Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 9

Pria setengah baya itu menghisap rokok dalam-dalam. Berdiri tepat di samping jendela, lantas mengembuskan asap ke udara malam. Saat seseorang masuk ke ruangannya, ia memilih untuk mematikan rokok dan fokus pada pria muda yang kini berdiri di hadapannya.

"Bagaimana?" tanya pria setengah baya itu sembari menyugar rambutnya.

"Anak buah kita sedang melakukan pengejaran, Tuan Ando. James membawa gadis itu piknik dengan kapal pesiar."

Tuan Ando terkekeh, raut wajahnya terlihat bersinar. "Kita mengubah strategi. Tangkap gadis itu hidup-hidup, lalu kita akan memaksa Romeo untuk menandatangani kesepakatan bahwa ia menyerahkan seluruh hartanya untuk kita. Tujuh puluh lima persen untukku, dan dua puluh lima persen untukmu."

"Ide bagus. Romeo pasti tidak akan tega melihat adiknya berada di dalam genggaman kita. Dia sangat menyayangi adiknya, terlebih saat dia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan peristiwa kecelakaan itu."

"Segera bawa gadis itu ke hadapanku."

"Hanya perlu menunggu dalam hitungan jam, Tuan Ando. Kita akan menjadi pemenangnya." Pria muda itu melirik jam tangan di pergelangan tangan, lantas menyeringai lebar. Tangannya mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, membuat ruangan itu dipenuhi oleh polusi udara.

***

Alsen turun dari atas sekoci. Kaki telanjangnya menyentuh dinginnya air laut. Ia meraih ransel hitam dan meletakkannya di punggung.

"Kita sampai. Anda bisa turun sekarang, Nona Flo," ucap Alsen.

Flora berdiri di atas sekoci, melongok ke kaki Alsen yang terendam air laut hingga sebatas lutut. Lantas, Flora menatap Alsen tidak suka. "Kau ingin membuat gaun mahalku terkontaminasi air laut?"

"Hanya gaun, Anda bisa membelinya lagi."

"Memang, tapi ini gaun bersejarah. Dengan gaun ini, aku pertama kali berdansa dengan James. Gaun ini juga yang menjadi saksi saat James mengungkapkan perasaannya padaku."

"Apa kenangan lebih penting dari harga sebuah nyawa?"

"Jangan mengajariku. Kau pria tidak romantis, wajar jika kau tidak mengerti arti sebuah kenangan. Mungkin seharusnya kau membentangkan karpet merah di pulau ini sebelum mengajakku datang ke sini. Aku— aaaahhhhh ...."

Ocehan Flora berganti dengan sebuah teriakan kecil, saat Alsen tanpa permisi menarik tubuh gadis itu. Hanya dalam hitungan detik, Flora sudah berpindah ke dalam gendongan Alsen.

"Singkirkan sekoci dari sini, jangan sampai meninggalkan jejak!" perintah Alsen pada anak buah kapal.

"Siap, Tuan." Anak buah kapal kembali mendayung sekoci, membawanya menjauh dari Alsen dan Flora.

Dengan membawa beban di depan dan belakang tubuhnya, Alsen melangkah tergesa-gesa, sementara Flora berseru panik. "Hati-hati, jangan sampai air laut itu terpercik dan mengotori gaun kesayanganku."

Alsen terdiam, semakin mempercepat langkahnya. Flora menghela napas kasar, kedua lengannya mengalung di leher Alsen. Diam-diam, matanya mencuri pandang pada wajah Alsen. Baru kali ini ia bisa melihat wajah bodyguard-nya dari jarak dekat.

Pria itu memiliki hidung mancung, mata tajam laksana elang yang sedang mengintai mangsanya, serta alis tebal melintang di atas kedua mata. Rahangnya nampak kokoh, bulu-bulu halus yang tumbuh di sana semakin membuat Alsen terlihat maskulin.

Argh ...! Tidak! Flora tidak bermaksud memuji apalagi mengagumi Alsen. James jauh lebih tampan! James jauh lebih seksi! James jauh lebih macho!

Dan apa ini? Alsen menggendongnya seperti seorang pria yang sedang membawa pengantin wanitanya dengan begitu romantis. Ya ampun, kenapa Flora harus selalu terjebak dalam kondisi seperti ini bersama Alsen? Masih membekas jelas dalam ingatannya saat kemarin malam Alsen membawanya kabur dari butik seperti pasangan pengantin yang bersiap melakukan ritual malam pertama di hotel.

"Seharusnya kita mengajak James sehingga kau tidak perlu menggendongku seperti ini. Kau pikir aku suka diperlakukan manis seperti ini olehmu? Dan aku sama sekali tidak akan berterima kasih."

Tepat saat Flora menyelesaikan kalimatnya, Alsen melepaskan tubuh Flora, sehingga kaki gadis itu berpijak di perairan pantai.

"Oh, no!" seru Flora sembari melepaskan rangkulannya. Ia menatap horror ujung gaunnya yang sudah basah, lantas tatapannya beralih pada Alsen. "Are you crazy?"

Alsen membalas tatapan Flora sebentar. Kemudian, ia kembali melangkah meninggalkan nona manjanya.

Flora menggemeletukkan gigi. Mau tak mau ia mengikuti langkah Alsen. Ia terlanjur terjebak dalam situasi ini, dan ia tidak mungkin memisahkan diri dari pria itu. Bukan karena Flora membutuhkan Alsen, hanya saja ia takut ada binatang buas yang mengintai dari balik kegelapan. Hah, itu sama saja kau membutuhkan bodyguard-mu, Flo!

Sesampai di bibir pantai, Flora kembali berseru histeris. "Oh, gaun kesayanganku!"

Ya, akibat ujung gaun basah, pasir dengan mudahnya menempel di sana. Sekarang, ke mana Flora harus melampiaskan kekesalannya? Pada pohon-pohon cemara di tepi hutan?

"Jangan terlalu banyak mengeluarkan suara, Nona. Atau mereka akan mendengarnya dan mengejar kita ke sini." Alsen kembali meraih Flora ke dalam gendongannya dan berjalan menuju ke tepian hutan. "Langkah Anda terlalu lambat seperti siput."

Flora membelalakkan mata. "Kalau ada audisi tentang bodyguard yang selalu melawan majikannya, maka kaulah yang akan menjadi pemenangnya!"

"Nona Flo, apa saya perlu menyumpal bibir Anda agar bisa berhenti bicara?"

"Coba saja kalau berani." Apa Flora boleh meremas-remas wajah Alsen? Pria itu sangat menyebalkan.

Mereka mulai memasuki tepian hutan. Pepohonan yang tumbuh di sana tidak terlalu lebat, sehingga cahaya rembulan masih bisa menyusup melalui pucuk-pucuk pohon cemara. Suara debur ombak dan nyanyian serangga malam mendominasi suasana di sana.

Flora mengetatkan rangkulannya di leher Alsen. Seumur hidup, baru kali ini ia memasuki hutan di malam hari. Dan itu terlihat mengerikan. Mata Flora menjelajah kegelapan. Ia takut jika tiba-tiba muncul serigala bermata merah dari sana.

"Apa Anda tidak ingin turun dan berjalan sendiri?"

Flora berjengit, suara Alsen mengagetkannya. "Apa sejak tadi aku memintamu untuk menggendongku?" dengusnya kesal.

Tanpa basa basi, Alsen kembali menurunkan Flora. Gadis itu mendongak, lengannya enggan terlepas dari leher Alsen. Bibirnya setengah terbuka, dengan gemetar mencicit, "Aku ... takut."

Alsen tersenyum miring. Mata tajamnya menghunjam jauh ke dalam mata cokelat Flora. Dalam sekejap, keangkuhan di mata gadis itu sirna, tergantikan oleh sinar redup penuh permohonan.

"Tidak perlu takut selama saya berada di dekat Anda."

"Bagaimana jika ada binatang buas yang mengintai kita?"

"Saya akan menembaknya."

"Bagaimana jika ada ular berbisa di balik semak-semak?"

"Saya akan melemparnya dengan pisau."

"Bagaimana jika pembunuh itu berada di hutan ini bersama kita?"

"Saya akan mempertaruhkan nyawa untuk Anda."

"Bagaimana jika ... kau berbuat macam-macam padaku?"

"Berhenti bertanya atau saya akan benar-benar menyumpal mulut Anda." Alsen melepas rangkulan Flora dengan kasar, lantas meletakkan ransel di atas rerumputan. Mata tajamnya awas memeriksa dan memastikan jika di sekeliling mereka tidak ada binatang liar.

Pria itu duduk sembari menyugar rambut. Membersihkan pasir yang melekat di ujung celana dan kaki. Sementara Flora menyilangkan kedua lengan di depan dada, memperhatikan Alsen dengan begitu santai melewati malam menegangkan ini. Ya, bahkan mungkin pria itu sering melalui kejadian-kejadian yang jauh lebih ekstrim dari malam ini.

"Kenapa Anda tidak duduk?"

"Yang benar saja? Aku harus duduk di rerumputan?"

"Memangnya di mana lagi? Duduk di pangkuan saya, begitu?"

Flora mendengus, mengempaskan pantat di rerumputan, membuat gaun mahalnya semakin kotor. Ia tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin 'kan jika ia harus duduk di pangkuan Alsen dan membangunkan singa tidur?

Kalau saja bisa, sebenarnya ia ingin menjaga jarak paling tidak lima meter dari Alsen. Tetapi sayang, suasana mencekam itu membuat Flora menggeser tubuh untuk duduk semakin dekat dengan pengawalnya.

"Kalau bukan karena terpaksa, aku malas berdekatan denganmu. Sesampai di rumah, ingatkan aku untuk mandi kembang tujuh rupa."

"Itu pun jika Anda masih bisa pulang ke rumah."

"What?" Sebuah tepukan keras mendarat di pundak Alsen. "Kau menyumpahiku tidak bisa pulang, begitu?"

"Baguslah jika Anda bisa menyimpulkan sendiri."

"Kau ... bodyguard yang tidak bertanggung jawab. Kau akan membiarkan mereka membunuhku, dan kau lari dengan uang yang sudah dibayarkan oleh Romeo? Dan itukah alasanmu membawaku ke hutan ini? Ingin merekayasa kematianku dan lepas tangan setelahnya?"

"Apa yang Anda pikirkan? Jika Anda terbunuh, maka akan ada orang lain yang akan terbunuh terlebih dulu, yaitu saya."

Alsen melepas jas hitamnya, lantas menyelimutkannya di pundak Flora. Gadis itu menoleh, tatapannya kembali beradu pandang dengan Alsen. Ia mencoba menyelami mata tajam milik pria itu, sorot dingin yang menyimpan sejuta misteri. Seolah ada sekat yang membatasi Flora sehingga ia tidak bisa menembus batas yang diciptakan oleh Alsen.

Angin bertiup semakin kencang, daun-daun bergemerisik menciptakan suara khas alam. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara burung hantu. Ah, Flora membenci suara mencekam itu. Sedikit lagi, ia kembali menggeser tubuh lebih merapat pada Alsen. Daripada ia harus mati ketakutan, akan lebih baik jika ia menurunkan ego dan berpengangan pada lengan Alsen kuat-kuat.

Ouh ... malam ini akan terasa sangat panjang dan menyiksa! Dan Flora tidak mengerti, entah kenapa Alsen terlihat begitu menikmati petualangan ini!

***

To be Continued

17-03-2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro