau sukai, bukan masalah besar kalau kau adalah Clarice Alectra.
Aku menegakkan punggungku di jok belakang ketika barisan pohon di samping jendelaku mulai menipis, digantikan oleh tanaman semak yang dipangkas rapi. Di depan kami terdapat sebuah gerbang tinggi megah—mungkin tiga kali tinggiku—dengan pagar perak berhias sulur yang terbuka lebar. Beberapa mobil melesat ke dalam gerbang, dengan dua atau tiga ekor unicorn yang terbang di atasnya.
"Kenapa tidak ada unicorn di atas mobil kita?" tanyaku spontan.
"Kalau kau mau, kau bisa membawanya tahun depan," jawab Mama di kursi pengemudi.
Aku menyesal tidak membawanya tadi.
Kami mulai memasuki gerbang. Pemandangan pertama yang kulihat adalah taman bunga, dengan beberapa meja datar berbentuk kelopak bunga dan kursi-kursi daun di sekitarnya—atau kursi bercorak daun, entahlah. Kastil-kastil kokoh dengan berbagai ukuran dan bentuk menyambut kami, sebagian menumpuk di satu tempat, dan beberapa terpisah cukup jauh satu sama lain. Ada kastil batu dengan ujung runcing dan jendela tanpa kaca, kastil lebar yang lebih rendah dengan atap landai yang berkilau diterpa sinar matahari, kemudian kastil beton dengan atap terbuka. Aku menghitung total kastil yang kulihat. Tiga belas.
Halaman sekolah ini cukup luas. Di sisi barat sekolah ditumbuhi pepohonan lebat, seperti hutan kecil, memanjang sampai ke bagian belakang sekolah. Di sisi yang berlawanan, terdapat tanah kosong luas yang cukup gersang yang hanya ditumbuhi beberapa rumput pendek. Unicorn-unicorn yang terbang tadi mulai menapakkan kaki mereka di atas tanah, kemudian berjalan ke arah hutan dan menghilang di balik pepohonan.
Harus kuakui, sekolah ini tidak terlalu buruk.
Oke deh, maksudku keren. Seandainya aku bawa unicorn.
"Selamat datang di Sekolah Godios," ucap Lily bangga dari kursi di depanku, seolah ia lah yang membangun sekolah ini. Padahal dia sama barunya sepertiku di sini. "Hei, matamu berbinar-binar." Ia menatapku sambil tersenyum geli.
"Kau lah yang berbinar-binar, Lily," bantahku.
Mama tertawa kecil. "Sudahlah, kalian itu seperti berkaca satu sama lain."
Jika mengesampingkan penampilan kami yang tampak bertolak belakang, tentu saja. Maksudku, aku memakai jubah cokelat gelap panjang dengan sabuk logam ringan—jenis pakaian yang memungkinkanku untuk melangkah lebar dan melompat liar di atas pepohonan tanpa terlihat aneh. Rambut coklatku yang sekarang sudah mulai agak berantakan, kubiarkan tergerai begitu saja di bahuku. Sedangkan Lily mengenakan gaun satin putih selutut yang mengilap, dilapisi kain merah muda tipis yang memanjang sampai ke mata kaki. Bahkan ia menggelung rambut gelombangnya dengan rapi.
Kami berhenti di depan tangga pualam lebar. Mama membuka pintu mobil, diikuti aku dan Lily, kemudian menurunkan koper-koper dari jok paling belakang. Koper Lily berjumlah tiga buah yang diikat menjadi satu barisan panjang, sedangkan aku hanya membawa satu koper.
"Selamat hari pertama sekolah," kata Mama untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini, kemudian memelukku dan Lily bergantian.
Ketika Mama memasuki mobil dan meninggalkan kami, Lily masih melambaikan tangannya. Sementara aku hanya tersenyum canggung. Aku yakin, jika Papa ikut mengantar kami, aku mungkin juga akan melambaikan tangan sambil berteriak keras.
Tapi kurasa hubunganku dengan Mama belum sedekat itu.
"Ayo berbaris," ajak Lily.
Kami berjalan melewati sekumpulan remaja yang tampak mengenakan pakaian terbaik mereka yang saling mengobrol dan tertawa. Masing-masing dari mereka membawa koper. Tapi kebanyakan gadis membawa lebih dari satu koper. Bahkan ada salah satu gadis yang membawa barisan yang terdiri dari enam koper, yang membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengernyit.
Tampaknya yang membawa satu koper hanya para laki-laki.
Oh, dan aku.
Sebagian besar koper memang didesain sedemikian rupa hingga membuat benda-benda yang disimpan di dalamnya terasa jauh lebih ringan. Aku hanya tidak mengerti, memangnya apa saja sih yang perlu di bawa ke sekolah selain satu atau dua potong pakaian dan senjata hingga kau memerlukan enam buah koper untuk memuatnya? Padahal buku-buku sudah disediakan di perpustakaan sekolah.
"Beberapa orang perlu menampilkan penampilan terbaik mereka setiap saat." Lily yang tampaknya menyadari kerutan dahiku berbisik padaku sambil menarikku ke atas tangga.
Aku mengangguk, menerjemahkan kalimatnya menjadi, 'Hampir semua koper para gadis isinya pakaian yang mereka ganti beberapa jam sekali.'
"Clare!"
Sial.
Aku menghela napas malas, berniat untuk melangkah lebih cepat ke dalam gedung. Tapi Lily menahanku.
"Hai, Fos!" sapa Lily.
"Seolah di istana belum cukup," gumamku sambil memutar bola mata.
Fos, memakai rompi membosankannya yang biasa, dengan celana berbahan kain yang membosankan dan sepatu kulit membosankan, tampak sudah terbiasa dengan reaksiku. Jadi ia hanya tersenyum tipis sambil berkata, "Kita bertemu lagi."
"Oh, kebetulan sekali," kataku agak kasar.
Ia terkekeh. "Bagaimana kalau kita ke aula bersama?"
"Oh," seru Lily seolah ia teringat sesuatu. "Aku lupa kalau ada janji dengan Wyne." Kemudian ia meninggalkanku dan masuk ke dalam gedung dengan cepat sebelum aku sempat memanggilnya.
Bagus. Tadi Lily menahanku, dan sekarang ia malah kabur. Aku sudah lelah untuk meyakinkannya kalau aku tidak menyukai Fos.
Akhirnya aku menghela napas malas lagi. "Aku ke aula. Kau ke aula. Tapi tidak bersama."
Bahkan Jonathan tidak langsung menunjukkan kekecewaannya—sepertinya ia benar-benar telah terbiasa. "Baik." Ia mengangguk, lalu membungkuk dan mempersilakanku masuk ke dalam gedung.
Aku mendengus dan berjalan melewatinya dengan cepat, kemudian berbalik menatapnya tajam ketika ternyata ia mengikutiku di belakang.
"Setidaknya tidak benar-benar bersama," katanya sambil mengangkat alis dengan polos, yang membuatku semakin kesal. Gara-gara Astro, sekarang aku jadi agak sentimental dengan gerakan mengangkat alis.
Setelah memutuskan untuk tidak memedulikan Fos, akhirnya aku melangkah memasuki gedung aula yang dipenuhi murid-murid baru—tapi tidak ada satu pun yang berbaris.
Gedung aula nyaris seluas halaman istana Papa yang pernah dijadikan sebagai tempat pesta penyambutanku. Gedung ini berlantai satu, dengan atap menjulang tinggi yang dihiasi oleh kristal raksasa berbentuk indah, dengan kristal-kristal lebih kecil di sekitarnya. Beberapa meter di bawah atap terdapat jendela-jendela bundar yang berbaris di setiap sisi gedung, yang masing-masing diselingi oleh lampu kaca kecil. Di depan jendela terdapat balkon sempit, memanjang di sepanjang sisi, dengan pagar pualam rendah yang menghadap bagian dalam gedung. Balkon tersebut tersambung dengan tangga yang menurun di masing-masing sisi kiri dan kanan pintu.
Aku terlalu sibuk memerhatikan lukisan tipis di setiap jendela bundar tersebut, sampai tiba-tiba sebuah suara yang melengking—agak halus, tapi cukup jelas—mengagetkanku.
"Akan tiba di sebuah masa
Seorang gadis dengan sebuah tanda
Di darahnya mengalir kuasa
Dialah Sang Pertanda
Akan tibanya sebuah bencana."
Tunggu. Itu sajak ramalan.
"Apa kau bilang?" tanyaku tajam pada Fos yang menengadahkan kepalanya dengan terpana.
"Aku bilang keren. Benar kan?" katanya sambil tersenyum lebar seolah terhipnotis oleh kristal-kristal di atap.
"Bukan itu. Kau barusan menyindirku?" tukasku.
"Apa?" Sekarang Fos menurunkan kepalanya, menatapku bingung.
"Kau menyinggung soal ramalan. Sang Pertanda."
"Aku tidak---" Belum sempat Fos menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sebuah suara keras lain menggema di aula.
"Anak-anak baru! Baris sesuai abjad nama kalian. Dalam lima menit!"
Suara obrolan dan tawa yang memenuhi ruangan tadi mendadak lenyap, digantikan suara langkah kaki dan koper yang diseret dengan tergesa-gesa. Tidak membuang waktu lagi, aku menyeret koperku dan menghampiri papan besar bertuliskan huruf T di depan podium, tempat Lily berada, sebelum akhirnya berbalik ketika teringat kalau namaku bukan 'Clarice Thunderson', tapi 'Clarice Alectra'.
Aku berdiri di belakang gadis berkoper enam, berusaha mengenyahkan sajak ramalan yang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Kurasa aku hanya terlalu banyak pikiran.
Seorang wanita jangkung berkacamata bundar berteriak dari podium. Ia menunjuk seseorang dari barisan. "Aku menyuruhmu berbaris sesuai nama. Kau, gadis gaun biru, namamu C atau D?" Kemudian ia berjalan ke sisi lain dan berseru dengan lantang, "Laki-laki berbaris sesuai nama depan! Perempuan dengan nama belakang!" Wanita itu berhenti sejenak. "Oh, kecuali kalau kau adalah perempuan dengan kekuatan."
Suara bisikan dan gumaman mulai terdengar. Aku bisa merasakan semua pasang mata melirik ke barisan A, berusaha mencari sesuatu. Mereka tahu Sang Pertanda bernama Clarice Alectra---atau Alektra, berkat ejaan Sedd. Sebagian murid tampaknya mengenaliku, karena mereka bahkan terang-terangan menunjukku seolah aku adalah makhluk aneh.
"Astaga, itu dia Sang Pertanda!"
"Dia memakai jubah. Kupikir dia laki-laki!"
Sialan. Memangnya rambut sebahuku tidak menunjukkan apa pun?
"Siapa namanya, Clarisse Alektra?"
"Yang mana? Yang mana?"
Aku menghela napas malas, berusaha mengabaikan bisikan-bisikan tidak tahu malu yang terlalu keras itu. Teriakan wanita di podium kembali terdengar, mendiamkan barisan yang ribut---yang tampaknya tidak terlalu mempan.
Tapi ada sebuah suara lain yang tidak bisa kuabaikan. Suara melengking tadi, yang terdengar paling jelas, menenggelamkan suara-suara ribut di sekitarku hingga tubuhku terasa membeku.
'Sang Pertanda ... akhirnya kau tiba.'
------------
Sebenarnya aku ingin menjelaskan tentang mobilnya lebih detail, tapi takut terkesan jadi sci-fi lol.
Dan aku sadar masih banyak hal yang belum dijelaskan.
Ergh. #guling-guling
Awalnya aku sempat terpikir untuk unpublish dan revisi. Lalu aku berpikir lagi, hei, kalau begini apakah benar-benar bakal selesai? Mungkin aku bisa menerapkan cara yang sama seperti cerita di sebelah, yaitu selesaikan semua dulu, setelah itu baru un-pub, revisi, lalu publish lagi. Atau mungkin aku hanya akan revisi dan publish di tempat baru, sementara yang ini aku biarkan. (Karena. alurnya. bakal. beda. lagi.)
Aku tidak menyalahkanmu jika ingin berhenti baca sampai di sini.
Terima kasih!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro