Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 | Fool Triumphant

FAJAR TERAKHIR di ujung tahun — 31 Desember 0020

Pak Badri datang hari ini. Berbeda daripada sebelum-sebelumnya. Ia berkeringat dan dipenuhi kusam. Matanya sembab seperti tidak tidur dalam beberapa hari. Meski begitu, tatapannya masih sama. Penuh dengan hinaan kepada orang-orang lemah. Ia berhasil menakuti Wafir dan Diyah dengan penampilan lusuh pada pagi hari ini.

Selain Pak Badri, pagi itu benar-benar berbeda. Di belakang Pak Badri yang diliputi seragam Imam yang berkibar, mewarnai fajar yang melukiskan rona jingga di langit gelap, orang-orang yang Wafir kenal menunggu dengan raut penasaran dan khawatir. Rika dengan berbekal anak panah, Ray dengan sarung tinju, Hasbie dengan trisula, dan para Imam yang menemani dengan tampang was-was serta ragu. Apa yang sedang direncanakan Pak Badri pada fajar akhir tahun, dia jelas sedang memikirkan sesuatu seperti ... ini akan menjadi kesempatan terakhir, begitu pikir Wafir.

Tanpa bersuara, Pak Badri mengirimkan kode dengan jempolnya untuk mengikutinya. Semua orang yang tadi menemaninya, juga ikut berpindah ke tempat yang Pak Badri inginkan. Pertarungan hari ini tidak akan dilaksanakan di taman tambang. Ia masuk ke dalam hutan yang dirimbuni pohon-pohon perdu. Menuju sebuah tempat yang mesti diketahui oleh Wafir dan Diyah, yang akan menjadi penutup dari tujuh hari di neraka yang sudah Pak Badri buat.

Hingga mereka semua berhenti di bagian kosong di tengah hutan. Mereka baru berjalan sekitar 2 kilometer dari bibir pantai dan kini menemui padang rumput yang dikelilingi hutan. Luasnya kecil, hanya setengah lapangan sepak bola. Cahaya matahari yang mulai meninggi, menyinari tempat tersebut amat jelas, apalagi dipayungi langit biru yang cerah. Hawa dingin di akhir tahun tidak terlalu terasa sebabnya. Tempat apa ini? Begitu tebak Wafir. Maksudnya, bagaimana mungkin ada suatu tempat yang enggan ditumbuhi pepohonan, kecuali pernah terjadi kebakaran di sana. Namun, tidak ada bekas hitam arang yang tertoreh.

"Ini adalah tempat yang tidak dilindungi oleh barier Malik I," buka Pak Badri. "Beginilah perbedaan suatu tempat yang diliputi berkah dan tidak."

"Mengapa Imam membawa kami kemari?" tanya Diyah, berjaga-jaga.

"Dulu, Malik I menghilang di tempat ini. Sangat-sangat mengecewakan, tempat ini pun kehilangan berkah." Pak Badri tidak menjawab pertanyaan Diyah.

"Apa maksudnya?"

"Tidak ada hubungannya dengan perkataanku sebelumnya. Namun, aku hanya ingin menyiksa kalian di tempat yang berbeda, yang semakin mendukung kekalahan pahit kalian. Lihatlah, para Imam dan Jundun sampai rela jauh-jauh kemari. Banyak penonton terhormat kali ini. Jadi, aku ingin mempermalukan kalian lebih besar lagi."

"Terserah."

Wafir langsung mengambil kuda-kuda tanpa membalas ocehan Pak Badri. Tatapannya serius, bahkan ia tak menggubris istrinya yang khawatir sedang berbisik-bisik mempertanyakan siapa itu Diyah. Mengapa dia bertarung bersama Wafir. Namun, kuda-kuda yang dipasang oleh Imam muda ini tidak seperti pertahanan biasa. Posisinya melayang dan tidak terlalu rendah. Seorang penyerang tak akan menjejakkan bentuk penguatan seperti ini. Wafir sedang merencanakan sesuatu, yang pasti ini ada hubungannya dengan percakapan kemarin.

Diyah pun paham. Ia mengangguk sendiri ketika menyaksikan persiapan yang Wafir lakukan. Ia mengambil kuda-kuda yang sama. Mereka memandangi Pak Badri seperti predator sekarang. Mereka tidak akan lagi menjadi mangsa. Beruntung sekali para Imam dan Jundun datang kemari sebab mereka akan melihat kemenangan yang nyata. Diyah bisa jadi diizinkan menjadi tentara dan Wafir akan dinobatkan menjadi Imam yang sesungguhnya. Lalu—!

"MULAI!"

Pak Badri meneriakkan aba-aba dan langsung melesat ke arah Wafir serta Diyah.

Wafir dan Diyah tidak bodoh seperti seminggu lalu dengan diam saja. Seperti dugaan, mereka langsung kabur ke luar arena pertempuran. Kuda-kuda melayang itu memang dipersiapkan untuk melecutkan larian sekencang-kencangnya.

Semua orang terkaget sebab tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mengapa menjadi kejar-kejaran? Pertarungan macam apa yang isinya malah saling kabur satu sama lain? Namun, Hasbie dan Pak Romo dapat membaca rencana Wafir dan Diyah. "Mereka sedang mengarah ke tempat yang akan mengantarkan kemenangan. Mereka bertarung bukan untuk dipermalukan, melainkan untuk menang."

Lantas semua orang terperangah sambil menyaksikan Pak Badri yang mengejar mangsanya dengan dipenuhi amarah yang meluap-luap. Mereka pun sadar bahwa Pak Badri tidak akan berpikir sejauh ini. Dia pasti mengira Wafir dan Diyah hanya kabur agar tidak dihajar. Namun, Pak Badri tidak tahu bahwa keduanya akan melakukan segala cara untuk bertahan hidup, termasuk dengan melanggar peraturan.

Wafir dan Diyah melesat ke arah utara. Kebetulan jarak ke Desa Kayu semakin dekat jika ditempuh dari arena bertarung. Mereka biasa ke sana untuk bertahan hidup. Jaraknya hanya satu kilometer, lumayan jauh. Namun, berkat keberadaan pohon-pohon perdu, semak belukar, dan sulur-sulur yang merambati hutan, Pak Badri terhalang untuk mengejar secara membabi buta.

Kini, Wafir dan Diyah akan menggunakan kekuatan mereka. Wafir dengan kelincahannya meliuk-liuk di antara pepohonan yang berjalin dan merunduk. Ia seperti sedang berdansa dengan angin sepoi-sepoi di pagi musim dingin. Diyah dengan kelenturannya beratraksi dengan salto dan melompat-lompat layaknya atlet gymnastik yang mampu menaklukan rintangan di olimpiade. Beruntung dia telah merobek rok panjangnya. Ia pun mampu bermanuver selincah Wafir tanpa perlu terhalang.

Pak Badri terkejut bukan main. Ia tak pernah menyangka Wafir dan Diyah mampu bergerak secepat ini. Memang, ia mengakui Wafir punya kelincahan dan Diyah memiliki kelenturan yang hebat. Namun, ia tidak takut sebab mereka tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan Pak Badri. Sayangnya, ia tak pernah menebak mereka akan menggunakan bakat mereka untuk kabur di antara pepohonan.

Respons yang sama juga diberikan kepada para Imam dan Jundun yang mengikuti pergerakan Imam Badri. Mereka terperangah dan tersenyum sebab bisa menyaksikan pertarungan yang seru dan tidak bisa ditebak akhirnya. Apakah bakat Wafir dan Diyah yang unggul dalam menghindar ini mampu untuk mengalahkan Pak Badri?

Sepuluh menit kemudian mereka sampai di Desa Kayu.

Bunyi desing mesin pemotong dan penyerut yang memuntahkan berkarung-karung kulit kayu, memenuhi jalanan yang ramai. Kerumunan orang yang memenuhi jalanan seakan menjadi arena yang menguntungkan jika harus berlarian lihai di pasar tumpah. Bau daging dan ayam panggang menguar di kedai-kedai yang menyuguhkan sarapan. Desa Kayu akan semakin mempersulit Pak Badri. Jika hutan dipenuhi oleh rintangan yang tidak bergerak, kini halangan menjadi semakin sulit. Manusia dan rumah-rumah akan menghentika nyali Pak Badri untuk berbuat onar dan tak berperasaan kepada penduduk distrinya sendiri. Karena itu, ini akan menjadi keuntungan besar bagi Wafir dan Diyah.

Mereka tidak akan kenal ampun selama kemenangan belum berada di tangan.

Wafir meliuk di antara kerumunan orang-orang yang memenuhi pasar tumpah. Secepat kilat ia melepaskan mantel Imam, lalu melilitkannya di pinggang agar tidak dikenali. Kini ia bisa bermanuver layaknya ular putih yang mengejar mangsa, persis dengan kaos yang dikenakan kali ini.

Sementara itu, Diyah menaiki atap dengan menginjak box dan palet kayu yang bertumpukkan di samping bangunan. Ia memilih untuk bermanuver dari sana. Dengan kemampuan gumnastiknya, ia tidak akan kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan di atap yang miring. Selain itu, rencana yang dibuat memang seharusnya demikian sebab Pak Badri harus memilih untuk mengejar siapa.

Meski peluangnya hanya lima puluh persen, tebakan mereka benar. Pak Badri akan mengejar Wafir. Jalanan yang rata menjadi pilihan yang mudah meski berlubang beberapa dan digenangi becek air hujan. Kecepatan Pak Badri bisa meningkat pesat dan Wafir cepat terkejar. Jika Pak Badri berhasil menangkap Wafir, berakhirlah permainan. Namun, itu semua tidak akan terjadi sebab rencana mereka jauh lebih gila daripada sebelumnya.

Diyah langsung menendang tumpukan box dan palet agar menimpa Pak Badri. Tak hanya itu, ia juga merobohkan bangunan setengah jadi serta merusak seluruh pondasi yang dikelilingi scafolding untuk meremukkan kepala Pak Badri. Orang-orang berteriak panik kalah itu dan sontak saja Diyah berhasil memancing murka Pak Badri.

Dalam sekejap, arah buruan Pak Badri berganti dari Wafir ke Diyah. Keputusan wanita gila itu benar-benar di luar nalar. Mereka dapat membunuh Pak Badri, tetapi mereka tidak khawatir sebab ini menyangkut hidup mereka. Wafir dan Diyah harus menang atau tidak mereka akan disiksa selamanya hingga akhir hayat.

Seperti rencana, Wafir pun berganti memancing amarah Pak Badri untuk melindungi Diyah. Ia bergegas menukik ke penjagal daging yang memiliki pisau raksasa untuk memenggal daging dan tulang yang amat tebal. Selain itu, kebetulan sekali ada penjual pisau yang rupanya beraneka ragam, dari yang kecil dan panjang hingga ke yang besar dan tebal. Wafir pun menggunakan semuanya. Tanpa keraguan, Wafir melemparkannya ke arah Pak Badri.

Wafir dan Diyah benar- benar melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Mereka tak keberatan menambah gila level pertarungan meski itu mengancam nyawa Pak Badri. Mereka yakin kepada dua hal: Pak Badri adalah orang yang kuat sehingga tidak akan mati dengan mudah, dan Pak Badri adalah seorang Imam terkuat kedua, tentu dia tidak akan mudah dibunuh begitu saja. Karena itu, Wafir dan Diyah tidak segan untuk menaikkan kegilaan dari mengalahkan seorang Imam, ke membunuhnya tanpa ampun.

Pak Badri kesal sendiri sebab Wafir dan Diyah menghadapinya tidak seperti harapannya. Ia ingin mereka mengalahkannya seperti seorang ksatria yang menang dalam duel, bukannya seperti tikus pengecut yang berbuat keonaran. Mungkin Pak Badri kecewa, tetapi para Imam dan Jundun malah antusias menyaksikan pertarungan yang asik ini. Bagaimana tidak, kapan lagi seorang Imam dikalahkan oleh manusia yang kekuatannya beratus-ratus kali lipat lebih lemah daripada dirinya.

Hingga ujungnya amarah Pak Badri meledak dan melolong gila. Ia mengejar Wafir tanpa mempedulikan Diyah yang melempari genteng ke arahnya. Ia dengan lincah menghindari semuanya, termasuk pisau-pisau yang dilontarkan Wafir. Kecepatannya semakin gila hingga dalam hitungan jari, ia bisa menangkap Wafir.

Menyaksikan kegilaan itu, Wafir dan Diyah menjadi khawatir. Hingga mereka pun sepakat harus segera mengakhiri pertarungan. Dengan nekat, Diyah langsung berlari seraya melompati rumah-rumah untuk mengejar Pak Badri. Ia kini tidak kabur, melainkan berlomba untuk menangkapnya. Sampai ketika ia sudah hampir mencekik leher Wafir, Diyah melompat dan menukik ke arah punggung kokoh Pak Badri.

Diyah meliuk-liuk melakukan manuver untuk mengunci Pak Badri dari pinggang hingga leher. Dalam sekejap, ia berubah dari kucing pemalu menjadi ular piton yang melilit erat mangsanya. Ia mencekik Pak Badri hingga tekanan di leher bisa menembus kerongkongan, tetapi ia tak kasihan sebab cintanya belum terbalas.

Tanpa berlama-lama agar Pak Badri tak menang dengan membanting Diyah, Wafir pun melancarkan serangan terakhir. Ia mengeluarkan berlian dari tangan, lalu menusukkan ke tenggorokan Pak Badri.

Menyaksikan berlian keluar dari tangan Wafir, sekujur tubuh Pak Badri pun kaku sebab Wafir melanggar aturan dan memanggil para Penjaga Neraka ke Distrik Timur. Memanfaatkan kelemahan Pak Badri, Wafir pun melesatkan serangan terakhir dan ... darah pun keluar dari leher Pak Badri.

Pertarungan selesai.

Wafir dan Diyah akhirnya mampu mengalahkan Pak Badri. Para Imam dan Jundun yang tiba setelah melakukan pengejaran, tersenyum bangga dan meriuhkan tepuk tangan. Mereka akui, cara Wafir dan Diyah sangat licik dalam pertarungan. Namun, mereka pasti bisa bertahan hidup jika harus menghadapi pertarungan yang sesungguhnya.

Namun, Pak Badri tak terima. Ia pun bergegas membanting Wafir dan Diyah. Amarahnya akan memantik kenekatannya untuk meluncurkan hukuman kepada murid yang sudah melanggar harapannya. Pak Badri pun tiada keseganan untuk membunuh Wafir dan Rika. Namun—!

"Berani kau sentuh Wafir dan wanita berkacamata itu, maka akan kubunuh kau, Badri!" Pak Romo menarik senapan dari pinggang, lalu mengacungkan kepada Pak Badri.

Lainnya pun mengikuti. Pak Goldy menarik tombak ke arah Pak Badri. Pak Luth memasang kuda-kuda taekwondo. Ray mengepalkan tinju. Rika menarik busurnya. Hasbie bersiap menghujamkan trisula. Krishna bahkan muncul entah darimana dengan menunggangi Kon yang siap menerkam dan menebas dengan pedangnya.

Pak Badri melolong murka. "Kalian gila! Mereka melanggar peraturan dengan hampir membunuhku dan bertarung dengan cara licik seperti pengecut!"

"Tak ada bedanya! Dari awal kaulah yang curang dengan menantang duel dengan orang-orang pemula yang kekuatannya ribuan kali di bawahmu!" debat Pak Romo, orang yang berani menghardik Pak Badri sebab keseniorannya. "Mereka sudah berhasil menang, maka akuilah kekalahanmu!"

"Tapi, bagaimana mereka bisa berkembang jika menang dengan cara seperti ini!?"

"Mereka sudah lebih dari cukup! Dengan kemampuan mereka dalam memanfaatkan keunggulan, mereka mampu memenangi pertarungan yang sesungguhnya. Bukannya hal yang terpenting adalah menang meskipun curang dalam pertarungan?"

"TAPI—"

"Pertarungan sudah berakhir, akui saja kekalahanmu!"

Pak Badri pun menarik kembali kuda-kudanya. Wajahnya masih merah padam dan tinjunya mengepal erat. Ia menuruti perkataan Pak Romo, tetapi enggan menerima kekalahan. Dari raut mukanya, ia jelas akan memusuhi Wafir meskipun hingga kiamat terjadi. Pak Badri pun memutuskan meninggalkan Desa Kayu dan memilih kembali ke perbatasan untuk melanjutkan rencana menghalang Penjaga Neraka. Namun, sebelum pergi ..., ia tiba-tiba meludahi Wafir.

Dengan hinaan itu, Wafir tak mempermasalahkannya. Setidaknya tujuannya dan Diyah telah tercapai.

Wafir sudah menang melawan Pak Badri.

Timur, 31 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro