10. Dispute
~~~~~
Akhirnya aku merasakannya, ledakan-ledakan kecil yang terasa hangat di sepanjang lengan kiriku. Aku memejamkan mataku lebih erat, membayangkan ledakan itu berbentuk petir-petir kecil berwarna kebiruan, dan menyadari kalau sumber energi tersebut berasal tepat dari tanda petir hitam di lenganku.
Aku sudah mengumpulkan seluruh kekuatanku di sana. Tapi aku bingung bagaimana cara menggunakannya.
Selama beberapa saat aku hanya tetap berkonstentrasi, mempertahankan energi tersebut, sampai sebuah suara berat familier memasuki kepalaku.
"Clare?"
~~~~~
Aku pasti sudah gila.
Aku terus mengulang kalimat itu di dalam pikiranku, sejak melompat berdiri di halaman belakang istana tadi, kemudian dengan gemetaran meninggalkan Astro yang kebingungan, walaupun ia memanggilku dan terus menanyakan apa yang terjadi. Ketika ia masih terus menggangguku hingga malam, akhirnya aku menjawab kalau aku hanya kelelahan dan mengusirnya keluar dari kamarku. Astro hanya menyipitkan matanya curiga, tapi akhirnya ia pergi.
Tentu saja, tidak mungkin aku mengatakan, "Hei, ingat ketika aku tercebur ke kolam petir kemarin? Sebelumnya aku sempat mendengar suara yang entah muncul dari mana, dan itu adalah suara cowok yang kucintai di Bumi. Dan tebak, aku mendengar suaranya lagi tadi. Padahal dia manusia. Tapi semua kejadian ini amat sangat normal, iya, kan?"
Apa ini efek samping dari kekuatan yang mengalir di tubuhku? Apa jika kekuatan mengalir di tubuh perempuan, maka akan menimbulkan gejala-gejala halusinasi tertentu, oleh karena itulah perempuan tidak bisa memiliki kekuatan?
Kalau memang begitu, ini tidak adil, deh. Kenapa harus selalu aku?
Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal yang lembut ketika mendengar suara pintu kamarku dibuka. Kebutuhan tidur para dewa memang lebih sedikit dari manusia biasa—bahkan Papa pernah bercerita kalau ia tidak tidur selama dua minggu ketika harus mengawasi proyek badai petir di Venezuela. Tapi tidur tetap merupakan kegiatan yang paling nikmat.
"Aku sudah bilang kalau aku lelah dan butuh tidur seminggu!" teriakku ketus dari dalam bungkusan selimut.
"Oh, akhirnya kau memutuskan untuk membolos sesi latihan juga?"
Aku menyingkap selimut hijau muda tebal itu dan menatap Lily yang melipat tangannya di samping tempat tidurku.
"Bukannya aku memprotes." Lily mengangkat bahunya. "Ayo, Mama menyuruhmu bersiap."
"Bersiap untuk apa?" Aku mengernyitkan alisku sambil menegakkan punggung.
Lily mengedipkan sebelah matanya. "Makan malam."
Di Bumi, makan malam bersama keluarga merupakan hal yang wajar. Tapi kau tidak memiliki patokan waktu khusus untuk makan di Godios, dan terlebih lagi, tidak pernah ada acara makan malam sekeluarga di sini.
Ketika aku menjelaskan itu pada Lily, ia menjawab, "Yeah, kecuali jika kau telah menemukan cinta sejatimu, maka aka nada makan malam khusus antara kedua keluarga."
"Apa?!" teriakku. "Jangan bilang Jon—Fos."
"Memangnya siapa lagi?" Ia menatapku seolah-olah aku aneh.
"Astaga!" teriakku lagi sambil menjambak rambutku. "Kalian mempercayai Wyne begitu saja? Aku tidak pernah bilang kalau aku menyukai Fos!"
Sekarang Lily menatapku seolah aku menjadi gila. "Tapi Fos bilang kalau dia mencintaimu," gumamnya sambil mengelus sedikit bagian bawah dagunya.
Aku mengernyit tidak suka. "Lalu? Itu urusan dia!"
"Ada apa denganmu, Alectra?" Lily menghembuskan napas dengan gemas sambil berkacak pinggang.
"Seharusnya aku yang bertanya, ada apa dengan kalian? Kalian memasangkanku dengan Fos seolah itulah yang seharusnya terjadi, bukannya hal lain. Aku tidak mengerti, entah di Bumi, atau di Godios, kenapa aku tidak pernah memiliki pilihan?"
"Berhenti bersikap seperti anak kecil," geramnya.
"Berhenti bersikap seolah kau adalah orangtuaku!" bentakku, tidak sengaja, dan kemudian aku langsung merasa bersalah.
Lily tampak tersinggung. Ia melipat lengannya lagi—kali ini lebih tegas—dan menatapku tajam. "Bangun sekarang dan bersiap-siaplah," katanya pelan, seolah menahan emosi.
"Dengar, aku minta maaf—"
"Kami menunggumu setengah jam lagi di ruang makan."
"Lily!" sergahku tidak sabar. "Apa kau tidak mengerti kalau aku—"
"Alectra," potongnya. "Hentikan. Apa menjadi Sang Pertanda belum cukup bagimu? Apa kau ingin menciptakan lebih banyak sensasi dengan berpura-pura menolak cinta sejatimu, dan menjadi wanita pertama yang tidak bisa jatuh cinta? Atau kau memutuskan untuk bermain-main dulu dengan Astro?"
Kali ini aku yang tersinggung. Tapi sebelum sempat membalas (jika aku Dewa Api, aku pasti sudah menyemburkan api dari lubang hidungku), aku menyadari kalau ada ekspresi terluka di wajah Lily.
"Kau beruntung karena telah menemukan cinta sejatimu, walaupun kau bahkan belum lama di Godios," kata Lily datar sambil berbalik menuju pintu kamarku, tepat ketika Astro membawa gaun memasuki kamar.
Astro menatap Lily dengan ekspresi tertarik, "Oh, apa yang—"
"Menyingkir!" bentak Lily sambil berlalu, walaupun sebenarnya Astro sudah memberinya jalan.
Ada apa dengan Lily?
***
Dulu aku sering bertengkar dengan Alson, ketika aku terlalu kesal dengan ejekan-ejekannya. Biasanya aku akan memukulnya dan menendangnya di atas pohon sampai ia terjatuh (tapi itu tidak pernah terjadi. Alson tidak pernah terjatuh dari pohon.), atau meninju lengan padatnya yang terkadang malah membuat buku jariku sakit. Dan Alson akan membalas dengan memelintir lenganku hingga aku tidak bisa bergerak, kemudian tertawa terbahak-bahak sampai aku mengaku kalah. Tapi selanjutnya aku akan menendang belakang lututnya, lalu kabur secepat mungkin. Begitulah, dan besoknya Alson akan menanyakan sambil terkekeh, "Hei, mana tanganmu? Sial, seharusnya aku lebih kuat menekannya kemarin." Dan tiba-tiba saja ia mengoleskan salep di bekas kemerahan lenganku.
Atau dengan Chester, kakak laki-lakiku di Bumi, ketika aku dulu memakinya dengan kesal karena ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Olive, ia akan balas memarahiku, yang kubalas dengan tidak benar hingga semuanya berujung pada barang-barang yang dibanting ke atas lantai. Tapi setelah itu Chester akan berpura-pura lupa dengan pertengkaran itu, dan ia membelikanku pie apel besar favoritku.
Tapi ini pertama kalinya aku bertengkar dengan saudara perempuan, dan aku bahkan tidak tahu apa salahku.
Oke, aku memang sedikit kasar, tapi aku sudah minta maaf, dan Lily tampak masih marah padaku ketika aku memutuskan untuk memakai gaun merah yang dibawakan Astro—yang berdesir ketika aku berputar—dan turun ke ruang makan di mana terdapat keluargaku beserta Raja Light dan istrinya, Elvina Light, dan Fos duduk melingkar di meja makan besar.
Aku bahkan tidak memerhatikan apa yang mereka bicarakan dan mengangguk asal saja ketika Mama menanyakanku pertanyaan yang tidak sempat kudengar, karena aku terus melirik Lily yang menghancurkan puding api-nya sampai kobaran api kecil di atas puding itu berubah menjadi percikan, dan menatap puding hancur itu seolah terhipnotis.
Sesekali Elvina mengajak Lily berbicara, tapi Lily bahkan tidak terlihat meresponnya, hingga Elvina mengernyitkan alisnya bingung, dan memutuskan kalau Lily sama sekali tidak bisa diajak bicara dan mulai bergabung ke dalam pembicaraan para ibu.
Sial, aku merasa telah menghancurkan hidup kakakku, walaupun aku tidak tahu apa persis penyebabnya. Aku bahkan nyaris melupakan seluruh insiden suara-suara Alson yang muncul di kepalaku.
"Apa kau menyukainya?" Tiba-tiba Fos berbisik di sampingku. Ia memakai jas merah gelap berkerah tinggi, yang harus kuakui tampak serasi dengan gaunku, hingga aku merasa menyesal telah memakai gaun ini.
"Siapa?" seruku spontan. Setahuku Dewa Cahaya tidak bisa membaca pikiran.
"Aku." Fos terkekeh. "Maksudku gaun itu," lanjutnya ketika aku mengernyit tidak suka. "Aku yang merancangnya."
"Oh, jadi ini darimu? Maka jawabannya adalah tidak," jawabku dengan kejam.
Fos mengerjap sesaat, seolah tidak tahu harus bereaksi apa. Tapi kemudian ia melanjutkan lagi dengan sedikit lebih gugup, "Em ... gaun ulang tahunmu yang ke-17 dulu sebenarnya juga rancanganku."
"Pantas saja," decakku sambil mengaduk sup berwarna merah dan kuning sampai warna tersebut bercampur menjadi oranye pekat. "Aku membencinya. Aku hampir mati kehabisan napas."
"Maaf," gumamnya.
Keheningan merayapi udara sekitar kami, dan selama beberapa saat hanya terdengar suara lengkingan tinggi suara Ratu Light.
"... benar-benar hal yang paling romantis. Fos kami nyaris tampak tidak hidup ketika kami membawanya pulang. Ternyata ia memikirkan gadis yang ia cintai di Bumi! Ohohoho--" ia menutup mulut dengan jari-jari tangannya yang panjang sambil terkikik "--Dan siapa sangka ternyata gadis itu ada di sini!"
"Sang Pertanda pula," bisik Elvina, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas walaupun ia berjarak beberapa meter dariku.
"Mereka tampak serasi, mata coklat mereka ...." timpal Mama.
TIba-tiba aku jadi ingin mengganti warna bola mataku.
"Kenapa kau beritahu mereka kalau kau ... mencintaiku?" desisku pada Fos, masih sambil mengaduk sup. Kami tidak memiliki jam selesai makan tertentu, mengingat para dewa tidak merasa lapar dan kenyang dan tidak ada benda yang mengalami pembusukan di Godios, jadi bisa saja kami melangsungkan acara ini sampai besok pagi. Tapi itu tetap bakal aneh, kalau kau tanya aku. Jadi aku tetap akan mengingatkan mereka jika seandainya mereka tidak beranjak-beranjak sampai matahari terbit.
"Mereka yang mengetahuinya sendiri. Lagipula itu adalah kenyataan." Fos menunduk dan meneguk segelas cairan berwarna merah pekat hingga wajahnya ikut memerah.
"Dan apa maksudmu, kalau itu adalah kenyataan?" Aku mendelik padanya.
"Aku memang sudah merasakan itu sejak kita pertama kali bertemu, Clare," katanya lembut.
"Kau gila."
"Kau lebih gila," balas Fos.
"Aku membencimu."
Fos meletakan sendoknya, kemudian menopang dagunya menghadapku. "Beritahu aku atas dasar apa kau mengatakan itu," katanya tenang. Kedua mata coklatnya menatap intens ke arahku.
"Dan beritahu aku atas dasar apa kau mengatakan kalau kau mencintai-ku?" Aku balas bertanya.
"Kau tidak membutuhkan alasan untuk mencintai seseorang," bisiknya frustrasi.
"Kau juga tidak membutuhkan alasan untuk membenci seseorang."
Fos tampak semakin frustrasi. Tatapannya seolah berusaha ingin menelusuri masuk ke balik bola mataku, menuju ke pikiranku, tapi jelas tidak menemukan petunjuk apa pun. Untuk suatu alasan yang tidak jelas, aku cukup menikmati melihat wajah putus asanya.
"Ini tidak seharusnya terjadi," gumamnya sambil kembali menatap makanannya, seolah acar di depannya adalah satu-satunya benda yang bisa memberinya jawaban.
Aku memutar bola mataku. Kenapa semua orang harus menentukan apa yang harus terjadi dan tidak harus terjadi pada diriku? Apa aku tidak memiliki ketentuan sendiri?
"Maaf." Tiba-tiba Lily berdiri. "Aku lupa kalau ada hal penting yang belum kukerjakan." Kemudian ia pergi, meninggalkan para orangtua yang mengernyit bingung.
"Ah." Aku ikut berdiri, menyadari kalau ini adalah kesempatan. "Lily membutuhkan bantuanku."
Fos juga ikut berdiri ketika aku melangkah meninggalkan meja. "Aku juga—"
"Oh, tidak, kau duduk. Kupikir kita sudah bertaruh kalau kau akan menghabiskan seluruh makanan itu, Fos," decakku sambil menggeleng pelan.
Papa terkekeh. "Jadi seseorang baru saja kalah taruhan. Baiklah, aku akan mengawasinya untukmu, Nak!" serunya.
Aku berkedip, meninggalkan Fos yang menganga, kemudian setengah berlari menghampiri Lily hingga gaunku menimbulkan bunyi desiran lembut.
Aku baru tahu kalau memiliki saudara perempuan akan serepot ini.
----------------------------
A/N:
TELAT UPDATE LAGI AHAHA. #digampar
Sebagai permintaan maaf karena Alson belum muncul, kukasih foto castnya deh di mulmed. Yeah, itu Alson. Kapan-kapan mau coba gambar Jonathan dan Clare ehehe.
Nah, lagi-lagi memasukkan konflik dadakan (seluruh adegan ini tidak ada di versi aslinya). Ada apa denganku? Kapan mulai-mulai sekolahnya? Padahal ada salah satu tokoh yang sudah meronta meminta melepaskan diri sejak dulu kutenggelamkan.
Oh, dan percayalah, aku gak tega sama Jonathan, tapi aku harus melakukannya...
Dasar Clare. #disambar
P.S. Jangan terlalu mengharapkan kisah bahagia yang indah di cerita ini. Hanya mengingatkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro