Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 | Heaven Corporation

DISTRIK BARAT membuat Wafir merinding.

Pagi ini, Wafir langsung meluncur ke distrik terkaya dan termaju yang ada di Surga. Ia tak bisa tenang selama dua jam belakangan sebab ia harus menjaga sikap di dalam limusin hitam mewah, yang dikendarai oleh Hasbie. Wafir hanya berdua dengan putra Imam Romo, tetapi ia tak paham alasan Hasbie membawa mobil yang bisa diisi oleh 20 orang. Sekarang, kursi-kursi hitam yang empuk dan mengilap kosong, hanya kursi pengemudi yang diduduki Hasbie dan Wafir di samping kiri yang terisi.

Aroma pinus pegunungan menguar dari dasbor, sama wanginya antara bau pewangi mobil dan badan Hasbie. Jika dibandingkan dengan Wafir yang hanya memakai kaos hijau kebesaran, pemberian Ray yang berbadan raksasa, tentu tak pantas Wafir berada di dalam limusin bersama putra pemilik Distrik Barat. Memang, Wafir baru saja melunasi utang yang harganya bisa mencekik ubun-ubun, tetapi Wafir tidak memiliki uang untuk makan, membeli pakaian, dan membayar sewa tempat tinggal. Ia hanya menunggu kebaikan Tuhan dan inilah yang dikirim: Hasbie.

Hasbie berusia 25 tahun. Ia pemuda pendiam dan tegas. Ia jarang berbicara. Rahangnya besar dan agak maju ke depan, sangat dingin apalagi dengan wajah perseginya. Kulitnya coklat dan sedikit tidak rata di bagian pipi. Di keningnya tertempel noda hitam bekas sujud. Rambut hitamnya lurus sebahu dan selalu tertata rapi serta klimis. Kali ini, ia memakai kaos hitam dengan gambar abstrak layaknya kaos distro. Celana chinos karamel menempel gagah di kakinya. Tangan berurat mencengkeram setir mobil dengan lihai. Dia sepertinya mahir dalam permainan senjata tangan seperti tombak. Bagaimana bisa orang seperti Hasbie bisa Wafir kalahkan?

"By the way, gue gak papa ngisep vape, kan?" sambut Hasbie bernada gaul, berbeda dari suara formal yang digunakan selama menjemput Wafir.

"Silakan, Mas." Bagaimana bisa dia berubah secepat ini?

Hasbie pun mengeluarkan sebatang vape berwarna emas mengilap dari dasbor. Ukurannya seperti korek api, hanya saja lebih panjang. Ketika Hasbie mengisap dan mengembuskan asap, bau pinus memenuhi mobil. Ternyata aroma wangi itu berasal dari vape yang disimpan di dasbor.

"Kenapa kaku banget?" Hasbie menyenggol lengan Wafir menggoda. "Lu pasti kaget ya kenapa gue bisa selamat dari kejadian di Kota Batu kemarin?"

Sebenarnya, aku kaget karena kamu yang tiba-tiba bernada seperti orang gaul dari perkotaan, tapi tidak apa-apa, aku akan mendengar cerita tentang keberuntunganmu. Wafir mengangguk ragu.

"Papa nggak ngizinin gue buat ikut ke Kota Batu. Pabrik lagi ada trouble," jawab Hasbie, memutar setir untuk berbelok ke kanan, masuk ke dalam gerbang pabrik besar setinggi dua meter. "Padahal sebenernya gue pengen ke Kota Batu, tapi perintah orang tua jauh lebih berharga. Seperti kata orang alim, 'Rido Tuhan ada pada rido orang tua."

Percakapan terhenti ketika limusin melalui pos satpam. Dua pria garang berseragam coklat memberikan hormat kepada Hasbie. Mereka membukakan gerbang seraya memberikan senyuman ramah. Setelah itu, keduanya mengangguk untuk memberikan salam penutup. Dilihat dari perlakuan dua satpam tadi, keluarga Romo benar-benar disegani di Distrik Barat, bahkan seluruh Surga.

Bahkan, ketika Wafir telah memasuki kawasan Heaven Corporation, ia tak bisa menahan mulut untuk tidak menganga dan memuji. Jalanan berpaving selebar delapan ruas dengan dua jalur, membentang jauh lurus ke depan. Truk-truk setinggi dua kali limusin berjajar untuk mengantre. Di kiri-kanan menjulang tinggi beberapa pabrik yang didatangi ratusan pekerja berseragam terusan biru langit. Tangki-tangki belasan meter yang berwarna seragam dan sangat tinggi juga menjulang dari belakang pabrik.

Hasbie menghentikan limusin di pabrik yang paling belakang, letaknya dekat dengan bibir pantai. Pabrik itu besar dengan kolom distilasi dan uap panas mengepul dari cerobong. Kondisi pabrik tersebut masih baru dengan cat yang mengilap dan kuat menempel. Tempat parkir bahkan masih menampung kurang dari seratus motor dan mobil. Pegawai dari pabrik ini sepertinya masih sedikit. Karena itu, Pak Romo menjadikan pabrik ini sebagai kantor utama pada masa sekarang sebab ingin dikembangkan.

Hasbie pun mengajak Wafir untuk masuk ke dalam kantor yang berada di dalam plant. (Plant adalah sebutan tempat produksi di industri kimia.) Mereka harus menggunakan sepatu boot dan helm proyek putih sebelum memasuki plant untuk alasan keselamatan. Ketika sudah memasuki pagar berjeruji besi setinggi semeter, barulah jelas wujud plant yang begitu megah.

Vessel setinggi lima meter menjulang tinggi, bahkan ada yang setinggi gedung enam lantai. Warna perak mengilap memenuhi semua peralatan. Belum lagi bunyi bising yang dikeluarkan oleh pompa sentrifugal yang berjajar di lantai satu. Uap dan suhu panas membumbung dari setiap sisi plant, menguarkan temperatur yang bisa memeras keringat. Bau minyak menguar di setiap sisi, diisi dari pipa-pipa untuk diolah menjadi bahan bakar. Tangki-tangki setinggi 15 meter memagari bagian depan dan belakang untuk tempat penyimpanan. Tidak ada yang boleh berbuat macam-macam di sini, kalau tidak, seisi pabrik bisa meledak dan membumihanguskan Distrik Barat.

Hasbie menuju ruangan persegi yang tersusun dari banyak kaca di dindingnya. Ia pergi ke lantai dua dan menemui layar monitor berjajar memenuhi tembok. Sistem kontrol otomatis untuk mengatur temperatur, tekanan, dan laju aliran tergambar jelas di sana. Dua orang pengawas berseragam terusan biru langit yang sedang duduk memperhatikan layar, sangat fokus untuk terus menjaga pabrik. Hasbie pun melengos dari belakang kedua orang tersebut untuk menuju kantor papanya yang ada di bagian belakang.

Sebelum memasuki ruangan, Hasbie menengok kaca kecil di pintu, lalu membatalkan niat untuk masuk. "Wafir, lu tunggu di sini. Papa masih ada tamu. Gue mau ke toilet dulu, ya?"

"Silakan, Mas."

Wafir pun sendirian, ditinggalkan Hasbie di tengah lorong yang di sampingnya ada rak yang menampilkan produk-produk dari Heaven Corporation. Ia memandang-mandang setiap bahan yang tersimpan di gelas kaca berukuran satu liter. Namun, ketika ia semakin mendekati bagian ujung, ia mendengar suara sumbang samar-samar. Itu dari dua pria yang sedang mengontrol pabrik.

"Ngapain anak kolot itu datang kemari?" tanya pria yang lebih tua dan tinggi ke rekannya.

"Gak tahu, kayaknya dia nganterin anak baru deh."

"Kayaknya bukan. Mana ada anak baru dianterin sampai ke kantor si Bapak?"

"Temennya mungkin dari grup tentara gak jelas itu?"

Pria yang lebih tua tertawa. "Mana mungkin dia punya teman? Si Hasbie aja kolot banget. Dia kaku dan gak asik. Mana mungkin dia punya teman? Orang jidatnya hitam gitu kayak teroris."

Keduanya tertawa terbahak-bahak, tetapi Wafir terbakar amarah. Ia bergegas melangkah untuk membela Hasbie meskipun ia tahu bahwa dirinya tak bisa memenangi perdebatan dengan dua pria itu.

"Maaf—"

Hasbie tiba-tiba menarik Wafir dari belakang. Ia menggeleng seraya menyorotkan tatapan dendam. "Tidak usah dipedulikan."

"T-tapi, Mas. Mana mungkin aku terima ketika orang banyak sujud seperti Mas Hasbie malah dibilang teroris, bahkan para tentara yang mati-matian membela penduduk Surga malah dihina layaknya sampah."

"Tidak penting."

"Kenapa, Mas?" Suara Wafir melemah.

"Semua penduduk Distrik Barat memang seperti itu, kecuali sedikit. Mereka berhati keras dan lebih mementingkan uang ketimbang Tuhan yang menciptakan mereka. Mereka enggan bersujud dan enggan menjaga hubungan kepada sesama manusia. Yang mereka pikirkan adalah uang, uang, dan uang. Mereka rela melakukan apa pun, termasuk membunuh sesama. Aku sendiri heran, bagaimana tempat banyak pendosa seperti ini disebut sebagai Surga."

Keduanya tenggelam dalam diam. Kalimat penutup dari Hasbie yang masih mengguratkan muka dendam terngiang-ngiang di dalam benak Wafir. Ia bersandar pada dinding putih yang dicat mahal. Wafir akhirnya tahu, Hasbie pendiam bukan tanpa alasan. Dia adalah sebagian kecil penduduk Distrik Barat yang masih memiliki iman. Karena itu, ia bergabung menjadi tentara, sama seperti sang bapak. Setelah itu, keberuntungan Tuhan menyertainya dengan menganugerahi bakat bertarung dan mengantarkannya sebagai Jundun terbaik ketiga di akademi, di bawah Wafir dan Ray. Begitulah Tuhan memberikan petunjuk. Namun—

Pintu kantor Pak Romo tiba-tiba terbuka. Bunyi keletak nyaring terdengar seperti high heels yang menapak lantai keramik mahal. Bau mawar menusuk kuat dari dalam, seperti bau parfum wanita. Tak begitu lama, dugaan Wafir benar ketika ia menyaksikan seorang wanita yang keluar.

Wanita itu seksi. Badannya langsing dan proporsional apalagi dibalut blus putih ketat dan rok pendek hitam di atas lutut. Rambut panjang bergelombang dengan ombre pirang di ujung, menggoyang bergantian menutupi belahan dada yang menggoda. Bibirnya merah merona dan tatapannya tajam. Ketika bertemu dengan Wafir, ia menyunggingkan senyum ramah. Tanpa waktu lama, ia kembali melanjutkan langkah dengan cara jalan bak model terkenal.

"Siapa dia?" Hasbie malah bertanya.

Wafir mengangkat kedua bahu, tidak tahu. Bagaimana mungkin ia mengenal wanita tadi. Apa karena ia ditatap oleh wanita itu, membuktikan bahwa Wafir mengenalnya? Sayangnya tidak. Ia malah mengira hal sebaliknya. Wanita cantik tersebut adalah pegawai di perusahaan Pak Romo. Namun, melihat respons Hasbie, sepertinya dugaan Wafir salah.

"Silakan masuk," panggil Pak Romo dari dalam ruangan, ia kembali duduk ke kursi kerja hitam yang tinggi empuk.

Tanpa berbasa-basi, Wafir mengangguk patuh dan melangkah maju. Sementara itu, Hasbie tetap di lorong dan tiba-tiba menutup pintu dari luar.

"Gue tunggu di sini." Hasbie menutup pintu rapat, meninggalkan Wafir dan Pak Romo berduaan di ruang kantor.

Wafir terkejut dan sempat gelagapan dengan menoleh ke belakang beberapa kali. Namun, Pak Romo menenangkannya dengan menyiratkan senyum ramah dan tegas.

"Silakan duduk, Wafir," undang Pak Romo. Suaranya berwibawa dan formal. "Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan."

Wafir gugup dan memilih langsung duduk, menuruti perintah Pak Romo. Ia hanya sanggup menunduk meskipun suasana ruangan Pak Romo sangat nyaman untuk ditatap. Meja kayu krem mulus menghubungkan tempat duduknya dengan Pak Romo. Pendingin udara yang sejuknya pas membuat badan rileks, ditambah aroma pinus yang manis. Jam dinding bergoyang dengan model pendulum, benar-benar antik. Di belakang tempat duduk Pak Romo, rak buku setinggi ruangan berjajar dan tersimpan dokumen perusahaan serta buku-buku kimia. Hingga Wafir menyaksikan satu buku yang dikenal, ia pun spontan memberanikan diri bertanya:

"Imam Romo, bukankah itu buku Transport Phenomena karya Bird?"

Pak Romo mengangguk bangga sekaligus terkejut tipis. "Bagaimana Anda tahu?"

"Saya dulu pernah menggunakan buku itu ketika masih berkuliah."

"Anda kuliah jurusan apa? Bukannya buku itu kebanyakan digunakan di jurusan teknik kimia?"

Wafir mengangguk antusias. "Saya sarjana teknik kimia."

"Sarjana!?" Pak Romo membelalak tak percaya. "Berapa usia Anda?!"

"20 tahun, Imam."

Pak Romo bertepuk kegirangan. Ia terperangah dengan kejeniusan Wafir. Tidak ada yang mengira bahwa sebelumnya Wafir sempat berkuliah di jurusan yang berprospek tinggi. Apalagi ia sudah lulus di umur yang sangat muda, yaitu 20 tahun. Pak Romo pun semakin tertarik kepada Wafir. Ia memangku dagu di meja dengan serius, lalu bertanya:

"Wafir, saya ingin tahu apa yang Anda pikirkan ketika mengamati Distrik Barat hingga duduk di hadapan saya sekarang?"

"Ehhh." Wafir tak berani langsung menjawab, ia takut ini pertanyaan jebakan. "Saya melihat banyak hal yang mengagumkan di sini." Bagaimanapun aku tidak mau berbohong.

Pak Romo menyemburkan tawa tipis. "Orang seperti Anda tidak mungkin memikirkan hal yang seperti itu—ya mungkin saja. Namun, ada satu hal yang pasti Anda pikirkan: heran. Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana Surga bisa memiliki penduduk yang arogan dan berdosa seperti di Distrik Barat? Saya benar, kan?"

Wafir terdiam seraya menggaruk belakang kepala. "T-tidak kok, Imam."

"Orang sepolos Anda sudah pasti memikirkan hal tersebut. Sudah terlihat jelas ketika Anda melihat wanita seksi tadi. Tatapan Anda menyiratkan rasa jijik, bukannya tergoda."

Bagaimana Imam Romo tahu? Wafir berusaha memikirkan pembelaan.

"Tenang, dia hanya tamu dari supplier yang ingin mengajak kerja sama," ujar Pak Romo, menenangkan seraya sedikit tertawa. "Tentang pertanyaanku sebelumnya, aku sebenarnya tidak suka dengan orang-orang yang kaku seperti putraku."

Wafir sontak terpantik tak terima. Pak Romo sendiri menjelekkan putranya!?

"Anda adalah orang Utara, Wafir."

"A-apa, Imam?" Wafir lagi-lagi dibuat kaget.

Pak Romo mengangguk. "Itu benar. Anda bukan orang biasa, begitu yang dikatakan oleh Imam Ibrahim. Aku tidak bisa membenci orang Utara. Jika Anda kaku sebab Anda adalah orang Utara, saya akan menghargainya, berbeda dengan Hasbie yang tidak menyukuri jati diri sebagai orang Barat."

"Sepertinya tidak begitu, Imam," sanggah Wafir.

"Mengapa tidak? Anda mungkin saja orang Utara—"

"Bukan tentang orang Utara, tetapi tentang Mas Hasbie. Dia adalah orang baik."

"Oh." Pak Romo mengembuskan napas tak antusias. "Sebaiknya kita membahas hal yang lebih penting."

"Kenapa, Imam?"

"Jangan tanyakan kepada saya tentang Hasbie. Dia sendiri tidak pintar dalam sains, malah jago melukis dan berbahasa Jerman. Di kalangan Jundun, dia hanya berada di peringkat tiga? Bagaimana dia bisa meneruskan Heaven Corporation!?"

"Mas Hasbie pasti bisa—"

"Tapi APA buktinya!?" Pak Romo membelalak menyeramkan. Dia benar-benar sangat benci dengan putranya sendiri.

Wafir terdiam tak mampu menjawab. Ia sendiri hanya percaya kepada kekuatan idealisme. Namun, Pak Romo lebih percaya kepada data dan bukti. Karena itu, Wafir yakin dia tidak bisa memenangkan perdebatan ini.

"Begini saja," tawar Pak Romo menyunggingkan senyum remeh. "Karena Anda adalah lulusan teknik kimia. Mari kita wujudkan impian Anda. Saya tahu jelas Anda ingin bekerja di industri seperti ini, kan? Karena itu, izinkan saya mewujudkannya, tetapi dengan satu taruhan."

Wafir tidak suka taruhan. Namun, Pak Romo tidak membiarkannya berbicara.

"Selesaikan trouble di pabrik ini dalam 24 jam, maka akan kuberikan seisi Heaven Corporation kepada Anda."

Barat, 21 Desember 0020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro