Part 10
"Apa kau tidak merasa takut?" tanya Flora. Suara burung hantu di kejauhan sana semakin jelas terdengar.
"Takut? Tidak."
Flora mendesah, lalu melanjutkan pertanyaannya. "Apa sebelum ini kau sudah pernah bermalam di hutan?"
"Ya, tersesat di hutan. Selama berhari-hari."
"Apa saja yang terjadi saat itu?"
"Dikejar macan kumbang, beradu lari cepat dengan singa."
Flora menahan napas. Pikirannya mulai melayang ke mana-mana, tidak siap seandainya kejadian yang sama akan terulang malam ini. Oh, ayolah! Flora masih ingin hidup, ia menginginkan pernikahannya dengan James.
Tubuh Flora semakin menegang saat Alsen melanjutkan ucapannya. "Dililit ular phyton, baku tembak dengan musuh."
Refleks, Flora meraih tangan Alsen dan menautkan jemari mereka. Keringat dingin sudah mengalir di dahinya. Ia menatap Alsen. "Kau serius?"
"Belum lagi, melihat banyak makhluk tak kasat mata."
"Kau menakutiku, bodoh!"
"Dan saya begitu menikmati wajah ketakutan Anda."
"Brengsek!" umpat Flora sembari menarik tangannya. Namun, Alsen sudah terlebih menggenggamnya erat-erat.
"Bukankah Anda takut? Dan Anda akan aman selama berada di dalam genggaman saya. Saya ... tidak ingin melepaskan Anda." Alsen berucap datar.
Flora menoleh dengan cepat, melihat kilatan tersembunyi di mata Alsen. "Apa maksudmu?"
"Jangan terlalu meninggikan ego, Nona Flo. Tetap berada di belakang saya, maka saya akan mempertaruhkan nyawa demi Anda."
Terdengar manis bukan? Ah, andai James yang mengatakan itu pada Flora. Dan kalau saja saat ini James yang ada di sisinya. Di saat-saat seperti ini, Flora membutuhkan sandaran.
Tidak ada pilihan lain. Flora pun menyandarkan kepala di pundak Alsen. Itu lebih baik daripada harus bersandar di batang pohon. Lagipula Alsen benar, apa gunanya Flora meninggikan ego?
Mungkin sekarang sudah saatnya ia mengurangi sifat keras kepalanya. Coba ingat, semua ini salah siapa sehingga mereka harus terjebak di pulau tidak berpenghuni? Seharusnya Flora tidak menyetujui ide gila James untuk menyingkirkan Alsen. Sekarang, nyawa Flora justru sedang terancam.
Jika sejak kemarin Flora tidak ingin mempercayai Romeo tentang pembunuhan itu, tetapi entah kenapa kini ia harus menyetujui ucapan kakaknya. Bukankah Romeo jauh lebih memahami situasi yang tengah terjadi, ketimbang Flora yang acapkali mengabaikan keadaan di sekitarnya. Ya, yang ada dalam pikiran Flora hanya bersenang-senang dan menikmati hidup.
Kedua orang tua yang selalu memanjakannya telah menjadikan Flora seorang gadis keras kepala dan selalu menuntut semua keinginannya terpenuhi.
Tangan kanan Flora merapatkan jas hitam yang melekat di tubuhnya. Angin yang berembus dari laut membuatnya menggigil.
"Apa kau tidak merasa kedinginan?"
"Tidak."
"Huft ... aku merasa dingin sekali."
"Kita tidak membawa selimut, jika Anda lupa."
Flora mendengus, semakin merapatkan tubuh pada Alsen. "Bukankah masih ada cara lain untuk menghangatkan badan?"
"Membuat api unggun? Kita tidak melakukan hal sekecil apa pun jika itu bisa meninggalkan jejak dan membuat musuh lebih mudah menemukan kita. Hutan ini tidak terlalu lebat, cahaya rembulan sudah cukup menjadi penerangan di sini."
Dasar tidak peka! Ingin rasanya Flora berteriak sekencang-kencangnya. Apa ada yang bisa memberitahu Alsen, dengan cara apa seseorang bisa mendapatkan kehangatan meski tanpa selimut dan api unggun? Astaga, pria itu!
Oke. Mungkin Flora memang tidak akan mati terbunuh selama berada di samping Alsen, tapi rasanya gadis itu akan mati karena kedinginan. Apa Alsen memiliki kulit setebal badak sehingga tidak kedinginan meski hanya mengenakan kemeja putih yang digulung sampai ke siku?
Merasa kesal, Flora melepaskan diri dari genggaman Alsen. Bergeser menjauh radius setengah meter, mengabaikan rasa takut yang menghantuinya. Lantas, ia menarik ransel mencari keberadaan ponselnya.
Tak kunjung menemukan benda yang dicari, Flora menatap Alsen. "Di mana ponselku?"
"Kita tidak membawa ponsel."
"Kau bercanda?"
"Untuk mengantisipasi musuh melacak jejak kita melalui GPS."
"Lalu bagaimana aku berkomunikasi dengan James?"
Alsen mengangkat bahu.
Flora meremas rambut frustrasi. Astaga, baru beberapa menit lalu ia mencoba berdamai dengan bodyguard-nya. Akan tetapi, selalu saja ada hal-hal yang membuat Flora ingin menguliti Alsen hidup-hidup.
Gadis itu mencoba menetralkan emosi. Duduk sembari memeluk kedua kaki, sementara dagunya bertumpu pada lutut. Kali ini ia sudah tidak peduli seandainya ada singa yang muncul dari balik kegelapan dan menerkam tubuhnya. Mungkin lebih baik jika ia mati menjadi santapan binatang liar daripada harus menderita bersama Alsen.
"Untuk apa kita bersembunyi? Sekarang aku tidak takut mati! Apa ada cara untuk kembali ke kapal? Atau bagaimana cara memancing penjahat itu datang ke sini? Biar aku lihat siapa dalang di balik kematian Papa dan Mama!"
"Nona Flo!"
"Aku benci bersembunyi seperti pengecut!"
Tanpa mengindahkan seruan Alsen, Flora beranjak dari tempatnya. Berlari menuju pantai.
"Nona Flo! Jangan gegabah!" Alsen meraih pergelangan tangan Flora, tetapi gadis itu mengempaskannya.
Berdiri tegak di bibir pantai, menunjuk Alsen agar tidak mencegahnya. "Jika memang pembunuh itu memang benar ada, aku ingin melihatnya!"
Alsen menggeleng. "Tidak, Nona Flo!"
Flora menarik napas panjang, merentangkan kedua tangan dan berteriak sekuat tenaga. "Hei! Apa kalian sedang mencariku? Aku di sini!"
"Nona Flo!" Alsen memperingatkan.
"I'm not scared anymore!" teriakan Flora terdengar lantang. "Datangi aku jika memang kalian ingin membunuhku!"
Alsen membekap mulut Flora dengan telapak tangannya. "Anda menantang maut!"
"Hmmmffft ...."
"Kita harus mencari tempat persembunyian." Alsen mengangkat tubuh Flora ke dalam gendongannya.
"Aku hanya ingin mencari tahu siapa pembunuh itu!" Flora memberontak, tetapi tidak berhasil melepaskan diri dari lengan kekar Alsen.
Alsen membawanya kembali ke dalam hutan dan menurunkannya di tempat semula. "Kita cari tempat yang lebih aman di tengah hutan, setidaknya sampai besok."
"Ke tengah hutan?"
"Anda sudah tidak takut lagi, bukan?" sindir Alsen sembari meraih ransel dan meletakkannya di punggung, setelah sebelumnya mengambil flat shoes milik Flora dan menyuruh gadis itu memakainya. Sementara ia sendiri mengenakan pantofel hitam.
Flora menelan salivanya. Ia bukannya tidak takut, hanya berusaha melenyapkan ketakutan dengan cara meluapkan emosi. Ah, Flora yang labil!
Dan gadis itu tidak bisa berkata-kata lagi saat Alsen menarik pergelangan tangannya. Berjalan semakin jauh ke tengah hutan. Tertatih-tatih, Flora mengimbangi langkah Alsen di antara deretan pohon cemara.
"Aku lelah, apa kita ... tidak bisa berhenti ... di sini?" Napas Flora tersengal, ia menarik lengan Alsen.
"Semakin jauh, mereka akan semakin sulit menemukan kita."
"Tidak akan ada yang mengejar kita, percayalah padaku."
"Anda memancing mereka datang, Nona Flo."
"Mereka tidak ada, dan aku akan berhenti di sini. Jika kau ingin pergi, pergilah." Flora duduk bersandar di pohon cemara, merajuk. Ia lelah berjalan terlalu jauh.
Ia mengatakan kalimat itu, bukan karena tidak merasa takut, tetapi karena Flora percaya Alsen tidak akan meninggalkannya. Dan benar saja, hanya dalam beberapa detik Alsen sudah meletakkan ransel di tanah, mengedarkan pandangan ke sekitar, lantas duduk di atas sebuah batu besar. Mengawasi Flora yang nampak kelelahan.
Dada gadis itu terlihat naik turun, napasnya tidak stabil. Ikatan rambutnya mulai berantakan, sementara wajah ayunya semakin bersinar oleh cahaya rembulan. Dan bibir yang setengah terbuka itu terlihat begitu ... menggoda?
Alsen memijit kepalanya. Ternyata menjadi pengawal seorang gadis tidaklah semudah dalam bayangannya, terlebih jika gadis itu keras kepala seperti Flora. Dan apa yang baru saja dilakukan Flora? Menantang pembunuh-pembunuh itu? Gadis bodoh!
Meraba pistol dan pisau yang berada di pinggangnya, Alsen menghela napas kasar. Ia yakin, hanya dalam waktu beberapa jam, pembunuh-pembunuh itu akan menemukan keberadaan Flora. Lalu, apa Alsen takut? Tidak! Alsen tidak pernah lagi mengenal rasa takut!
***
To be Continued
19-03-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro