URTICA FEROX
Some people love being at the airport, but some other despise the place with all their hearts.
Menyusuri Amsterdam Airport Schiphol setelah 13 jam penerbangan dari Singapura, kakiku seperti menemukan kebebasan. Bertahun-tahun, tempat bising penuh dengan manusia ini tidak pernah berhasil mencuri hatiku. I've always enjoyed traveling, but have never liked the airport. Namun ada yang berbeda kali ini. Tidak ada tiket kembali ke Jakarta dalam genggamanku.
Sekalipun sudah mendapatkan makan dalam pesawat tidak lama sebelum mendarat, perutku masih terasa kosong. Hampir saja aku melangkah masuk ke Toko to Go, tetapi begitu sadar restoran itu menyajikan makanan Indonesia, aku mundur teratur. Rinduku akan soto babat dan nasi goreng belum mencuat. Lantas, terpaku pada tulisan MOODS dan tergelitik interior penuh warna-warna alam, tanganku segera menyeret koper kecil untuk memasukinya. Sofa dengan sandaran tinggi hijau serta abu-abu muda menjadi pilihanku. Tanpa menunggu lama, espresso dan Breakfast Bowl masuk ke dalam pesanan ketika salah satu pramusaji menghampiri mejaku.
Menyandarkan punggung, pandanganku menyapu seisi restoran dan menyimpulkan tempat ini bebas dari pelancong dengan tas besar tergeletak di samping tempat duduk. Tanpa sengaja kemudian tatapanku terpaku pada satu pria dengan kaus abu-abu muda yang sedang membaca buku sembari menyumbat telinganya dengan earphone. Dia tampak serius meskipun duduknya terlihat santai. Menelengkan kepala, memoriku dengan keras memindai wajah yang lebih dari tiga tahun benar-benar tersingkir. Sembari bergumam tentang ketidakmungkinan bertemu dengannya di tempat sebesar Schiphol, aku semakin diyakinkan ingatanku sepenuhnya benar.
Atas nama penasaran, aku bangkit dari sofa dan berjalan pelan menuju tempat dia duduk. Penglihatanku memang tidak keliru.
Ada ragu untuk menginterupsi konsentrasinya, tetapi dorongan untuk menepuk pundaknya begitu kuat. Tidak ingin mengagetkannya, jemariku menepuk pelan dua kali.
Dia terlihat bingung saat mengangkat wajah dan melihatku berdiri terlalu dekat dengan mejanya.
"Yes?"
"Andrej Haba?" Mustahil lupa dengan nama seperti itu.
Keningnya mengerut, mungkin tidak menduga ada manusia yang mengenalinya. Dia bertanya, "Do I know you?"
"Digisea Nomad? Kamu pernah jadi member di sana."
Andrej terdiam sambil melepas earphone. Tidak lama kemudian, dia menatapku dan berkata, "I remember you!" Andrej lantas bangkit dari sofa dan mengulurkan tangan. "Apa kabar? Maafkan jika aku lupa nama kamu. Sudah terlalu lama."
"Enda dan ... kabar baik," jawabku setelah menjabat tangannya.
"Enda ... sekarang aku ingat. We raced once on the beach, didn't we?"
Aku hampir tidak mempercayai dia ingat dengan satu hal yang dulu membuat hatiku bersorak. "You won, by the way."
Andrej tergelak. "Kalau sekarang kita lomba lagi, kamu pasti akan mengalahkanku dengan mudah."
"Sudah nggak lari lagi?"
Gelengannya tampak seperti sebuah penyesalan kecil. "Aku lebih sering banyak bepergian satu tahun terakhir. Kamu mau pergi ke mana?"
"Ke Dusseldorf."
"Aku tidak akan bertanya tujuan kamu ke sana. I'll save that for later. Masih transit lama?"
"Sekitar 4 jam sebelum boarding. Kamu sendiri?"
"Pulang ke Praha setelah dua bulan di Asia untuk kepentingan kantor. Aku sempat ke Digisea tapi tidak ketemu kamu."
"Aku sudah berhenti 1,5 tahun yang lalu. Sekarang tinggal di Jakarta."
Sebelum sempat menanggapi, pramusaji yang tadi mencatat pesananku bertanya mau diletakkan di mana makanannya. Andrej lantas bertanya tempat dudukku dan berkata dia akan menyusul.
Berjalan kembali ke mejaku, ada perasaan lega mengetahui ada teman bicara. Meski hubungan kami hanya berkisar soal Digisea, setidaknya ada wajah familier yang aku temui di sini dan itu cukup untuk mengurangi lelah dan khawatir.
"Aku masih utang kamu sesuatu," ujarnya setelah mengambil bangku kecil di seberangku dengan cangkir kopi yang sudah tandas setengah.
"Refresh my memory," pintaku sambil menikmati campuran pisang, stroberi, granola, yoghurt, dan cokelat yang tersaji di dalam Breakfast Bowl.
Andrej meraih buku yang tadi dia baca dari dalam tas dan menarik pembatas buku yang kemudian ditunjukkannya kepadaku.
"Aku selalu membawa ini ke mana-mana. No one ever made something this beautiful for me. Aku belum sempat memberikan kamu apa-apa."
"Itu hadiah. Aku senang kamu masih menyimpannya."
Dia menggumamkan terima kasih sebelum meletakkan pembatas dari benang rajut itu ke halaman yang dia tandai.
"Keberatan cerita soal Dusseldorf? Tidak banyak yang tahu soal Dusseldorf, dan kota itu jelas kalah pamor dengan Berlin atau Munich. I think this will be ... for good?"
"It's a one way ticket."
"Is a girl waiting for you there?" tanyanya penuh selidik sebelum menambahkan, "I'm sorry. Itu bukan pertanyaan yang pantas. Kamu tidak harus menjawabnya."
"I don't mind," balasku sebelum menjelaskan tujuanku ke Dusseldorf.
"Congratulations!"
"Thank you."
Canggung dengan pekat menggantung di atas kami, tetapi situasi ini justru memberiku kesempatan untuk memperhatikan Andrej lebih saksama.
Dia masih mempertahankan potongan rambut yang sama. Secara fisik, tiga tahun tidak banyak mengubahnya. Satu yang berbeda, pakaian serba hitam yang dulu menjadi atribut hariannya sudah tidak lagi aku temukan.
"Akhirnya aku tahu kamu punya pakaian selain hitam."
Tawa Andrej terlihat lepas. "Aku sudah jarang memakai pakaian serba hitam. Ary akan cemberut jika melihatku mengenakannya. We've been together for 3 years, by the way," ungkapnya sumringah.
Nama yang keluar dari bibir Andrej membuatku berpikir sejenak. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa Ary adalah wanita yang sempat digosipkan dekat dengan Andrej saat mereka sama-sama menjadi member Digisea. Aku hanya mengangguk pelan mengetahui fakta itu.
"Kalau kamu sudah selesai, mau jalan-jalan? Aku tahu tidak banyak yang bisa dilihat di sini."
"Selama kamu nggak ketinggalan pesawat, aku mau-mau saja."
Tanpa aku minta, Andrej mulai bercerita tentang pekerjaannya begitu kembali ke Praha, termasuk kisah pertunangannya dengan Ary. Kesibukan yang menuntutnya harus sering bepergian membuat dia menyerahkan semua urusan pernikahan kepada Ary. Andrej mengungkapkan keinginannya menjadikan Bali sebagai rumah serta membangun keluarga di sana.
Terasa sedikit aneh mengetaui kehidupan Andrej lebih banyak di negara orang dengan waktu yang sempit dibanding saat kami dulu punya banyak waktu untuk mengobrol.
"I'm done!" seruku demi memotong cerita Andrej tentang tantangan hubungan jarak jauh yang dia dan Ary alami.
Dia memaksa membayar makanan yang aku pesan tanpa mengindahkan protesku. Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kami meninggalkan MOODS.
"I had a crush on you even when I knew you were straight."
Pengakuan itu keluar begitu saja tanpa rencana. Butuh bertahun-tahun mengungkapkan sesuatu yang dulu kusimpan rapat-rapat.
Langkah kami berhenti bersamaan. Andrej tampak kaget, tetapi senyum yang dia berikan setelahnya meyakinkanku bahwa dia tidak akan memakiku di keramaian seperti ini.
"Sempat terpikir olehku bahwa ada rasa tertarik yang kamu rasakan. Namun sikap kamu susah ditebak hingga akhirnya aku mempercayai itu hanyalah sebuah dugaan."
"Aku jelas nggak punya kesempatan dibanding Ary atau cewek lain. Aku musti keluar dari ilusi jika nggak mau terluka. I did and I was fine."
"Keberatan cerita hal yang membuat kamu tertarik denganku?"
"Nggak ada pengaruhnya lagi sekarang 'kan?"
Pertanyaan balik itu tidak dijawabnya.
Kami lantas tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Aku merasa tolol karena suka dengan orang yang jelas-jelas nggak teraih."
"Menurutku perasaan kamu valid, terlepas dari apakah orang yang kamu sukai itu membalasnya atau tidak."
"Mungkin perlu jatuh cinta kepada orang-orang yang salah dulu sebelum yang benar datang."
Andrej mengedikkan bahu. "Aku orang yang sangat apatis, terutama soal asmara. Selain cinta-cinta monyet yang kualami saat remaja, aku tidak melihat pentingnya punya pasangan sebelum hidupku sendiri tertata rapi. Saat bertemu Ary, 80% dari hidupku sudah tersusun. I gave it a go. And turned out, it was one of the most beautiful things I've ever had."
Aku sama sekali kehilangan arah sejak keluar dari MOODS. Ada panik yang menyerang jika harus terlambat boarding. Tanpa mengindahkan Andrej, aku membaca satu demi satu papa petunjuk dan mengingat arah yang harus aku tuju nanti.
"Is something wrong?"
"Aku nggak tahu ada di mana sekarang. Bandara sebesar ini selalu bikin bingung dan tersesat."
Alih-alih menunjukkan rasa prihatin, Andrej meremas pundakku. "Tidak usah khawatir. Aku di sini. I'll make sure you won't get lost."
Kami kembali berjalan meski pikiranku belum lepas dari kemungkinan tersesat.
"I still owe you something. What should I get you?"
"Andrej ... kamu nggak perlu beliin aku sesuatu. Pembatas buku itu hadiah, aku nggak mengharapkan kamu membalasnya. Kalau tadi nggak kamu singgung, aku nggak akan ingat."
Andrej menelengkan kepala, senyum tipisnya tampak jelas. "It will make me feel better, Enda."
Kami saling bertatapan sebelum dia melihat anggukanku. "Kalau memang itu bikin kamu ngerasa lebih lega ... aku nggak bisa menolak."
"Let me think, then."
Andrej menggumam pelan dalam bahasa ibunya sementara pandangannya menyusur tiap toko yang ada di sekeliling kami.
"Kamu pasti sudah punya banyak buku, jadi itu sudah tercoret dari daftarku. Hmmm ... dasi? Bakal berguna atau tidak?"
"I'm afraid not. Mungkin sesuatu yang lebih sederhana?"
"Jangan ke mana-mana."
Belum sempat membalas, Andrej sudah menghilang ditelan kerumunan dengan meninggalkan satu koper kecil di sebelahku. Aku benar-benar tidak sabar untuk naik pesawat lanjutan ke Dusseldorf, merebahkan badan begitu sampai, dan menjauh dari keramaian yang membisingkan ini.
Andrej kembali dengan senyum merekah. Namun begitu melihat tas yang dia jinjing, reaksi pertama adalah menolak pemberiannya. Pembatas buku yang aku berikan jelas tidak bisa disandingkan secara harga dengan apa pun yang ada di dalam tas itu.
"Aku menemukan sesuatu yang unik."
"Apa pun isi tas itu, aku jelas nggak bisa menerimanya."
Dia mengulurkan tas berlogo Gucci itu sambil berkata, "Isinya tidak bisa dibandingkan dengan pembatas buku yang pernah kamu berikan, Enda. You made the bookmark yourself, and it meant you took time to make it. Sesuatu yang dibuat personal semacam itu tidak bisa dinilai. This is just something small."
Saat aku masih belum juga mengulurkan tangan untuk menerimanya, Andrej justru semakin mendekatkan tas itu ke arahku.
"Please, Enda."
Dengan enggan aku menerimanya.
"Jangan merasa bersalah, Enda. Ini sesuatu yang tidak aku buat sendiri. I'm so bad at handcrafting. Setidaknya sekarang aku merasa lega."
"Thank you."
Kesempatan untuk mengakhiri pertemuan kami muncul ketika Andrej melihat arlojinya. Aku yakin dia juga harus bergegas agar tidak terlambat.
"I guess we both have to go," ujarku.
Dia mengangguk. "Aku antar kamu dulu karena takut kamu tersesat dan justru akan ketinggalan pesawat," godanya.
Kami mulai berjalan kembali ke arah MOODS. Rasa penasaran untuk membuka isi tas yang diberikan Andrej begitu besar, tetapi aku menahannya.
"Kamu kapan kembali ke Indonesia?" tanyaku setelah menimbang lama.
"Ada banyak yang harus aku urusi begitu sampai di Praha. Jika semuanya selesai sesuai dengan perkiraan, mungkin sebelum musim panas berakhir aku bisa kembali ke Bali dan mulai mempersiapkan pernikahan."
"Are you looking forward to a married life?"
"Pertanyaan bagus, Enda," balasnya. "Ada ketakutan bahwa perubahan yang terjadi setelah menikah akan membuatku justru mempertanyakan keputusan yang aku ambil. Bukan ke Ary, tapi ke pernikahan itu sendiri. Kami sudah cukup lama saling kenal, yang berbeda mungkin hukum yang akan mengikat kami. I'll tell you that in the next couple of years."
"I guess it's time to say goodbye," ucapku saat gate tempat aku akan boarding terlihat.
"Jaga diri, Enda. It's a pleasure meeting you here."
Aku segera mengulurkan tangan. "Good luck with the wedding preparation. Semoga semua urusan kamu cepat selesai."
"I don't think you could come to the wedding?"
"Afraid not."
Andrej menjabat tanganku, lebih erat dibandingkan saat kami bertemu tadi. "See you around, then."
Sengaja mempercepat langkah, aku meninggalkan Andrej dibarengi lambaian tangan. Hanya untuk bersikap sopan. Sesudahnya, aku sama sekali tidak membalikkan badan untuk mengecek keberadaannya.
Menemukan satu kursi kosong, aku segera duduk dan mengecek ponsel. Ada satu pesan masuk dan aku langsung membalasnya. Menyandarkan punggung, aku meraih tas yang diberikan oleh Andrej dan segera menilik barang di dalamnya. Keningku sempat mengerut, tetapi senyumku mengembang seketika. Tanganku meraih benda itu dan mengamatinya lebih dekat.
Aku enggan menerka harga mug dari porselen bertuliskan Urtica Ferox dengan warna hijau itu. Dengan tutup berbentuk tangan yang sedang memegang sebuah bundaran, desain mug ini memang unik. Aku memasukkan kembali mug itu ke dalam tas dan menemukan satu kertas ucapan kecil. Karena ditulis tangan, aku tidak meragukan itu milik Andrej.
For your morning tea. Tell your boyfriend he's the luckiest guy in the world.
See you around, Enda!
Andrej
Julian bukan tipe pencemburu, dan hadiah ini jelas tidak akan membuatnya curiga dengan Andrej. Ada godaan meninggalkan tas beserta isinya ini saat aku harus masuk ke dalam pesawat, tetapi niat itu aku urangkan. Sekalipun kami bukan teman, meninggalkan mug ini berarti tidak menghargainya.
Panggilan dari Julian menyentak lamunanku dari Andrej. Dan dengan sebuah sapaan, aku kembali diingatkan alasan duduk di ruang tunggu di salah satu bandara tersibuk di Eropa ini.
"Hey, handsome," sapaku ketika suara Julian terdengar di telinga.
***
Hey all,
I'm back! Hahahaha.
Setelah hampir setahun nih nggak posting cerpen, akhirnya .... Semoga suka dengan cerita ini. I miss you all guys so much!
Cerita bersambungnya diusahakan ada tahun ini dan dengan segera. But for now, ini dulu ya?
Have a great week, peeps!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro