Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

REUNION


Entah sudah berapa kali aku menggesekkan telapak tangan demi meluruskan kerutan kemeja batik bermotif Pringgodani yang aku beli khusus untuk acara ini. Sementara slim fit pants berwarna hitam tampak cukup pantas untuk acara reuni SMA sebentar lagi. Namun tidak ada senyum di wajahku. Fakta bahwa Ingmar akan menemaniku tidak menimbulkan efek tenang yang biasanya menjadi kekuatan supernya. Ingmar, yang selalu bisa membuat segalanya jadi lebih baik, kali ini seperti tanpa tenaga. Satu jam lagi, aku akan menginjakkan kaki di sekolah yang dulu mati-matian ingin aku tinggalkan dengan segera. Jantungku berdegup kencang dan tanganku berkeringat. Sesal mulai merambatiku karena menyetujui datang ke reuni yang selama bertahun-tahun tidak pernah masuk dalam kalenderku. Aku seharusnya mampu mengabaikan undangan yang dikirim melalui surel seperti biasanya. Aku akan masih tertidur pulas dengan Ingmar di sebelahku di rumah kami.

Reaksi teman-teman SMA bisa ditebak. Mereka heboh saat tahu aku akan datang.

"Kamu mau dateng ke reunian? WOW! Musti gelar karpet merah nggak sih kami di sini? Jarang-jarang kedatangan tamu agung dari Jerman!"

"NGGAK SABAR KETEMU KAMU, RIMBA!!!"

"Kamu ke reunian? Seriusan? Perasaan, semalem nggak ada hujan juga nggak ada angin gede. Rimba, yakin mau dateng?"

Enam belas tahun setelah resmi melepas seragam putih abu-abu, baru kali ini aku setuju datang. Sebenarnya mereka mengadakan reuni setiap dua tahun dan aku selalu mendapat undangan, tapi sibuk selalu aku gunakan untuk menolak undangan yang dikirim kepadaku. 

Ketika memutuskan datang, aku sudah menyiapkan diri menjawab berbagai pertanyaan "kenapa" yang akan diajukan sebagian besar dari mereka. Aku benci harus menjelaskan ke mana saja perginya seorang Rimba setelah lulus SMA, karena setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku sejak kelulusan itu tidak bisa dirangkum dalam obrolan basa-basi selama lima menit. Jadi aku menyiapkan jawaban yang akan memuaskan keingintahuan tanpa harus meninggalkan pertanyaan dalam benak mereka. Paling tidak, itu yang aku harapkan.

Lalu apa yang membuatku tidak bisa tersenyum sekalipun sudah menyiapkan amunisi untuk menghalau setiap rasa ingin tahu yang mungkin akan diajukan oleh teman-temanku?

Kembali menginjakkan kaki di halaman SMA ada dalam urutan terakhir sesuatu yang ingin aku lakukan, bahkan jika semua kebahagiaan yang menghampiriku, menguap satu persatu. Tiga tahun menjadi siswa SMA bukanlah masa yang ingin aku ingat meskipun kehidupanku sekarang ditentukan oleh keputusan yang aku ambil dalam kurun waktu itu. Eksterior seorang Rimba saat itu adalah seorang siswa berprestasi, menjadi juara dalam berbagai lomba pidato dalam Bahasa Inggris, menjadi MVP Player selama dua tahun berturut-turut dalam debat Bahasa Inggris tingkat provinsi, selalu masuk tiga besar sejak kelas satu dan menjadi satu-satunya lulusan yang berhasil mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah di Jerman melalui beasiswa. 

Hanya saja, mereka tidak melihat usaha kerasku menjadi seperti teman-teman pria lainnya karena masih menganggap ketertarikanku pada sesama jenis adalah sebuah penyimpangan. Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya dengan Rendra Adiguna selama dua tahun, teman satu tim dalam setiap lomba debat Bahasa Inggris yang aku ikuti. Aku tersiksa oleh perasaan tidak normal dan dengan keras menyangkal dan menekan perasaan tidak nyata yang muncul.

Memasuki kembali gerbang SMA akan memunculkan kenangan yang enggan aku ingat.

"Look who's the good looking man standing in front of the mirror right now."

Bayangan Ingmar terlihat di cermin.

Ketika lengannya yang terbungkus kemeja batik bermotif Parang lengan panjang melingkar di pinggangku, aku menyandarkan kepalaku di pundaknya.

"You shaved. Why?" tanyaku saat menyadari kecupannya di pipi tidak terasa menggelitik.

"I want to know whether my good look will affect your high school friends or not. And to test my gay radar. You know, just for the sake of my curiosity."

Aku tidak mampu menyembunyikan tawa kecilku mendengar jawaban Ingmar.

Bertemu Ingmar lima tahun lalu adalah sebuah titik balik. Aku sudah memutuskan menutup hati rapat-rapat sampai ada pria yang benar-benar menggedornya dengan keras atau bahkan mendobraknya dengan paksa. Ingmar adalah pria itu. Bahkan saat dengan tegas aku memberitahunya tidak tertarik untuk menjalin hubungan, dia bergeming. Dia sempat menjauh selama beberapa bulan, tapi di tahun kedua hubungan kami, dia mengakui bahwa itu caranya meyakinkan diri tentang seberapa besar dia menginginkanku.

"Orang akan mengira kamu masih kuliah."

Dengan rambut pirang yang dipotongnya pendek sebelum datang ke Indonesia, Ingmar akan mampu mengelabui siapa pun yang berusaha menebak usianya. Dia jarang mencukur kumis serta jambangnya sampai habis karena dengan rambut-rambut itu, dia terlihat sesuai dengan usianya, apalagi dia juga lebih suka memanjangkan rambutnya hingga mencapai pangkal leher dan kadang menutupi kedua daun telinganya. Aku suka membenamkan hidungku di sana setiap kali kami bercinta atau sekadar menelusurinya dengan jari-jariku. The Rough Ingmar, sebutanku untuknya. Namun dengan rambut pendek dan wajah licin seperti ini, aku khawatir dia akan menimbulkan masalah nanti. Masalah karena banyak wanita dan mungkin juga pria, akan tertarik kepadanya.

"Then I'll act like one," jawabnya ringan. "Are you ready?"

Aku membalikkan tubuh sebagai jawaban. Lengannya semakin erat mengunci pinggangku dan wajah kami begitu dekat hingga aku memiliki ketakutan kami akan terlambat karena harus menuntaskan nafsu terlebih dahulu. Aku mengangkat lengan dan membiarkan jemariku menelusuri pipinya yang halus. Aku selalu punya alasan untuk menyentuh wajahnya, sekalipun alasan itu terdengar sangat basi, tapi Ingmar tidak pernah menolaknya.

"Lebih baik kita pergi atau kita akan sangat sangat terlambat."

Kami memang akan sangat-sangat terlambat jika tetap berada di kamar ini dengan tubuh kami yang seperti direkatkan oleh sesuatu yang lebih kuat dari lem jenis apa pun. Biasanya aku akan mengucapkan bermacam-macam alasan untuk membuat Ingmar tetap melingkarkan lengannya di pinggangku, tapi kali ini, aku tidak mau membuat kepulanganku ke Indonesia sia-sia. Akan ada nanti, ketika ada begitu banyak cerita untuk diungkapkan setelah sesi bercinta kami. Seharusnya, kami sudah ada di lobi saat ini.

"One kiss won't make us late."

Merasakan bibir Ingmar mengunci milikku, rasanya aku akan bahagia jika ada gempa yang meruntuhkan gedung ini dan mengubur kami dalam posisi seperti sekarang. What a way to die! Meski telah mengenal Ingmar selama lima tahun, aku masih suka memasukkan setiap ciumannya ke kategori-kategori yang aku buat sendiri. Bahkan, Ingmar sempat terpaku selama beberapa menit ketika aku memberitahu tentang kategori-kategori itu. Ciuman yang diberikannya sekarang masuk ke kategori, "I-want-to-keep-locking-our-lips-longer-but-we-have-to-go." Bukan tergesa-gesa. Ciuman kami saat ini tidak bisa masuk kategori, "let-me-leave-mark-on-your-collarbone-and-let-me-unzipped-your-pants-and-take-all-your-clothes-off."

Kami benar-benar harus pergi.

"Let's go, Rimba! And let me count how many gay guys that I can point out to you later."

Aku hanya mengangguk.

So we left.

***

"Rimba!!!"

Hampir setiap teman yang melihatku, ekspresi mereka hanya dua: tidak percaya karena aku akhirnya datang ke acara reuni dan kaget ketika melihat Ingmar. Apakah aku tahu dua ekspresi itu yang akan diberikan teman-temanku? Lebih dari tahu. Aku sangat sadar, membawa Ingmar ke acara besar yang sengaja aku hindari selama bertahun-tahun akan menimbulkan banyak tanda tanya. Sebelum resmi memperkenalkan Ingmar sebagai teman dari Jerman yang ingin tahu kehidupan masyarakat Indonesia di kota kecil, mereka pasti berasumsi Ingmar adalah pasanganku. Aku bisa saja membiarkan asumsi mereka tanpa penjelasan apa pun, tapi aku menjaga gosip berkembang lebih luas. Selain itu, aku juga sadar bahwa sebagian besar dari mereka tidak menguasai Bahasa Inggris, jadi, aku cukup tenang dan lega, Ingmar tidak harus menghadapi berbagai pertanyaan rumit yang harus membuatnya menjeaskanl panjang lebar. 

Paling tidak, sejak kedatangan kami, Ingmar belum memberikan keluhan kecuali beberapa kali, aku memergokinya menyeka kening yang basah oleh keringat. Acara ini memang diadakan di aula, yang meskipun berbentuk joglo dan terbuka dari semua sisi, angin kering yang berembus membuat cuaca yang sudah panas menjadi semakin panas. Aku yakin, Ingmar berharap bisa melepaskan kemejanya. Aku hanya tersenyum.

Perlu waktu untuk mengenali sebagian besar teman-temanku, karena 16 tahun jelas membuat banyak dari mereka berubah. Aku tidak malu bertanya siapa mereka jika memoriku benar-benar gagal mengenali nama mereka.

Sebagian besar membawa suami atau anak mereka ke acara ini, sesuatu yang membuatku tersenyum dan merintih di saat yang bersamaan. Tersenyum karena melihat mereka sepertinya bahagia dengan kehidupan mereka sekarang dan merintih karena mereka seperti terjebak dalam kehidupan itu. Mereka menjalani kehidupan yang normal, kehidupan yang setiap orang di kota ini miliki. Lulus SMA, kuliah, pacaran, lulus kuliah, kerja, pacaran, lamaran, menikah, punya anak. Aku percaya siklus itu tidak banyak berubah, hanya urutannya saja yang mungkin tidak runtut. Aku jadi berpikir, apakah memang kehidupan seperti ini yang mereka harapkan dulu? Ketika keremajaan masih belum mengenal arti tanggung jawab yang sebenarnya. Ketika yang mengisi waktu mereka hanyalah bersenang-senang, menikmati uang orang tua, menghabiskannya entah untuk berfoya-foya atau untuk membiayai kuliah, atau mungkin keduanya, menikmati begitu banyak waktu senggang, membolos kuliah, dan belajar untuk ujian semalaman tetapi tidak mempengaruhi nilai akhir mereka. Apakah kehidupan di kota kecil ini yang melintasi pikiran mereka, ketika senyum terpampang di foto yang dipasang di ruang tamu keluarga di hari mereka resmi menjadi seorang Sarjana? Mencari pasangan untuk dijadikan istri/suami sebelum menemukannya dan kemudian menikah. Menghabiskan tabungan mereka untuk acara pernikahan dan resepsi yang dihadiri oeh ratusan undangan dan menjalani kehidupan awal pernikahan yang masih penuh dengan keromantisan sebelum perselisihan mulai memasuki usia pernikahan mereka. Ketika kehamilan menjadi sesuatu yang sangat mereka harapkan dan menyiapkan segala sesuatunya, mulai nama dan upacara mitoni atau tujuh bulanan dan saat-saat menegangkan menunggu kelahiran putra/putri mereka. Kebahagiaan yang lengkap karena menjadi keluarga yang utuh dan ucapan selamat dari teman, saudara, tetangga, yang menanyakan kapan akan punya momongan lagi. Uang sekolah yang mulai harus dipikirkan sekalipun anak mereka masih belajar untuk merangkak dan kebutuhan hidup yang semakin bertambah membuat mereka harus bekerja keras dan terjebak dalam pekerjaan yang mungkin tidak mereka sukai, tapi tidak bisa mereka tinggalkan atas nama tanggung jawab.

Ada rasa kasihan menyeruak melihat mereka menjalani kehidupan yang terlihat membosankan bagiku karena terjebak di kota sekecil ini, tanpa tahu ada terlalu banyak tempat indah dan hal-hal menarik lainnya di luar sana. Terkungkung dalam rutinitas yang mungkin mereka jalani karena tidak adanya pilihan lain dan mimpi masa muda untuk menjelajahi tempat-tempat di belahan dunia lain atau menjalani kehidupan di kota besar dengan menenteng tas bermerk, berdasi, berjas serta memiliki mobil mewah, terlupakan dan pelan-pelan, terkubur karena sadar tidak mungkin lagi mencapainya. Sudah sangat terlambat untuk mengejarnya. Rasa iba menyusupi melihat mereka cukup puas dengan apa yang mereka miliki sekarang, tanpa ada keinginan membanting tulang untuk semua yang pernah membuat mereka sangat antusias menjalani hidup. Terlambat, itu yang selalu mereka katakan. Sebuah alasan yang seharusnya tidak ada jika bisa bertahan dengan idealisme dan tidak menyerah hanya karena gagal atau merasa tidak bisa. Alasan yang menurutku tidak seharusnya mereka katakan.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Aku memalingkan wajah ke Ingmar yang duduk di sebelahku sembari mendengarkan beberapa sambutan. Aku terlalu sibuk memperhatikan teman-temanku hingga tidak mendengarkan dengan saksama isi pidato. Aku bahkan lupa Ingmar ada di sampingku.

"Just a silly thought, I guess."

"I know you too well to believe you're just having a silly thought."

Aku tersenyum. "We'll discuss that later, okay?"

"Can't wait," jawab Ingmar sambil memberiku tatapan menggodanya.

Setelah itu, aku diminta naik ke panggung dan memberikan sedikit cerita tentang kehidupanku di SMA dulu, tentang kuliahku di Jerman, dan kehidupanku saat ini. Aku benci pamer dengan pencapaian dan yang aku lakukan adalah bentuk lain dari menunjukkan kepada orang lain, aku lebih hebat dari mereka. Mungkin, aku memang lebih hebat dari mereka, bukan karena semua pencapaian yang sudah aku raih, tapi keberanian untuk mengejar apa yang aku inginkan dan menjadi diri sendiri. Berapa banyak dari mereka yang berhasil melakukannya? Aku percaya, kehidupan yang mereka miliki saat ini, hanyalah sisa ataupun bagian kecil dari impian yang pernah mereka miliki dulu. Berdiri di hadapan teman-temanku dan mengumbar hal-hal yang mungkin tidak akan pernah mereka cicipi tidak masuk dalam daftar yang harus aku lakukan ketika menyetujui datang. Hanya Ingmar yang bisa melihat tidak nyamannya aku berada di atas panggung.

Begitu acara berubah menjadi lebih santai, aku menyapa beberapa guru yang hadir dan masih aku kenali. Bertubi-tubi mendapatkan pujian atas semua keberhasilan yang aku raih, mendapatkan tepukan di punggung, serta tidak luput pertanyaan di mana istriku atau berapa anak yang sudah aku punya—yang tentu saja, aku tidak bisa menunjuk Ingmar sebagai pasangan hidup—aku jawab dengan basa-basi dan kebohongan. Ingmar cukup bisa menempatkan diri karena dari sudut mata, aku melihat ada beberapa orang yang mengajaknya mengobrol saat aku sibuk dengan guru-guru dan teman-teman satu angkatan—yang tidak pernah satu kelas denganku tapi bersikap seolah kami cukup dekat dulu.

Apakah ada hal lain yang bisa aku katakan tanpa harus mengulangi hal yang sama berulang-ulang? Tidak ada.

Saat melihat Rendra setelah sekian puluh tahun, aku tertegun. Laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta dan menyadarkanku bahwa ketertarikanku jauh lebih besar kepada sesama jenis. Apa yang bisa aku jadikan pembuka obrolan tanpa harus ada kikuk di antara kami?

Rendra yang tertanam dalam ingatanku adalah pria muda dengan tubuh proporsional karena seperti kebanyakan siswa populer di SMA, dia adalah anggota tim basket dan wakil ketua OSIS—yang kharismanya justru melebihi sang Ketua OSIS sendiri. Entah berapa banyak siswi yang telah mencoba mendapatkan perhatiannya, dan entah berapa jumlah korbannya begitu lulus SMA, Rendra adalah pria impian. Dia tidak seperti gambaran siswa populer yang berkulit putih dan berwajah tampan ala model majalah remaja. Dengan kulit coklat yang tidak terlalu gelap dan hidung yang mancung serta tatapan mata yang selalu bisa membuat lawan bicaranya merasa diperhatikan sepenuhnya, Rendra menarik karena kualitasnya, bukan karena tampilan fisiknya. Rendra adalah awal dari semuanya.

"Aku nggak percaya kamu akhirnya dateng ke acara reunian kita." Kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulut Rendra begitu kami berjabat tangan.

"Kebetulan memang lagi pas jadwalnya buat pulang ke Indonesia, jadi bisa dateng," jawabku sambil memberikan senyum lebar.

Aku memang sudah menjadi milik Ingmar, tetapi aku tidak bisa mengelak bahwa Rendra adalah awal dari setiap langkah yang aku ambil begitu seragam putih abu-abuku terlipat dengan rapi dan menjadi penghuni lemari untuk selamanya. Tanpa dia, aku tidak akan memiliki dorongan untuk keluar dari kota kecil ini dan belajar setiap malam dan melahap buku apa pun yang bisa membuatku mendapatkan beasiswa di luar negeri. Tanpa dia, aku tidak akan tahu bahwa selamanya, wanita tidak akan pernah mampu membangkitkan libido. Tanpa dia, aku tidak akan pernah punya keberanian menjadi diri sendiri dan melupakan berbagai macam ketakutan mengejar mimpi ke Jerman. Aku berutang pada Rendra, dan jabatan tangan kami mengembalikan semua perjuangan yang harus aku lalui. Cinta pertama memang tidak akan pernah bisa sepenuhnya hilang.

"Udah jadi orang ya sekarang?"

"Kita semua kan udah jadi orang sejak lahir, Ndra. Kamu ini."

"Aku nggak pernah nyangka kamu akan sesukses ini, Rimba."

"Setiap orang punya definisi sendiri tentang arti sukses, Ndra. Apa yang aku punya sekarang juga nggak lepas dari masa-masa sekolahku di sini. Lomba-lomba debat dan pidato itu bener-bener ngebuka jalan yang banyak buatku. Aku juga seneng kalau kita satu tim dulu dan kamu jadi panutan buatku."

Rendra tertawa.

Tawa itu masih sama. Hanya saja, ada kerutan-kerutan di keningnya yang ikut tertarik ketika gelak itu keluar. Secara fisik memang Rendra sudah berubah. Tubuh proporsional yang dulu dimilikinya digantikan perut yang sedikit membuncit dan pipi yang sedikit gemuk. Gaya bicaranya sudah tidak seperti Rendra yang aku lihat ketika dia membantai lawan-lawan kami setiap mengikuti lomba debat. Dulu, kehadiran Rendra cukup bisa menyiutkan nyali-nyali siswa/siswi dari sekolah lain. Ditambah dengan aku, kami seperti penguasa lomba debat karena kemampuan bahasa Inggrisku dan cara Rendra menganalisis setiap pertanyaan dan pendapat adalah kombinasi yang mematikan. Rendra selalu antusias setiap kali membahas tema debat yang kami dapat dan dia bersikeras agar kami membaca setiap buku dan artikel, bahkan yang kami tahu tidak akan mungkin dijadikan sebagai tema lomba. Rendra adalah siswa yang rajin dan aku terkejut mengetahui justru aku yang mendapatkan beasiswa ke Jerman dan bukan dia. Sejak itu, aku kehilangan kontak dengannya.

Sekarang, gaya bicara Rendra terdengar seperti sudah lelah dengan semua perjuangan dan persaingan yang dialaminya. Intonasinya menjadi lebih lambat, seperti seorang pendakwah minus suara lantang. Ada begitu banyak yang ingin aku tanyakan kepadanya, tapi sadar, semua pertanyaan itu tidak bisa semuanya aku ajukan. Lagipula, aku tidak mau terdengar terlalu penasaran dengan kehidupan Rendra.

"Kamu kerja dimana sekarang, Ndra?"

"Aku jadi guru Bahasa Inggris sekarang, sekalian jadi pelatih debat. Kamu sendiri, denger-denger, belum nikah juga? Nunggu apa? Jangan bilang kalau kamu belum ketemu jodoh yang cocok."

"Sayangnya, jawabannya memang itu, Ndra," balasku. "Udah punya anak berapa kamu?"

"Dua, yang satu enam tahun dan yang satunya lagi baru dua tahun. Mampirlah kapan-kapan ke rumah, biar bisa aku kenalin sama istri dan anak-anakku kalau Bapaknya dulu jagoan lomba debat."

Kami tertawa.

Namun aku merasa mengkhianati diri dengan tawa itu karena di dalam hati, aku bersedih mengetahui Rendra memiliki kehidupan yang sama dengan sebagian besar orang yang hadir di reunian ini. What a waste! Rendra punya potensi jadi orang hebat, lebih hebat dariku. Menjadi guru Bahasa Inggris dan menjadi pelatih debat memang bukan hal yang buruk, bahkan aku menganggap profesi sebagai pengajar itu profesi yang mulia. Namun Rendra ditakdirkan bisa jadi lebih dari itu. Dia bisa menjadi diplomat yang handal atau seorang direktur di sebuah perusahaan multinasional karena kemampuan analisisnya. Menjadi seorang guru dan menetap di kota kecil ini bukanlah bayanganku tentang Rendra. Dia mungkin menikah karena tuntutan orang tua dan keluarganya. Menjadi guru mungkin juga bukan sesuatu yang diinginkannya, tapi lebih karena orang tuanya menginginkan dia menjadi abdi negara dan tetap tinggal di kota ini. Rendra memang sangat mematuhi dan menghormati orang tuanya—seperti sebagian besar anak pada umumnya. Mungkin dia hanya tidak punya keberanian menentang keinginan orang tuanya sekalipun hal yang ditentangnya itu sesuatu yang menentukan hidupnya. Mungkin memang itulah yang terjadi dengan sebagian besar teman-temanku. Mereka memilih sesuatu yang pasti dan aman daripada menantang diri sendiri menjadi orang yang bertahan pada pendirian dan mimpi mereka.

Jujur, aku kecewa Rendra menjadi seperti ini. Sangat kecewa.

"Kamu kapan kembali ke Jerman, Rim?"

"Harus nemenin Ingmar ke Bali, karena dia pengen ke sana. Mungkin traveling ke Komodo atau ke Papua atau ke Sulawesi, masih belum tahu. Dia belum pernah ke Indonesia, jadi harus nemenin dia ke mana pun dia mau."

Rendra hanya mengangguk. "Kok dia mau kamu ajak ke sini? Pasti kaget kalau kota ini kecil sekali."

Aku tertawa. "Dia memang mau ikut, jadi ya, nggak bisa nolak. Dia udah aku kasih tahu betapa kecilnya kota ini."

"Di sini nggak pernah ada bule, jadi temen kamu itu dikerubungin banyak orang, cewek-cewek terutama."

Kami mengarahkan pandangan ke Ingmar yang memang sedang dikelilingi beberapa wanita. Bahasa tubuh mereka mengindikasikan sebuah pancingan dari Ingmar. Aku tersenyum tipis membayangkan cerita Ingmar nanti.

"Looks like he's enjoying that."

"Aku seneng bisa ketemu kamu lagi, Rim. Jarang-jarang kamu pulang, kan?"

Aku tersenyum sebelum mengeluarkan kartu nama dan mengulurkannya ke Rendra.

"Kalau kamu butuh apa-apa, materi buat kamu ngajar atau buat debat yang nggak bisa kamu dapet di sini, tolong kasih tahu aku, Ndra. Aku pasti bantu. Terus, kalau kamu mau ke Jerman, harus kasih kabar juga. Awas kalau nggak."

Rendra menerima kartu namaku dan karena itu kartu nama bisnis, jadi jabatanku tertera di sana, yang membuat Rendra kemudian menganggukkan kepalanya.

"Kamu benar-benar jadi orang hebat, Rim."

"Jabatan dan gelar itu nggak penting dalam pertemanan, Ndra. Jangan lihat itunya. Aku masih Rimba, kok."

Demi isi pikiran Rendra sekarang—ketika dia mengamati kartu namaku—aku rela menukar satu hari sebagai manusia kepada iblis. Hatiku, sekalipun berusaha untuk tidak memikirkan kata ini, trenyuh melihat Rendra. Bayangan Rendra berada di ruang debat dan semangatnya yang menggebu-gebu untuk mematikan lawan dengan sanggahan-sanggahan cerdas, kerutan di keningnya ketika lawan memakan umpan kami sebagai kamuflase atas teriakan gembira di dalam dirinya—karena tim kami akan menang—bersanding dengan Rendra yang saat ini berdiri di depanku, tampak saling bertentangan. Rendra yang sekarang seperti sebuah lembaran buku kusam yang tinta di dalamnya sudah luntur dan sampul bukunya kusut serta ada beberapa robekan di sana-sini. Ingin rasanya aku mengatakan, semua mimpi yang ingin dicapainya dulu masih bisa dia raih sekalipun dengan kemungkinan dan hasil yang berbeda. Namun aku sadar ucapan seperti itu akan mendapatkan balasan yang membuatku menyesal sudah mengucapkannya. Aku menahan diri dan membiarkan perasaan trenyuh dan kecewa itu menguasaiku tanpa bisa melakukan apa pun untuk mengubahnya.

"Thanks, Rim. Nanti pasti aku kabari kalau aku butuh sesuatu."

"Eh, Rimba, aku boleh nyulik Rendra benta, kan? Ada yang mau aku omongin nih, penting!" Suara Rika tiba-tiba saja hadir di antara kami. Aku serta Rendra saling bertatapan sebelum akhirnya aku mengangguk.

"Diculik lama juga nggak papa, asal nanti dibalikin ke rumah aja," candaku disambut Rendra dengan gelak sebelum mereka berlalu dari hadapanku.

Aku akan bertemu mereka lagi nanti, jadi, tidak ada perlunya untuk mengucapkan selamat tinggal atau pamit. Acara masih belum selesai.

"Those women ... Fiuh!"

Aku memalingkan wajah ke arah Ingmar. Mukanya terlihat memerah dan butir-butir keringat masih terus membasahi kening dan lehernya. Ingin rasanya mengeluarkan sapu tangan dari saku celanaku dan menyeka keringat itu, tapi tentu saja itu hanya sebuah ide yang tidak mungkin aku laksanakan di sini. Aku memberikan tatapan minta maaf karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk membuat Ingmar lebih nyaman dengan kondisinya sekarang.

"Kita bisa pulang sekarang kalau kamu mau."

Ingmar menggeleng. "Let's stay."

"Kamu yakin?"

"100%! This is probably going to be your last reunion anyway, so better enjoy while you're here. I'm not sure you can put up with all of these hypocrisy."

Aku memasang ekspresi setiap kali dia mengeluarkan sarkasmenya tentang sesuatu. Entah itu memang benar-benar yang mengisi pikirannya atau hanya berusaha untuk membuatku kesal. Kali ini, aku yakin dia mengungkapkan yang sejujurnya. Aku setuju dengan Ingmar. Aku tidak akan datang lagi ke reuni macam apa pun. Ini yang terakhir.

"Well, why don't we go back to the hotel, then? Your charms have blinded so many women here, shouldn't we do our own thing? It will be way better than ... this."

Kali ini, Ingmar menatapku dengan tatapan terkejut.

"Wow, look who's this little town boy has turned into."

"Stop it, Ingmar. Let's go. You better sweating for something else, right?"

"I bet you're right."

Sementara aku menghampiri Rendra dan beberapa teman yang kebetulan ada di dekat Rendra dan Rika untuk berpamitan, Ingmar kembali mendapatkan perhatian itu dari beberapa wanita. Bahkan ketika sepasang kaki kami melangkah meninggalkan tempat reuni, aku masih harus membalas beberapa orang yang melambaikan tangannya kepadaku. Mungkin mereka akan mencatat alamat dari kartu nama yang aku berikan ke Rendra dan memutuskan inilah saat yang tepat untuk menjilat seorang Rimba, entah untuk tujuan apa. Aku tidak akan terkejut jika mendapati surel atau surat dari mereka yang menyapaku seolah kami adalah sahabat baik. Terkadang, terlalu mudah untukku membaca apa yang akan orang-orang itu lakukan.

Aku berubah. Aku bukan Rimba yang dulu. Jerman, Ingmar, masa kuliah, perjalananku ke beberapa negara, pekerjaan dan orang-orang yang aku temui, telah mengubah persepsi dan pendapatku tentang mereka. Bukan salah mereka tentu saja, karena mereka tidak melakukan apa pun yang membuatku harus menyalahkan pilihan hidup yang mereka ambil. Hanya saja aku menilai mereka menjalani kehidupan yang pura-pura. Kehidupan yang sebenarnya tidak mereka inginkan tapi tetap mereka jalani, atas berbagai macam alasan konyol yang sebenarnya tidak harus ada.

Aku merasa lega ketika akhirnya keramaian itu perlahan menjauh dari pendengaran.

We left.

We left the closed-minded people.

We left ... to our little sanctuary where fake and closed-minded, will never exist between us.


* FIN *


Saya biasanya jarang kasih catatan setelah atau sebelum cerita, tapi cerita ini, kalau boleh saya bilang, adalah cerita pendek yang paling saya suka. The most favorite story that I've ever written. Mungkin karena temanya, atau mungkin karena ada kebenaran dalam cerita ini. Dan diluar kekurangan-kekurangan yang ada, saya bangga sama cerita ini. Memang berbeda dengan cerita-cerita yang sudah saya post sebelumnya, dan semoga, bisa tetep dinikmati, meski unsur romance-nya nggak dominan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro